Sekilas Tentang Asal Usul Huruf Arab

Huruf alphabet arab atau yang lebih dikenal dengan sebutan huruf hijaiyah terdiri dari 28 huruf yang dimulai dengan huruf alif dan diakhiri dengan huruf ya. Apabila dibandingkan dengan jumlah huruf dari berbagai Bahasa di dunia yang berkisar 24 sampai 26 huruf maka jumlah huruf arab ini berada di pertengahan antara keduanya. Seperti contoh bangsa Yunani, Romawi, Persia, Sisilia dan Turki memiliki huruf antara 24 sampai 26 huruf, sedangkan bangsa Ibrani, Yunani, Kopti kuna, Hindustan dan lainnya rata-rata memiliki jumlah huruf antara 32 hingga 36 huruf.

Seorang ahli gramatika Arab yang bernama Sibawaihi dan Al Khalil menyebutkan dengan al huruful ‘arabiyyah atau huruful lughatil ‘arabiyyah yang berarti huruf Bahasa Arab, yang mana dengannya tersusun Bahasa Arab. Dari catatan sejarah dikatakan bahwa alphabet Arab yang berjumlah 28 huruf tersebut berasal dari huruf Nabthiyyah (Nabatea) yang sudah mulai digunakan oleh bangsa Arab di masa jahiliyyah atau masa pra Islam di samping huruf atau abjad Ibrani yang mereka pinjam dari orang Yahudi yang mana di masa sebelum Islam mereka sudah mendiami daerah-daerah di sekitar Yatsrib.

Baca: Isra’ Mi’raj, Sains Dan Shalat

Huruf Nabthiyyah adalah huruf yang digunakan oleh bangsa Nabthy yang mendiami bagian utara jazirah Arabi, sejak tahun 150 SM mereka memiliki sebuah pemerintahan yang kokoh. Wiliyah kekuasaan mereka meliputi daerah Damaskus, Madyan, Selat Aqaba, Hejaz, Palestina dan Hirah. Akan tetapi kerajaan ini dihancurkan oleh Imperium Rumawi pada tahun 105 M. Dengan jatuhnya kerajaan mereka maka mereka melarikan diri ke daerah pedalaman jazirah Arab sambil membawa budaya mereka yang kemudian mereka kembangkan di daerah baru tersebut. Di daerah baru inilah tulisan yang mereka bawa mengalami perkembangan yang pada akhirnya menjadi aksara Arab.

Bukti lain yang menguatkan bahwasanya aksara Arab berasal dari aksara Nabthy adalah ditemukannya tulisan pada batu atau yang lebih dikenal dengan nama Naqsh an Nammarah yang berangka tahun 328 M atau hampir tiga abad sebelum kehadiran Islam di jazirah Arab. Menurut para ahli  Naqsh an Nammarah dianggap sebagai suatu jenis tulisan yang pernah berkembang di kawasan sebelah utara jazirah Arab pada masa dulu dan sangat berpengaruh terhadap tulisan Arab yang muncul kemudian. Menurut Muhammad Al Husein Abdul Aziz dinyatakan bahwa Naqsh an Nammarah merupakan suatu contoh yang ada dari tulisan Nabthy yang dipandang sebagai asal usul tulisan Arab Hejazi yang bersahaja. Demikian penejlasan Muhammad Al Husen Abdul Aziz dalam bukunya yang berjudul Dirasatu fil ‘Imarati wa Fununil Islamiyyah.

Daerah hijaz yang terletak di pedalaman jazirah Arab pada saat itu penduduknya masih belum mengenal tulis baca dikarenakan masyarakatnya masih menganut sistem badawah atau berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain (nomaden). Sebagaimana orang-orang Hijaz sebenarnya orang-orang Nabthy sendiri juga merupakan kelompok masyarakat yang suka berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain, dan tradisi ini mungkin sudah menajdi kebiasaan yang turun menurun oleh masyarakat kuno yang berlokasi di daerah tandus dan bergurun pasir seperti di jazirah Arab.

Baca: Ikhwan Ash-Shafa: Organisasi Think Tank Bidang Pendidikan dalam Sejarah Peradaban Islam

Pada masa selanjutnya sistem angka yang berasal dari bangsa Nabthy berkembang di daerah Hijaz dan menggeser kedudukan angka Rumawi yang mana sebelumnya pernah menduduki kedudukan yang sangat penting. Hal ini disebabkan oleh munculnya Islam di daerah Hijaz pada abad ke-6 M, yang mana salah satu ajarannya adalah bagi pemeluknya untuk belajar membaca dan menulis. Dengan demikian maka bangsa Arab Quraisy yang semula adalah suatu suku bangsa yang buta huruf kemudian berubah menjadi suku bangsa yang melek huruf. Menurut Dr. Ahmad Amin yakni seorang guru besar sastra di Universitas Qohiroh di Mesir dalam bukunya yang berjudul Fajrul Islam menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa pra Islam hanya memiliki 17 orang yang bisa membaca dan menulis, setelah hadirnya Islam berubah menjadi bangsa yang pandai menulis dan membaca. Pernyataan tersebut memberikan bukti bahwa Arab pra Islam merupakan bangsa yang tidak pandai menulis dan membaca.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: media.neliti.com

Picture by almunawwir.com

Ikhwan Ash-Shafa: Organisasi Think Tank Bidang Pendidikan dalam Sejarah Peradaban Islam

: Chanif Ainun Naim

Masyarakat Islam di seluruh dunia seringkali memimpikan masa-masa kejayaan Islam. Masa kejayaan tersebut, atau yang sering disebut sebagai the golden age of Islam merujuk pada satu masa yang ditandai dengan berkuasanya Daulah Abbasiyah. Impian tersebut patut untuk dimaklumi, mengingat saat ini, bisa dikatakan bahwa masyarakat Islam, di seluruh dunia sedang berada dalam masa dimana peran mereka —peran Islam— untuk dunia, di bidang apapun, berada dalam garis yang stagnan (untuk tidak menyebut jumud).

Tidak dapat dipungkiri pula, bahwa masa kepemimpinan Daulah Abbasiyyah, dunia Islam memang berada dalam puncak peradabannya. Seluruh peradaban dunia pada masa itu, dalam bidang apapun, berkiblat pada Islam. Sederek ulama-ulama besar dalam dunia Islam bisa kita sebut untuk menandai era itu; taruhlah Ibnu Sina, dengan karyanya “Al-Qanun fi’t-Tibb”; Al Khwarizmi, dengan karyanya “Kitab Ikhtisar fi Hisab al Jabar wal Muqabala”; Al Farabi, dengan karyanya “Al-Madina al-Fadila”; Imam Bukhari, dengan karyanya “Shahih Bukhari”; dan Imam Muslim, dengan karya magnum opus-nya “Shahih Muslim”.

Sederet nama-nama ulama besar yang gemilang tersebut sudah cukup familiar bagi kita, khusunya para pengkaji Islamic studies. Namun, pada era Daulah Abbasiyah, atau sebut saja era the golden age of Islam, dengan sederet prestasi gemilangnya untuk peradaban dunia, beserta sederet nama ulama besar terkemuka di banyak bidang keilmuan, ada satu kelompok ilmuan cum ulama, yang seringkali luput dari pembahasan, dan tentu saja menjadi misteri yang tidak terpecahkan hingga sekarang, dengan pengaruhnya yang sedemikian besar bagi ulama-ulama besar pula, adalah kelompok ilmuan Ikhwan Ash-Shafa.[1]

Sumbangsih Ikhwan Ash-Shafa bagi dunia Islam sangatlah besar, yang mencakup banyak dimensi keilmuan, termasuk pendidikan. Lalu, siapa saja yang disebut dengan Ikhwan Ash-Shafa? Apa saja sumbangsihnya bagi pemikiran pendidikan? Serta apa saja sumbangsih pemikiran tersebut (yang masih bisa dikais) bagi dunia pendidikan kontemporer? Tulisan ini berusaha menguak pertanyaan-pertanyaan tersebut satu demi satu secara ringkas padat dan jelas sebagai pengantar dalam memahami Ikhwan Ash-Shafa, setidaknya untuk turut mernggambarkan the golden age of Islam dengan segala keagungannya.

Siapakah Ikhwan Ash-Shafa?

