Keutamaan Shalat Berjamaah Shaf Paling Belakang

Kanjeng Nabi Muhammad SAW banyak menjelaskan tentang pentingnya shalat di shaf paling depan, juga fadhilah-fadhilah shaf paling depan. Karena hal tersebut untuk menambah keyakinan dan memacu semangat seorang hamba dalam berlomba-lomba melakukan kebajikan. Apabila seorang hamba mengetahui keutamaan shalat di shaf paling depan pasti mereka rela untuk berebut undian mendapatkannya. Tapi ada seorang sahabat yang memilih berada di bagian shaf paling belakang padahal ia bisa saja menempati shaf paling depan, ia pun mengerti seberapa besar keutamaan dan pahala yang terkandung di dalamnya.

Suatu ketika sahabat Sa’id bin Amir hendak melaksanakan shalat berjamaah, namun terlebih dahulu menemui Abi Darda’ untuk berangkat bersama-sama. Setelah iqomat dikumandangkan para sahabat mulai berebut shaf dibagian paling depan, namun Abi Darda’ tidak bergerak sama sekali justru malah melangkahkan kakinya ke belakang di bagian shaf paling akhir. Melihat hal tersebut Sa’id Bin Amir terkejut dan ketika shalat sudah selesai dilaksanakan sahabat Sa’id Bin Amir memberanikan diri untuk bertanya kepada Abi Darda’.

Baca: Definisi Makan al-Shalat (Tempat Shalat)

“Bukankah engkau sudah mengetahui akan shaf yang paling utama adalah shaf yang pertama wahai Abu Darda’?” tanya sahabat Sa’id

“Ya, saya mengetahuinya. Akan tetapi perlu kamu ketahui bahwa umat ini adalah umat yang paling dikasihi dan lebih dilihat oleh Allah dari pada umat-umat yang lain. Ketika shalat Allah akan melihatnya dan akan mengampuni orang itu beserta orang-orang yang berada di belakangnya dan alasan saya berada di shaf paling belakang karena saya berharap Allah mengampuni dosa saya lantaran orang-orang yang berada di depan saya.”

Yang perlu menjadi catatan bahwasanya ada beberapa catatan yang sangat mendasar mengenai motif perbuatan sahabat ketika menempati shaf paling akhir dengan fenomena yang sering terjadi dengan kita yakni dengan sengaja menempati shaf paling belakang. Pertama terkait niat, para sahabat mempunyai niat yang baik dan berdasar. Mereka tidak asal-asalan ketika melakukan hal tersebut, berbeda dengan sebagian dari kita yang sengaja memilih shaf paling belakang dengan tujuan supaya bisa langsung dengan mudah pergi ketika meninggalkan masjid ketika shalat selesai. Yang kedua yaitu meskipun menempati shaf akhir para sahabat telah datang di tempat jamaah jauh sebelum iqomat dikumandangkan, berbeda dengan kita yang kebanyakan (tidak semuanya) malah baru datang ketika shalat sudah berjalan bahkan ada yang menunggu hingga lafadz Amin dikumandangkan oleh jamaah.

Baca: Anggota Sujud Dalam Shalat

Dapat disimpulkan bahwa telat ketika shalat jamaah tanpa adanya udzur syar’i merupakan tindakan yang kurang pantas karena sudah hilang kesempatan mendapatkan fadhilah ataupun keutamaan menempati shaf bagian pertama yang sangat dianjurkan oleh Kanjeng Nabi. Namun apabila terpaksa harus terlambat ketika shalat berjamaah dan harus menempati shaf bagian belakang karena udzur syar’i maka alangkah baiknya jika meniru niat para sahabat. Paling tidak dengan niat baik kita bisa mendapatkan fadhilah dan pahala yang besar dengan keterbatasan kita. Abu Nashr Bisyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan bahwasanya “Yang Dikehendaki dalam shalat adalah dekatnya hati bukan dekatnya jasad”.

