Uchiha Itachi Terinspirasi Dari Kitab Ulama Abad Ke-16

Bagi para penggemar anime Naruto Shippuden, Uchiha Itachi adalah salah satu shinobi penting yang keberadaannya turut serta dalam menentukan alur cerita yang tidak terduga (plot twist). Itachi sering dianggap sebagai pengkhianat Desa Konoha sebab ia telah membantai seluruh anggota klan-nya dan hanya menyisakan adiknya yang masih kecil, Uchiha Sasuke.

Tidak hanya itu, Uchiha Itachi juga bergabung dengan organisasi berbahaya, Akatsuki. Organisasi tersebut adalah kumpulan ninja pelarian dengan tingkat kejahatan tinggi dari berbagai desa. Akatsuki dengan Uzumaki Nagato sebagai pemimpinnya adalah semacam kumpulan para villain yang bertujuan menguasai dunia shinobi dengan cara-cara jahat.

Dilihat dari namanya, Uchiha Itachi adalah bagian dari klan Uchiha, salah satu klan terkuat dengan kekuatan mata sharingan yang diwariskan (kekkei genkai) berdasarkan genetika. Dengan manipulasi kekuatan mata, anggota klan Uchiha dapat menghasilkan chakra yang besar dengan kekuatan yang menakutkan, bahkan membunuh.

Baca: Kisah Uwais Al-Qarni dan Seorang Rahib yang Bijak

Kekuatanm mata Itachi berkembang dari Sharingan biasa sampai dapat membangkitkan Mangekyo Sharingan. Dengan Mangekyo Sharingan, Itachi dapat membangkitkan Susanoo (sebuah monster chakra raksasa). Bahkan Susanoo Itachi memiliki Pedang Totsuka, sebuah pedang chakra yang mampu menyegel siapapun yang terkena serangan tersebut ke dalam toples Sake. Mereka akan tersegel di dalamnya untuk selamanya. Itachi sendiri sangat handal dalam menggunakan Totsuka Blade, dimana dia berhasil menyegel beberapa orang.

Yang unik, Uchiha Itachi selalu identik dengan burung gagak. Dalam bebrapa episode, Itachi beberapa kali memunculkan gagak, seperti ketika ia menggunakan bunshin atau ketika ia menyerang menggunakan genjutsu (kekuatan memanipulasi pikiran musuh). Mengapa Itachi yang memiliki kekuatan mata yang luar biasa itu identik dengan burung gagak?

Dalam kitab Bada’i al-Zuhur fi Waqa’i al-Duhur, Syaikh al-‘Alim al-Fadhil Muhammad ibn Ahmad bin Iyas al-Hanafi (lahir: Juni 1448; wafat November 1522; salah satu sejarawan terpenting dalam sejarah Mesir modern yang berasal dari Sirkasia) menyebutkan tentang kisah menakjubkan tentang burung gagak. Dalam bab dzkr akhbar ma baina al-sama’ wa al-ardl, Syaikh Muhammad ibn Iyas menyebutkan:

وروي أن إسم الغراب أعور, وإنما سمي بذلك لأنه يغمض إحدى عينيه من قوة بصره, ويقتصر على الأخرى, وقد قيل في المعني

وقد ظلموه حين سموه سيدا # كما ظلم الناس الغراب بأعورا

(Diriwayatkan): Sesungguhnya nama burung gagak adalah pecak (buta sebelah mata). Hal itu karena burung gagak menutup sebelah matanya karena penghilatannya yang terlalu kuat, sehingga gagak memfokuskan pandangannya pada satu matanya. Sebagaimana diriwayatkan makna serupa dalam sebuah syair:

“Dan mereka menganiaya dia ketika mereka memanggilnya tuan # Sama seperti orang-orang menganiaya gagak dengan matanya yang buta sebelah”

Dari penjelasan di atas, Syaikh Muhammad ibn Iyas menjelaskan bahwa burung gagak memiliki penglihatan (kekuatan mata) yang kuat. Saking kuatnya kekuatan itu, gagak memfokuskan penglihatannya pada satu mata, sedangkan matanya yang lain ditutup. Hal ini bukan berarti gagak hanya memiliki satu mata yang berfungsi, tetapi agar lebih fokus, gagak hanya menggunakan satu matanya.

Baca: Kisah Juraij Dan Seorang Pelacur

Apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad ibn Iyas tentang gagak tersebut sangatlah relevan dengan apa yang terjadi pada Uchiha Itachi. Dalam bebrapa kesempatan, terutama ketika ia menggunakan mangekyo sharingan (kekuatan mata di atas Sharingan biasa) Itachi seringkali menutup satu matanya dan berfokus menggunakan matanya yang lain. Tidak jarang, karena besarnya kekuatan mata itu menyebabkan mata Itachi mengeluarkan darah. Dengan ini, maka sangat masuk akal jika karakter Uchiha Itachi memang terinspirasi oleh burung gagak. Apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad ibn Iyas pada abad ke-16 itu menjadi semacam penyelidikan tentang ilmu biologi, khusunya tentang anatomi tubuh hewan. Apakah kisah inilah yang dalam perkembangannya menjadi inspirasi Masashi Kisimoto membuat karakter Itachi? Wallahu a’lam 😀

Oleh: Chanif Ainun N

Sumber: kitab Bada’i al-Zuhur fi Waqa’i al-Duhur

Picture by wallpaperaccess.com

Sebagian Tanda Dari Kematian

Kematian merupakan keniscayaan bagi setiap makhluk hidup. Kematian di dunia menjadi awal kehidupan baru dimulai dari alam kubur hingga akhirat yaitu kehidupan yang lebih baik dan kekal.