Bila dikatakan bahwa Ikhwan Ash-Shafa adalah nama bagi sesosok orang, maka hal tersebut adalah salah. Sebaliknya, Ikhwan Ash-Shafa adalah nama bagi sekelompok ilmuan, telektual, filsuf cum ulama yang memiliki fokus kajian pada bidang pendidikan dan dakwah.[2] Menurut Abu Hayyan At-Tauhidi dan data internal yang didapat dari karya terbesar Ikhwan Ash-Shafa; Rasail Ikhwan Ash-Shawa; bahwa pergerakan mereka dimulai dari tahun 347 H/958 M sampai tahun 373 H/983 M di pusat Kota Bashrah.[3]

Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi Ikhwan Ash-Shafa didirikan oleh kelompok syiah Ismailiyah, yang dinisbatkan kepada imam mereka, Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Pada saat Syiah menjadi penguasa, organisasi ini mulai menyeruak ke permukaan meski tetap mempertahankan kerahasiaannya.[4]

Sebagai sebuah organisasi intelektual, Ikhwan Ash-Shafa mengajarkan dasar-dasar agama Islam yang memiliki muatan nilai untuk memperkokoh ukhuwwah Islamiyyah, dengan pandangan sikap bahwa: “iman seorang muslim tidak sempurna sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”. Dalam menjalankan misi dakwah, mereka memiliki semangat untuk menyampaikan (tabligh) ilmu pengetahuan yang militan kepada orang lain. Semua anggota organisasi ini menjadi pengajar (mu’allim) bagi seluruh masyarakat di komunitasnya.[5]

Secara umum, kemunculan Ikhwan Ash-Shafa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran di luar Islam dan untuk membangkitkan kembali rasa cinta kepada ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam. Organisasi ini sangat merahasiakan nama-nama anggotanya. Merekas bekerja secara rahasia karena kekhawatiran akan ditindak oleh penguasa pada waktu itu yang cenderung otoriter, terlebih pada setiap pemikiran yang muncul.[6]

Dalam adikarya terbesar Ikhwan Ash-Shafa, sebuah buku yang berjudul Rasail Ikhwan Ash-Shafa disebutkan bahwa organisasi ini berarti “persaudaraan yang suci”. Persaudaraan antar anggota mereka sangat solid dan keberadaan mereka tidak hanya berpusat di Bashrah, tapi bahkan menyebar di sejumlah negara Islam. Para ikhwan berasal dari beragam profesi, mulai dari kalangan kerajaan, wazir, gubernur, sastrawan, pedagang, bangsawan, ulama, ahli hukum dan lainnya. Namun, sebagian sejarawan meragukan klaim ini, salah satunya adalah Al-Qifthi (1249). Menurutnya, apa yang tercantum dalam kitab Rasa’il masih bisa mengundang perdebatan. Sebab, menurutnya, tidak ditemukan identitas para penulis risalah tersebut. Tak heran, jika hingga kini tetap beredar berbagai spekulasi. Sebagian kalangan menganggap bahwa Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa adalah karya keturunan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ada juga yang berpendapat bahwa penulsinya merupakan para filsuf Mu’tazilah periode pertama.

Untuk tetap merahasiakan pergerakannya, mereka kemudian tertuntut untuk lebih selektif dalam memilih anggotanya.[7] Mereka sangat selektif dalam menerima nggota baru dengan melihat berbagai indikator, di antaranya adalah: memiliki ilmu pengetahuan yang luas, memiliki loyalitas tinggi, memiliki kesungguhan dan memiliki akhlak mulia. Beberapa anggota Ikhwan Ash-Shafa yang diketahui antara lain: Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti dikenal dengan nama al-Maqdisy; (2) Abu al-Hasan Ali Ibnu Harun ad-Zanzany; (3) Abu Ahmad al-Mahrajani; (4) Al-Qufy; dan (5) Zaid Ibnu Rifa’ah (Madjidji, 1997: 66). Nama-nama tersebut hanya sebagian kecil dalam daftar kelompok gerakan pendidikan Ikhwan al-Shafa.[8]

Ikhwan Ash-Shafa: Think Tank di Bidang Pendidikan

Pemikiran dari para intelektual cum ulama yang tergabung dalam organisasi Ikhwan Ash-Shafa terkumpul dalam buku berjudul Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa yang berisi 51 kesepakatan di antara mereka. Himpunan risalah tersebut memuat penggambaran filsafat Islam yang sudah mencapai puncak yang meliputi segala aspek pengetahuan yang masyhur kala itu. Sehingga, bisa dikatakan mereka adalah semacam think tank organization, suatu organisasi, lembaga, atau kelompok, yang melakukan riset, dalam bidang strategi sosial atau politik, teknologi, dan khususnya pendidikan. [9]

Setidaknya, terdapat tiga karakteristik dari pembahasan yang tertuang dalam himpunan risalah tersebut, yaitu: (1) risalah tersebut memuat tema-tema filsafat-filsafat yang terdapat dalam kitab filsafat pada masa itu; (2) risalah tersebut memuat daftar isi yang dijelaskan dengan panjang lebar sehingga memudahkan pembacanya dalam mempelajari apa yang dibutuhkan; (3) gaya penulisan (uslub) yang digunakan disampaikan dengan cara yang mudah dipahami dan menggunakan kata-kata yang sederhana.[10]

Kitab Risalah Ikhwan Ash-Shafa terdiri atas empat jilid yang memuat ikhtisar tentang pengetahuan yang ada ketika itu. Ikhtisar tersebut mencakup semua objek studi manusia, seperti: ilmu pasti, ilmu alam, musik, etika, biologi,` kimia, metodologi, gramatika, botani, metafisika, alam akhirat, dan lain sebagainya.[11] Informasi secara detail tentang isi risalah Ikhwan al-Shafa ini, dikemukakan oleh Friedrich Dieterici, yaitu: pertama, memuat studi-studi seperti membaca dan menulis, tata bahasa, kalkulasi dan komputasi, ilmu persajakan dan seni puisi, ilmu tentang alamat dan isyarat, ilmu magis, jimat-jimat, kimia dan permainan sulap, perdagangan dan kerajinan, jual beli, komersial, pertanian dan peternakan sapi, serta biografi dan cerita.

Kedua, memuat studi-studi religius yang terdiri dari pengetahuan tentang kitab suci (al-Qur’an), penafsiran kitab suci, ilmu hadits, fiqih dan peringatan Tuhan, kehidupan pertapa, mistisme (sufisme) dan kegembiraan atau pandangan yang membahagiakan. Ketiga, memuat studi-studi filosofikal yang terdiri dari matematika, logika, ilmu berhitung, geometri, astronomi, musik, hubungan aritmatikal dan geometrical, ilmu pengetahuan alam, antropologi, zat, bentuk, waktu dan gerak, kosmologi, produksi, meteorologi, mineralogi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology, anatomi dan antropologi, daya menanggapi perasaan, embriologi, manusia sebagai mikrokosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikis), tubuh dan jiwa, sifat yang sebenarnya tentang perasaan sakit (menderita) dan kesenangan psikis dan fisik, perbedaan bahasa (filologi), pengertian psikologi, dunia kejiwaan (ruh) dan sebagainya.[12]

Pemikiran Ikhwan Ash-Shafa dalam bidasng pendidikan termuat dalam kitab Risalah Ash-Shafa. Konsep-konsep kunci pemikiran pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, tentang kewajiban mencari ilmu. Ikhwan Ash-Shafa berpendapat bawha mencari ilmu hukumnya wajib, sebab dengan ilmu, seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, mengenal Tuhan, dan beribadah kepada-Nya. Dengan tanpa ilmu, ketiga hal di atas tidak dapat dilakukan dengan baik.[13]Selain itu, Ikhwan Ash-Shafa juga berpendapat bahwa dengan ilmu dapat membuat seorang hamba menjadi beradab dan bersih yang memungkinkan dirinya untuk mendapatkan kenikmatan hidup di dunia dan akhirat. Menurut mereka, dengan ilmu, seorang manusia dapat meningkatkan derajatnya setidngkat dengan malaikat. Seballiknya, tanpa ilmu, manusia adalah sama derajatnya dengan hewan.

Kedua, tentang kewajiban mengajarkan ilmu. Menurut mereka, mengajarkan ilmu hukumnya wajib. Sebab, hal itu merupakan tanggung jawab sosial seorang intelektual, yang harapannya, dapat membawa masyarakat seluruhnya ke dalam cahaya ilmu pula. Guru dan murid harus bekerja sama membuat jejaring pengamalan ilmu dan penyebaran ilmu untuk mencerahkan masyarakat dan membangun peradaban, membentuk masyarakat yang akrab dengan kehidupan beragama, kehidupan duniawi, dan mencapai derajat yang diridhai Allah.[14]

Ketiga, tentang tujuan pendidikan. Menurut Ikhwan Ash-shafa, ilmu adalah gambaran pengetahuan dari jiwa seseorang yang memiliki pengetahuan. Pembelajaran adalah proses mengeluarkan potensi seseorang menjadi hal yang aktual, dan tujuan utama dari proses pendidikan adalah untuk tujuan membentuk moral atau akhlak. Dengan demikian, pendidikan adalah sebuah upaya untuk merealisasikan pengembangan diri seseorang. Totalitas proses pendidikan merupakan aktivitas moral, yaitu agar moral menjadi baik, kebiasaan menjadi positif, dan tindakan seseorang menjadi lurus.[15]

