Dua Sifat Al-Quran

Sidul memang suka resek kalau lapar. Barusaja datang ia menggebrak meja. “brakkk! Bro! Saya bawa gorengan dari pak Rt nih.. kayaknya enak yi, kalau ngajinya sambil nyemil”.

Setuju, Dul!” -jawab Ki ageng Margajul dibarengi sahutan dari jamaah.

“Ya, udahlah gas!” -ungkap Kiai Margajul.

ذالك الكتاب لا ريب فيه، هدى للمتقين

“Kitab (Al-Quran) ini, yang dibaca oleh Nabi Muhammad, tidak ada keraguan didalamnya. Benar-benar orisinil dari Tuhan. Dan menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa, orang yang dalam progres menaati perintah Allah dan menjauhi larangannya”

Kali ini yang baca adalah ki ageng Margajul langsung. Suaranya agak tua memang, tapi masih fasih. Pembacaan itu beliau lanjut dengan meneruskan bacaan dari tafsir Jalalain. Pada intinya kata beliau, ayat ini menyuguhkan kita tentang dua sifat Al-Quran, otentik dari Tuhan dan menjadi petunjuk orang bertakwa.

Baca: Keutamaan Dan Amalan Bulan Sya’ban

Dalam tafsir Sulaiman Ibnu Muqatil ada cerita mengenai asbab an-nuzul dari ayat ini. Suatu saat Rasul menjalankan misi dakwahnya kepada Ka’ab bin Asyraf dan Ka’ab bin Usaid. Namun bukan penerimaan yang baik yang diperoleh Rasul. Tetapi justru hinaan kepada beliau.

“Semua kitab yang diklaim diturunkan oleh Allah setelah zaman Musa semuanya palsu” -begitu ungkap mereka berdua.

Allah kemudian menurunkan ayat ini sebagai alat pendukung Nabi Muhamad dalam dakwahnya. Al-Qur’an ini memang benar-benar orisinil dari Allah. Lalu kenapa ada saja orang yang meragukan kebenaran Al-Quran, dengan menyatakan bahwa Qur’an adalah sihir, perdukunan, reruntuhan manuskrip umat terdahulu?

Dalam tafsir hasyiah As-Showi, syeikh Ahmad bin Muhamad As-Showi memberikan jawaban yang cukup menarik. Menurutnya, tidak adanya keraguan akan kebenaran Al-Quran itu hanya bagi orang yang mau berpikir dan menalar. Adakah manusia yang mampu memberikan informasi dengan begitu akurat akan segala hal di dunia? Tentu tidak ada.

Sedangkan bagi orang yang tidak mau menerima dan menalar Al-Quran maka akan terus menemui keraguan di dalamnya. Sama persis ketika orang Arab diharuskan meyakini bahwa orang Indonesia mampu melihat jin bernama pocong. Heuheuheu.

“ohhh, jadi Al-Quran pada hakikatnya tidak memiliki keraguan sedikitpun ya. Hanya saja tergantung pada penerimanya. Apakah ia akan menalarnya sehingga tidak ragu lagi, atau malah kekeh menganggapnya sebagai kebohongan Nabi Muhamad?” –ungkap Tasrif.

“ya! Bahkan Al-Quran menerima untuk dihakimi. Ia menantang orang-orang kafir untuk membuat tandingannya. Dan hasilnya mereka tidak mampu. Ada yang mencoba membuat tandingan Al-Quran dengan mengarang sebuah surat tentang gajah. Tapi akhirnya surat itu hanya menjadi olok-olok sepanjang masa.” -tegas Ki ageng Margajul.

Lalu adakah Al-Quran hanya petunjuk bagi orang-orang bertakwa? Tidak, Al-Quran adalah petunjuk bagi siapapun, baik mukmin atau kafir. Asal dia mau menerima dan menalar kebenaran Al-Quran maka dia akan mendapat petunjuk darinya. Terlepas siapapun dia.

Tetapi kenapa yang disebutkan dalam Al-Quran hanya orang-orang bertakwa? Alasannya, sebagaimana disebutkan dalam Siraj Al-Munir karya Khatib As-Syirbini, ada dua. Pertama, karena Allah memuliakan mereka daripada orang kafir. Kedua, karena mereka sudah mampu menikmati petunjuk Al-Quran baik di dunia maupun akhirat.

Syeikh Khatib lalu membagi tingkatan takwa menjadi tiga.

Pertama tingkatan orang awam. Yakni dengan menjauhi syirik, menyekutukan Allah. Takwa jenis ini yang paling banyak dianut di Indonesia. Heuheuheu.

Kedua tingkatan khowash. Yakni dengan menjauhi dosa dan larangan Allah dan menjalani segala perintahnya. Atau dalam kata lain menjalankan semua syariat Allah. Penganut takwa jenis ini juga lumayan banyak.

Baca: Alif Lam Mim, Mencoba Mengungkit Rahasia Tuhan

Ketiga adalah tingkatan khawash al-khawash. Yakni dengan mendedikasikan dirinya kepada Allah. Semua yang dikerjakan diniati karena Allah. Setiap gerak-geriknya seolah diawasi oleh Allah.

“kamu termasuk yang mana, Dul?” -ungkap ki Margajul.

“saya termasuk orang takwa yang sedang lapar. Jadi makan dulu, yi! Daripada habis ini mbahas muttaqin dalam keadaan kelaparan. Moodnya jelek nanti. Hehehehe”

Semua hadirin menyetujui Sidul.

Oleh: Ahmad Miftahul Janah

Picture by walpaperlist.com

Analogi Bulan Sya’ban

Apakah anda masih ingat perasaan ketika akan menerima raport sekolah? Mungkin itu saat SD, SMP, atau SMA. Masih terasa juga bagaimana segala emosi bercampur aduk tak menentu dalam pikiran. Akankah aku lulus? Akankah nilaiku bagus? Akankah aku naik kelas? berbagai pertanyaan klasik ini mungkin akan  menghiasi pikiran kita.