Manusia harusnya menyadari bahwasanya kehidupan dan kematian merupakan sebuah ujian maka persiapkanlah sebaik mungkin untuk bisa menghadapinya. Seperti halnya anak sekolah ketika akan menghadapi ujian atau ulangan di sekolahnya hendaknya menyiapkan segala persiapan guna mendapatkan hasil yang terbaik di akhir ujian kelas dan mendapatkan nilai yang bagus. Setidaknya lulus sesuai dengan standar minimal guna bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya yang lebih tinggi.

Karena dengan mengingat kematian hidup kita akan lebih berhati-hati, kenikmatan dunia yang ada pada saat ini yang sedang kita rasakan tidak ada guna lagi ketika kematian sudah datang menghampiri. Meski begitu mengingat kematian bukan suatu perkara yang mudah karena masih ada saja para pentakziyah yang tertawa terbahak-bahak di tengah keluarga yang sedang berduka.

Baca : Sang Murobbi Dipangkuan Ilahi

Menurut Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan bahwasanya sekadar mengingat kematian tanpa dilakukan secara sering bisa mendorong manusia melakukan perintah-perintah serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Keadaan di alam kubur merupakan sesuatu hal yang ghaib, untuk memudahkan hal tersebut kematian dianalogikan dengan tidur. Ketika seseorang sedang tidur orang di sekitarnya tidak tahu apa yang sedang terjadi dengannya di alam mimpi. Karena orang yang sedang tidur dengan orang mati merupakan keluarnya ruh dari jasad seseorang. Yang membedakan ketika orang tidur ruh nya akan kembali sedangkan orang yang sudah mati ruh nya tidak akan kembali ke jasad pemiliknya.

Ketika seseorang tidur maka akan keluar ruh jasamani bersama akalnya, kemudian berjalan diantara langit dan bumi dan terkadang ada mimpi yang bisa dipahami, hal ini berarti akal berperan di dalamnya. Berangkat dari penjelasan di atas bahwasanya seorang manusia sudah bisa merasakan sebagian tanda dari kematian tetapi manusia seringkali mengabaikannya. Oleh karena itu seyogyanya setiap kita terbangun dari tidur selalu bersyukur karena kita masih diberikan kesempatan kembalinya roh dengan jasad dan masih diberikan nikmat bisa hidup kembali.

Oleh : Tim Redaksi

Picture by www.brilio.net

Puisi Untuk Sang Permata

Hari ini…

Aku mendengar permata telah dipanggil

Aku menyaksikan permata telah diambil

Aku merasakan permata telah kembali

Hari esok…

Ku todong jiwaku yang berduka atas permata

Ku pinta jiwaku yang kehilangan atas pemata

Ku tagih jiwaku yang meronta-ronta tersebab

Sang permata

Ku ikhlaskan permataku diperjalankan menuju-Nya

Menderu harap, huru-hara rasa duka

Tak pernah berkurang dan tak lekang zaman

Ku lepaskan permataku dengan syair Turki

Dari Abuya Husein Muhammad :

“Mana mungkin Bulbul tak terbang pulang

Merobek sejuta tirai penghalang saat diseru kekasih : “IRJI’I”

Pulanglah ke dalam dekapan-Ku”

.

.

Oleh : Hadi Wahono

Picture by pbs.twimg.com

Menyambut Tahun Harapan

Hari sudah berganti, tanggal, bulan dan tahun pun mengikutinya demikian. Lantas apa bedanya dengan hari-hari sebelumnya yang sudah terlewati? Hari ini kita memasuki babak baru dengan tahun yang baru yakni tahun 2021 yang mana di tahun sebelumnya tahun 2020 menjadi tahun yang sangat membekas di setiap benak manusia yang ada di seluruh muka bumi karena kita semua dikejutkan dengan kehadiran salah satu makhluk Tuhan. Mungkin sebelumnya sudah ada tapi kita tidak menyadarinya atau mungkin makhluk ini diciptakan supaya manusia bisa merefleksikan diri dan mengevaluasi apa yang sudah terlewati di tahun sebelumnya.

Mungkin awal tahun ini sama saja dengan awal-awal tahun sebelumnya yang sudah dilewati, merencanakan sebuah angan-angan dan cita-cita tapi hanya sebatas sebuah khayal belaka. Begitu juga dengan tahun sekarang kita hanya bisa merenunginya kembali dan menyesali, sembari merencang agenda dan sebuah rencana jangka panjang dan pendek untuk dikemudian hari mudah-mudahan saja ada yang bisa direalisasikan dan tercapai salah satu diantaranya. Karena pada dasarnya manusia hanya sebatas bisa berencana dan Tuhan yang Maha Kuasa atas apa yang manusia rencanakan.

Dengan adanya sebuah rencana ataupun agenda dan cita-cita kita tidak memasuki sebuah hutan belantara hanya bermodalkan omongan belaka melainkan sebuah bekal kelak di tengah perjalanan apabila kita kehabisan bekal. Kita tetap berusaha semaksimal mungkin tapi tetap harus sadar bahwa tetap ada Yang Maha Kuasa di luar kendali kita selama melakukan perjalanan. Tetap berusaha tapi juga tetap berserah, tetap berharap tetapi jangan menuntut terhadap suatu perkara.