Oleh: Taufik Ilham

Picture by kalem.id

Lima Hal Yang Akan Dihadapi Di Akhirat

Pada saat pengajianKitab Minhajul Abidin (9/12) yang diampu oleh pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L yakni K.H Muhammad Munawwar Ahmad menjelaskan tentang “Mengingat Janji Dan Ancaman-Nya Pada Hari Pembalasan” yang dimaksud dengan janji disini ialah janji pahala dan balasan yang baik, janji ini diberikan kepada orang-orang yang berjalan diatas kebenaran. Dalam konteks ini akan dijelaskan secara singkat lima hal yang akan dihadapi seorang hamba di akhirat kelak, yaitu:

1. Kematian

            Terkait dengan kematian ada sebuah kisah yang menceritakan seorang murid Fudhail bin ‘Iyadh yang sedang mengalami sakaratul maut lalu Fudhail menjenguknya dan duduk di sisi kepalanya dengan membacakan surah Yasin.

Tapi si murid berkata, “Wahai Ustadz, jangan membcaca itu.”

Fudhail pun terdiam lalu mentalqinkan kepadanya kalimat laa ilaaha illallaah.

Namun muridnya itu berkata, “Aku tidak akan mengucapkannya, sebab aku berlepas diri darinya.”

Akhirnya si murid mati dalam keadaan su’ul khatimah, meskipun dia murid Fudhail seorang ulama besar yang dikenal sangat zuhud.

Sepulangnya ke rumah Fudhail menangisi kejadian selama 40 hari dan selama waktu itu dia tidak keluar dari kamarnya, kemudian dalam tidurnya Fudhail bermimpi melihat muridnya itu sedang diseret ke Neraka Jahanam. Kemudian Fudhail bertanya, “Apa sebabnya Allah mencabut makrifat dari hatimu, padahal engkau sebelumnya muridku yang  paling pandai?”

Muridnya pun menjawab, “Itu karena 3 hal. Pertama, karena aku suka mengadu domba (namimah). Kedua, karena aku dengki (hasad) pada sahabat-sahabatku. Ketiga, aku pernah sakit dan saat itu aku pergi ke seorang tabib untuk mengobati penyakitku itu dan ia menyuruhku minum satu mangkuk khamar secara rutin. kalau tidak maka penyakitku itu tak akan sembuh. Lalu aku pun meminum sesuai anjurannya.”

Baca : Sebagian Tanda Dari Kematian

2. Alam Kubur

Adapun tentang alam kubur dan keadaan setelah mati maka ingatlah sebuah cerita yang mana salah satunya dituturkan oleh seorang saleh, yang bermimpi dengan Sufyan ats-Tsauri, setelah ulama besar itu meninggal dunia.

Dalam mimpinya orang saleh itu bertanya kepada Sufyan, “Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Abdullah?”

Tapi Sufyan berpaling darinya, lalu berkata, “Ini bukan masanya lagi memanggil dengan nama panggilan itu (maksudnya panggil ‘Abu’-Ed).”

Aku pun meralat pertanyaanku, “Bagaimana keadaanmu wahai Sufyan?”

Sufyan ats-Tsauri menjawab dalam bait syair berikut ini.

Aku melihat kepada Rabbku dengan mataku, maka Dia berfirman kepadaku:

Bersenang-senanglah dengan keridhaan-Ku terhadapmu wahai Abu Sa’id.

Engkau bangun ketika malam telah gelap,

Dengan air mata kerinduan dan hati yang engkau mau,

Dan kunjungi Aku karena aku tidak jauh darimu.”

3. Hari Kiamat

Ketika seseorang dikeluarkan dari kuburnya tiba-tiba ia mendapati kendaraan buraq berada di atas kuburannya dan dibagian atas buraq itu terdapat mahkota dan sejumlah perhiasaan. Lalu ia memakai perhiasan itu dan menaiki buraq menuju surga yang penuh kenikmatan, karena kemuliaannya ia tidak dibiarkan berjalan kaki menuju surga. Sedangkan yang lainnya ketika dikeluarkan dari kuburnya ia mendapati para malaikat Zabaniah, rantai dan belenggu yang disediakan untuk mereka. Para malaikat tidak membiarkan orang celaka itu berjalan kaki ke neraka namun diseret dari atas ubun-ubunnya ke neraka yang menyeramkan.

