Mengenang Keteladanan Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali Maksum

Krapyak masih diselimuti duka mendalam atas berpulangnya salah satu permata terbaiknya, seorang ulama ahli Al-Qur’an perempuan yang sangat masyhur dan menjadi teladan bagi ribuan santri: Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali Maksum. Beliau adalah putri Hadratussyaikh KH. Ali Maksum, sosok yang namanya senantiasa harum di hati umat.

Ibu Nafis, demikian beliau akrab disapa, tak hanya dikenal sebagai ahli Al-Qur’an dengan keilmuan mendalam. Jiwa Qur’ani beliau tak sekadar terucap dalam lisan, melainkan terpatri kuat dalam setiap laku, tindakan, dan sendi kehidupan sehari-hari. Beliau adalah representasi sejati dari “Living Quran”; Al-Qur’an yang berjalan, berbicara, dan memberi teladan nyata bagi siapa pun yang bersua.

Keteladanan dalam Setiap Detik Kehidupan

Banyak cerita inspiratif mengalir dari keluarga, santri, hingga masyarakat tentang bagaimana Ibu Nafis mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an. Di kalangan santri, dawuh beliau yang sangat melekat adalah: “Di manapun berada, jangan lupa menderas Al-Qur’an, karena di manapun itu adalah bumi Allah.” Ini bukan sekadar wejangan, melainkan sebuah teladan nyata yang sempurna, dicontohkan langsung dalam keseharian beliau.

Bahkan saat berwisata bersama santri, Ibu Nafis tak pernah lepas dari Al-Qur’an. Beliau menunjukkan bagaimana di tengah aktivitas menyetir, berbelanja, atau bahkan rihlah sekalipun, ayat-ayat suci senantiasa dilantunkan dari lisannya. Kecintaan beliau terhadap Kalamullah begitu mendalam, tak lekang oleh waktu, tempat, apalagi kondisi. Menjelang wafatnya pun, di tengah perawatan intensif dan rasa sakit yang menderanya, Ibu Nafis tak sedikit pun kehilangan waktu untuk menderas Al-Qur’an. Dengan suara yang menahan sakit, beliau terus melantunkan ayat-ayat suci sembari terbaring lemah, seolah Al-Qur’an adalah nafas dan jiwa yang tak terpisahkan dari dirinya.

Al-Qur’an yang Termaktub dalam Tindakan

Kecintaan beliau terhadap Al-Qur’an juga termanifestasi dalam tindakan-tindakan nyata yang menggetarkan hati. Salah satu kisah indah yang dikenang adalah ketika suatu hari, saat seluruh santriwati fokus mengikuti pengajian rutin Ramadan di mushola, Ibu Nafis diam-diam menuju dapur santri. Tanpa suara bising, dalam keheningan, beliau membersihkan dapur itu hingga rapi, bersih, dan wangi. Santriwati baru menyadarinya setelah pengajian usai, terheran-heran mendapati dapur yang semula berantakan kini bersih dan tertata. Ibu Nafis melakukannya seorang diri, tanpa ingin diketahui, menunjukkan keikhlasan serta pengamalan nilai kebersihan, keindahan, dan tanggung jawab yang diajarkan Al-Qur’an.

Beliau memang sangat memperhatikan keindahan. Caranya menata barang dan lingkungan sekitar selalu memancarkan estetika, menjadikannya pribadi yang menyenangkan tak hanya di mata, namun juga di hati siapa pun yang berinteraksi dengan beliau.

Ibu Nafis juga dikenal sebagai sosok yang senantiasa mendorong para santrinya untuk menikmati masa muda tanpa sedikit pun meninggalkan Al-Qur’an. Hal ini selaras dengan dawuh yang disampaikan oleh KH. Mutashim Billah, Pengasuh PP. Sunan Pandanaran, dalam tahlil dan doa untuk Ibu Nyai Nafis, tentang pentingnya menyeimbangkan dunia dan akhirat.

Dalam banyak kesempatan, Ibu Nafis juga mengingatkan kepada santrinya: “Jadilah perempuan yang cerdas, ‘wedok’ (feminin), dan ‘kutho’ (modern).” Pesan ini merangkum harapan agar santriwati memiliki pola pikir yang maju, cara bersosial yang santun, adab yang mulia, dan gaya hidup yang relevan dengan perkembangan zaman, tanpa melupakan akar keislaman mereka. Ini adalah manifestasi nyata dari pemahaman beliau akan peran perempuan muslimah di era modern.