Dengan memiliki nilai-nilai baik tersebut, seseorang akan mampu dan bersedia menyampaikan amanat kepada orang yang berhak, pandai mengendalikan diri, menghormati hak orang lain, bersikap baik kepada tetangga, bersikap tulus kepada sesama, penuh cinta kasih, tidak rakus, tidak suka berkeluh kesah, bersikap empatik, dan berbuat baik tanpa pamrih. Keberadaan nilai-nilai akhlak yang baik tersebut penting sebab bila seseorang pamrih untuk dibalas atas apa yang telah dilakukannya atau punya pamrih untuk disanjung, maka segala hal baik yang telak dilakukannya tidak lagi bernilai kebaikan, melainkan ke-nifaqan, dan tidak pantas bagi orang semacam itu berada di barisan makhluk ruhani yang mulia.[16]

Keempat, tentang metode mendapatkan ilmu pengetahuan. Menurut Ikhwan Ash-Shafa, pengetahuan jika ditilik dari sisi cara memperolehnya dikelompokkan menjadi dua bagian[17], yaitu:

  1. Ma’rifat al-‘aql al-gharizy, yaitu pengetahuan yang dimiliki manusia tanpa proses belajar. Pengetahuan jenis ini pada hakikatnya tidak disebut pengetahuan, tetapi ia adalah dasar bagi pengetahuan. Setiap manusia memiliki pengetahuan jenis ini.
  2. Al-‘ilm al-mustafad al-muktasab, yaitu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pross belajar-mengajar. Jenis pengetahuan inilah yang disebut al-ma’rifat atau al-‘ilm.

Menurut Ikhwan Ash-Shafa, pengetahuan yang diperoleh melalui belajar-mengajar ini terditi atas dua macam pula, yaitu: (a) khabariy; dan (b) nadzhariy. Pengetahuan khabariy diperoleh melalui pemberitaan, baik secara lisan maupun tulisan. Pengetahuan jenis ini mencakup hal-hal yang dapat ditangkap dan dilakukan oleh panca indera. Sedangkan pengetahuan nadzhariy diperoleh melalui penggunaan akal pikiran, yang merupakan kelanjutan dari pengetahuan al-‘aql al-ghaziry.[18]

Kelima, tentang kurikulum pendidikan. Ikhwan Ash-Shafa berpendapat bahwa kurikulu pendidika harus mencakup logika, filsafat, ilmu jiwa (psikologi), pengkajian kitab samawi (al-Qur’an), ilmu kenabian, ilmu syari’at, dan ilmu-ilmu pasti. Namun yang perlu diberi perhatian lebih adalah ilmu keagamaan yang merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan.[19]

Keenam, tentang metode pengajaran. Menurut mereka, nbahwa dalam proses pembelajaran harus menggunakan prinsip: “mengajar dari hal yang konkret menuju hal yang abstrak”. Dengan demikian, menurut mereka, bnahwa seorang peserta didik diajarkan untuk melakukan abstraksi (penggambaran atau tashawwur) dari hal-hal konkret yang ada di sekitar mereka. Metode ini membutuhkan pemberian contoh-contoh tertentu dari hal yang konkret untuk kemudian dialukan abstraksi, eksplorasi pemikiran serta penulisan karangan-karangan dari hasil abstraksi tersebut.

Ketujuh, tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pecinta ilmu. Menurut Ikhwan Ash-Shafa, seorang pecinta ilmu harus memiliki sifat tawadlu’ (rendah hati, hormat dan ta’dhim kepada guru. Selain itu, seorang pecinta ilmu juga harus memilii sifat as-sual wa as-shumtu (bertanya dan diam); al-istima’ (mendengarkan); at-tafakkur (berpikir/mengenang); al-‘amalu fi al-‘ilmi (mengamalkan ilmu); idraku as-shidqi min nafsihi menemukan kejujuran dari dalam dirinya); katsratu adz-dzikri lini’amillahi (memperbanyak dzikir bahwa kemudahan mencari ilmu adalah nikmat Allah); tarkul ‘ujbi bima yuhsinuhu (meninggalkan kekaguman atas prestasi yangh dicapai).[20]

Kedelapan, tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Menurut mereka, seorang pendidik harus memiliki sifat antara lain: lemah lembut dan sayang kepada murid, tidak kecewa melihat murid yang lamban dalam memahami apa yang telah diajarkan, dan tidak rakus dalam meminta imbalan, Zuhud, tidak mengutamakan materi dan niat mengajar hanya karena mencari ridha Allah semata.[21]

   Akhirnya, membayangkan the golden age of Islam tidak hanya sebatas romantisme kejayaan semata. Tetapi, lebih jauh, jika memang ingin membayangkan masa kejayaan tersebut, maka cara yang paling bermartabat adalah dengan mengkaji pemikiran yang turut memberikan sumbangsih bagi kejayaan peradaban itu. Ikhwan Ash-Shafa adalah salah satunya, sebuah organinasi para intelektual yang pergerakannya senyap, layaknya organisasi kader yang berfokus pada isu pendidikan. Mereka mengkritik praktik para penguasa yang dinilai trelah jauh melenceng dari ketentuan agama, dan jawaban mereka adalah melalui penguatan pendidikan.

Konsep pendidikan Ikhwan Ash-Shafa antara lain: (a) mencari ilmu dan mengajarkan ilmu adalah wajib. Sebab, hanya dengan ilmu seseorang mampu mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya; (b) pendidikan bertujuan untuk mengoptimnalkan potensi yang dimiliki oleh murid, bukan hanya sebatas pemaksaan kepada murid untuk memahami sesuatu; (c) baik pendidik maupun murid harus memilki akhlaq al-karimah, santun, menjaga kebersihan dan sabar dalam menjalani proses pendidikan. Selain itu, kasih sayang harus emnjadi nilai dasar yang dimiliki, baik oleh guru mapun murid.

Konsep pendidikan yang digali dali pemikiran Ikhwan Ash-Shafa ini dinilai masih relevan dengan pendidikan di era sekarang, dimana pendidikan kita harus bertujuan untuk mencerdaskan seluruh elemen masyarakat, mengedepankan kasih sayang, dan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Keseluruhan proses tersebut hanya dapat berhasil jika ada keselarasan antara pendidik, murid dan masyarakat.

Referensi:

Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa: Telaah Terhadap Suatu Model Pendidikan Eksklusif”, Master Thesis on Postgraduate Program, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2006,

Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa dan Relevansinya dengan Dunia Postmodern”, Jurnal Insania, Vol. 24, No. 1, 2019 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto,

Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa bagi Pengembangan Dunia Pendidikan”, Jurnal Ta’dib, Vol. 18, No. 01,  Juni 2013,

GanaIslamika.com, “Rasa’il Ikhwanus Shafa (1): Sebuah Adikarya, Kitab Rujukan Paling Misterius”, Gana Islamika: Mozaik Peradaban Islam, Published on 31 October, 2017, https://ganaIslamika.com/ikhwanus-shafa-1-sebuah-adikarya-kitab-rujukan-paling-misterius/, diakses pada 15 Oktober 2020.

Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”, Jurnal Al-Muta`aliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Vol. 1 No. 1 (2016).


[1] Pada dasarnya gerakan Ikhwan ash-Shafa didirikan karena kejenuhan sekelompok ulama’ atas fenomena masyarakat yang terjadi pada paroh akhir abad IV Hijriyah. Periode gemilang yang telah diraih oleh Khalifah Abbasiyah pada saat itu menghasilkan kekayaan yang luar biasa, lihat Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa: Telaah Terhadap Suatu Model Pendidikan Eksklusif”, Master Thesis on Postgraduate Program, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2006, hlm. 113.

[2] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 21-22.

[3] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 23.

[4] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 23.

[5]  Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa dan Relevansinya dengan Dunia Postmodern”, Jurnal Insania, Vol. 24, No. 1, 2019 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, hlm. 151-152.

[6] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa bagi Pengembangan Dunia Pendidikan”, Jurnal Ta’dib, Vol. 18, No. 01,  Juni 2013, hlm. 45.

[7] GanaIslamika.com, “Rasa’il Ikhwanus Shafa (1): Sebuah Adikarya, Kitab Rujukan Paling Misterius”, Gana Islamika: Mozaik Peradaban Islam,    Published on 31 October, 2017, https://ganaIslamika.com/ikhwanus-shafa-1-sebuah-adikarya-kitab-rujukan-paling-misterius/, diakses pada 15 Oktober 2020.

[8] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 46.

[9] Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 152-153.

[10] Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 153.

[11] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhan Al-Shafa…”, hlm. 46.

[12] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 46-47.

[13] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 48.

[14] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 49.

[15] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”, Jurnal Al-Muta`aliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Vol. 1 No. 1 (2016), hlm.  109

[16] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”…, hlm. 110.

[17] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”…, hlm. 107-108.

[18] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”…, hlm. 109.

[19] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 49.

[20] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 50.

[21] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 92-95.