Setelah melakukan sebuah perencanaan jangan lupa untuk dilakukan apa yang sudah direncanakan. Semua angan dan cita-cita tidak ada guna jika tanpa ada pelaksanaan, hanya menjadi omong kosong dari tahun ke tahun. Belajar dari tahun 2020 bahwasanya sesuatu yang sudah direncanakan terpaksa harus berjalan diluar dugaan memaksa kita harus berpikir dan bertindak cepat. Memaksakan diri untuk tetap bisa menyesuaikan dengan keadaan supaya bisa tetap bertahan di setiap masa yang penuh dengan ketidakpasatiaan. Mau bagaimana pun dari setiap perjalanan yang sudah kita lewati telah mengajarkan kepada kita banyak hal bahwasanya manusia masih sebagai makhluk Tuhan yang membutuhkan pertolongannya di setiap keadaan.

Tetap berusaha dan terus berjalan meskipun jalan yang akan dilewati tak bertuan dan tak tahu arah tujuan. Kita masih mempunyai Sang Pencipta alam semesta, pasrahkan semua kepada-Nya. Mungkin momentum seperti ini menjadi salah satu cara penyembuhan atau mungkin menjadi ladang kesempatan, apapun yang Engkau rencanakan semoga tetap berkenan memberikan petunjuk dan anugerah-Mu kepada kami serta ridla-Mu yang mendekatkan kami kepada-Mu, supaya kami bisa terus tetap setia terhadap janji penghambaan kepada-Mu di tengah-tengah situasi yang tidak kami ketahui bagaimana kisah kelanjutannya di kemudian hari.

Oleh : Taufik Ilham

Picture by fstoppers.com

Kisah Az-Zuhri dan Khalifah Abdul Malik bin Marwan:Kemuliaan Ilmu bagi Ahlinya

Pangkat bukanlah segalanya. Sebab hakikat sebuah pangkat hanyalah titipan anugerah yang diberikan oleh sang Maha Pangkat (مالك الملك). Kemulian seorang hamba bukan diukur dari sebuah pangkat atau keturunan mulia. Sebab banyak dari mereka yang berketurunan biasa, bahkan dianggap rendah, bisa mengangkat derajat nasabnya dengan kemampuan kapasitas dan kapabilitas ilmu yang dimilikinya.

Ilmu dapat mengangkat derajat kemuliaan seorang hamba di sisi-Nya. Hal itu menggambarkan akan keagungan ilmu bagi ahlinya, yang tidak memandang ras, suku, budaya, dan keturunan. Alquran menyebutkan “maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah: 11).

Ada sebuah kisah menakjubkan antara seorang ulama besar Ilmu Hadis, Ibnu Syihab az-Zuhri dan seorang Khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan. Dimana kisah tersebut menggambarkan pemilik ilmu yang berkompeten bisa mengangkat derajat dirinya menjadi seorang pemimpin meskipun ia tergolong dari keturunan seorang budak (mawali).

Dari kedua tokoh ini terjadilah dialog tanya-jawab untuk kita renungi bersama. Dimulai dengan pertanyaan Amirul Mukminin disaat az-Zuhri menghadap dirinya:

“Dari mana engkau datang, wahai Zuhri?”

“Saya datang dari kota Makkah” jawab az-Zuhri

Lalu Amirul Mukminin bertanya kembali, “Lalu siapa yang engkau jadikan pengganti (pemimpin) di kota Makkah untuk menuntun serta memberikan pendidikan kepada penduduk Makkah”

“Atha’ bin Abi Rabbah”

“Apakah ia keturunan orang Arab asli atau keturunan mawali (keturunan budak yang sudah dibebaskan)?”

Dari keturunan mawali

Dengan kemampuan apa ia memimpin?

بالديانة والرواية (Dengan kemampuan ketakwaan yang ia miliki dan kemampuan mengaktualisasikan ajaran agama serta memanifestasikan jalan kehidupan”

“Memang orang yang memiliki kemampuan demikian layak menjadi pemimpin”

“Lantas siapa yang menjadi pemimpin di Yaman?”

 “Thawus bin Kaisan”

“Apakah ia keturunan orang Arab asli atau keturunan mawali?”

“Dari keturunan mawali”

“Dengan kemampuan apa ia memimpin?”

“Dengan kemampuan seperti yang dimiliki oleh Atha’ bin Abi Rabbah”

Demikian seterusnya Amirul Mukminin memberikan pertanyaan yang serupa kepada az-Zuhri tentang siapakah orang yang menjadi pemimpin di kota Mesir, Syam, Jazirah, Khurasan, Bashrah, dan Kufah serta dari keturunan manakah mereka berasal. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab oleh az-Zuhri, semua pemimpin tersebut ternyata berasal dari keturunan mawali.

Kemudian sang Khalifah geram atas semua jawaban az-Zuhri tersebut, ia berkata:

“Celakalah wahai Zuhri. Demi Allah. Kalau demikian nanti yang menguasai dunia ini adalah mawali-mawali, sedangkan meraka yang keturunan Arab asli hanya sabagai pendengar.” Tegas Khalifah.

Az-Zuhri menjawab dengan lugas: “Wahai Amiral Mukminin, انما هو دين (Itulah agama Allah dan keputusan Allah). من حفظه ساد ومن ضيعه سقط (Barangsiapa yang melestarikan agama (ilmu Allah), maka dialah yang akan memimpin dunia. Dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dialah yang akan tersungkur dalam kehinaan hidup)”

Dalam pembendaharan Arab, kata mawali (موالي) adalah orang yang menjadi budak lalu dibebaskan dan menjadi merdeka, kesetiaanya tetap kepada tuan yang membebaskannya. Tokoh keturunan mawali yang disebutkan dalam dialog di atas ialah: Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus bin Kaisan, Makhul, Maimun bin Mahran, Al-Dhahak bin Muzahim, Hasan al-Bashri, dan Ibrahim an-Nakha’i.