Hari penerimaan raport adalah hari mendebarkan. Secara mudahnya, masa depan kita bisa sedikit terlihat dari sana. Angka-angka maupun huruf-huruf yang menentukan rute perjalanan kita melanjutkan ke jenjang berikutnya, atau harus mengulang pelajaran agar mendapatkan nilai di atas batas tuntas. Maka ketika segala daya dan upaya di kerahkan, nasib juga sudah ada yang menentukan. Setelah pekan-pekan ujian dilewati, tidak heranlah ketika menjelang hari penerimaan raport, kita meningkatkan kuantitas ibadah kita. Sholat dhuha, tahajud, shadaqah, dan berbagai ibadah nafilah menghiasi hari-hari demi mendapat ridha dari Allah SWT.

Baca: Rahasia Dibalik Makna Malam Nisfu Sya’ban

Hari penerimaan raport juga hari yang dinanti-nanti. Karena setelah penerimaan raport, kita akan mendapatkan pekan-pekan liburan. Bisa dikatakan, kita belajar selama satu semester untuk menunggu waktu liburan tiba. Hal tersebut memang tak salah jika dijadikan strategi agar tidak bosan jika harus belajar sepanjang waktu.

Dari fenomena diatas penulis mencoba menganalogikan bulan Sya’ban, bulan diangkatnya amal-amal manusia selama setahun. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Rasulullah SAW: “Bulan Sya’ban itu bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan yang diangkat oleh Tuhan segala amal-amal. Aku ingin diangkat amalku ketika aku sedang berpuasa.” (HR. An-Nasa’i).

Rasulullah mencontohkan untuk meningkatkan intensitas ibadah pada bulan Sya’ban. Hal ini tidak lain agar Allah memandang baik segala amal-amal ibadah. Tindakan ini sering disebut juga sebagai recency effect, yakni memaksimalkan saat-saat terakhir agar menimbulkan kesan positif sehingga kesan-kesan negatif sebelumnya dapat tertutupi dengan kesan positif diakhir.  Recency effect inilah yang berusaha kita tiru dengan harapan bagusnya amal ibadah didetik-detik akhir pengangkatan catatan amal agar mampu memberi good impression (kesan yang baik) terhadap amal sebelumnya.

Karena sesungguhnya sifat dari pencatatan amal ibadah kita adalah tidak jelas (uncertainty), entah diterima atau tidak. Sifat uncertainty tersebut justru harus menjadi tambahan motivasi kita untuk beribadah lebih baik. Sama halnya ketika kita misalnya berada pada sebuah daerah yang asing, kondisi kita saat itu adalah uncertain (tidak jelas). Kondisi uncertain sama dengan kita berada di luar zona nyaman (comfort zone). Kondisi tersebut mendorong kita untuk melakukan sesuatu guna memperjelas kondisi kita dengan bertanya pada orang, pada polisi, dan sebagainya. Ketidak jelasan diterima atau tidaknya amal ibadah kita hendaknya juga mendorong kita lebih meningkatkan intensitas ibadah pada detik-detik pengangkatan catatan amal tersebut ke hadirat Allah.

Baca: Keutamaan Dan Amalan Bulan Sya’ban

Semuanya telah disusun dan dijadwal dengan sedemikian teratur oleh Allah SWT. Karena pada akhirnya, sama seperti ketika di sekolah dulu. Setelah menunggu terima raport, sekolah memberi hadiah kita berupa liburan sepekan atau dua pekan. Dan Allah SWT Maha Adil, kita juga diberi hadiah berupa bulan Ramadhan yang di dalamnya terdapat banyak ladang pelipat ganda amal.

Marhaban Yaa Syahra Ramadhan, Yaa Syahra Shiyaa.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by assets.pikiran-rakyat.com

Keutamaan Dan Amalan Bulan Sya’ban

Bulan Sya‘ban merupakan bulan yang di dalamnya terdapat berbagai peristiwa bersejarah, yakni peristiwa pengalihan arah kiblat dari Masjidil Aqsha di Palestina ke Ka‘bah di Arab Saudi dengan penurunan Surat Al-Baqarah ayat 144, Surat Al-Ahzab ayat 56 yang menganjurkan pembacaan shalawat, diangkatnya amal-amal manusia menuju ke hadirat Allah SWT, dan berbagai peristiwa lainnya. Menilisik dari segi linguistik, Al-Imam ‘Abdurraḥmān As-Shafury dalam literatur kitab momumentalnya Nuzhatul Majalis wa Muntakhabun Nafa’is mengatakan bahwa kata Sya’ban (شَعْبَانَ) merupakan singkatan dari huruf shyin yang berarti kemuliaan (الشَّرَفُ). Huruf ‘ain yang berarti derajat dan kedudukan yang tinggi yang terhormat (العُلُوُّ). Huruf ba’ yang berarti kebaikan (البِرُّ). Huruf alif yang berarti kasih sayang (الأُلْفَة). Huruf nun yang berarti cahaya (النُّوْرُ).

Baca: Alif Lam Mim, Mencoba Mengungkit Rahasia Tuhan

Bila ditinjau dari segi amaliyah, termaktub beberapa hal yang lazim dilaksanakan pada malam Nisfu Sya’ban, yaitu membaca Surat Yasin sebanyak 3 kali yang dilanjutkan dengan berdoa. Tradisi demikian selain sudah berkembang di Nusantara ini juga menjadi amaliyah tahunan yang dilaksanakan secara rutin terutama oleh masyarakat NU. Rasulullah SAW menyatakan dalam sebuah hadits sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Dailami, Imam ‘Asakir, dan Al-Baihaqy berikut.

‎خَمْسُ لَيَالٍ لَا تُرَدُّ فِيْهِنَّ الدَّعْوَةُ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبَ وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَلَيْلَةُ الجُمْعَةِ وَلَيْلَتَيِ العِيْدَيْنِ

 Artinya, “Ada 5 malam di mana doa tidak tertolak pada malam-malam tersebut, yaitu malam pertama bulan Rajab, malam Nisfu Sya‘ban, malam Jumat, malam Idul Fitri, dan malam Idul Adha.”

مَنْ أَحْيىَ لَيْلَةَ العِيْدَيْنِ وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ القُلُوْبُ

Artinya, “Siapa saja yang menghidupkan dua malam hari raya dan malam Nisfu Sya‘ban, niscaya tidaklah akan mati hatinya pada hari di mana pada hari itu semua hati menjadi mati.”