Sumber Gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Ikhwan_As-Shafa

Mengenal Pemikiran Tafsir Al-Kabir Fakhruddin Al-Razi #1

Kalangan pegiat tafsir secara keseluruhan nyaris mengenal kitab yang kondang bernama Mafatihul Ghaib, atau dikenal juga Tafsir Al-Razi atau juga Tafsir Al-Kabir. Kehebatan yang terkandung dalam kitab ini sungguh sangat memukau bagi para pembacanya, ia akan banyak menemukan perdebatan di antara para ulama, seolah-olah ia sedang berdialog dengan mufasirnya.

Bahkan yang sampai sekarang penulis kagumi dari Al-Razi adalah beliau menafsirkan surat Al-Fatihah dengan penulisan satu juz penuh, tentu beratus-ratus halaman beliau habiskan demi menafsirkan surat Al-Fatihah itu. Untuk menghilangkan rasa penasaran terkait sosok ulama dan karyanya, penulis sajikan sepak terjangnya secara ringkas.

Baca: Karomah Kiai As’ad Syamsul Arifin

 Sejarah Hidup dan Pendidikan

Ulama tafsir ini biasanya dikenal Al-Razi, lengkapnya adalah Muhammad bin Umar bin Al-Husain bin Hasan bin Ali Al-Quraisyi Al-Tamimi Al-Bakri Al-Tabariztani Al-Razi. Beliau lahir pada tanggal 28 Ramadhan 543 H/1149 M, tepatnya di kota Ray yaitu sebuah kota terkenal di negara Dailan dekat kota Khurasan dan beliau meninggal di daerah Herat (Ray) pada tahun 1290 M. Beliau termasuk ulama besar yang hidup di kawasan Persia bagian utara yang berada dibawah kekuasaan kesultanan Khawarzan dan sebagian di bawah kekuasaan kesultanan Gutiyah.

Awal pendidikan Al-Razi bermula dengan ayahnya sendiri, Dliya’uddin Umar, salah seorang ulama madzhab Syafi’i dan tokoh Asy’ariyyah dalam Ilmu Kalam. Berbagai ilmu ia kuasai, terlihat dari kemampuan Al-Razi dalam penguasaan ilmunya yakni menghafal kitab al-Syamil Ushul Fiqih al-Din karya Imam Al-Haramain tentang Ilmu Kalam dan al-Mustasyfa karya Imam Abu Hamid Al-Gazali tentang Ushul Fiqih.

Setelah ayahnya wafat Al-Razi meneruskan pendidikannya dari sejumlah ulama terkemuka lainnya. Diantaranya ia mendalami Teologi dan Filsafat kepada Al-Majid Simani, guru dari seorang pemikir besar, termasuk juga Al-Suhrawardi. Aktifitas keilmuan Al-Razi sudah tampak dari pertama kali meninggalkan kota kelahiran disekitar Persia. Meskipun tidak menetap lama, namun Al-Razi tercatat pernah pergi ke Khawarizan,  Bukhara,  Samarkhan,  Gazual,  dan India.  Kemampuan berbagai bidang keilmuan memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupannya.

Magnum Ovus Tafsir Al-Kabir

Beberapa karyanya ada yang masih berbentuk manuskrip (tulisan tangan). Adapun karya-karya beliau yang masih bisa ditemukan seperti, dalam bidang Tafsir; Tafsir al-Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Ghaib, Tafsir Surah al-Fatihah dan al-Baqarah. Dalam bidang Kalam atau Teologi; al-Mathalib al-‘Aliyah min al-‘Ilmillah, Asas al-Taqdis al-Arba’in fi Ushuluddin, dan Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhirin min al-Ulama wa al-Hukama’ wa al-Mutakallimin.

Tafsir Mafatih al-Ghaib atau yang dikenal sebagai Tafsir Al-Kabir dikategorikan sebagai Tafsir bir-Ra’yi (tafsir yang menggunakan pendekatan akal), dengan pendekatan Madzhab Syafi’iyyah dan Asy’ariyah. Tafsir ini merujuk pada kitab az-Zujaj fi Ma’ani al-Quran, al-Farra’ wa al-Barrad dan Gharib al-Quran, karya Ibnu Qutaibah dalam masalah Gramatika.

Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Al-Razi tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh. Ibnu Qadi Syuhbah mengatakan, “Imam Al-Razi belum menyelesaikan seluruh tafsirnya”. Ajal menjemputnya sebelum ia menyelesaikan Tafsir al-Kabir. Ibnu Khulakan dalam kitabnya Wafiyatul-A’yan  juga berkata demikian.

Baca: Jihad Ilmu Imam Nawawi

Lantas yang menjadi pertanyaan siapakah yang menyempurnakan dan menyelesaikan tafsir beliau? Sampai dimanakah beliau mengarang tafsirnya?.

Ibnu hajar Al-‘Asqalani berpendapat dalam kitabnya, “Yang menyempurnakan tafsir Al-Razi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abi Al-Hazm Makky Najamuddin Al Makhzumi Al-Qammuli (w. 727 H) dari Mesir. Penulis Kasyfu Al-Dzunnun juga menuturkan, “Yang merampungkan Tafsir al-Razi adalah Najmuddin Ahmad bin Muhammad Al-Qamuli dan beliau wafat  tahun 727 H. Qadi Al-Qudat Syahabuddin bin Khalil Al-Khuway Ad-Dimasyqi (w. 639 H), juga menyempurnakan apa yang belum terselesaikan dalam tafsir Al-Razi.

Oleh: Irfan Fauzi

Kiai Umar Mangkuyudan Wafat, Kiai Ali Maksum Nangis di Atas Podium

Siapapun tahu Mbah Umar di Mangkuyudan menghuni sebuah rumah sederhana. Apa yang disebut nDalem Mbah Umar hanyalah sebuah bangunan kecil berdinding anyaman bambu alias gedek dengan sedikit tembok diatas pondasi. Ketika ndalem tersebut diperlukan untuk perluasan pondok putri, Mbah Umar mengalah dan rela pindah kamar di pondok putra yang sebelumnya dihuni para santri. Di sebuah kamar yang sederhana itulah Mbah Umar wafat dalam usia 63 tahun di waktu sahur.

Mbah Umar semasa hidupnya memang tidak suka ngematke atau nggondeli hal-hal yang bersifat duniawi. Beliau tidak kersa mirsani TV ataupun mendengarkan musik-musik yang hanya akan mengganggu dzikir beliau kepada Allah SWT. Beliau seorang sufi dan hafidz Quran yang senantiasa menjaga hafalannya. Beliau tidak meninggalkan rumah dan tanah yang beliau miliki semasa hidupnya kecuali telah diwakafkan untuk pondok.

Ketika jam bandul di masjid telah menunjukkan pukul 12.03 Waktu Istiwak, dikumandangkanlah adzan Dzuhur. Para pelayat pun kemudian melakukan shalat Dzuhur berjamaah yang juga bergelombang. Saat itu keadaan di masjid dan sekitarnya sudah semakin padat dan berjejal dengan tamu-tamu yang hendak memberikan penghormatan terakhir pada Mbah Umar. Hampir semuanya ingin mendekat pada jenazah Mbah Umar secara fisik dengan harapan dapat menyentuh atau setidaknya mendekat peti jenazah yang sedang disemayamkan di masjid. Tua dan muda berebut kesempatan mendekat pada peti jenazah Mbah Umar.

Ketika jamaah shalat Dzuhur sudah dirasa cukup, dan upacara pemakaman yang ditandai dengan beberapa pidato sambutan dari berbagai pihak telah usai, maka dilaksanakan shalat jenazah terakhir. Pidato sambutan paling singkat adalah yang disampaikan Mbah Kiai Ali Ma’shum. Beliau tak mampu berkata apa-apa selain uluk salam di awal dan akhir, Selebihnya beliau hanya menangis dan menangis sesunggukan di atas podium.

Ketika waktu telah menjelang pukul 13.30 WIB, tibalah saatnya mengusung peti jenazah Mbah Umar untuk kemudian diturunkan dari masjid. Selanjutnya peti akan dibawa ke tempat pemakaman yang jaraknya dari mihrab masjid tak lebih dari 3 meter. Dengan diiringi bacaan La ilaha illallah Muhammadur rasulullah yang terus menerus diulang oleh ribuan pelayat sambil menderaikan air mata, baik putra maupun putri, peti jenazah Mbah Umar diangkat oleh sanak saudara, handai tolan dan para santri senior.

Suasana duka semakin terasa ketika peti jenazah Mbah Umar mulai diusung. Tak ada wajah ceria. Semuanya murung dalam kesedihan yang mendalam. Tak ada canda dan tawa. Tak ada kata terucap dari bibir para pelayat kecuali lantunan dzikir dan tahlil dalam linangan air mata. Semua merasa kehilangan Mbah Umar, seorang kiai hafidz Quran sejak usia belasan tahun. Seorang kiai yang dikenal saleh sejak masa kecil. Beliau tak pernah menyakiti orang lain. Beliau rendah hati, suka bermusyawarah dan berlaku adil. Mbah Umar sangat halus dalam sikap dan tutur kata. Namun kelembutan hati Mbah Umar mampu menghentikan kenakalan dan kekerasan hati santri-santri yang dicintainya.