Perlu menjadi catatan, kisah di atas yang dinukil dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala karya Adz-Dzahabi ini memang riwayatnya kurang terpercaya (al-hikayat munkarah). Riwayat kisah yang diceritakan dari al-Muwaqqari ini dianggap lemah oleh kritikus hadis Abu Hatim, Yahya bin Mu’in menganggap riwayatnya dusta, dan an-Nasa’i mengatakan matruk al-hadis (hadis yang ditinggalkan).

Terlepas dari riwayat demikian, setidaknya dengan membaca kisah menakjubkan ini dapat menjadi motivasi kita semua bagaimana pelestarian ilmu dan ilmu pengetahuan dapat mengangkat kedudukan seseorang hingga tingkatannya lebih unggul dari kemulian nasab orang lain.

Semoga dengan mengangkat kisah ini diharapkan lahir generasi-generasi idaman yang hidupnya selalu dilimpahkan dalam dedikasi ilmu sebagai wujud pelestarian ilmu Allah dan Rasul-Nya. Sebab saat ini kita membutuhkan sosok generasi yang menjaga agama dan akidah, ditangannya menjadi sebuah benteng kemusyrikan (politeisme) dan ateisme.

Saat ini kita membutuhkan sosok yang benar bukan yang pintar, sosok yang amanat bukan yang khianat. Di era disrupsi ini, muncullah fenomena dimana kebenaran dianggap sebagai kesalahan dan kesalahan dianggap sebagai kebenaran. Oleh karenanya, dengan ilmu yang didasari hati yang bersih, semoga menjadi sebuah pelita di tengah gelap gulita cakrawala hidup.

 Alhasil bilamana seseorang belajar ilmu agama baik ia dari keturunan terpandang ataupun tidak, yakinlah Allah akan mengangkat derajat di sisi-Nya. Juga, hal itu merupakan sebab kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Oleh: Irfan Fauzi

Picture by islami.co

Sumber:

1. Kitab Siyar A’lam an-Nubala karya Imam Adz-Dzahabi, juz. 5, hal. 85.
2. Sepotong Sambutan KH. Miftachul Akhyar dalam peringatan haul KH. Ali Maksum ke-32 Al-Munawwir Yogyakarta (23/12/20)

Telah di posting di www.kempek-online.com

Bersyukur Atau Bersabar?

Jika kita bertanya: “Mana yang lebih utama orang yang bersyukur atau orang bersabar?”

Orang yang bersyukur itu pada hakikatnya orang yang bersabar begitu pun sebaliknya orang yang bersabar itu pada hakikatnya orang yang bersyukur, sebab orang yang bersyukur tidak terlepas dari ujian yang mana dia bersabar terhadapnya dan tidak larut dalam kesedihan karena syukur itu adalah mengagungkan Sang Pemberi nikmat dalam batas yang mencegahnya dari kedurhakaan terhadap-Nya. Sedangkan kesedihan yang berlarut-larut adalah suatu bentuk kedurhakaan (maksiat) dan orang yang bersabar tidak terlepas dari nikmat.

Jadi pada hakikatnya orang yang bersabar terhadap ujian yang menimpanya maka itu merupakan perwujudan dari rasa syukur, sebab dia menahan hatinya dari kesedihan yang mendalam dengan cara mengagung-kan Allah. Pengagungan kepada Allah itu juga mencegah dirinya berbuat durhaka kepada-Nya. Orang yang bersyukur itu juga mencegah dirinya dari kekufuran sehingga dia mampu bersabar untuk tidak melakukan maksiat serta sabar dalam ketaatan. Maka pada hakekatnya dia pun menjadi orang yang bersabar.

Orang yang bersabar itu dihormati oleh Allah dan penghormatan oleh-Nya itu mencegah dia dari kesedihan yang mendalam saat ditimpa musibah. Dan itu membawa-nya untuk bersabar, dengan demikian dia telah bersyukur kepada Allah sehingga secara hakikat dia menjadi orang yang bersyukur. Dengan pertolongan dan perlindungan yang diberikan terhadap orang yang bersabar itu adalah suatu nikmat yang sangat disyukuri oleh orang yang bersabar.

Sehingga salah satu dari keduanya tidak terlepas dari yang lainnya, sebab pencerahan yang membangkitkan kedua-nya adalah satu yaitu pencerahan berupa istiqomah. Maka dengan demikian bahwa salah satunya tidak dapat dilepaskan dari yang lainnya.

Kapan kita harus bersyukur?

Sebagai seorang hamba kita wajib bersyukur saat kita memperoleh kenikmatan agama dan duniawi sesuai dengan kadar keduanya. Sedangkan apabila kita ditimpa kesulitan hidup dan musibah maka sebagian ulama berpendapat bahwa hamba itu tidak diharuskan bersyukur atas musibah itu tapi dia harus bersabar menghadapinya. Adapun syukur itu hanyalah terhadap nikmat. Sebagian ulama juga mengatakan bahwasanya syukur juga tidak perlu dilakukan untuk sebuah kesulitan hidup yang kita terima kecuali terdapat nikmat-nikmat Allah dalam kesulitan tersebut. Maka pada saat itu kita harus bersyukur atas nikmat-nikmat yang menyertai kesulitan itu bukan ats kesulitan-kesulitan itu sendiri.