Sikap Toleransi

Di balik keilmuan dan kelembutan hatinya, Ibu Nafis juga merupakan sosok yang sangat menjunjung tinggi toleransi terhadap perbedaan, baik agama maupun etnis. Kedalaman jiwanya terpancar dari hubungannya yang hangat dengan teman-teman beliau yang beretnis Tionghoa. Beliau tidak pernah menunjukkan sikap antipati terhadap keragaman, sebuah nilai luhur yang tentunya diwarisi dari sang ayah, Kiai Ali Maksum, yang terkenal dengan kepribadiannya yang mudah bergaul dan merangkul siapa saja tanpa memandang latar belakang. Toleransi ini bukan hanya sekadar teori, melainkan praktik nyata yang membentuk lingkaran persahabatan tanpa batas.

Kehadiran beliau adalah anugerah, kepergiannya adalah duka, namun keteladanannya akan senantiasa menyala sebagai obor penerang jalan bagi kita semua.

Selamat jalan, Ibu Nafis. Engkau adalah teladan sempurna dari Al-Qur’an yang hidup. Semoga kami senantiasa dianggap sebagai santrimu, menyertai para masyayikh, dan dapat meneruskan perjuangan serta keteladananmu yang abadi. Al-Fatihah.

Santri sebagai Penopang Nilai di Era Digital

Madrasah Salafiyyah IV belum lama ini kembali menyelenggarakan Dirosah ‘Ammah, sebuah agenda rutin krusial yang menandai pembukaan tahun ajaran baru 2025-2026 M/1446-1447 H. Kegiatan yang berlangsung pada Mei 2025 lalu ini bukan sekadar ajang silaturahmi, melainkan momen penting untuk membekali para santri dengan pandangan, semangat, dan komitmen baru dalam menuntut ilmu.

Suasana khidmat dan penuh antusiasme terasa kental di Mushola Al-Mubarok, tempat seluruh rangkaian acara dilaksanakan. Seluruh santri, mulai dari kelas I’dad hingga Takhasus, tampak hadir memenuhi setiap sudut mushola, khusyuk menyimak jalannya acara. Tak hanya mereka, para asatidz dan asatidzah yang menjadi pilar pendidikan di Madrasah Salafiyyah IV juga turut membersamai langkah para muridnya. Kehadiran mereka menegaskan dukungan penuh terhadap pembentukan generasi santri yang kokoh.

Dirosah ‘Ammah tahun ini menghadirkan Ustaz Ahmad Basyir sebagai pemateri utama, yang menyampaikan materi inspiratif bertema “Peran Santri di Era Teknologi dan Globalisasi.” Dalam sesinya yang penuh hikmah, beliau menekankan poin fundamental: kemajuan zaman yang begitu pesat bukanlah alasan bagi santri untuk mundur atau merasa ragu. Justru sebaliknya, di tengah arus digital yang deras dan tantangan globalisasi yang kian kompleks, santri memiliki panggilan mulia untuk hadir sebagai penopang nilai-nilai luhur, penjaga ilmu, dan pembawa adab di tengah masyarakat.

“Santri harus memiliki pondasi ilmu yang kokoh,” tutur Ustaz Ahmad Basyir dengan lugas. “Karena hanya dengan ilmu, kita mampu memilah kebenaran dari kebatilan, menimbang setiap informasi yang masuk, dan menjaga diri dalam derasnya perubahan zaman.” Beliau menggarisbawahi bahwa kekuatan ilmu adalah kunci utama bagi santri untuk tetap teguh dan relevan di tengah gempuran informasi dan budaya global. Kemampuan untuk menyaring, menganalisis, dan memegang teguh prinsip-prinsip keislaman menjadi sangat vital dalam menghadapi dinamika kontemporer, menjadikan santri sebagai mercusuar di tengah badai.

Dirosah ‘Ammah ini sukses menjadi momen reflektif sekaligus penguat semangat bagi seluruh santri dan hadirin. Ia mengajak para penuntut ilmu untuk terus menapaki jalan thalabul ‘ilmi dengan istiqamah, tidak kenal lelah, serta menyadari betul tanggung jawab besar yang diemban sebagai bagian tak terpisahkan dari umat. Harapannya, mereka tidak hanya menjadi pribadi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga berintegritas dan berakhlak mulia, siap berkontribusi positif di mana pun mereka berada.