Pada saat peti jenazah Mbah Umar mulai bergerak, saat itulah awal krisis terjadi karena para pelayat yang jumlahnya ribuan itu tiba-tiba ingin mengungkapkan rasa hormat dan baktinya kepada Mbah Umar dengan cara masing-masing. Ada yang ingin melihat peti jenazah Mbah Umar dari jarak dekat. Ada yang ingin menyentuh peti jenazah atau kain yang menutupinya meski hanya sekejap. Tetapi kebanyakan ingin ikut mengusung peti jenazah beliau hingga makam yang telah dipersiapkan. Padahal mereka yang telah berhasil memegang peti jenazah enggan melepaskannya. Mereka bersikukuh untuk tetap mengusungnya hingga tempat pemakaman.

Sementara itu mereka yang belum berhasil memegang peti jenazah, terus bergerak dari semua arah. Mereka berdesak-desakan dan berebut kesempatan. Tentu saja ini menghambat perjalalan peti jenazah Mbah Umar terutama mereka yang bergerak dari arah depan. Peti jenazah itu terhenti dan tak mampu dimajukan kedepan barang selangkahpun. Saat itu posisi peti jenazah sudah berada di sebelah utara masjid yang memang ruangnya tidak cukup luas.

Meskipun jarak tempuh menuju makam tinggal beberapa meter saja, perjalanan untuk sampai ke sana tidak semudah yang dibayangkan. Banyak pelayat yang mencintai Mbah Umar ingin menunjukkan cintanya kepada beliau dalam waktu yang sama. Mereka juga bermaksud tabarruk. Apalagi hari itu di bulan Puasa yang penuh berkah. Mereka berharap dicatat malaikat sebagai santri Mbah Umar ila yaumil qiyamah.

Dalam keadaan seperti itu, tampillah seorang tentara Angkatan Darat berpangkat mayor. Beliau adalah Mayor Mashadi, seorang wali santri yang tinggalnya di kampung Sampangan Pasar Kliwon. Dengan suaranya yang lantang, Mayor Mashadi menghimbau agar para pelayat tidak berebut mengusung peti jenazah. Mereka diminta kesadarannya demi memperlancar jalannya peti jenazah. Himbauan Mayor Mashadi tak segera diindahkan. Mayor Mashadi menaikkan nada suaranya dengan berbicara lebih lantang. Mayor Mashadi terpaksa berteriak untuk mencegah mereka yang bermaksud mendekat peti jenazah Mbah Umar. Mayor Mashadi mulai kehabisan suaranya.

Dengan dibantu banyak orang, Mayor Mashadi tidak putus asa. Beliau terus berusaha menertibkan para pelayat agar tidak mendekat apalagi menyentuh peti jenazah yang memang sudah ada orang-orang yang dipersiapkan untuk itu. Usaha keras Mayor Mashadi mulai membuahkan hasil. Perlahan-lahan peti jenazah Mbah Umar mulai bergerak lagi hingga akhirnya sampai di makam. Perjalanan jarak pendek yang hanya sejauh kira-kira 45 meter itu ternyata harus ditempuh dalam waktu cukup lama. Kira-kira 45 menit atau bahkan satu jam. Sulit dipercaya. Namun itulah keadaannya sejauh yang kuingat.

Sesampai di makam, jenazah Mbah Umar kemudian dimasukkan ke liang lahat disertai ritual pemakaman seperti adzan dan iqomah. Aku tidak tahu atau sudah tak ingat lagi siapa kiai yang memimpin ritual pemakaman beliau. Jarak pandangku ke makam Mbah Umar dari tempat aku berdiri di sudut barat laut masjid, yang sekarang dibangun tempat wudhu dan kamar kecil, tidak memungkinkan aku untuk menyaksikan dan mendengar setiap peristiwa yang terjadi di sana. Terlalu banyak orang berjejal di depanku. Mereka berebut kesempatan untuk dapat mengantarkan jenazah Mbah Umar hingga beliau dikebumikan, dibacakan talqin dan doa.

Menjelang Ashar upacara pemakaman Mbah Umar telah usai. Beberapa orang mulai meninggalkan makam. Tapi aku tak segera beranjak dari tempat aku berdiri termangu dan kaku. Air mataku yang sejak dini hari beku, di sore hari itu mulai meleleh dan menitik setetes demi setetes. Aku tak mampu menahan tangis itu. Aku biarkan air mataku jatuh bercucuran membasahi bumi. Hanya tangis itu yang bisa aku lakukan untuk mengungkapkan seluruh kesedihanku. Aku sangat terpukul dengan kepergian Mbak Umar untuk selamanya. Aku sangat bersedih karena belum mampu melaksanakan dhawuh beliau hingga beliau wafat. Padahal beliau sudah berbuat banyak dalam memberikan kesempatan sejak masa kanak-kanakku hingga remaja.

Sejak hari itu aku hanya bisa merindukan Mbah Umar. Beliau tidak saja guruku yang mengajariku mengaji Al-Quran dari alif ba ta, tetapi sekaligus Pakdeku, abang dari ibuku. Ketika ayahku Mbah Dullah dalam kesulitan, Mbah Umar memberi solusi. Beliau yang memberi namaku dan mengkhitankan aku ketika umurku telah cukup. Beliau sering memberiku uang untuk potong rambut. Ketika aku menangis di pagi hari pada tanggal 10 setiap bulan karena belum bisa membayar SPP, Mbah Umar selalu mendengar tangis itu. Diutusnya Mbah Ti ke rumahku untuk memberikan uang SPP. Lalu bergegaslah aku berangkat ke sekolah SD dengan berlari dan rasa bangga pada Mbah Umar.

Kini tinggallah rinduku pada beliau dalam seluruh hidup dan jiwaku. Rinduku abadi. Rindu yang takkan pernah terobati.

Allahummaj’al qabrahu raudhatan min riyadhil jinan. Wala taj’al qabrahu khufratan min khufarin niran. Amin.

(Dimuat di Majalah Serambi Al-Muayyad, Edisi 04/Th. II/Juli 2013/Ramadhan 1434 H, halaman 3 – 5, dengan beberapa editing.)

Jihad Ilmu Imam Nawawi

Imam Nawawi adalah Al-Imam, Al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin, Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam An-Nawawi. Beliau disebut juga sebagai Abu Zakariya, padahal beliau tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya. Sebab, beliau belum sempat menikah. Beliau termasuk salah seorang ulama yang membujang hingga akhir hayatnya. Dan mendapatkan gelar “Muhyiddin” (orang yang menghidupkan agama), padahal ia tidak menyukai gelar ini. Dan ia memang pernah mengemukakan: “Aku tidak perbolehkan orang memberikan gelar “Muhyiddin” kepadaku.” Beliau lahir pada pertengahan bulan Muharram, atau pada sepuluh pertama bulan Muharram pada tahun 631 H. di kota Nawa, sebuah daerah di bumi Hauran, Damaskus.

Baca: Peristiwa Bersejarah Di Bulan Sya’ban

Beliau diasuh dan dididik atau dibina oleh ayahnya dengan gigih, sang ayah menyuruhnya untuk menuntut ilmu sejak kecil. Hingga beliau telah berhasil menghafal al-Qur-an ketika mendekati usia baligh. Beliau menghafalkan Al-Qur’an tersebut di kotanya (Nawa) yang lingkungannya tidak kondusif untuk belajar. Setelah melihat lingkungan di Nawa yang tidak kondusif tersebut, ayahnya membawa ia pergi ke Damaskus pada tahun 649 H. Pada saat itu, usianya telah menginjak sembilan belas tahun. Dan akhirnya beliau tinggal di sebuah Lembaga Pendidikan Rawahiyah. Di sana beliau memulai perjalanannya menuntut ilmu. Beliu tidak pernah berhenti menuntut ilmu. Beliau rajin dan memberikan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu sehingga ilmu-pun memberikan kepadanya sebagian darinya.          

Imam Nawawi bercerita tentang dirinya: “Ketika usiaku telah mencapai 19 tahun, ayahku memboyongku pindah ke Damaskus sampai berusia 49 tahun. Di sana aku belajar di Madrasah Rawahiyyah. Selama kurang lebih 2 tahun di sana, aku jarang tidur nyenyak; penyebabnya, tidak lain adalah karena aku sangat ingin mendalami semua pelajaran yang diberikan di Madrasah tersebut. Akupun berhasil menghafal At-Tanbih  kurang lebih selama 4,5 bulan. Selanjutnya, aku berhasil menghafal 114 Ibadat (sekitar seperempat) dari kitab Al-Muhadzdzab, di sisa bulan berikutnya dalam tahun tersebut. Aku juga banyak memberikan komentar dan masukan kepada syaikh kami, Ishaq Al-Maghribi. Aku juga sangat intens dalam bermulazamah dengan beliau. Beliaupun lalu merasa tertarik kepadaku ketika melihatku begitu menyibukkan diri dalam semua aktifitasku dan tidak pernah terpengaruh dengan kebanyakan orang. Beliaupun sangat senang kepadaku dan akhirnya beliau mengangkatku menjadi assisten dalam halaqahnya, mengingat jama’ahnya yang begitu banyak.”