Sebagai contohnya ialah orang yang memberi kita obat dengan rasa yang pahit juga tidak enak yang mana untuk mengobati penyakit keras yang sedang kita derita atau mengoperasi bahkan membekam diri kita karena penyakit yang sangat berat serta berbahaya sehingga dengan tindakan tersebut akan membantu menjadi sehat kembali jiwa raga serta memiliki kehidupan yang lebih optimis karenanya.

Maka tindakan-tindakan yang seolah-olah menyakiti dengan memberi obat yang pahit melakukan operasi dan penyedotan darah kotor itu pada hakikatnya merupakan nikmat yang sangat besar dan kebaikan yang sangat nyata. Meskipun itu dalam bentuk yang tidak kita sukai dan ditakuti oleh nafsu, justru ketika kita mengetahui dibalik semua perbuatan yang tidak menyenangkan atau mengenakan untuk kita ternyata itu yang terbaik untuk diri kita kedepannya.

Oleh: Taufik Ilham

Sumber: Kitab Minhajul Abidin

Picture by kammiuinsuka.or.id

Ibadah Tanpa Riya’

             Kata riya sendiri berasal dari kata ru’  dan yah, artinya “melihat” ini karena pelakunya merasakan keinginan buruk di hatinya yaitu orang lain harus melihat amal baiknya. Ada seorang yang mengerjakan amal baik denganmaksud agar Allah memberikan anugerah sejumlah ke-untungan duniawi sehingga ia tak perlu meminta-minta pada orang lain dan bisa mengabdikan dirinya untuk beribadah dengan khusyu.

Bila dengan suatu amal baik kita berharap mendapat keuntungan duniawi sebagai bekal agar menjalankan ibadah dengan khusyu maka itu tidak termasuk riya’. Tapi harus diingat bahwa keuntungan duniawi itu hanya digunakan untuk kepentingan akhiratmu saja bukan untuk kebutuhan dunia. Jika kondisinya demikian maka bukanlah riya’ untuk memperoleh keuntungan dari amal baiknya itu. Sebuah niat bukanlah riya’.

Sebuah keinginan untuk memperoleh kebaikan bukan termasuk riya’, demikian pula jika engkau menginginkan dihormati oleh manusia atau dicintai ulama dan para pemimpin dimana tujuanmu supaya dapat memperkuat madzhab pendukung kebenaran atau untuk menolak ahli bid’ah atau untuk menyebarkan ilmu, atau menganjurkan manusia untuk beribadah dan semacamnya, bukan bermaksud mencari kemuliaan pribadi atau dunia. Itu semua adalah keinginan yang terpuji, tidak satupun diantara perbuatan itu yang masuk kategori  riya’, sebab pada hakikatnya itu menyangkut masalah akhirat.

Kita mungkin bertanya: Bagaimana halnya dengan seorang hamba yang beramal lebih karena keinginan untuk mendapatkan keuntungan di dunia dan di akhirat dari Allah bukan demi mendapatkan  ridha Allah? Dan hamba itu juga tidak mengharapkan mendapat keuntungan dunia atau pujian dari manusia lain. Apakah itu juga termasuk perbuatan riya’? Jawaban dari pertanyaan itu sudah jelas bahwa perbuatan seorang hamba itu murni riya’.

Para ulama telah berkata bahwasanya yang dipandang dalam riya’ itu adalah tujuannya bukan apa yang diinginkannya. Jika tujuan amal baiknya itu untuk mendapatkan keuntungan dunia itu adalah riya’ baik kita menginginkan hal itu dari Allah atau dari manusia.

Bagaimana dengan kebiasaan membaca surah al-Waqi’ah saat mengalami kesulitan rezeki, bukankan itu dimaksudkan agar Allah melepaskan mereka dari kesulitan tersebut dan menganugerahi mereka kemampuan agar bisa beribadah dengan tenang? Bagaimana bisa dibenarkan kalau kita menghendaki kesenangan dunia dengan amalan akhirat? Yang dimaksud dengan kebiasaan tersebut yakni agar Allah memberi rasa qana’ah yakni rezeki yang cukup menjadi bekal dalam beribadah kepada-Nya dan agar kuat dalam menuntut ilmu. Dan ini termasuk dari keinginan-keinginan yang baik bukankeinginan dunia.

Riya’ itu sendiri ada dua macam, yakni riya’ murni dan riya’ campuran. Riya’ yang murni adalah jika kita menginginkan manfaat dunia tidak lain. Sedangkan riya campuran adalah kita mengingnkan keduanya secara bersamaan antara manfaat dunia dan manfaat akhirat. Perbuatan buruk berupa riya itu menjadikan amal seseorang tak layak untuk diterima oleh Allah. Dan tidaklah benar kalau sampai diukur dengan setengah atau seperempat pahala akan hilang. Semoga kita semua diajuhkan dari perbuatan riya’ dan tetap dalam lindungan Allah Swt.

Tulisan Dan Kentut Sama Bahayanya

Tidak bisa dipungkiri perkembangan zaman yang sudah super gila ini, membuat sebagian dari kita terlalu terlena dengannya. Bagaimana tidak? Sumber-sumber berita yang dulunya bisa didapat hanya dengan Koran, televisi, radio. Kini hanya dengan beli kuota 4G dan tersambung dengan berbagai sosial media, justru lebih mempermudah mengakses berita yang tidak tahu sumber ke orisinilannya. Kita lebih mempercayai opini-opini yang terpampang dan ditulis oleh sebagian orang, yang tujuannya tidak lain hanya untuk menguntungkan satu pihak demi menjatuhkan pihak lain yang menjadi lawannya. Kita di jejali dengan berbagai stigma-stigma negatif, dengan senjata yang tidak begitu tajam tetapi lebih mematikan dari hanya sekedar tombak sekalipun, yakni berupa tulisan.     