4. Surga dan Neraka

Adapun tentang surga dan neraka maka renungkanlah tentang keduanya pada dua ayat Kitabullah (al-insaan:21-22) dan (al-Mu’minuun: 107-108). Dalam sebuah riwayat diungkapkan bahwa pada waktu itu para penghuni neraka menjadi anjing-anjing yang menyalak-nyalak di dalam neraka.

Yahya bin Mu’adz ar-Razi berkata,

“Kita tidak tahu mana yang lebih besar di antara dua musibah ini: terlepasnya surga dari tangan kita atau dimasukannya ke dalam neraka. Adapun surga kita tidak tahan untuk segera memasukinya. Sedangkan api neraka kita tidak tahan jika harus mendekat (apalagi dimasukkan) ke dalamnya.”

Seseorang menerangkan kepada Imam Hasan al-Bashri, bahwa orang yang terakhir keluar dari api neraka adalah seorang lelaki bernama Hunad. Dia telah disiksa selama seribu tahun. Saat keluar dari neraka berseru, “Ya Hannan, ya Mannan ( Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Memberi Karunia).”

Hasan kemudian menangis dan mengatakan, “Semoga saja aku menjadi seperti Hunad itu.”

Orang-orang pun heran mendengar ucapan Hasan itu, tapi ia segera membalasnya, “Celaka kalian! Bukankah ia akan keluar pada suatu hari?”

5. Risiko Tercabutnya Iman

Dari semua perkara yang telah dijelaskan sebelumnya itu akhirnya akan kembali kepada satu poin penting yakni “Resiko tercabutnya dari karunia iman.” Iman merupakan poin yang bisa mematahkan punggung dan membuat muka menjadi pucat, menghancurkan hati, menghentikan detak jantung, yang mengalirkan air mata darah dari para hamba. Inilah akhir yang paling ditakuti oleh orang yang takut yang ditangisi oleh mata orang-orang yang menangis.

Baca : Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Beberapa wali Allah menjelaskan bahwa kesedihan itu ada tiga macam:

  1. Sedih terhadap ibadah yang dia lakukan apakah akan diterima atau tidak oleh Allah
  2. Sedih terhadap dosa yang ia lakukan apakah akan diampuni atau tidak.
  3. Sedih memikirkan kalau iman makrifat dicabut darinya.

Sementara itu, orang-orang yang mukhlis berkata:

“Pada hakikatnya semua kesedihan itu satu, yaitu sedih memikirkan resiko tercabutnya iman atau makrifat. Sedang semua bentuk kesedihan lainnya, rasa cemas dan kekhawatiran tidak signifikan dibanding dengan kehilangan iman.”

Oleh : Tim Redaksi

Sumber: Kitab Minhajul Abidin

Picture by syahida.com

Kisah Supri Sebelum Boyong

Sebelum Supri di izinkan boyong, Kyai memberinya satu ujian untuk membuktikan bahwa Supri benar-benar sudah matang ilmunya dan siap menghadapi kehidupan diluar Pesantren.

“Sebelum kamu pulang, dalam tiga hari ini coba tolong kamu carikan seorang ataupun makhluk yang lebih hina dan buruk darimu.” pinta sang Kyai

“Tiga hari itu terlalu lama Yai, hari ini aku bisa menemukan banyak orang atau makhluk yang lebih buruk daripada saya.” jawab Supri dengan percaya diri

Sang Kyai tersenyum seraya mempersilahkan muridnya membawa seorang ataupun makhluk itu kehadapannya. Supri keluar dari ruangan Yai dengan semangat.

”Hmm…ujian yang sangat gampang!” mbatin Supri

Hari itu juga, Supri berjalan menyusuri jalanan ibu kota. Di tengah jalan, Supri menemukan seorang pemabuk berat. Menurut pemilik warung yang dijumpainya orang tersebut selalu mabuk-mabukan setiap hari. Pikiran Supri sedikit tenang, dalam hatinya berkata :

“Nah ini…pasti dia orang yang lebih buruk dariku, setiap hari dia habiskan hanya untuk mabuk-mabukan, sementara aku selalu rajin beribadah.” ujar Supri dengan bangga

Dalam perjalanan pulang Supri kembali berpikir :

“Sepertinya si pemabuk itu belum tentu lebih buruk dariku, sekarang dia mabuk-mabukan tapi siapa yang tahu di akhir hayatnya Allah justru mendatangkan hidayah hingga dia bisa Husnul Khotimah, sedangkan aku yang sekarang rajin beribadah kalau diakhir hayatku Allah justru menghendaki Suúl Khotimah, bagaimana?”