Informasi tersebut tentu bisa mengindikasikan bahwa melaksanakan ibadah pada malam Nisfu Sya‘ban merupakan suatu anjuran dari syariat Rasulullah SAW. Oleh karena itu, siapapun yang tidak sepakat dengan amaliyah untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban, tentu tidak sepatutnya memberikan kecaman yang tidak berdasar karena sikap demikian selain dapat menganggu kerukunan antarmasyarakat juga dapat mengganggu pelaksanaan ibadah bagi orang yang bersedia mengerjakannya.

Baca: Biografi KH. Faqih Abdul Jabbar Maskumambang

Upaya menata stabilitas hati dan pikiran merupakan sikap yang sangat bijak untuk dapat diimplementasikan. Kita dianjurkan untuk memelihara persaudaraan sesama Muslim. Di sisi lain penting untuk diperhatikan juga bahwa amaliah menghidupkan malam Nisfu Sya‘ban merupakan persoalan furu’iyyah yang tetap membuka ruang perbedaan tapi tetap dalam semangat yang saling toleran. Pelaksanaaan amaliyah ini berfungsi untuk mempertebal keimanan hamba terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, tidak sepatutnya untuk diarahkan pada dimensi sakralitas hukum. Sakralitas hukum terhadap persoalan keimanan juga bisa berimplikasi pada munculnya gesekan-gesekan. Selama semua amaliyah memiliki dasar dan pijakan ilmu pengetahuan tentu tidak perlu untuk dipertentangkan.

Perbedaan merupakan suatu keniscayaan (sunnatullah), tapi menyikapi perselisihan dengan hal yang tidak bijak tentu semakin menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai luhur keislamannya. Islam adalah agama yang fleksibel terkait perkara prinsip dasar (ushuliyyah) bergerak secara eksklusif, sedangkan terkait perkara cabang (furu’iyyah) bergerak secara inklusif. Urusan-urusan yang termasuk unity of diversity (al-ijtimā’ fil ikhtilāf) merupakan bentuk keluasan dari ajaran Islam itu sendiri.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: islam.nu.or.id

Picture by maklumatnews.com

Alif Lam Mim, Mencoba Mengungkit Rahasia Tuhan

Melihat pengunjung angkringan yang tadinya ramai sudah reda ki Ageng Margajul bersama tiga santrinya kembali membentuk lingkaran diskusi untuk melanjutkan kajian kemarin. Mereka membuka kitab masing-masing, menatap dalam-dalam, Dan…

الم

“Hanya tuhan yang mengetahui maknanya….”

Sidul membaca pembukaan surat al-Baqarah dengan suara yang agak melengking. Agaknya ia sedang mengasah potensi yang Tuhan berikan padanya.

Selanjutnya sambil menghisap rokok Dji Sam Soe, ki Ageng Margajul mulai memberikan materi dari tafsir jalalain yang beliau elaborasi dari kitab-kitab lainnya. 

Baca: KH. Ali Maksum: Amaliah Mengirim Hadiah Pahala Untuk Mayit

“Mengenai tafsir ayat alif lam mim ini syekh Jalaludin Suyuthi gak mau neko-neko. Beliau hanya menyampaikan bahwa, hanya Tuhanlah yang mengetahui arti dari ayat ini. Penafsiran yang seperti ini merupakan metode yang dipakai oleh ulama salaf yang memasukan ayat tersebut ke dalam kategori ayat mutasyabihat, yakni ayat yang memiliki makna samar dan ambigu. Menurut mazhab salaf kategori ayat ini hanya diketahui oleh Allah maknanya”.

Ki Margajul terdiam sejenak untuk meneguk kopi hitam buatan muridnya, Salikin. Setelah lepas dahaga ia kembali melanjutkan keterangannya. Mengenai penafsiran alif lam mim sebenarnya banyak sekali ulama yang berpendapat. Salah satunya dari mazhab ulama salaf yang dipakai Imam Suyuthi.

Menurut Ibnu Ajibah, dalam tafsir Al-Bahr Al-Madid, perumusan mengenai fawatihus suwar (huruf-huruf yang digunakan sebagai pembuka surat) memang agak rumit. Karena ia memang mengandung banyak rahasia-rahasia dalam al-Qur’an. Abu Bakar As-Sidiq berkata:

في كلّ كتاب سرّ و سرّ القرآن فواتح السور

“Setiap kitab memiliki rahasia, dan rahasia Al-Quran terdapat dalam huruf-huruf pembuka surat”.

Beliau kemudian mencoba meriwayatkan sebuah penafsiran yang menurutnya agak pas. Lanjut beliau, alif lam mim merupakan kata-kata yang digunakan sumpah oleh Allah karena sangat mulia. Sehingga ada yang menafsiri bahwa setiap huruf itu sebenarnya mewakili nama Allah. Alif berasal dari lafad jalalah, Allah. Lam berasal dari sifat Allah, al-Lathif (yang maha lembut). Dan Mim diambil dari sifatnya, al-Majid (yang maha agung). Dari sini ia kemudian dikumpulkan dan dijadikan sebagai pembuka sebuah surat yang sarat akan makna rahasia.

Sedangkan dalam tafsirnya al-Qurthubi kekeh untuk tidak menafsiri ayat tersebut -sebagaimana yang dilakukan oleh imam Suyuthi. Sikap beliau ini didasari oleh beberapa qaul ulama besar. Diantaranya adalah Amir As-Sya’bi dan Sufyan As-Sauri yang mengatakan bahwa, alif lam mim merupakan salah satu rahasia Allah yang ada dalam al-Quran dan merupakan kategori ayat mutasyabihat yang memiliki makna samar, sehingga tidak perlu kita bahas. Hanya saja wajib kita imani dan baca.

Pendapat dua ulama ini juga diperkuat dengan ungkapan sahabat Abu Bakar:

فهذا يوضح أن حروفا من القرآن سترت معاينها عن جميع العالم، اختبارا من الله عز وجل، فمن آمن بها أثيب وسعد، ومن كفر وشك أثم

“Rahasia ini menunjukkan bahwa ada beberapa huruf yang disembunyikan maknanya oleh Allah sebagai ujian untuk kita. Barangsiapa yang mengimaninya maka akan diberi pahala dan hidup bahagia, dan barangsiapa yang kufur dan meragukan kebenaran rahasia tersebut maka ia berdosa”.