Semoga ilmu yang telah ditanam dalam kegiatan ini dapat tumbuh subur, berbuah menjadi amal yang bermanfaat bagi diri, agama, nusa, dan bangsa. Semoga pula, ia menjadi cahaya penerang dalam menghadapi segala tantangan zaman yang kian kompleks, membentuk generasi santri yang siap berkontribusi positif di mana pun mereka berada.

Kilas Balik: Pelantikan Kepala Madrasah Diniyah sebagai Regenerasi dalam Pengembangan Keilmuan Salaf

Pada Kamis malam, 31 Oktober 2024 lalu, Madrasah Diniyah Salafiyyah IV Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek L menggelar pelantikan Kepala Madrasah yang baru. Ustadz Abdurrahman dilantik secara resmi sebagai Kepala Madrasah periode 2024-2026, menggantikan Ustadz Taufik Ilham yang telah menjalankan amanah ini sejak tahun 2019 hingga 2024.

Madrasah Diniyah Salafiyyah IV merupakan bagian dari organisasi pesantren yang berfokus pada pengembangan sistem keilmuan salaf. Lembaga ini berkomitmen untuk menjaga dan menyebarluaskan ilmu salaf di lingkungan pesantren serta memberikan pendidikan agama yang berkualitas dan mendalam.

Dalam sambutannya, pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek L, KH. M. Munawwar Ahmad, menekankan pentingnya pergantian kepemimpinan sebagai bentuk regenerasi yang harus dijalankan dengan niat ibadah.

“Semua tanggung jawab di pesantren ini saling berhubungan. Orang yang mengaji membutuhkan listrik, butuh penerangan, dan perlu ada yang menyiapkan semua fasilitas tersebut. Setiap wadifah atau tanggung jawab ini saling mendukung dan harus diniati sebagai ibadah,” ungkap beliau.

Pesan ini memperkuat makna bahwa peran di pesantren bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan amanah dengan nilai spiritual tinggi yang menciptakan kebersamaan dan kemandirian komunitas. Pergantian kepemimpinan di Madrasah Diniyah Salafiyyah IV ini diharapkan dapat melanjutkan dan mengembangkan upaya dalam membina santri dengan semangat keikhlasan dan pengabdian.

Dengan kehadiran Abdurrahman sebagai pemimpin baru, Madrasah Diniyah Salafiyyah IV diharapkan dapat melanjutkan visi yang telah dirintis oleh para pendahulu, menghadirkan inovasi, dan semakin menguatkan peran madrasah dalam mengajarkan nilai-nilai salaf yang lurus dan rahmatan lil ‘alamin.

Tidak Lazim, Begini Hukum Penggunaan Bejana dan Alat Makan Berlapis Emas dan Perak

Ilustrasi alat makan dan minum dari emas dan perak. Sumber: Umma.id

Hukum Penggunaan Bejana Emas dan Perak

Penggunaan emas dan perak sebagai alat makan agaknya dapat ditemui di hotel-hotel highclass. Hal ini terjadi dikarenakan pihak hotel ingin menyajikan makanannya dengan mewah guna menjaga kepuasan pelanggannya. Walapun tidak semua hotel demikan, penggunaan alat makan seperti silverware misalnya, sudah menjadi hal yang umum. Penggunaan silverware pada alat makan hotel ini terbuat dari logam yang berlapis stainless atau perak. Tidak berhenti di situ, adakalanya pihak hotel menggunakan alat-alat makan yang dilapisi emas. Ditambah lagi, tidak hanya alat makan, penggunaan lapisan emas atau perak ini terkadang berlaku juga pada alat-alat kamar mandi. Baik WC, bak mandi, shower, dan lain sebagainya.

Dari gambaran tersebut, pemakaian emas atau perak pada alat makan dan alat mandi terutama bak mandi menjadi suatu masalah tersendiri. Masalah ini muncul karena adanya hukum larangan melapisi emas atau perak pada alat makan, dan bejana air yang digunakan untuk bersuci. Lantas bagaimana hukum orang yang makan dari alat makan yang dilapisi emas atau perak? Dan apa hukum orang yang bersuci menggunakan bejana yang dilapisi emas atau perak tersebut?