“Hmm… berarti pemabuk itu belum tentu lebih jelek dariku.” Supri bimbang

Supri kemudian kembali melanjutkan perjalanannya mencari orang atau makhluk yang lebih buruk darinya. Di tengah perjalanan Supri menemukan seekor anjing yang menjijikkan karena selain bulunya kusut dan bau, anjing tersebut juga menderita kudisan.

“Akhirnya ketemu juga makhluk yang lebih jelek dariku, anjing tidak hanya haram, tapi juga kudisan dan menjijikkan.” teriak Supri dengan girang

Dengan menggunakan karung beras, Supri membungkus anjing tersebut hendak dibawa ke Pesantren, namun ditengah perjalanan pulang tiba-tiba Supri kembali berpikir :

“Anjing ini memang buruk rupa dan kudisan, namun benarkah dia lebih buruk dariku?”

“Kalau anjing ini mati maka dia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya di dunia, sedangkan aku harus memper-tanggungjawabkan semua perbuatan selama di dunia dan bisa jadi aku akan masuk ke neraka.” Supri mbatin lagi

Akhirnya Supri menyadari bahwa dirinya belum tentu lebih baik dari anjing tersebut.

Hari semakin sore Supri masih mencoba kembali mencari orang atau makluk yang lebih jelek darinya. Namun hingga malam tiba Supri tak juga menemukannya. Lama sekali Supri berpikir, hingga akhirnya Supri memutuskan untuk pulang ke Pesantren dan menemui sang Kyai.

“Bagaimana? Apakah kamu sudah menemukannya?” tanya sang Kyai.

“Sudah, Yai,” jawab Supri tertunduk.

“Ternyata diantara orang atau makluk yang menurut saya sangat buruk, saya tetap paling buruk dari mereka,” jawab Supri lirih

Mendengar jawaban sang murid, Kyai tersenyum lega.

Kemudian Kyai berkata kepada Supri :

“Selama kita hidup di dunia jangan pernah bersikap sombong dan merasa lebih baik atau mulia dari orang ataupun makhluk lain. Kita tidak pernah tahu bagaimana akhir hidup yang akan kita jalani. Bisa jadi sekarang kita baik dan mulia, tapi diakhir hayat justru menjadi makhluk yang seburuk-buruknya. Bisa jadi pula sekarang kita beriman, tapi di akhir hayat setan berhasil memalingkan wajah kita hingga melupakan-Nya.”

Oleh : Tim Redaksi

Picture by rumahtahfidzrahmatplg.com

Jangan Berdebat Dengan Orang Bodoh

Kita hidup di dunia yang mana di isi oleh berbagai macam manusia, mulai dari agama yang berbeda, ideologi yang berbeda, ras, suku, bahasa, paham dan lain sebagainya. Kita juga dianugerahkan akal yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta untuk bisa tetap survive ketika menjalani kehidupan, untuk berfikir bagaimana cara berkomunikasi, dan untuk melanjutkan hidup dengan sesama manusia dan juga alam. Dari situlah kita senantiasa berhubungan dengan orang lain, untuk kelangsungan hidup di dunia.

Tak jarang atau mungkin sering kita menjumpai perbedaan-perbedaan tersebut menyulut adanya perbedaan pendapat dan berujung kepada perdebatan. Setiap manusia pada dasarnya memiliki yang namanya Gharizah Baqa’ atau biasa kita sebut sebagai naluri untuk mempertahankan diri. Seringkali saat kita bertentangan dengan pihak tertentu, maka naluri tersebut akan menguasai diri. Naluri agar harga diri tidak jatuh dan menjadi lebih unggul atas orang lain.