Walhasil menurut Abu Bakar, keimanan manusia memang benar-benar diuji. Kita sebagai hamba hanya menerima mandat untuk mengimaninya, tanpa banyak bertanya. Ibarat pembantu yang ditugaskan untuk mengangkat batu yang di bawahnya entah ada apanya.

Baca: Biografi KH. Faqih Abdul Jabbar Maskumambang

Para jamaah yang ada di Angkringan itu kelihatan udah pada mumet, karena omongan yang dikeluarkan Kiai Margajul terlalu muluk-muluk kata mereka. Walhasil satu-persatu dari murid sang kiai protes untuk membubarkan kajiannya dan meneruskan ayat kedua besok lagi. Wassalam, pungkas ki Margajul.

Oleh: Ahamdab Miftahul J.

Picture by pinterest.com

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Orang Yang Berpengaruh di Sekitar Kita

Syekh M Nawawi bin Umar Al-Bantani mengutip pembagian jenis orang berpengaruh yang kemungkinan ada di sekitar kita dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Dalam karyanya, Nasha’ihul Ibad, halaman 15, Syekh M Nawawi bin Umar Al-Bantani menyebut empat jenis orang berpengaruh di sekitar kita. 

Sebagian darinya terbilang buruk. Sementara sebagian lainnya terbilang orang baik. Dua dari empat jenis manusia tersebut patut dijauhi. Sedangkan dua jenis lainnya layak dijadikan sahabat.

Pertama, jenis orang yang tidak banyak bicara dan gelap hatinya. Orang jenis pertama ini adalah ahli maksiat, jahat, dan bodoh. Waspadalah kalian, kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, menjadi bagian dari orang jenis pertama ini. Waspadalah kalian berada di tengah orang-orang jenis pertama ini karena mereka adalah ahli azab.

Kedua, jenis orang yang pandai berbicara dan gelap hatinya. Orang-orang jenis kedua ini sangat cakap dan fasih membahas hikmah dan kearifan-kearifan ilahiah. Tetapi mereka tidak mengamalkannya. Mereka mengajak orang lain kepada Allah, tetapi mereka sendiri melarikan diri dari-Nya. Jauhilah mereka, pesan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, agar kau tidak termakan oleh ucapan manis dan keindahan bahasa mereka karena api maksiat mereka dapat membakarmu dan kebusukan hati mereka dapat membunuhmu. 

Baca: Hisab Dunia Meringankan Hisab Akhirat

Ketiga, jenis orang yang tidak banyak bicara dan terang benderang hatinya. Orang-orang jenis ketiga adalah orang-orang yang disembunyikan oleh Allah dari pandangan makhluk-Nya. Mereka dibukakan matanya oleh Allah pada aib mereka sendiri. Hati mereka diterangi oleh Allah. Mereka diberitahu oleh Allah akan bahaya pergaulan terlalu intensif dengan manusia dan kesialan terlalu banyak berbicara (termasuk menulis status), terlebih di era digital di mana hampir semua manusia individu terkoneksi satu sama lain melalui jaringan internet. Jenis ketiga ini adalah para wali Allah yang terjaga (mahfuzh) dalam perlindungan-Nya. Segala sesuatu yang ada pada mereka mengandung kebaikan. Hendaklah kalian, kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, mengambil bagian dalam bergaul dan berkhidmah pada mereka; niscaya Allah mencintai kalian karena mereka.

Keempat, jenis orang yang mempelajari ilmu agama, mengajarkan, dan mengamalkannya. Mereka adalah orang yang mengenal Allah dan ayat-ayat-Nya (al-alim billah wa āyātih atau ulama).

Pada hati mereka, Allah menitipkan ilmu-Nya yang gharib (asing, jarang diketahui orang kebanyakan). Allah melapangkan hati mereka untuk menerima keluasan ilmu-Nya. Waspadalah kalian, pesan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, untuk menentang, menjauhi, dan meninggalkan nasihat mereka.

Baca: Aforisme Ibnu Atho’illah As-Sakandari Untuk Para Hamilul Qur’an

Demikianlah empat jenis orang berpengaruh yang kemungkinan ada di sekitar kita kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang dikutip Syekh M Nawawi Banten dalam Kitab Nashaihul Ibad. Wallahu a’lam.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nu.or.id

Picture by wikimedia.org

Hisab Dunia Meringankan Hisab Akhirat

Al-hisab secara bahasa berarti al-‘addu wa al-muhâsabatu yang artinya hitungan, perhitungan (Kamus Al-Bisyri, hal. 113). Kata hisab dapat dipahami sebagai usaha menghitung-hitung amaliah negatif diri. Sebagaimana pasien yang menginginkan dirinya sehat maka ia akan datang ke dokter untuk memeriksakan dirinya. Setelah dilakukan diagnosa dan ditemukan salah satu jenis penyakit maka dokter akan segera mengambil tindakan pengobatan.

Konsistensi hisab memungkinkan pelakunya semakin menyadari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Dan diharapkan tidak akan kembali mengulanginya di masa-masa yang akan datang. Setiap hembusan dan tarikan napas, setiap gerak dan diam, setiap ucapan dan perbuatan, akan disaksikan kembali di hari perhitungan (yaum al-hisab). Bahkan seluruh anggota badan akan bersaksi dan menjawab segala pertanyaan malaikat.

Amirul mukminin Umar Ibn al-Khattab mengingatkan, 

حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا 

Hitunglah (amal) diri kalian semua sebelum kalian semua dihisab.

Dijelaskan dalam kitab ihya, barangsiapa menghitung-hitung amaliah dirinya sebelum dihisab, akan diringankan hisabnya di hari kiamat, dimudahkan dalam menjawab pertanyaan (malaikat), dan akan menempati tempat terbaik (Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Dimyati, Kifayatul Atqiya, Indonesia: Daru Ihya, hal. 16). Terang saja jika hisab di dunia akan menjadi sebab ringannya hisab di akhirat. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dengan senantiasa melakukan muhasabah diri, seseorang dapat menyadari kesalahan, dan tidak akan mengulangi kesalahannya untuk yang kedua kali. Artinya semakin mendekati kematian semakin baik pula kualitas hidup. Senantiasa meningkatkan keimanan, ketakwaan dan amal shaleh dalam mempersiapkan kehidupan mendatang (akhirat).