Setiap hari, Imam an-Nawawi membaca dua belas pelajaran dalam bentuk syarah dan komentar. Beliau selalu memberikan komentar terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengannya, baik menerangkan bahasa yang sulit dimengerti, penjelasan terhadap ungkapan yang tidak jelas, memberi harakat maupun penguraian kata-kata yang asing. Dan Allah SWT. telah memberi berkah kepadanya dalam pemanfaatan waktu. Sehingga beliau berhasil menjadikan apa yang telah disimpulkannya sebagai sebuah karya dan menjadikan karyanya sebagai hasil maksimal dari apa yang telah disimpulkannya.

Beliau adalah manusia yang sangat wara dan zuhud. Adz-Dzahabi berkata: “Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Beliau tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpa-kaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak.”   Beliau selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Beliau sering berkirim surat kepada mereka yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya. Abul Abbas bin Faraj berkata: “Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar.”

Baca: Rahasia Dibalik Makna Malam Nisfu Sya’ban 

Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung halaman-nya Nawa, sesudah mengembalikan berbagai kitab yang di-pinjamnya dari sebuah badan waqaf, selesai menziarahi makam para guru beliau, dan sehabis bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya:”Kapan kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?” Beliau menjawab: “Sesudah 200 tahun.” Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari kiamat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber : Mukhtashor Riyadhush Shalihin, Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadhish Shaalihiin

Picture by islam.com

Peristiwa Bersejarah Di Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban merupakan bulan yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim. Karena selain menjadi bulan yang dekat dengan Ramadhan dan sebagai bulan persiapan untuk menghadapi puasa di bulan Ramadhan, ada beberapa hal yang sering diperingati secara rutin setiap bulan Sya’ban, yaitu malam nisfu Sya’ban. Selain malam Nisfu Sya’ban ada juga beberapa peristiwa penting yang terjadi pada bulan Sya’ban.

Dalam kitab Ma Dza fi Sya’ban? karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki menyebutkan tiga peristiwa penting yang berimbas pada kehidupan beragama seorang Muslim.

Baca: Rahasia Dibalik Makna Malam Nisfu Sya’ban

Pertama, peralihan Kiblat Peralihan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram terjadi pada bulan Sya’ban. Menurut Al-Qurthubi ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 144 dalam kitab Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban.

Peralihan kiblat ini merupakan suatu hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW berdiri menghadap langit setiap hari menunggu wahyu turun perihal peralihan kiblat itu seperti Surat Al-Baqarah ayat 144 berikut. قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ Artinya, “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”

Kedua, penyerahan Rekapitulasi Keseluruhan Amal kepada Allah Salah satu hal yang menjadikan bulan Sya’ban utama adalah bahwa pada bulan ini semua amal kita diserahkan kepada Allah SWT. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki mengutip sebuah hadits riwayat An-Nasa’i yang meriwayatkan dialog Usamah bin Zaid dan Nabi Muhammad SAW. “Wahai Nabi, aku tidak melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” Kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Banyak manusia yang lalai di bulan Sya’ban. Pada bulan itu semua amal diserahkan kepada Allah SWT.

Dan aku suka ketika amalku diserahkan kepada Allah, aku dalam keadaan puasa.” Penyerahan amal yang dimaksud dalam hal ini adalah penyerahan seluruh rekapitulasi amal kita secara penuh. Walaupun, menurut Sayyid Muhammad Alawi, ada beberapa waktu tertentu yang menjadi waktu penyerahan amal kepada Allah selain bulan Sya’ban, yaitu setiap siang, malam, setiap pekan. Ada juga beberapa amal yang diserahkan langsung kepada Allah tanpa menunggu waktu-waktu tersebut, yaitu catatan amal shalat lima waktu.

Ketiga, penurunan Ayat tentang Anjuran Shalawat untuk Rasulullah SAW Pada bulan Sya’ban juga diturunkan ayat anjuran untuk bershalawat untuk Nabi Muhammad SAW, yaitu Surat Al-Ahzab ayat 56.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Artinya, “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” Ibnu Abi Shai Al-Yamani mengatakan, bulan Sya’ban adalah bulan shalawat.

Baca: Isra’ Mi’raj, Sains Dan Shalat

Karena pada bulan itulah ayat tentang anjuran shalawat diturunkan. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Imam Syihabuddin Al-Qasthalani dalam Al-Mawahib-nya, serta Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mengatakan bahwa ayat itu turun pada bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriyah.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: www.nu.or.id

Picture by islamicfinder.org

Rahasia Dibalik Makna Malam Nisfu Sya’ban

Dalam sebuah riwayat, Aisyah ra menuturkan bahwa pada suatu malam nishfu Sya’ban, tiba-tiba Rasulullah Saw yang sedang tidur bersamanya melepaskan selimutnya dengan perlahan-lahan.

Aisyah ra khawatir Rasulullah Saw pergi menemui salah satu istrinya yang lain. Lantas, Aisyah ra pun bangun mencarinya. Namun, tiba-tiba kakinya bersentuhan dengan kaki Rasulullah Saw yang ternyata sedang sujud.

Aisyah ra teringat ucapan beliau saat itu yang lagi berdo’a :

سجد لك سوادي و خيالي و آمن لك فؤادي، وأبوء لك بالنعم، وأعترف بالذنوب العظيمة، ظلمت نفسي فاغفرلي، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بعفوك من عقوبتك، و أعوذ برحمتك من نقمتك، و أعوذ برضاك من سختك، و أعوذ بك منك، لا أخصي ثناء عليك، أنت كما أثنيت على نفسك

Artinya: “Telah bersujud kepada-Mu bayangan dan pikiranku, telah beriman kepada-Mu sanubariku. Aku mengakui seluruh nikmat yang Engkau karuniakan, aku mengakui seluruh dosa-dosaku pada-Mu; Aku telah berbuat dzalim pada diriku, maka ampunillah diriku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. Aku berlindung dengan rahmat-Mu dari siksa-Mu, aku berlindung pada ridha-Mu dari amarah-Mu, Aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak punya daya untuk menghitung pujian untuk-Mu. Dan, Engkau adalah sebagaimana Engkau puji diri-Mu.”

Baca: Karomah Kiai As’ad Syamsul Arifin

Lalu, Rasulullah Saw melanjutkan shalatnya baik dengan berdiri atau pun dengan duduk sampai datang waktu shubuh. Pada pagi harinya, kaki beliau terlihat bengkak-bengkak. Lalu, Aisyah ra meraba kaki beliau dan berkata:

“Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya engkau telah menyiksa dirimu, ya Rasulullah Saw? Bukankah Allah Swt telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang? Bukankah Allah Swt telah menjaminmu?”

Rasulullah Saw menjawab: “Benar Wahai Aisyah! Bukankah sepantasnya aku menjadi hamba yang bersyukur atas semua itu? Tahukah kamu dengan apa yang terjadi malam ini?”

Aisyah ra menjawab: “Ada apakah ya Rasulullah Saw?

Lalu, Rasulullah saw menjelaskan:

“Pada malam ini, semua bayi yang akan lahir tahun ini dicatat, semua orang yang akan meninggal tahun ini dicatat, amal mereka diangkat, dan pada malam ini juga rezeki mereka diturunkan.” (Keterangan dalam kitab Fadha’il al-Auqat).

“Tidak hanya itu, pada malam ini pula Rahmat Allah Swt turun ke bumi. Allah Swt akan mengampuni segala sesuatu kecuali dosa musyrik dan orang yang di dalam hatinya tersimpan kebencian.” (HR. Al-Baihaqi). Imam Abdurrohman asy-Syafi’i dalam kitab A’mal al-Qubra: Nuzhah al-Majalis wa Muntakhab al-Nafaa’is.

Dalam riwayat lain Rasulullah saw juga menegaskan:

“Sesungguhnya pada malam nishfu Sya’ban itu Rahmat Allah Swt turun ke langit dunia dan kemudian mengampuni dosa manusia yang jumlahnya lebih banyak dari bulu domba Bani Kalb”. (HR. At-Tirmidzi: 3/116 dan Ibnu Majah: 1/444).