Makanan dan Minuman yang Disajikan Menggunakan Alat Makan yang Berlapis Emas

Makanan atau minuman yang disajikan menggunakan alat makan berlapis emas tidak berubah hukumnya, selagi makanan itu halal maka tidak ada masalah. Namun, yang dilarang adalah penggunaannya (isti’mal-nya). Syeikh Syihabuddin Ar-Romli mengatakan dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj :

نعم الطهارة منه صحيحة والمأكول ونحوه حلال؛ لأن التحريم للاستعمال لا لخصوص ما ذكر.

Benar, sah bersuci menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak, dan makanan yang dimakan atau semacamnya tetap dihukumi halal. Karena yang diharamkan adalah penggunaannya, bukan selainnya yang tidak disebutkan” (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Juz 1, Hal :102).

Hukum makan menggunakan alat-alat makan yang dilapisi emas ini adalah makruh tahrim, tergantung seberapa banyak kadar emas yang terkandung dalam alat-alat makan tersebut. Apabila kandungan emasnya sedikit maka diperbolehkan, dan apabila kandungan emasnya banyak maka haram makan menggunakan alat tersebut kecuali adanya darurat. Kandungan emas dapat diukur dengan memanaskan wadah tersebut. Apabila ada setelah dipanaskan ada bagian yang terpisah maka kadar emas tersebut banyak, apabila tidak maka sebaliknya. Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj :

فيحل استعمال مموه من ذلك بذهب لا يحصل منه شيء بالعرض على النار سم عبارة البجيرمي وحاصل مسألة التمويه أن فعله حرام مطلقا حتى في حلي النساء، وأما استعمال ‌المموه فإن كان لا يتحلل منه شيء بالعرض على النار حل مطلقا

Diperbolehkan menggunakan bejana yang dilapisi emas yang ketika emas itu dipanaskan tidak ada bagian yang terpisah menurut Imam Bujarami. Adapun kesimpulannya adalah perbuatan melapisi emas dihukumi haram secara mutlak bahkan pada perhiasan wanita. Adapun menggunakan wadah yang berlapis emas dihukumi halal secara mutlak selagi tidak ada sesuatu yang terpisah dari wadah tersebut ketika dipanaskan menggunakan api”. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, juz 1, hal :122)

Penggunaan alat makan yang dilapisi emas diperbolehkan karena memang tidak adanya peralatan lain yang tidak dilapisi emas. Jika ada, maka haram menggunakan alat-alat makan berlapis emas untuk makan dan minum.

Mengungkap Kontroversi dalam Thrifting Online dengan Kerancuan Komposisi Barang

Ilustrasi kegiatan Thrifting Sepatu. Sumber: Harianhaluan.com

Bagaimana Hukum Menggunakan Pakaian yang Terbuat dari Bahan yang Najis?

Maraknya thrifting atau jual beli barang bekas dengan tujuan untuk dipakai kembali nampaknya menjadi kegiatan yang cukup diminati oleh masyarakat Indonesia saat ini. Kegiatan thrifting ini selain membuka jalan usaha bagi pelaku bisnis juga memberikan alternatif bagi konsumen untuk mendapatkan barang bekas yang branded yang terbilang masih bagus. Kendati demikian, maraknya thrifting ini banyak barang bekas seperti pakaian yang terbuat dari bahan yang beragam. Ada pakaian yang memang terbuat dari kulit hewan yang suci dan ada yang terbuat dari kulit hewan yang najis.

Dari gambaran tersebut, kesucian pakaian yang dibeli kemudian digunakan kian dipertanyakan. Karena kesucian dari pakaian ini tentu akan berpengaruh kepada orang yang beribadah. Sholat misalnya, dalam syarat sah shalat. Di antara pertanyaan yang muncul dan akan dibahas adalah bagaimana hukum kesucian pakaian tersebut jika tidak diketahui asalnya? dan apa hukum penggunaan pakaian yang di dalamnya terkandung bahan yang najis?

Kesucian Pakaian yang Tidak Diketahui Bahannya.

Ulama Syafi’iyah perihal kesucian pakaian bagi orang yang tidak tahu asal-usul dari bahan apa pakaian yang ia gunakan, apakah berasal dari kulit hewan yang suci atau berasal dari kulit hewan yang najis, memiliki perbedaan pendapat (khilafiyyah). Perbedaan ini didasarkan dengan apa kulit hewan yang belum diketahui asal-usulnya itu di-qiyas-kan.