Baca: KH. Said Aqil Siradj: Indonesia Lebih Toleran dari Eropa

Meyakini adanya hari perhitungan amal merupakan bagian dari ciri orang bertakwa. Sebagaimana dijelaskan pada ayat 2-3 surah al-Baqarah,

 ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (٢) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٣

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka (QS. Al-Baqarah[2]: 2-3).  Kata يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ oleh Syekh Nawawi dalam Tafsir al-Munir diartikan dengan,

 يصدقون بما غاب عنهم من الجنة والنار والصراط والميزان والبعث والحساب وغير ذلك 

Orang-orang yang membenarkan adanya perkara ghaib, diantaranya surga, neraka, shirat, timbangan amal, kebangkitan dari alam kubur, perhitungan amal dan sebagainya (Syekh Nawawi, Tafsir al-Munir, Surabaya: Dar al-‘Ilmi, hal. 4, juz 1). Keyakinan yang kuat adanya yang ghaib akan menambah kewaspadaan manusia dalam menjalani kehidupan di dunia.

Baca: Aforisme Ibnu Atho’illah As-Sakandari Untuk Para Hamilul Qur’an

Tidak bisa dibayangkan berapa banyak ucapan, perbuatan, gerak juga diamnya manusia dalam sehari-semalam. Dari sejumlah tersebut berapa banyak yang bernilai baik dan berapa banyak bernilai buruk.  Maka Syekh Syatha Dimyati menambahkan dalam Kifayatul Atqiya,  

يجب عليك ان تقي المتاب أيضا بحفظ الأعضاء السبعة فيجب عليكحفظ العين عن النظر الى الحرام حفظ اللسان من الكذب والإستهزاء بالمسلم 

“Wajib atas kamu menjaga tobat, dengan menjaga anggota badan yang tujuh. Wajib menjaga mata dari melihat hal-hal yang diharamkan, menjaga lidah dari berbohong dan menyakiti Muslim lainnya” (Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Dimyati, Kifayatul Atqiya, Indonesia: Daru Ihya, hal. 17).

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: islam.nu.or.id

Picture by sambalabcde.blogspot.com

Aforisme Ibnu Atho’illah As-Sakandari Untuk Para Hamilul Qur’an

Mengenal Ibnu Atho’illah As-Sakandari Rakhimahullah (W:709 H), tidak berlebihan apabila itu tentang sebuah masterpiece-nya yang mengumpulkan hikmah- hikmah tasawuf. Adalah al-Hikam oleh sementara kalangan thariqah pengikut Imam Abul Hasan Asy-Syadzili dijadikan sebagai pegangan dalam menempuh jalan menuju yang dicita-citakan, ma’rifatullah, Juga tidak kalah populernya karangan-karangan beliau seperti kitab Lathaiful Minan, kitab Tajul ‘Arusy, ‘Unwanu al-Taufik dan lain sebagainya. Meskipun Ibnu Athoillah sendiri notabene merupakan santri cucu dari pendiri thariqah Syadziliyah, yaitu Syaikh Abul Abbas al-Mursyi (W: 686 H) sedang Syaikh Abbul Abbas al-Mursyi santri al-Imam Abul Hasan As-Syadzili (W: 656 H), namun di sisi lain, Ibnu Athoillah juga berguru kepada Syaikh Yaqut al-Arsyi (W:707 H) yang sama-sama murid dari Syaikh Abul Abbas al-Mursyi. Rakhimahumullahu ta’ala.

Pada tulisan ini saya tidak sedang membahas keempat tokoh sufi besar di atas, tulisan ini tentang bagaimana sebaiknya para hamilul quran, Orang-orang yang waktu dan kesempatannya hanya untuk berinteraksi dengan Alquran, belajar kembali dari sebagian aforisme (kalam hikmah) Ibnu Atho’illah. Meskipun hal tersebut juga tidak lepas dari bagaimana Alquran maupun hadis secara beriringan mengungkapkan keutamaan para “penggawa Kalamullah” di satu sisi dan memberi warning tentang bahaya melalaikan Alquran di sisi yang lain.

Pelajaran pertama ialah hikmah yang paling awal yang ditulis oleh Ibnu Atho’illah.

مِنْ عَلَامَةِ الْإِعْتِمَادِ عَلى العَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ:

Diantara tanda bahwa seorang itu bersandar diri kepada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan (putus asa) terhadap rahmat anugerah Allah ketika ia mengalami kesalahan atau kegagalan.

            Sebenarnya hikmah ini tentang motivasi seseorang agar jangan pernah berputus asa. Dia harus berusaha sekuat tenaga serta melewati setiap jenjang agar sampai pada tujuannya. Kalau di dunia sufi, jenjang tersebut berupa syari’at, thariqoh hingga puncaknya ialah haqiqat. Kemudian apabila sudah sampai pada satu titik puncak, jangan pula merasa sedikitpun bahwa hasil tersebut merupakan murni usaha jerih payahnya seorang diri, melainkan semuanya atas kemurahan, fadl (anugerah) dari Tuhan yang maha segalanya.

Baca: Pro Kontra Lintas Mazhab Dalam Basmalah

            Begitu juga bagi teman-teman yang sedang meniti jalan menghafal Alquran, semuanya harus berawal dari belajar Alquran dari tingkat paling dasar, belajar ilmu tajwid, makharijul huruf dan sifat-sifat huruf, belajar membaca dan disetorkan oleh ahlinya, setelah itu barulah mulai untuk menghafal setiap ayat, setiap halaman dan tetap agar disetorkan kepada ahlinya. Dan dari hikmah tersebut kita belajar, apabila ia sudah mampu mengkhatamkan dengan menghafal dan dengan lisensi yang ketat, setidaknya tidak berhenti di situ, ini masih di gerbang awal, masih akan melangkah, ia juga harus memahami setiap ayat melalui tafsir, mempelajari hadis-hadis Nabi sebagai penjelas, belajar fikih, memahami ilmu-ilmu perangkat lainnya yang berhubungan dengan Alquran, hingga ia sampai pada tujuan yang haqiqi dari setiap ayat dalam Alquran.

