Sujud Sahwi merupakan sujud yang dilakukan (salah satunya karena) melupakan sunnah ab’adl dalam shalat. Sujud sahwi ini dilakukan sebelum salam dan dikerjakan dua kali sebagaimana sujud biasa. Adapun yang termasuk ke dalam sunnah ab’adl dalam shalat adalah membaca tasyahud awal, membaca shalawat pada tasyahud awal, membaca shalawat atas keluarga Nabi Saw pada tasyahud akhir, dan membaca qunut pada shalat Subuh serta shalat witir dalam pertengahan bulan Ramadhan.
Dalam kasus tertentu, terdapat misinterpretasi terkait konsep sujud sahwi. Contohnya, menganggap bahwa meninggalkan sunnah haiat juga berimbas kepada sujud sahwi. Hal ini apabila dilakukan dengan kesadaran penuh maka tidak diperbolehkan karena menambah gerakan shalat di luar rukun.
حاشية القليوبي ج ١ ص ٢٢٥
قَوْلُهُ: (وَلَا تَجْبُرُ سَائِرَ السُّنَنِ) فَلَوْ سَجَدَ لِشَيْءٍ مِنْهَا عَامِدًا عَالِمًا، بَطَلَتْ صَلَاتُهُ وَإِلَّا لَمْ تَبْطُلْ
“Apabila seseorang melakukan sujud sahwi dikarenakan meninggalkan selain sunnah ab’adl dengan mengetahui (konsep sujud sahwi) dan disengaja, maka shalatnya batal”. (Hasyiyah Al-Qalyubiy, juz 1, hal. 225).
Namun kalau dilakukan sebab kepolosan ilmu (jahl) musholli maka dapat dipertimbangkan dengan melihat kondisinya. Status jahl yang ma’dzur (dianggap sebagai udzur) berlaku bagi 2 golongan yang disebutkan dalam Nihayatul Muhtaj:
نهاية المحتاج الى شرح المنهاج ج٧ ص٤٦٢
(قَوْلُهُ: وَجَاهِلٌ مَعْذُورٌ بِجَهْلِهِ) أَيْ بِأَنْ قَرُبَ عَهْدُهُ بِالْإِسْلَامِ أَوْ نَشَأَ بَعِيدًا عَنْ الْعُلَمَاءِ.
“Orang yang ketidaktahuannya dapat dijadikan udzur adalah orang yang baru masuk Islam (masa keislamannya masih sangat dini) atau ia tinggal di tempat yang jauh dari para ulama (sehingga sulit baginya untuk belajar dan memahami hukum-hukum agama).” (Nihāyatul Muhtāj ‘ala Syarhil Minhaj, juz 7, hal. 462).
Sedangkan orang yang memiliki kesempatan untuk belajar (cth: santri di pondok) tidak memiliki alasan apabila tidak mengetahui hukum islam, terlebih hukum-hukum fikih yang sifatnya fundamental (basic). Dalam kitab Fatawa-nya, Imam Syihabbuddin Ar-Romli mengatakan:
(سُئِلَ) هَلْ تَارِكُ التَّعَلُّمِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ الْوَاقِعُ فِي مَعْصِيَةٍ آثِمٌ بِمَنْزِلَةِ تَرْكِ التَّعَلُّمِ وَارْتِكَابِ الْمَعْصِيَةِ أَمْ بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّ مَنْ تَرَكَ تَعَلُّمَ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ تَعَلُّمُهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ عَالِمًا بِوُجُوبِهِ آثِمٌ بِذَلِكَ فَإِنْ وَقَعَ بِسَبَبِ ذَلِكَ فِي مُحَرَّمٍ جَاهِلًا حُرْمَتَهُ لَمْ يَأْثَمْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْآثِمَ فِي الْفُرُوعِ الْمُحَرَّمَةِ شَرْطُهُ الْعِلْمُ بِالْحُرْمَةِ.
“Soal: Apakah orang yang meninggalkan kewajiban belajar ilmu agama (padahal mampu lalu jatuh dalam maksiat karena ketidaktahuannya) berdosa karena meninggalkan belajar dan bermaksiat, atau hanya karena meninggalkan belajar? Jawab: Barang siapa yang tidak mempelajari ilmu yang wajib baginya untuk dipelajari, padahal ia mampu dan mengetahui kewajibannya, maka ia berdosa. Jika kemudian ia terjatuh ke dalam hal yang diharamkan karena tidak tahu keharamannya, ia tidak berdosa atas perbuatan tersebut, karena dosa dalam perkara-perkara terlarang bergantung kepada pengetahuan tentang keharaman itu.” (Kitab Fatawa Ar-Ramli, juz 1, hal. 129).