Kemudian Rasulullah Saw mengangkat kepalanya seraya berdo’a:

اللهم هبلي قلبا تقيا نقيا من الشر، بريا لا كافرا ولا شقيا

Artinya: “Ya Tuhanku, berilah Aku hati yang taqwa dan bersih dari segala kejahatan, hati yang suci, tidak kafir, dan tidak pula sengsara.” (Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki dalam kitabnya Madza fii Sya’ban, hlm. 63-67).

Akhirnya, dengan kesadaran diri, Rasulullah Saw yang jelas-jelas diampuni dosanya dan sudah dijamin masuk surga saja masih shalat sampai kakinya bengkak-bengkak. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah sudah melakukan hal demikian yang dilakukan oleh Rasulullah Saw atau paling tidak mengikuti sedikit saja dari perbuatan Rasulullah Saw selama ini?

Baca: KH. Ali Maksum: Amaliah Mengirim Hadiah Pahala Untuk Mayit

Oleh karena itu, marilah pada malam Nishfu Sya’ban yang penuh barokah (al-Lailah al-Mubarokah), malam pembagian rezeki dan penentuan takdir (Lailah al-Qismah), malam penghapusan dosa (Lailah at-Takfir), malam dikabulkan do’a (Lailah al-Ijabah), malam kehidupan dan hari raya malaikat (Lailah al-Hayah wa ‘Ied al-Malaikah), malam syafaat (Lailah asy-Syafaa’ah), malam pembebasan (Lailah al-Baroah wa Lailah ash-Shakki), malam hadiah (Lailah al-Jaizah), malam ampunan dan pembebasan dari api neraka (Lailah al-Ghufran wa al-Itq min an-Niiran) ini kita manfaatkan untuk memperbanyak shalat sunnah, dzikir, istighfar, dan do’a untuk keselamatan dunia akhirat, terutama sekali mohon segera dilepaskan dari ujian pandemi Covid-19. Semoga kita bisa menggapai keberkahan bulan Sya’ban ini dan Allah swt memberi kesempatan umur untuk beribadah pada bulan Ramadhan.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by hidayatullah.com

KH. Ali Maksum: Amaliah Mengirim Hadiah Pahala Untuk Mayit

Menghadiahkan pahala bacaan, shodaqah dan amal sholeh merupakan salah satu dari sekian furu’ khilafiyah yang seharusnya tidak mendorong terjadinya fitnah, pertengkaran, perdebatan dan sikap antipati kepada orang yang melakukannya dan yang menentangnya. Kedua belah pihak yang saling berbeda pendapat sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh sesama saudara muslimnya. Karena masing-masing pihak tentu memiliki alasan dan argumentasi sendiri yang membenarkan amaliahnya.

Ibnu Taimiyah mengatakan : “Mayit dapat mengambil manfaat dari pahala bacaan ayat al-Qur’an orang lain yang dihadiahkan kepadanya, sebagaimana ia juga dapat mengambil manfaat dari pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan sejenisnya.

Ibnul Qayyim mengatakan didalam kitab Ar-Ruh : “Sebaik-baik pahala yang dihadiahkan kepada mayit adalah pahala shadaqah, istighfar, mendoakan kebaikan untuk mayit, dan ibadah haji atas namanya. Adapun pahala bacaan ayat al-Qur`an yang dihadiahkan secara sukarela oleh pembacanya kepada si mayit, dan bukan karena dibayar, hal semacam ini pun sampai kepada si mayit, sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji kepadanya”.

Ibnul Qayyim mengatakan lagi di bagian lain dari kitabnya, bahwa yang lebih utama ketika melakukannya (membaca al-Qur’an) adalah hendaknya diniati agar pahalanya diberikan Allah kepada si mayit. Dalam hal ini, tidak disyaratkan untuk melafalkan niatnya.

Baca: Karomah Kiai As’ad Syamsul Arifin

Kedua pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim tersebut pernah dinukil oleh Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, mantan seorang mufti Mesir. Kemudian beliau menyatakan: Menurut pendapat ulama madzhab hanafi, bahwa orang yang melakukan amal ibadah, baik yang berbentuk shadaqah, bacaan ayat al-Qur`an, maupun amal sholeh lainnya, ia boleh menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan kiriman pahala tersebut sampai kepadanya.

Didalam kitab Fathul Qadir diriwayatkan sebuah hadis dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah saw, beliau bersabda,bahwasanya: Siapa saja yang melewati lokasi pekuburan dan membaca Qul huwallohu ahad (surat al-Ikhlash) sebelas kali, lantas pahala bacaannya dihadiahkan kepada para mayit, maka ia diberi pahala sejumlah mayit itu”.

Ulama syafi’iyah sepakat, bahwa pahala shadaqah dapat sampai kepada mayyit. Namun tentang pahala bacaan ayat al-Qur`an, menurut pendapat yang terpilih – sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab Syarah al-Minhaj – juga sampai kepada si mayit. Sebaiknya kita kokoh berpegang pada pendapat yang terpilih ini, karena ini merupakan suatu doa.

Di kalangan ulama madzhabmalikipada umumnya tidak ada perselisihan pendapat dalam hal sampainya pahala shadaqah kepada mayit. Yang mereka diperselisihkan ialah tentang bolehnya menghadiahkan pahala bacaan(al-Qur’an dan kalimat thoyyibah lainnya) kepada si mayit. Namun pada prinsipnya, madzhab malikimemakruhkan hal itu.

Sedangkan para ulama mutakhirin membolehkan pengiriman hadiah pahala bacaan, sebagaimana yang tercermin dalam amaliyah (tradisi) yang sudah berjalan selama berabad-abad di tengah masyarakat, dan pahala yang dikirimkannya pun dapat sampai kepada si mayit. Ibnu Farhun menukil suatu pendapat yang menyatakan bahwa sampainya pahala bacaan kepada mayit merupakan pendapat yang terunggul.

Didalam kitab Al-Majmu` yang ditulis oleh imam An-Nawawi disebutkan, bahwa al-Qadhi Abu ath-Thayyib pernah ditanya soal mengkhatamkan al-Qur`an di makam. Jawabnya, bahwa orang yang membaca akan mendapatkan pahala, sementara mayit (yang ada di makam itu) bagaikan orang-orang yang hadir menyimak, dimana mereka berharap memperoleh rahmat dan keberkahan dari bacaan al-Qur’an tersebut. Atas dasar ini, maka membaca al-Qur’an di makam adalah mustahab (sunnah). Selain itu, doa yang dibaca setelah membaca al-Qur`an lebih mudah dikabulkan dan bermanfaat bagi si mayit.

Imam An-Nawawi didalam kitab Al-Adzkar menukil pendapat dari sekelompok ashabus-syafi’iy, bahwa pahala bacaan(al-Qur’an dan kalimat thoyyibah lainnya) dapat sampai kepada si mayit, sama seperti pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama lainnya.

Baca: Syair-Syair Simbah KH. Muhammad Munawwir

Didalam kitab al-Mizan al-Kubra yang ditulis oleh Imam Al-Sya’rani dijelaskan, bahwa perselisihan pendapat tentang sampai atau tidaknya pahala bacaanmemang cukup terkenal. Masing-masing kelompok memiliki dalil sendiri-sendiri. Namun menurut madzhab Ahlissunnah, seseorang hendaklah menghadiahkan pahala amal sholehnya kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. (Lihat Al-Mizan al-Kubra pada akhir pembahasan tentang Jenazah).

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Kitab Hujjah Ahlissunnah Wal Jama’ah

Picture by nu.or.id

Berkah Memijit Mbah Ma’shum Lasem

Sambil memijiti Mbah Ma’shum (Kiai Ma’shum Lasem), sang santri melepaskan pandangannya ke berbagai sudut kamar. Lama dia memandangi apa saja yang nampak di matanya. Dibiarkannya Mbah Ma’shum tidur dalam pijitannya.

Sampai pada satu kesimpulan, yang hanya bisa diungkapkannya dalam hati; jika memang Mbah Ma’shum kiai besar, kenapa tidak ada kitab-kitab yang berjilid-jilid di ndalem atau di kamarnya? Kenapa juga Mbah Ma’shum tidak pernah atau tidak sering terlihat pakai serban yang melilit-lilit kepalanya? Bahkan, kenapa pula Mbah Ma’shum tidak pernah terlihat berdzikir dalam waktu yang lama.

Tapi, itu ungkapan atau pertanyaan yang hanya ada di dalam hati sang santri. Walau sudah tahun ketiga khidmah kepada Mbah Ma’shum, dia menyadari, sang santri tidak patut mempertanyakan hal itu kepada Sang Kiai. Bahkan sekalipun di dalam hati.

Saat benak dan pikiran sang santri masih kemana-mana, Mbah Ma’shum menggeliat dan langsung memberikan dawuh;

“Ri…, semua kitab-kitabku itu dibawa Ali (Ali Ma’shum Krapyak, Yogja). Jadi kiai itu tidak harus pakai serban, juga tidak harus berdzikir lama. Saya punya toriqoh tersendiri, yaitu hubbul fuqoro’ wal masàkìn”. Dan dawuh-dawuh seterusnya.