Apabila telah melakukan tahapan demi tahapan tersebut, sadarilah bahwa itu semua merupakan fadl, anugrah yang luar biasa dari Allah. Sehingga dari situ kita tidak merasa sok alim, paling dekat dengan Allah, paling-paling yang lain, merasa bahwa dirinya sudah dianggap ahlul quran, sudah dianggap “keluarga” Allah. Semua harus dikembalikan kepada Allah, bukan malah menganggap bahwa usahanya murni dari diri sendiri, tidak ada campur tangan lainnya. Hikmah tersebut juga mengajarkan kepada penghafal Alquran dan semuanya tanpa terkecuali tentang “the ethics humility”, etika untuk merasa rendah hati bahwa selama ini yang diusahakan ialah atas pertolongan Allah, sehingga apabila dalam perjalanan mengahafal quran tersebut terdapat faktor yang menghambat tidak membuat kita patah semangat, patah hati, pesimis hingga menganggap bahwa semua usahanya sia-sia.

Pertanyaannya ialah lantas bagaimana dengan orang yang sudah berusaha mati-matian untuk mencapai tujuan hamilul quran, namun karena satu dua hal lantas ia mengurungkan himma tersebut. Dalam hal ini Ibnu Athaillah pun menawarkan satu hikmah lagi yang begitu luar biasa.

سَوَابِقُ الهِمَمِ لَا تَخْرِقُ أَسْوَارَ الْأَقْدَارِ   

Kehendak kuat yang telah kamu tetapkan lebih dulu tidak akan bisa menembus tirai-tirai takdir.

Memahami secara mendalam tentang takdir memang akan menguras banyak energi pikiran. Bahwa semua usaha keras manusia, bekerja agar sukses, belajar rajin agar pintar, istiqamah menghafal Alquran agar cepat hatam, tidak akan bisa mengubah takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Bahasa sederhananya, sekeras apapun keinginan seseorang untuk memindahkan batu dari satu tempat ke tempat lainnya, dan semua kesempatan sudah di depan mata, namun ada takdir yang berkata lain bahwa batu tersebut sama sekali tidak berpindah, maka kemampuan keras tersebut akan sia-sia, padahal hal tersebut nampak sepele. Bagaimana kemudian ada orang yang berjuang, selalu konsisten menghafal ayat per ayat, setiap hari, waktunya pun ia habiskan hanya untuk menghafal Alquran, bertahun-tahun ia berjuang dijalan konsisten, hingga pada satu titik ia mengakui bahwa takdir ternyata tidak berkehendak, apalah daya.

Namun, ini bukanlah bahasa untuk berputus asa. Sejenak memang narasi tersebut tampak seolah-olah bersifat fatalistis, menyerah kepada takdir, ketetapan Tuhan yang sudah ada. Hal tersebut tidak sepenuhnya dianggap kesalahan, karena pada dasarnya percaya dengan takdir bukan suatu alasan untuk menafikan pentingnya dimensi usaha manusia yang hubungannya dengan kausalitas, sebab akibat. Sebagai seorang yang beriman setidaknya kewajibanya hanya berusaha yang kuat untuk menghafal Alquran, adapun hasilnya tidak ada yang mengerti sebelumnya kecuali Allah sendiri, dan sekali lagi tugas manusia hanya menjemput hasil tersebut. Laiknya orang berkata “belum perang kok sudah menyerah, bagaimana itu dianggap pemenang.”. Sederhanannya begitu.

Baca: Gitu Kok Ngaku Cinta al-Qur’an?

Dalam istilah agamnya, ada takdir mubram dan takdir muallaq. Bahasa mudahnya, taqdir muallaq itu masih bisa untuk diusahakan, seseorang yang istiqamah nderes, sering muraja’ah, selalu memperhatikan hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi cepat hafal dan menghindari hal yang menjadikan seorang mudah lupa, maka dalam kapasitas takdir muallaq ini, kelak ia akan menemui kesuksesan, yaitu berhasil menghafal Alquran.  Akan tetapi, sekali lagi, usaha tersebut tidak akan bisa melanggar takdir mubram yang sudah dikehendaki oleh Allah yang sebelumnya tidak kita ketahui dan tidak bisa diganggu gugat. Wallahual’lam bishowab.

Lantas bagaimana Ibnu Athoillah melalui aforismenya menyikapi orang-orang pilihan yang telah dianugrahi Alquran dengan fadl-nya Allah subhanahuwata’ala. Sudah sampai pada tujuan yang dikehendaki, yaitu menghafal Alquran. Bagaimana agar ia selalu merasa tenang dengan Alquran, merasa bahagia dengan Alquran, merasa ada yang kurang apabila sehari tanpa memuraja’ah Alquran. Dan biasanya awal-awal orang pada fase ini sering sekali menunda-nunda kesempatan waktu yang ada. Merasa sudah punya mentahan mutiara. Namun, karena nggampangake, tidak lantas diolah menjadi mutiara yang lebih indah lagi, sehingga daya pakai dan harga jualnya pun tinggi. Dalam satu kesempatan Ibnu Athoillah secara implisit menyinggung hal tersebut.

اِحَالَتُكَ الأَعْمَالَ عَلى وُجُوْدِ الفَرَاغِ مِنْ رُعُوْنَاتِ النُّفُوْسِ.

Kebiasaanmu menunda pekerjaan hingga kamu mempunyai waktu longgar untuk melakukannya (di waktu lain) adalah bagian dari kotoran jiwa.

Hal tersebut tentu berimbas pada apa yang diistilahkan dengan last minuter orang yang gemar menggantungkan pekerjaannya di menit-menit terkahir. Orang ini hanya nderes, muraja’ah Alquran-nya di waktu-waktu yang menurutnya perlu. Dampak terburuknya pun selalu terburu-buru serta tidak optimal di setiap ayat-ayatnya.