Ya, tulisan yang di sebarluaskan inilah yang menjadi senjata mereka untuk menyerang, menerkam, menjatuhkan, bahkan bisa terprovokasi sekaligus. Kalau dulu ada maqolah yang mengatakan bahwa “Orang bisa dibunuh bahkan bisa membunuh hanya karena mulut atau omongannya”. Dan menurut saya, kini mulut yang dimaksud di maqolah tersebut itu lebih ketulisan yang dibuat. Mereka menulis berbagai hal tentang diri seseorang untuk selanjutnya di beritakan secara sosial tanpa ada persetujuan dari orang yang diberitakan, hanya untuk menuangkan opini yang tidak tahu arah maksudnya. Jadilah banyaknya penafsiran, pemahaman, atau sudut pandang berbeda dari apa yang dia tulis dari para pelaku sosial. Penilaian-penilaian pun tidak bisa terbendung berbagai statement-statement pun mulai bermunculan di media sosial, tidak ubahnya kentut yang dengan sendirinya keluar tanpa diharapkan.     

Omong-omong kentut sepertinya bisa dikorelasikan dengan penulis menuliskan seseorang justru membuat orang itu geram. Kebanyakan dari orang menganggap kalau bau kentut itu adalah  sumber dari emosi kemarahan. Berbeda dengan orang  yang mengeluarkan kentut itu sendiri, dia tanpa ada rasa salah sekalipun menganggap bahwa ini adalah rezeki yang tuhan berikan, kalau tidak dikeluarkan maka akan jadi penyakit bagi dirinya. Tidak berfikir kalau orang disekitarnya yang merasa terdholimi oleh kebrutalan bau kentutnya. Dan dia kali ini lupa, kalau ada orang lain yang mengentutinya maka dia akan merasa didholimi oleh orang tersebut bahkan meluapkan emosi kemarahannya, meskipun tidak tersalur dengan gaya mata atau pukulan, paling tidak dia akan menghindar untuk meluapkan keemosiannya. Dan begitu sebaliknya orang yang mengentutinya akan merasa ini adalah sebuah anugrah yang besar. Dan begitu seterusnya. Kayaknya tidak akan habis-habisnya membahas persoalan kentut yang akhir-akhir ini jarang diberitakan dan masyarakat menjadi resah olehnya. Padahal ini adalah masalah sosial yang paling tidak didiskusikan bagaimana kalau ada tempat khusus pembuangan kentut. Haha bercanda.     

Kembali ke topik awal, lebih parahnya lagi mereka untuk sementara rela menjadi seperti  orang yang bertugas di lembaga “intelijen”, mengendap-ngendap, rela terbelusuk di bagian-bagian yang mungkin tidak terlihat oleh orang yang menjadi target, atau bisa saja mereka menyamar, melihat-lihat sekitar, untuk menemukan kesalahan-kesalahan orang yang menjadi musuh bosnya, setelah itu dijadikanlah bahan berita yang selanjutnya akan di sebar luaskan dengan gaya bahasa penulisan yang membuat banyak orang semakin benci kepada target tersebut karena kesalahan yang dicari-cari oleh “intelijen”.

Orang-orang seperti inilah yang membuat citra buruk bagi segenap komunitas, kelompok, atau orang-orang yang menggeluti dunia tulis, dan segenap para jurnalis yang benar-benar menulis berita dengan sumber fakta yang ada, dan bisa dipertanggung jawabkan keorisinalannya, tanpa menyinggung pihak manapun. Apabila ada yang tersinggung bukan beritanya yang salah, tapi memang orang yang tersinggung itulah yang menganggap berita tersebut tidak layak untuk di beritakan, orang ini tersinggung kalau rakyat mengetahui berita tentangnya. Mereka menulis dengan hati nurani, menulis berita demi rakyat, bukan untuk kepuasan pribadi ataupun suatu kelompok. Adanya fakta ketidakadilan maka mereka tulis ketidakadilan, ada korupsi mereka tidak akan takut untuk memberitakan korupsi. Mereka membuat berita tidak sekedar dibuat-buat  agar lebih menarik atau lebih menggiurkan. Tapi sekali lagi, mereka “Menulis Demi Rakyat.”  

Oleh : Taufik Ilham

Picture by kly.akamaized.net

Sumber : El Tasrih

Ke-santuy-an Santri Dipertaruhkan oleh Pandemi

Teman-teman santri dimanapun anda berada, yang mudah-mudahan sekarang berada dalam lindungan Allah SWT. Semoga kita semua dianggap santri oleh guru-guru kita, karena bagi saya itu penting. Untuk apa mengklaim diri sebagai santri, tapi kyai kita saja tidak mengakui ke-santri-an kita, bukan begitu teman?

For your information, santri bukan hanya sekedar status, apalagi profesi. Santri dalam pandangan saya adalah the real of man. Kita adalah pejantan tangguh. Kata orang-orang milenial santri adalah agen of change. Meskipun sebenarnya saya tidak tahu apa lagi yang harus diubah. Mengubah diri untuk going to path of god (menuju jalan Tuhan) saja berat, apalagi mengubah peradaban? Mudah-mudahan (yang saya lakukan ini) tergolong sebagai halu yang menjelma sebagai do’a, sebab katanya ‘ucapan adalah doa’.