Pertama, jika kulit hewan disamakan dengan daging, maka kulit hewan tersebut dihukumi najis. Kulit hewan dihukumi najis karena adanya keraguan terhadap asal-usul dari hewan apa kulit tersebut. Jika tidak diragukan asal-usulnya, maka kulit dan daging dihukumi suci tergantung bagaimana cara penyembelihannya. Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj mengatakan :

والشعر المشكوك في انتتافه من مأكول بأن الأصل في الشعر الطهارة وفي اللحم عدم التذكية اهـ. ومن المعلوم أن الجلد كاللحم؛ لأن طهارة كل منهما وحل تناوله متوقف على التذكية فعند الشك فيها الأصل عدمه فتبين ما في كلام الشارح.

Bulu hewan yang boleh dimakan yang diragukan pencabutan bulunya hukum asalnya adalah suci. Sedangkan daging hukumnya seperti daging dari hewan yang tidak disembelih. Dan dapat diketahui bahwa kulit dihukumi seperti daging. Karena keduanya dapat menjadi suci dan halal dimakan tergantung pada penyembelihannya. Apabila diragukan penyembelihannya maka hukumnya sesuai asalnya yaitu tidak adanya penyembelihan. Sehingga perkataaan pen-syarah telah menjadi jelas”. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz 1, Hal : 308).

Kemudian yang kedua, jika kulit hewan belum diketahui asal-usulnya maka terdapat dua pendapat yakni dilarang dan dibolehkan. Adapun jika kulit hewan disamakan dengan bulu maka salah satu dari khilafiyah mengatakan dibolehkan, sehingga dapat dihukumi suci. Imam Mawardi dalam kitab al-Hawi al Kabir mengatakan :

وَإِنْ شَكَّ فَلَمْ يَعْلَمْ أَمِنْ شَعْرِ مَأْكُولٍ أَوْ غَيْرِ مَأْكُولٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي أُصُولِ الْأَشْيَاءِ هَلْ هِيَ عَلَى الْحَظْرِ أَوْ عَلَى الْإِبَاحَةِ : إِنَّ الْأَشْيَاءَ فِي أُصُولِهَا عَلَى الْحَظْرِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ نَجِسًا ، وَإِنْ قِيلَ . إِنَّهَا عَلَى الْإِبَاحَةِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ طَاهِرًا

Apabila ragu dan tidak diketahui apakah bulu hewan itu berasal dari hewan yang boleh dimakan atau tidak maka terdapat dua pendapat menurut golongan kita (Syafiiyyah) dalam asalnya segala sesuatu, apakah termasuk dalam sesuatu yang dilarang atau diperbolehkan. Jika hukum asal dari sesuatu itu larangan maka bulu tersebut dihukumi najis, dan jika dikatakan hukum asal dari segala sesuatu itu boleh maka bulu tersebut dihukumi suci”. (Kitab al-Hawi al-Kabir, Juz 1, Hal :102)

Jodohku Masih Dipegang

Pagi itu Supri masih seperti hari-hari biasanya. Berselimut sarung, siap-siap tidur di pojok mushala setelah shalat subuh berjamaah.  

Pak Jumadi pun menghampiri pemuda yang sudah berumur namun masih jomblo dan belum punya pekerjaan tetap itu.

Pak Jumadi: “Pri, mau tidur lagi ya?”

Supri: “Iya pak, masih ngantuk.” (sambil menarik lipatan karpet yang selalu ia jadikan bantal)

Pak Jumadi: “Mbok ya beraktifitas sana. Kerja biar kaya, banyak duit dapet istri cantik.”

Supri: “Sebenarnya aku tinggal ambil saja rezeki sama jodohku, pak. Tapi masih dipegang yang lain.”

Pak Jumadi: “Dipegang siapa, Pri?”

Supri: “Dipegang Tuhan, Pak. Jodoh dan rezeki kan di tangan Tuhan. Nggak enak mau ngambilnya. Nunggu diserahkan saja.”