Dikisahkan, suatu hari Ibnu Sina melakukan perjalanan dengan kuda kesayangannya. Kemudian tiba tempat yang dirasa nyaman, Ibnu Sina berhenti beristirahat. Kuda diikat ditempat yang sedikit teduh, diberi makanan jerami dicampur rumput pilihan. Ibnu Sina tahu bahwasanya binatang itu tidak boleh dimusuhi bahkan disiksa harus disayang karena membantu manusia.

Ibnu Sina duduk di tempat lebih teduh tak jauh dari kuda, sambil menikmati bekal yang dibawanya.

Tiba-tiba datang seseorang yang menunggangi keledai, ia turun dan mengikat keledainya berdekatan dengan kuda milik Ibnu Sina dengan maksud supaya keledainya bisa ikut memakan jerami dan rumput pilihan yang sudah disediakan oleh Ibnu Sina tadi. Dan orang tersebut pun duduk dekat dengan Ibnu Sina berada.

Ketika ia duduk dan ikut makan, Ibnu Sina mengingatkan :

“Jauhkan keledaimu dari kudaku supaya tidak ditendang olehnya.”

Orang yang diajak bicara itu tersenyum sambil menoleh ke kuda dan keledai.

Namun kemudian… “Plakk…!”

Si keledai ditendang kuda hingga luka cidera. Pemilik keledai marah-marah kepada Ibnu Sina dan meminta tanggung jawabnya, Ibnu Sina diam saja. Sampai kemudian si pemilik keledai mendatangi hakim dan meminta agar Ibnu Sina membayar atas luka cidera keledainya. Saat ditanya oleh hakim pun Ibnu Sina terdiam.

Hakim kemudian berkata kepada orang yang mengadu :

“Apakah ia bisu ….. ?” tanya hakim

“Tidak, tadi ia bicara padaku.” orang itu menjawab

 “Apa yang ia katakan ….. ?” hakim bertanya lagi

 “Jauhkan keledaimu dari kudaku supaya tidak ditendang kudaku.” orang itu kembali menjawab

Setelah mendengar jawaban itu, sang hakim tersenyum dan berkata kepada Ibnu Sina:

“Anda ternyata pintar. Cukup diam dan kebenaran terungkap.”

Sambil tersenyum Ibnu Sina berkata kepada hakim:

“Tidak ada cara lain untuk menghadapi orang bodoh selain dengan diam.”

Dari cerita Ibnu Sina di atas menjelaskan bahwasanya perdebatan yang tidak jelas ujung-pangkalnya kita akan kehilangan banyak hal diantaranya adalah waktu yang berharga, energi, emosi dan lain sebagainya. Yang tak kalah penting adalah orang lain akan menilai kita dengan bagaimana kita sendiri. “Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam.” Namun berdebat tidak lah terlarang secara mutlak, karena terkadang untuk meluruskan sebuah syubhat memang harus dilalui dengan berdebat. Dan debat itu terkadang terpuji, terkadang tercela, terkadang membawa mafsadat (kerusakan), dan terkadang membawa mashlahat (kebaikan), terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan sesuatu yang bathil.

Oleh : Tim Redaksi

Picture by bincangsyariah.com

Wirid Ba’da Shalat

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌعَلَيْهِمَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكِمُ بِا لْمُؤْمِنِيْنَ رَؤُفٌ رَحِيْمٌ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللهُ لَآاِلهَ إِلاَّ هُوَعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ

Dibaca Setelah Shalat Maghrib dan Shalat Shubuh sebanyak 7 kali.

Diriwayatkan oleh KH. Ahmad Munawwir

Oleh : Tim Redaksi

Sumber : Al-Munawwiriyyah

Picture by almunawwir.com

Wejangan Simbah KH. Muhammad Munawwir

1. Simbah KH. Muhammad Munawwir berkata : Rajinlah membaca Surat Yasin 41X jikalau engkau bermaksud akan sesuatu, bacalah Surat Yasin.

2. Simbah KH. Muhammad Munawwir berkata : Kalau ada orang sakit, maka bacakanlah Surat Al-Fatihah 41X. Setiap sampai pada lafadz وَلاَالضَّالِّينَ  tiupkanlah kepada orang itu, mulai dari pucuk kepala sampai telapak kakinya. Kalau untuk menghadapi orang lalim, setiap sampai pada اِيّاَكَ نَسْتَعِيْنُ berdo’alah di dalam hati apa yang kamu inginkan, sehubungan dengan kelaliman orang itu.