Baca: KH. Said Aqil Siradj: Indonesia Lebih Toleran dari Eropa

Dan apabila ia sudah dianugrahi mampu istiqamah, konsisten, terus-menerus di setiap waktunya, setiap harinya untuk selalu berinteraksi dengan Alquran, menikmati setiap hurufnya. Maka dalam hal ini perlu adanya perawatan yang super ekstra, agar olahan mutiara tersebut tetap mutiara yang bersih, elok dipandang dan tetap menjadi perhiasan indah bagi pemiliknya. Dalam artian setiap amal ibadah harus disertai keikhlasan agar kualitas amal tersebut tidak sia-sia, hal ini sejurus dengan aforisme Ibnu Athoillah

الأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَأَرْوَاحُهَا وُجُوْد سِرِّ الإِخْلاَصِ فِيْهَا     

Amal-amalmu (membaca Alquran, muroja’ah dll) adalah bentuk luaran jasadnya saja. Sedang rohnya ialah adanya sir keikhlasan didalam sana.

Akhirul kalam, sebagai penutup, teringat satu hadis dalam kitab al-Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Sahabat Abi Said al-Khudri Radliyallahuanhu. Rasulullah bersabda:

يَقُوْلُ الرَّبُّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالى: مَنْ شَغَلَهُ القُرْانُ وَذِكْرِيْ عَنْ مَسْأَلَتِيْ, أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِيْنَ. وَفَضْلُ كَلَامِ اللهِ سبحانه وتعالى عَلى سَائِرِ الكَلَامِ كَفَضْلِ اللهِ تعالى عَلى سَائِرِ خَلْقِهِ.

“Allah berfirman: Barangsiapa yang sibuk membaca Alquran dan berdzikir kepada-Ku, sampai tidak sempat meminta kepada-Ku (kata Allah), maka Aku akan memberikan kepadanya sebaik-baik apa yang kuberikan kepada orang-orang yang meminta. Sedang keutamaan firman Allah Subhanahu wata’ala diantara kalam-kalam lainnya seperti keutamaan Allah atas seluruh makhluknya.”

Oleh: Muhammad Iskandar Romadhoni

Picture by turospustaka.com

KH. Said Aqil Siradj: Indonesia Lebih Toleran dari Eropa

Ketua Umun PBNU KH Said Aqil Siroj menilai, Indonesia memiliki keterbukaan lebih ketimbang negara-negara di Amerika dan Eropa soal menghargai kemajemukan agama. Di Tanah Air, penganut agama tak hanya menikmati kebebasan tapi juga penghargaan atas setiap hari besar keagamaannya, misalnya dengan penetapan hari libur nasional.

“Kita bisa lihat, di Amerika dan Eropa tidak ada itu yang namanya libur Idhul Fitri untuk umat Islam. Di Prancis, pemakaian jilbab juga dilarang,” Ujar Kiai Said

Padahal di Indonesia, tambahnya, umat Budha dan Konghuchu yang meski pengikutnya tak seberapa, tetap merasakan keleluasaan merayakan hari agungnya. Menurutnya, hal ini dikarenakan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di Indonesia sangat mengormati perbedaan.

Kiai Said menyebut sikap keberislaman ini sebagai karakter Islam Nusantara sebagaimana yang dimiliki NU. Ia menegaskan bahwa Islam Nusantara tak melihat Islam sebagai doktrin aqidah dan syariah semata, melainkan juga tentang akhlak dan peradaban.

Baca: Syair-Syair Simbah KH. Muhammad Munawwir

Kiai Said menyampaikan Islam tak boleh lepas dari tanah air dan kebudayaan setempat. Karena itu, nasionalisme dan menghargai kearifan lokal bagi NU penting untuk menciptakan suasana keberagamaan yang damai.

Man laila lahul ardlun laisa lahut tarikh. Wa man laisa lahut tarikh laisa lahu dzakirah. Barangsiapa tak punya tanah air maka ia tak punya sejarah. Dan barangsiapa tidak memiliki sejarah maka dia tidak memiliki karakter,” ujar Kiai Said.

Menurut pandangannya, dalam konteks hidup bernegara, cinta Tanah Air harus menjadi prioritas melebihi kelompok termasuk Islam. Hal inilah, kata Kiai Said, yang tidak terdapat pada mayoritas Muslim di Timur Tengah sehingga dilanda konflik tak berkesudahan. “Islam saja tidak cukup, harus ada komitmen kebangsaan,” tuturnya.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: emka.web.id

Picture by matamaduranews.com

Pensiun Dini

Suatu ketika iblis galau dan ingin mengajukan pensiun dini sebagai penggoda manusia kepada Tuhan. Kemudian terjadilah percakapan antara Tuhan dengan iblis.


Iblis: “Tuhan, rasanya hamba sudah tidak betah lagi menggoda manusia, hamba minta pensiun dini”.


Tuhan: “Kenapa kau mengajukan pensiun wahai iblis, bukankah maumu untuk selamanya menggoda manusia?”


iblis: “Hamba minta ampun Tuhan, kelakuan manusia sekarang sudah melampaui batas bahkan melebihi hamba. Hamba khawatir justru hamba yang akan tergoda oleh manusia. Manusia nyabu, yang merasakan enak dia, tetapi yang disalahkan hamba. Manusia korupsi yang enak dia yang jadi kambing hitam hamba. manusia selingkuh atas kesadarannya, katanya digoda hamba. Dan yang paling pedih, setiap musim haji, hamba dilempari batu oleh berjuta-juta manusia, padahal yang melempari itu kawan-kawan hamba juga.”

Baca: Kabar Yang Selalu Dibawa Oleh Para Nabi

Hamba minta ampun Tuhan, hamba ikhlas dipensiun dini, dan profesi hamba sebagai penggoda manusia, biarkan diambil alih oleh manusia saja. Hamba sekali saja tidak mengikuti perintah Engkau Tuhan, dengan tidak sujud kepada Adam, Engkau menjadikanku sebagai penghuni neraka, lantas bagaimana dengan manusia yang tidak pernah mengikuti-Mu dengan meninggalkan shalat, lupa bersedekah, menyuburkan korupsi dan mengkhianatiku dengan melempar jumrah?

Oleh: Tim Redaksi

Picture by arabnews.com

Gitu Kok Ngaku Cinta al-Qur’an?