Oleh: Tim Redaksi
Sumber & Picture: nu.or.id

Berkah Memijit Mbah Ma’shum Lasem

Sambil memijiti Mbah Ma’shum (Kiai Ma’shum Lasem), sang santri melepaskan pandangannya ke berbagai sudut kamar. Lama dia memandangi apa saja yang nampak di matanya. Dibiarkannya Mbah Ma’shum tidur dalam pijitannya.

Sampai pada satu kesimpulan, yang hanya bisa diungkapkannya dalam hati; jika memang Mbah Ma’shum kiai besar, kenapa tidak ada kitab-kitab yang berjilid-jilid di ndalem atau di kamarnya? Kenapa juga Mbah Ma’shum tidak pernah atau tidak sering terlihat pakai serban yang melilit-lilit kepalanya? Bahkan, kenapa pula Mbah Ma’shum tidak pernah terlihat berdzikir dalam waktu yang lama.

Tapi, itu ungkapan atau pertanyaan yang hanya ada di dalam hati sang santri. Walau sudah tahun ketiga khidmah kepada Mbah Ma’shum, dia menyadari, sang santri tidak patut mempertanyakan hal itu kepada Sang Kiai. Bahkan sekalipun di dalam hati.

Saat benak dan pikiran sang santri masih kemana-mana, Mbah Ma’shum menggeliat dan langsung memberikan dawuh;

“Ri…, semua kitab-kitabku itu dibawa Ali (Ali Ma’shum Krapyak, Yogja). Jadi kiai itu tidak harus pakai serban, juga tidak harus berdzikir lama. Saya punya toriqoh tersendiri, yaitu hubbul fuqoro’ wal masàkìn”. Dan dawuh-dawuh seterusnya.

Baca: KH. M. Munawwir Dan Sajadah

Sang Santri pun terperanjat sebab ungkapan hatinya dijawab langsung oleh beliau. Walaupun sudah 3 tahun tinggal di Al-Hidayat Lasem, Sang Santri belum mengetahui konsep Al-‘Arif Billàh. Konsep itu, seperti yang sang santri ceritakan kepada saya 10 tahun lalu, dipelajari setelah momen itu dan momen memijit selanjutnya selama 4 tahun–total sang santri khidmah dan tinggal selama 7 tahun.

Selama di Al-Hidayat Lasem itu sang santri bertemu dan bersahabat dengan abah saya, 50 tahun lalu. Kemudian sang santri tadi mendirikan Pondok Pesantren Al-Hidayat di desa Gerning, Kec Tegineneng, (nama diambil sebagai Tabarrukan Mbah Ma’shum Lasem) di Pesawaran, Lampung.

KH. Abrori Akwan, nama santri itu, mengabdikan diri kepada umat hingga wafat. Kini pesantren itu dilanjutkan oleh putranya, KH. Ma’shum Abrori bersaudara.

Semua sudah tiada.

لهم الفاتحة

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by laduni.id

Santri Dan Polisi

Seorang santri ditugaskan oleh Kyainya untuk menjemputnya di Desa sebelah yang sedang melakukan pengajian rutin. Sudah menjadi hal lumrah bahwa di daerah pedesaan tak ada polisi, jadi santri itu tidak memakai helm untuk menjemput Pak Kyai.

Motor pun berangkat menuju tempat Sang Kyai berada, ditengah perjalanan ada beberapa motor yang berhenti. Santri itu mendekatinya dan ternyata itu adalah operasi dari polisi, santri tadi tidak bisa kembali karena sudah terlanjur tertangkap.

Polisi: Mana helm mu?

Santri: Eee, gak bawa pak.

Polisi: Kenapa gak bawa?

Santri: Kan biasanya gak ada polisi disini pak.

Polisi: Tunjukkan STNK mu!

Santri: Luu, lupa kebawa pak.

Polisi: Oh begitu, Kamu saya tilang!

Santri: Tapi pak, ini motor Kyai saya pak (dengan wajah memelas).

Mendengar kata Kyai dan melihat bocah sarungan itu, polisi berfikir bahwa itu adalah santri dari Pak Kyai.

Baca: Pandangan Medis Tentang Air

Polisi: Oke, kamu tidak saya tilang, tapi berdamai.

Santri: Saya gak punya uang banyak pak.

Polisi: Lalu, berapa yang kamu punya?

Santri: 30 Ribu pak.

Polisi: Kalau begitu belikan rokok Dji Samsu 1 bungkus di toko itu (sambil menunjukkan sebuah toko).