3. Simbah KH. M. Munawwir berkata : Seyogyanya kamu menghadiahkan berkah Al-Fatihah kepada segenap muslimin yang masih hidup, lebih-lebih di waktu tertimpa mara bahaya atau berperangai buruk, barangkali dapat menjadi obatnya. Seperti guru saya KH. Kholil Bangkalan pernah berkata : Jika kamu menghadiahkan Al-Fatihah jangan hanya kepada muslimin yang sudah meninggal saja, tetapi juga yang masih hidup. Syukurlah jika kepadaku pula. Sebab Rasulullah bersabda :

عُدَّ نَفْسَكَ مِنْ اَهْلِ الْقُبُوْرِ  “Anggaplah dirimu termasuk ahli kubur”

Oleh : Tim Redaksi

Sumber : Al-Munawwiriyyah

Picture by ayomondok.net

Wirid Segala Hajat

1. Membaca Surah Fatihah 3 atau 7 atau 11 atau 21 atau 41 kali, ketika membaca ayat :

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيّاَكَ نَسْتَعِيْنُ

(Dibaca ulang sesuai hitungan) ayat ini diulang dengan dihayati dalam hati kandungan ayat dan hajat yang dikehendaki.

2. Membaca sholawat Nariyah 4444 kali

(Riwayat masyhuroh dari Simbah KH. Muhammad Munawwir)

3. Membaca Al-Fatihah dihadiahkan untuk baginda Nabi dan seluruh muslimin dan muslimat, lalu membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas, kemudian ditutup dengan membaca sholawat sebanyak-banyaknya.

(Dari H. Hilmy Muhammad dari KH. Zainal Abidin Munawwir)

Oleh : Tim Redaksi

Sumber Al-Munawwiriyyah

Picture by dalamislam.com

Kisah Seorang Wali : Doa Yang Sia-sia Karena Seorang Istri

Di dalam kitab Zaadul Masir fi Ilmi Tafsir karya Syekh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dikisahkan ada seorang wali yang istimewa. Di antara keistimewaannya, dia diberi tiga doa yang pasti dikabulkan oleh Allah Swt.

Suatu ketika istri sang wali mengetahui karamah suaminya. Sehingga istri minta didoakan oleh suaminya. Sebagai istri seorang ulama, permintaannya cukup unik. Bahkan bisa dibilang, harapan istrinya ini sama halnya dengan keinginan banyak perempuan. Yakni, dia ingin agar wajahnya menjadi cantik.

“Kang Mas, mohon mintakan kepada Allah agar wajahku menjadi cantik.” Pinta istri.

Wali tersebut mengiyakan permintaan istrinya. Lalu dia berdoa :

“Ya Allah, saya minta agar wajah istriku menjadi cantik.”

Beberapa saat kemudian istri ulama yang awalnya tak cantik ini seketika menjadi cantik jelita tanpa harus pergi ke salon kecantikan.

Sayangnya, setelah menjadi cantik, istri ulama ini menjadi menarik perhatian banyak laki-laki karena kecantikannya. Sampai suatu waktu dia ketahuan menjalin hubungan dengan lelaki lain.

Setelah mengetahui istrinya menjalin hubungan dengan lelaki lain, ulama tersebut marah. Kemudian dia berdoa kepada Allah agar istrinya wajahnya menjadi buruk rupa, lebih buruk dari sebelumnya.

“Ya Allah, ubahlah wajah istriku menjadi buruk rupa.”

Doa yang kedua ini terkabul langsung sehingga istrinya menjadi buruk rupanya.

Mengetahui dirinya menjadi buruk wajahnya, istri menyesali perbuatannya. Dia meminta maaf kepada suaminya. Kemudian dia minta didoakan agar kembali seperti semula.

Doa ketiga pun dipanjatkan. Istri kembali seperti sedia kala.

Akhirnya tiga doa yang dipanjatkan oleh wali tersebut menjadi sia-sia karena perbuatan istrinya.