Baca: KH. M. Munawwir Dan Sajadah

Sang Santri pun terperanjat sebab ungkapan hatinya dijawab langsung oleh beliau. Walaupun sudah 3 tahun tinggal di Al-Hidayat Lasem, Sang Santri belum mengetahui konsep Al-‘Arif Billàh. Konsep itu, seperti yang sang santri ceritakan kepada saya 10 tahun lalu, dipelajari setelah momen itu dan momen memijit selanjutnya selama 4 tahun–total sang santri khidmah dan tinggal selama 7 tahun.

Selama di Al-Hidayat Lasem itu sang santri bertemu dan bersahabat dengan abah saya, 50 tahun lalu. Kemudian sang santri tadi mendirikan Pondok Pesantren Al-Hidayat di desa Gerning, Kec Tegineneng, (nama diambil sebagai Tabarrukan Mbah Ma’shum Lasem) di Pesawaran, Lampung.

KH. Abrori Akwan, nama santri itu, mengabdikan diri kepada umat hingga wafat. Kini pesantren itu dilanjutkan oleh putranya, KH. Ma’shum Abrori bersaudara.

Semua sudah tiada.

لهم الفاتحة

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by laduni.id

Isra’ Mi’raj, Sains Dan Shalat

Seringkali orang mempertanyakan kebenaran Islam lewat perspektif keilmuan, sementara metode keilmuan selama ini yang dipakai adalah metode keilmuan Barat yang sekuler. Inilah yang seringkali menimbulkan bias. Jika orang hendak melihat Islam secara ilmiah, maka perspektifnya harus dibangun dari perspektif keilmuan Islam. Bagaimana pendekatan studi Islam?

Dalam studi Islam dapat digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan rasional-spikulatif-idealistik dan pendekatan rasional-empirik. Pendekatan pertama adalah pendekatan filosofis, yaitu pendekatan yang digunakan terhadap teks-teks yang terkait dengan masalah yang bersifat metafisik, termasuk dalam hal ini adalah perisatiwa mi’raj nabi Muhammad saw. dari Masjidil Aqsha ke Sidrat al-Muntaha yang tidak membutuhkan jawaban empirik karena keterbatasan rasio manusia; kedua adalah pendekatan scientific (keilmuan), yaitu pendekatan terhadap teks-teks yang terkait dengan sunnatullah (ayat-ayat kauniyah), teks-teks hukum yang bersifat perintah dan larangan dan sejarah masa lampau umat manusia.

Mi’raj Nabi Muhammad saw.  dari  Masjid al-Aqsha ke Sidrat al-Muntaha pada  27 Rajab dalam waktu yang amat cepat merupakan peristiwa spektakuler yang mengundang reaksi keras dari kalangan kafir Quraisy saat itu, bahkan hingga sekarang. Ada yang mengatakan peristiwa itu terjadi dalam mimpi, bukan dalam alam nyata, atau terjadi pada diri Muhammad dengan ruhnya bukan jasadnya. 

Baca: Kisah KH. Zainal Abidin Munawwir Selamat Dari Gempa

Kaum emipris dan rasionalis boleh mempersoalkan dan menggugat dengan sejumlah sanggahan: Bagaimana mungkin kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui Muhammad tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang membakar tubuhnya? Bagaimana mungkin ia dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Menurut kaum empiris dan rasionalis hal ini tidak mungkin terjadi.

Ya, bisa dimaklumi jika kaum empiris dan rasionalis mempertanyakan peristiwa yang spektakuler itu. Sebab mereka memandang segala sesuatunya berdasarkan realita empiris dan yang rasional saja. Padahal Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang sublim.

Sebagaiman konsep keilmuan Barat, bahwa sesuatu disebut ilmiah (secara ontologis) jika lingkup penelaahannya berada pada daerah jelajah atau jangkuan akal pikiran manusia. Dan sesuatu dianggap benar jika didasarkan pada tiga hal: koherensi, korespondensi dan pragmatisme. Penganut positivisme hanya mengakui satu kebenaran, yaitu kebenaran yang bersifat inderawi, yang teramati dan terukur, yang dapat diulangbuktikan oleh siapa pun.  Dalam konsep keilmuan Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri-sensual (induktif), empiri-logik (deduktif) atau logico-hipotetico-verificatif, artinya baru disebut sebagai ilmu jika telah dibuktikan kebenarannya secara empiris. Jelaslah dari sini, jika peristiwa Mi’raj dilihat dari perspektif keilmuan Barat, maka ia tidak dipandang sebagai sesuatu yang ilmiah melainkan hanya bersifat dogma dan sistem kepercayaan (credo).

Namun, jika dilihat dari prespektif keilmuan Islam, maka persoalannya menjadi lain, ia tetap ilmiah dan benar, sebab dalam konsep Islam, ilmu di samping memiliki paradigma deduktif-induktif juga mengakui paradigma transenden, yaitu pengakuan adanya kebenaran yang datang dari Tuhan. Pengakuan terhadap hal-hal yang bersifat metafisik (misalnya adanya Tuhan, malaikat, hari kebangkitan, surga, neraka dan seterusnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, melainkan persolan-persoalan metafisik tersebut benar adanya (realistis). Sesuatu yang tidak atau belum terjangkau oleh akal pikiran manusia tidaklah selalu menjadi dalih akan ketidakbenaran sesuatu itu sendiri, sebab al-Qur’an menyebutkan : …. “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali” (QS.17 : 85).

Baca: Sejarah Metode Halaqah dalam Pengajaran Al-Qur’an

Apa yang ditegaskan Al-Qur’an tentang keterbatasan pengetahuan manusia tersebut juga diakui oleh para ilmuwan abad 20. Schwart misalnya –seorang pakar matematika kenamaan Perancis—menyatakan, bahwa fisikawan abad ke-19 berbangga diri dengan kemampunnya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak sekalipun. Sedangkan fisikawan abad 20 yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya meski yang disebut materi sekalipun. Teori Black Holes menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3 persen saja, sedangkan 97 persennya di luar kemampuan manusia. Itulah sebabnya seorang Kierkegaard tokoh eksistensialisme menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, melainkan karena ia tidak tahu“. Lalu Imanual Kant juga berkata, “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi penyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya“.

Sebetulnya peristiwa Isra’ Mi’raj ini memiliki arti penting bagi pembinaan keperibadian manusia, karena dalam peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut Nabi menerima perintah shalat lima waktu dalam sehari. Shalat inilah yang merupakan inti dari peristiwa besar tersebut, karena shalat merupakan tiang agama dan dasar dari pembangunan keperibadian manusia. Dalam pengertian lebih luas, shalat memiliki arti dzikir dan senantiasa mengingat Allah dalam segala tindakannya, sehingga dengan menegakkan shalat ini diharapkan manusia tidak pernah memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan dan segala macam tindakan keji lainnya. Pertanyaanya kemudian, shalat yang bagaimanakah yang mampu mencegah perilaku keji dan munkar itu? Kenapa sudah banyak orang yang melaksanakan shalat tetapi justru kejahatan makin menjadi-jadi? Pertanyaan inilah yang sering terdengar di telinga kita.

Baca: Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Ada tiga kategori manusia yang digolongkan sebagai “manusia yang melalaikan shalat” itu: Pertama, lalai waktu. Mereka ini suka mengolor-olor waktu shalat, sudah waktunya shalat, tetapi masih ditunda-tunda untuk melaksakannya, alias mereka tidak disiplin dan tidak tepat waktu. Itulah sebabnya ketika Nabi ditanya salah seorang sahabatnya mengenai amal yang afdhal, beliau menjawab “shalat yang tepat waktu”. Kedua, lalai tidak mengingat Allah dalam shalatnya, artinya selama dalam shalat, mereka lisannya mengucapkan bacaan-bacaan shalat, tetapi hatinya keluar dari kontesks shalat, pikirannya tertuju pada urusan duniawi, bahkan mereka tidak menghayati gerakan yang ada dalam shalat itu. (tiadak thuma’ninah). Ketiga, orang yang shalat, tetapi di luar shalat mereka tidak shalat, artinya mereka shalat, mungkin thuma’ninah dan tepat waktu, tetapi di luar tindakan shalat formal itu mereka tetap melakukan kejahatan. Contoh sederhananya, selesai melaksanakan shalat berjamaah di masjid misalnya, mereka masih mau mengambil sandal atau sepatu orang lain. Jika pada contoh yang lebih luas, mereka masih mau korupsi, manipulasi dan eksploitasi. Jadi mereka memisahkan antara shalat sebagai ibadah dengan urusan kehidupan dunia sehari-hari, inilah sesungguhnya yang disebut dengan “orang sekuler” atau sahun dalam bahasa Qur’an-nya.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: uin-malang.ac.id

Picture by waspada.co.id