Mari kita mengupas sedikit tentang ‘santri’, tapi inget, bukan definisinya loh, sebab saya kira teman semua sudah hapal nglotok terkait apa yang dimaksud santri, apa itu pesantren, dan siapa kyai. Itu semua adalah materi buat para santri unyuk yang kalo ditanya cita-citanya apa, jawabnya adalah ingin membahagiakan orang tua. Subhanallah saya rindu masa-masa itu.

Baik, disini saya akan serius. Terlintas sebuah istilah, “being revolution”. Saya kira istilah itu sangat pantas jika disematkan untuk santri. Sejarah mencatat, bagaimana seorang santri menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, menegakkan keadilan dan menjaga hak serta martabat bangsa melawan kedzaliman para penjajah kafir, eh maksud saya non-muslim. yang sekarang kita mengenangnya sebagai hari pahlawan, tepatnya pada tanggal 10 November.

Entah mengapa saya menulis ini dengan hati yang sangat menggebu-gebu bagaikan sedang berorasi menyerukan jihad. Tapi bukan jihad sebagaimana yang dipahami para kaum şālih tetangga kita loh, karena kita bisa berdebat panjang tentang makna jihad itu sendiri, dan saya tidak akan membahas itu untuk kali ini.

Baiklah, kita kembali pada tema pembahasan. Mungkin sebagian dari pembaca yang terhormat, ketika membaca judul ini akan muncul sebuah pra-asumsi, bahwa “si penulis tidak pro peraturan satgas nih”, atau “tidak syariat-is nih”. Begini, saya jelaskan, sebetulnya apa hubungan antara santuy-santri-Covid 19.

Saya harap teman membaca part ini dengan serius, supaya tidak ada mis understanding di antara kita, karena ini adalah part terpenting dari tulisan yang tidak penting ini. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa santri berperan penting bagi kehidupan umat manusia, terlebih lagi kita sedang memasuki era pasca-modern, bahkan sebagian para researchers of civilization (peneliti peradaban) mengatakan bahwa sekarang adalah era Post-Truth (pasca kebenaran), sebuah era dimana sebuah kebenaran sudah sangat sulit untuk didapat. Setiap orang berhak ber argumen dan bercerita tentang apa saja termasuk saya ini. Hoax bertebaran di mana-mana, bagaikan sampah-sampah asrama pondok yang berserakan karena tidak diro’an-in.

Terlebih lagi, dunia sekarang ini sedang menanggung beban yang begitu berat, yaitu wabah Covid-19. Beliau (Covid-19) ini tidak pandang bulu, seluruh penjuru dunia dilibas tanpa batas. Mulai dari presiden, gubernur, wali kota, bupati, pak RW, pak RT, bahkan marbot masjid plus muadzin-nya pun berpotensi terjangkit olehnya.

Imbasnya, sistem perekonomian, sistem tatanan sosial dan sistem pindidikan pun terganggu. Bagaimana tidak, para siswa setiap hari dijejali link Zoom, link Google Meet hingga hampir muntah dibuatnya, masih mendingnya bukan ‘link pemersatu umat’. Kinerja para siswa menjadi ganda, tugas pun diperbanyak, alih-alih sebagai sarana pembelajaran mandiri di rumah masing-masing. Maka tidak heran jika kita digegerkan dengan berita beberapa siswa yang bunuh diri karena menanggung beban berat ini.

Namun masalah yang lebih vital lagi adalah berkaitan dengan akidah kita, bagiamana kemudian kita tidak ‘menuhankan Covid-19’. Dalam kondisi ini, akidah santri dengan segala kenjuleg-annya dalam mempelajari ‘aqīdatul ‘awam, Tijān al-Durori, Kifāyatul ‘Awam dsb sangat dipertaruhkan.

Santri dengan kekayaan modal akan akidahnya, seharusnya menjadi garda terdepan yang mengampanyekan kebenaran dalam berakidah. Disisi lain, santri juga mempu menjelma sebagai being protection, guna menjaga masuknya pemahaman-pemahaman yang menyimpang dikalangan umat Muslim. Berkat beberapa refleksi dan penghayatan atas segala fenomena ini, setidaknya ada beberapa tahapan yang penting guna menjaga status dualisme antara syari’at-hakikat kita sebagai santri yang berbahagia.

Bagian pertama: sebuah pandangan yang gemilang dari kyai idola sejuta umat, yaitu Kyai Bahaudin Nursalim (Gus Baha). Berangkat dari upaya dalam merefleksinya, setidaknya ada beberapa poin penting yang dapat saya cerna. Pertama, adanya pandemi ini menjadi keniscayaan bagi manusia yang mempunyai hati untuk terbesit rasa takut olehnya, namun ketakutan tersebut seharusnya tidak menjerumsukan manusia kepada jalan kesesatan.

Beliau kemudian menuturkan, yang kurang lebih intinya begini, kita harus benar-benar menanamkannya di dalam lubuk hati yang paling dalam, bahwa ketakutan ini seharusnya berorientasi kepada Allah. Kita takut jika terkena wabah ini mengganggu sujud kita kepada-Nya, kita takut jika terkena wabah ini mengganggu ibadah kepada-Nya, kita takut jika terkena wabah ini nyusahin orang-orang di sekitar kita.