Oleh : Tim Redaksi

Picture by senimannu.com

Kisah Juraij Dan Seorang Pelacur

Pada Saat pengajian Kitab Riyaddhus Sholihin terdapat sebuah cerita yang menarik yang mana kisah ini diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw. Bersabda:

“Hanya ada tiga bayi yang bisa bicara, yaitu Isa a.s., bayi pada masa Juraij (seorang ahli ibadah), dan seorang bayi lainnya.”

Kisah Nabi Isa a.s. telah diketahui secara luas. Sementara Juraij adalah seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang memiliki seorang ibu. Pada suatu hari ketika Juraij sedang shalat, sang ibu mengetuk pintu dan memanggilnya,

“Juraij!” Juraij kebingungan

“Tuhan, manakah yang lebih baik, melanjutkan shalat atau menjawab panggilan ibu?”

Juraij memutuskan untuk tetap melanjutkan shalatnya.

Sang ibu lalu memanggil untuk kedua kalinya, tetapi Juraij tetap melanjutkan shalatnya. Sampai panggilan ketiga, Juraij tetap kukuh melanjutkan shalatnya dan tidak menghiraukan panggilan ibunya.

Sang ibu marah, lalu berdoa:

“Ya Allah, jangan biarkan dia mati, sampai ia bertemu seorang pelacur.”

Di tempat Juraij tinggal, ada seorang pelacur yang berkata pada beberapa orang:

“Aku akan menggoda Juraij, sampai ia mau berzina denganku.”

Pelacur itu mendatangi Juraij tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa. Suatu malam, seorang penggembala beristirahat di gubugnya. Ketika lelah, pelacur itu merayu penggembala, dan terjadilah perzinaan antara keduanya.

Pelacur itu kemudian melahirkan seorang bayi dan mengaku: “Ini anak Juraij.”

Bani Israil lalu mendatangi Juraij, menghancurkan rumahnya dan mencaci-makinya. Kemudian Juraij shalat dan memanjatkan doa, hingga bergeraklah bayi itu.

Abu Hurairah berkata:

“Sepertinya aku melihat Nabi Saw. Bercerita dengan mengacungkan tangan ketika beliau berkata: “Hai bocah, siapa ayahmu?”

Bayi itu menjawab: “Penggembala itu.”

Akhirnya Bani Israil menyesali perbuatan mereka terhadap Juraij dan mengucapkan janji:

“Kami akan membangun rumahmu dari emas atau perak.”

Akan tetapi Juraij menolak tawaran mereka dan membangun rumahnya seperti semula.

Bayi lain yang bisa bicara adalah seorang bayi yang sedang menyusu kepada ibunya. Lalu lewatlah seorang pemuda tampan berparas elok. Sang ibu berdoa:

“Ya Allah, jadikan anakku seperti dia.” Kemudian bayi itu menyahut:

“Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia.”

Lewat lagi seorang perempuan yang diisukan sebagai pencuri, pezina, dan residivis.

Sang ibu berdoa: “Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dia.”

Bayi itu menimpali, “Ya Allah, jadikan aku seperti dia.”

Sang ibu bertanya-tanya tentang celoteh anaknya.

Si bayi berkata: “Pemuda itu orang yang suka bertindak sewenang-wenang, aku tidak ingin jadi seperti dia. Sementara perempuan yang diisukan sebagai pelacur itu bukanlah seorang pelacur, ia diisukan sebagai seorang pencuri, padahal ia bukan pencuri, dan ia hanya berkata:

“Cukuplah Allah sebagai pelindungku.”

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah Juraij di atas dan menjadikannya sebagai pelajaran bahwasanya keutamaan orang yang berilmu lebih utama dibandingkan dengan orang yang ahli ibadah tanpa ilmu dan bakti kepada orang tua adalah sebuah kewajiban termasuk memenuhi panggilannya.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Pengajian Kitab Riyadhus Sholihin

Picture by learnreligions.com

Obat Yang Sangat Pahit Di Dunia

Sifat sabar merupakan obat yang pahit dan minuman yang tidak disukai, namun berkah. Dengan sabar seorang hamba akan memperoleh banyak keuntungan dan terhindar dari segala mudharat. Dengan khasiat seperti itu orang yang berakal sehat pasti akan memaksa dirinya untuk meminum obat tersebut dan rela tahan dengan rasa pahitnya. Meyakini bahwasanya rasa pahit yang sebentar itu akan menghasilkan ketenangan jiwa selamanya.