Santri: Beneran pak? tanya sang santri

Polisi: Iya, buruan sebelum berubah pikiran.

Santri mulai melangkahkan kakinya  ke toko yang di tunjukkan oleh pak polisi, namun siapa sangka, santri tersebut sedang mengakali pak polisi.

Santri: Buuu…beli rokok.

Penjual: Rokok apa nduk?

Santri: Dji samsu 3 bungkus bu.

Penjual lalu mengambilkan rokok yang diinginkan oleh sang santri.

Penjual: Ini nduk.

Santri: Uangnya di pak polisi itu ya bu (sambil menunjukkan pak polisi).

Penjual: Yang bener nduk?

Awalnya penjual ragu apa yang di ucapkan oleh sang santri.

Santri: Paaaaak…(berteriak), rokok ini kan? 

Pak polisi mengangkat jempolnya pertanda setuju.

Penjual: Oh, iya nduk, kebetulan bapak itu sering ngopi disini.

Akhirnya penjual itu percaya ucapan santri tadi.

Santri: Ini pak rokoknya (menyerahkan rokok).

Polisi: Kok banyak bener, tadi kan saya minta 1 bungkus

(polisi terheran-heran).

Santri: Iya pak, saya ingat tadi ada uang yang keselip di kantong,  jadi bisa nambahin, ndak papa pak itu buat samean.

Polisi: Oh iya, makasih.

Polisi bahagia melihat rokok yang begitu banyak itu.

Santri itu akhirnya diizinkan untuk pergi, dalam hatinya santri bahagia penuh kemenangan, sekali-kali jahilin orang kan ndak papa ya, begitu pikir santri. Setelah selesai dalam tugasnya, pak polisi itu berdiam sejenak melepas lelah dan memesan kopi di toko tadi.

Baca: Antara WC dan Semedi

Tiba saatnya melakukan pembayaran.

Polisi: Berapa semuanya bu?

Penjual: 60 ribu

Polisi: Haaaaah? Apa saya tidak salah dengar, saya hanya mesan kopi saja bu.

Penjual: Loh, tadi kan kamu juga beli rokok.

Polisi: Rokok yang mana?

Penjual: Itu (sambil menunjuk ke arah rokok 3 pak itu).

Polisi: Sialan tuh anak, awas ketemu lagi.

Itulah kisah lucu santri ditilang polisi, kisah ini hanya sebagai hiburan belaka, tak ada maksud untuk menjelekkan kedua belah pihak, dan perlu di ingat adegan di atas jangan di tiru.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bincangsantri.blogspot.com

Picture by walpaperlist.com

Kisah Humor 3 Santri Melamar Anak Kyai

Pada suatu malam ada tiga orang santri yang datang sowan ke rumah seorang Kyai. Mereka mempunyai hajat yang sama, yaitu hendak melamar anak gadis Pak Kyai.

”Siapa namamu?” tanya Pak Yai kepada kang santri pertama.

“Anas, Yai.” jawab kang santri pertama

“Namamu bagus itu. Maksud kedatangan?” tanya Pak Yai

“Mau melamar putri njenengan, Yai” jawab kang santri pertama

“Oh iya? Kalau gitu saya tes dulu ya…coba kamu baca surat an-Nas sesuai dengan namamu.” perintah Pak Yai

“Baik, Yai….” jawab kang santri pertama

Lalu dia membaca surat an-Nas dengan lancar. Pak Yai manggut-manggut.

Baca: Kisah Supri Sebelum Boyong

“Kamu…siapa namamu?” Pak Yai menatap kang santri kedua

” Thoriq, Yai.” jawab kang santri kedua

“Hmm…nama yang bagus. Sekarang tesnya sama ya, kamu baca surat at-Thoriq.”

“Baik Yai…” jawab kang santri kedua

Lalu kang santri kedua itu pun membaca surat at-Thoriq dengan lancar. Pak Yai manggut-manggut sambil menatap kang santri ketiga yang tampak pucat.

“Nah, kamu! Siapa namamu?” tanya Pak Yai

Kang santri ketiga berkeringat dingin, dengan gemetar dia menjawab:

“Imron Yai…tapi biasa dipanggil Qulhu.” jawab kang santri ketiga

“Hah?!!” Pak Yai terkejut

Oleh: Taufik Ilham

Picture by mojok.co

Kisah Supri Sebelum Boyong

Sebelum Supri di izinkan boyong, Kyai memberinya satu ujian untuk membuktikan bahwa Supri benar-benar sudah matang ilmunya dan siap menghadapi kehidupan diluar Pesantren.