Bagi individu yang mengemban mandat dari Tuhan sebagai seorang hamba, tentu Kitab suci al-Qur’an menjadi prioritas paling utama dalam mengawal setiap tindak tanduk kita sebagai hamba.  Mengikuti dan mengamalkan al-Qur’an akan menjadikan kita terbimbing nafhul ilahiah (nilai nilai ilahiah), sebaliknya abai dan mengingkarinya akan membawa kita menuju jurang kebinasaaan. Bagi kita umat Islam yang sudah barang tentu terbebani taklif syariat. Membaca, memahami, dan mengamalkan merupakan suatu keharusan sekaligus bentuk manifestasi penghambaan kita pada Tuhan.

Zaman yang semakin tua ini memunculkan berbagai macam persoalan yang menjadi polemik khususnya bagi umat muslim saat ini. Kemajuan teknologi dan kemampuan intelektual justru menjadikan kita semakin lupa akan tujuan kita singgah di dunia ini. Al-Qur’an yang seharusnya mewarnai setiap gerak gerik kita, tereduksi dengan gadget yang menemani dan “memperdaya” kita setiap saat.  Nilai nilai al-Qur’an semakin termarjinalkan dari kehidupan ini, lebih lebih dengan perkembangan generasi milenial saat ini. Masa-masa yang seharusnya di isi dengan hal positif lagi lagi tergeser oleh peran gadget. Bahkan memberi sedikit waktu barang kali untuk mendaras al-Qur’an dalam sehari pun tak sempat. Jika di luar sana, orang saling menuntut hak dan lupa akan kewajiban, tentu kita harus introspeksi diri, sudahkah pantas kita menuntut hak kita pada orang lain. Tapi kewajiban diri kita akan diri kita sendiri justru abai. Sudahkah kita penuhi hak diri kita sendiri untuk membaca al-Qur’an dan mengamalkannya. Dalam satu hadist, Rasul berpesan pada kita semua agar memenuhi hak anggota tubuh kita, khususnya mata, bagaimana beliau menyuruh umatnya untuk membaca al-Qur’an sebagai kewajiban terhadap indera penglihatan kita sendiri. 

Baca: Opini Tentang Perempuan

Jika seperti ini yang terjadi pantaskah kita merasa menjadi hamba yang cinta al-Quran, masihkah kita merasa generasi Qurani. Kalaupun diukur, kecintaan kita hanya beberapa persen berbanding terbalik dengan kegandrungan kita pada gadget. Alih-alih mau mengamalkan al-Qur’an secara kaffah, membaca aja gak sempat.

Dalam prosesnya al-Qur’an turun dalam rentang waktu yang cukup lama, dua puluh tahun lebih al-Qur’an turun secara tadrijian kepada nabi. Proses inilai yang menengarai adanya satu hal penting bahwa al-Qur’an turun bukan hanya sekedar dibaca ataupun sebagai wacana belaka.

Al-Qur’an hadir bertahap membersamai peristiwa maupun problem yang terjadi pada saat itu, tentu tujuan Tuhan menghadirkannya agar hambanya juga memahami dan meng-internalisasikan pada setiap sendi kehidupan, tanpa terkecuali.

Dewasa ini semakin marak orang membicakan hal tentang al-Qur’an tapi semakin minim orang yang paham dan mengamalkan-nya. Acap kali kita dengar orang mudah sekali mengklaim dirinya paling benar, merasa paling faham akan makna al-Quran, paling totalitas dalam mengamalkan isi kandungan al-Qur’an. Sehingga tak jarang narasi saling menyalahkan, klaim sepihak penuh arogan kerap mewarnai perjalanan religiusitas negeri ini, yang tadinya baru mengenal Islam, baru hafal beberapa ayat sudah berani ngomong di depan publik. Bahkan yang lebih fatal, dia berani membenarkan interpretasinya, demi kepentingannya sendiri dengan legitimasi ayat al-Qur’an.  Seperti inikah pribadi yang cinta al-Quran. Kenapa yang justru mengaku paling Qur’ani justru tindak tanduknya jauh dari nilai nilai al-Qur’an.  Gitu kok ngaku cinta al-Qur’an?

Jika dulu para sahabat berlomba-lomba membaca dan memahami al-Qur’an, bahkan ada yang menghatamkan al-Qur’an dalam sekali salat. Bagaimana dengan kita sekarang? Jika dulu para sahabat tidak merendahkan dan mencerca orang lain, padahal mereka hafal al-Qur’an dan mengamalkan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Lantas bagaimana dengan kita sekarang?

Jika orang terbaik di antara kita ialah yang belajar dan mengajarkan al-Qur’an maka dimana posisi kita sekarang, sudahkah kita melakukannya. Masihkah kita merasa terpaksa tiap kali membaca, belajar ataupun maenghafal al-Qur’an. Jika semuanya dilandasi cinta tentu tak akan ada beban sama sekali, karena cinta akan membuat Sahib-nya selalu merasa nyaman dan enggan berjauhan. Jika al-Qur’an telah menjadi “kekasih” kita, sudah barang tentu kita tak akan rela menduakannya, bahkan dengan gadget sekalipun. Jika rasa cemburu sering muncul ketika merasa terabaikan, begitulah kira-kira respon al-Qur’an ketika kita tak pernah “berhubungan” dengan-nya. 

Baca: Pro Kontra Lintas Mazhab Dalam Basmalah

Akan lebih fatal lagi jika prediksi yang telah terucap oleh Rasulullah 14 abad yang lalu bahwa nanti akan datang suatu masa dimana sangat marak orang membaca dan menghafal al-Qur’an tapi “tak melewati kerongkongan” maksudnya tak memberi bekas maupun nilai-nilai akhlakul karimah pada dirinya, justru terjadi pada kita. Bacaan dan banyaknya hafalan hanya sebatas terucap dari bibir. Tentu kita tak akan mau menjadi golongan ini

Coba kita berfikir sejenak. mungkin ada yang salah dengan diri kita. Segitu naifnya kita mengaku cinta al-Qur’an tapi kita alpa bahkan jauh dari esensi al-Qur’an sendiri. 

Oleh: Ibnu Hajar Al Qodiri (Nama Pena)

Santri Madrasah Huffadz 1 Al Munawwir

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Picture by vecteezy.com