Seorang yang sabar akan tetap selamat di dunia dari kebingungan, kegelisahan, kesal dan ratap tangis kesedihan. Juga selamat dari hukuman di akhirat kelak, sedangkan mereka yang menunjukan sikap lalai, gelisah dan tidak sabar maka akan lenyap seluruh manfaat sabar itu darinya dan akan menghadapi berbagai kerusakan dan kerugian. Apabila tidak bersabar dalam menghindari dosa maka akan terjatuh dalam perbuatan dosa dan apabila tidak mampu sabar dalam upaya menghindari perbuatan yang sia-sia dan berlebih-lebihan di dunia maka akan larut dalam perbuatan tersebut.

Gagal bersabar terhadap musibah yang menimpanya itu lebih parah akibatnya daripada derita yang disebabkan oleh akibat musibah itu sendiri. Maka apa untungnya melakukan sesuatu yang bisa melenyapkan apa yang telah berhasil diraih sementara yang lenyap itu kemudian tidak bisa kembali lagi? Berusahalah dengan sungguh-sungguh dan bilamana ada sesuatu yang terlepas dari genggaman jangan sampai yang lain turut terlepas pula.

Bagaimana pendapatnya terhadap orang tua yang sangat menyayangi anaknya dan memiliki harta banyak tapi ia mencegah anak tercintanya untuk makan kurma segar dan buah apel karena sang anak tengah menderita sakit mata. Orang tua tersebut juga menyerahkan anaknya kepada seorang guru yang keras juga tegas yang menghukum anak itu berdiri sepanjang hari di tempatnya apabila si anak melakukan kesalahan agar si anak tumbuh menjadi anak yang disiplin dan terdidik. Sang ayah juga membawa anaknya kepada tukang bekam hingga ia merasa sakit dan terguncang.

Apakah tindakan orang tua itu mencegah anaknya makan kurma dan apel itu didorong oleh sikap pelit? Dengan menyerahkan anaknya untuk dididik orang lain dan memberi kebebasan kepada gurunya itu untuk menghukum. Apakah orang tua tersebut mencelakakan anaknya? Padahal ia telah menyediakan apapun yang ia miliki untuk kebahagiaan anaknya. Apakah dengan itu ia bermaksud membuat anaknya lelah dan menyakitinya, karena marah kepadanya, sedangkan ia adalah anak kesayangannya dan belahan jiwanya? Tentu tidak demikian, orang tua itu melakukan demikian karena tahu bahwa itu yang terbaik bagi anaknya. Kelelahan yang sedikit itu akan membawa anaknya sampai kepada kebaikan yang banyak serta manfaat yang besar. Ia tak mau anaknya kelak tumbuh dengan membawa pengaruh negatif yang akibatnya juga akan sangat berat bagi tanggung jawabnya sebagai orang tua.

Oleh karena itu apabila Allah mengujimu dengan kesusahan maka yakinlah bahwasanya Dia sebenarnya tidak butuh untuk mengujimu dan mencobamu sebab Dia Maha Mengetahui keadaanmu, Maha Melihat kelemahanmu dan Dia Maha Lembut lagi Maha Penyayang terhadapmu. Jadi apabila kita melihat Allah mencegah kita memperoleh karunia dunia atau menimpakan banyak kesusahan dan musibah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kita disayangi oleh-Nya dan kita sedang berada pada derajat yang tinggi di sisi-Nya. Apabila kita mengalami kesulitan dan gelisah karena tak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan tetapkanlah hati kita untuk senang dan berterima kasih kepada Allah. Karena Allah sendiri yang menginginkan kebajikan dan kesejahteraan bagi kita, menambah pahala kita dan mengangkat kita pada kedudukan sebagai hamba pilihan dan terpuji.

Semoga Allah Ta’ala selalu memberikan pertolongan dengan anugerah dan karunia-Nya kepada kita semua.

Oleh : Taufik Ilham

Sumber : Kitab Minhajul Abidin

Picture by klikdokter.com