“Sebelum kamu pulang, dalam tiga hari ini coba tolong kamu carikan seorang ataupun makhluk yang lebih hina dan buruk darimu.” pinta sang Kyai

“Tiga hari itu terlalu lama Yai, hari ini aku bisa menemukan banyak orang atau makhluk yang lebih buruk daripada saya.” jawab Supri dengan percaya diri

Sang Kyai tersenyum seraya mempersilahkan muridnya membawa seorang ataupun makhluk itu kehadapannya. Supri keluar dari ruangan Yai dengan semangat.

”Hmm…ujian yang sangat gampang!” mbatin Supri

Hari itu juga, Supri berjalan menyusuri jalanan ibu kota. Di tengah jalan, Supri menemukan seorang pemabuk berat. Menurut pemilik warung yang dijumpainya orang tersebut selalu mabuk-mabukan setiap hari. Pikiran Supri sedikit tenang, dalam hatinya berkata :

“Nah ini…pasti dia orang yang lebih buruk dariku, setiap hari dia habiskan hanya untuk mabuk-mabukan, sementara aku selalu rajin beribadah.” ujar Supri dengan bangga

Dalam perjalanan pulang Supri kembali berpikir :

“Sepertinya si pemabuk itu belum tentu lebih buruk dariku, sekarang dia mabuk-mabukan tapi siapa yang tahu di akhir hayatnya Allah justru mendatangkan hidayah hingga dia bisa Husnul Khotimah, sedangkan aku yang sekarang rajin beribadah kalau diakhir hayatku Allah justru menghendaki Suúl Khotimah, bagaimana?”

“Hmm… berarti pemabuk itu belum tentu lebih jelek dariku.” Supri bimbang

Supri kemudian kembali melanjutkan perjalanannya mencari orang atau makhluk yang lebih buruk darinya. Di tengah perjalanan Supri menemukan seekor anjing yang menjijikkan karena selain bulunya kusut dan bau, anjing tersebut juga menderita kudisan.

“Akhirnya ketemu juga makhluk yang lebih jelek dariku, anjing tidak hanya haram, tapi juga kudisan dan menjijikkan.” teriak Supri dengan girang

Dengan menggunakan karung beras, Supri membungkus anjing tersebut hendak dibawa ke Pesantren, namun ditengah perjalanan pulang tiba-tiba Supri kembali berpikir :

“Anjing ini memang buruk rupa dan kudisan, namun benarkah dia lebih buruk dariku?”

“Kalau anjing ini mati maka dia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya di dunia, sedangkan aku harus memper-tanggungjawabkan semua perbuatan selama di dunia dan bisa jadi aku akan masuk ke neraka.” Supri mbatin lagi

Akhirnya Supri menyadari bahwa dirinya belum tentu lebih baik dari anjing tersebut.

Hari semakin sore Supri masih mencoba kembali mencari orang atau makluk yang lebih jelek darinya. Namun hingga malam tiba Supri tak juga menemukannya. Lama sekali Supri berpikir, hingga akhirnya Supri memutuskan untuk pulang ke Pesantren dan menemui sang Kyai.

“Bagaimana? Apakah kamu sudah menemukannya?” tanya sang Kyai.

“Sudah, Yai,” jawab Supri tertunduk.

“Ternyata diantara orang atau makluk yang menurut saya sangat buruk, saya tetap paling buruk dari mereka,” jawab Supri lirih

Mendengar jawaban sang murid, Kyai tersenyum lega.

Kemudian Kyai berkata kepada Supri :

“Selama kita hidup di dunia jangan pernah bersikap sombong dan merasa lebih baik atau mulia dari orang ataupun makhluk lain. Kita tidak pernah tahu bagaimana akhir hidup yang akan kita jalani. Bisa jadi sekarang kita baik dan mulia, tapi diakhir hayat justru menjadi makhluk yang seburuk-buruknya. Bisa jadi pula sekarang kita beriman, tapi di akhir hayat setan berhasil memalingkan wajah kita hingga melupakan-Nya.”

Oleh : Tim Redaksi

Picture by rumahtahfidzrahmatplg.com