Bukan malah sebaliknya, ketakutan yang berorientasikan kepada ghoirullāh. Jangan-jangan, kita takut terkna wabah ini menjadikan penghambat dalam menikmati gemerlapnya dunia, kita takut terkena wabah ini menghambat aktivitas non-bermanfaat kita, traveling bareng Gal Gadot misalnya, eh.

Berikutnya, ketika hati sudah dibenahi kepada kebeneran, maka dengan mengikuti peraturan pemerintah adalah sebagai salah satu upaya dalam berikhtiar untuk menghidari wabah ini. Maka menjadi sah (legitimasi teologis) bagi kita dalam menjalankan himbauan-himbauan para satgas Covid-19 yang terhormat.

Bagian kedua: lagi-lagi adalah sekedar sebuah refleksi. Sebuah untaian penjelasan yang menghangatkan dan menghanyutkan dari beliau Romo Yai Munawwar Ahmad dalam pengajian bandongan kitab Minhāj Al-‘Ābidīn, karya Imam Ghazali. Tepatnya pada bagian al-tafwīdu ilallah. Beberapa hal penting yang masih teringat dalam kepala yang terbatas ini, agaknya dapat melengkapi bagaimana sikap santri dalam merespon pandemi.

Yang saya pahami, bahwa sebagai hamba yang mengenal Allah (dengan sebenar-benarnya), tidak sepantasnya untuk melupakan sisi  kekuasaan-Nya. Kita banyak disodori dalam teks al-Qur’an terkait ujaran-ujaran berupa sebuah klaim bahwa Allah adalah dzāt Yang Maha Segala-galanya. Maka konsekuensi logisnya adalah, seorang hamba harus memercayai akan takdir dan segala urusan manusia yang pasti akan diurus oleh-Nya juga. Kita banyak mendengar tentang ungkapan yang berbunyi: “bahkan satu daun yang jatuh dari pohon pun tidak akan terlepas dari kuasa Allah”, sebagaimana yang di amini dalam kitab Minhāj Al-‘Ābidīn.

.فلا يستحق اذن احد ان يكون له الاختيار وتدبير الاالله وحده لاشريكله

Adapun usaha (ikhtiyar) seorang hamba adalah jalan yang harus ditempuh sebagai syarat penghambaan bahwa manusia adalah lemah, sedangkan segala hal yang berhubungan dengan hasil adalah berada pada kuasa Allah. Berpasrah diri kepada-Nya bukan hanya tentang mengikuti perintah saja, namun makna terpenting di sini adalah adanya pengakuan penghambaan diri kepada Allah serta kuasa-Nya. 

Pada akhirnya, ulasan yang bertele-tele dan miskin akan pengetahuan di atas dapat saya simpulkan, bahwa santri dalam merespon pandemi menjadi keniscayaan untuk menyeimbangkan dualisme syari’at-hakikat. Orientasinya tidak lain, adalah untuk menjadi jiwa yang “bijak sejak dalam hati dan pikiran”. dan ingat! “ Stay save stay humble and always keep santuy (Yi-Sun-Sin, Ml’s Hero)

Wallahua’lam []:

 

Sumber Gambar: Detik.com.

“Solidaritas Global” Tema Hari AIDS Sedunia

Hari HIV AIDS Sedunia diperingati setiap tanggal 1 Desember di mana peringatannya dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat soal virus HIV/AIDS. Tahun ini Hari AIDS Sedunia jatuh pada Selasa, 1 Desember 2020.

Namun perhatian masyarakat Indonesia sekarang ini tertuju kepada pandemi atau wabah virus corona yang sedang menerpa dunia. Tapi, ada virus lain yang sejak tahun 1987 jadi masalah besar di Indonesia yaitu HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome).

Sejak Covid-19 menjadi pandemi di dunia virus HIV/AIDS pun seakan tenggelam padahal penyebarannya tetap terjadi, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah. Selain itu faktor risiko lain adalah transfusi darah yang tidak diskrining HIV, jarum suntik yang dipakai bergiliran seperti pada penyalahguna narkoba , serta melalui air susu ibu (ASI) perempuan yang mengidap HIV/AIDS.

Diperkirakan jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 640.443, tapi yang bisa dideteksi sejak tahun 1987 sd. 31 Maret 2020 hanya 511.955 atau 79,94 persen. Itu artinya ada 128.499 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang tidak terdeteksi. Odha yang tidak terdeteksi ini jadi mata rantai penularan HIV/AIDS di masyarakat karena mereka tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas pada fisik Odha dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas HIV/AIDS.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa HIV tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang utama, meskipun dunia telah membuat kemajuan yang signifikan sejak akhir 1990-an, dan seperti banyak masalah kesehatan utama lainnya, ia menghadapi tantangan tambahan selama pandemi COVID-19.

WHO menyerukan kepada para pemimpin global dan warga untuk menggalang “Solidaritas Global” demi mempertahankan layanan penting HIV selama COVID 19 dan seterusnya. “Solidaritas Global” juga menjadi tema pada peringatan Hari HIV AIDS Sedunia 2020. Ini adalah seruan untuk fokus pada kelompok rentan yang sudah berisiko dan memperluas cakupan ke anak-anak dan remaja.

Anda bisa membantu kampanye dengan membagikan postingan dan gambar yang soal kampanye “Let’s Stop HIV Together” di media sosial. Anda bisa untuk memasukkan tagar #WorldAIDSDay / #WAD2020 dan #StopHIVTogether untuk membuat trending konten Hari AIDS Sedunia.

Oleh : Taufik Ilham

Pict by freepik.com

Sumber tagar.id tirto.id