Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #2

Dalam mengarungi bahtera rumah, Kyai Mundzir maupun Bu Nyai Zuhri senantiasa saling menjaga dan menghormati keistiqomahan masing-masing pihak. Seringkali tatkala Kyai Mundzir selesai shalat dan dzikir beliau ingin bercengkrama dengan Bu Nyai Zuhri, namun begitu melihat Bu Nyai Zuhri sedang nderes niat beliau diurungkan dan kembali shalat dan dzikir lagi. Begitu juga sebaliknya ketika Bu Nyai Zuhri ada waktu senggang dan ingin bercengkrama dengan Kyai Mundzir ternyata beliau masih khusu’ menjalankan shalat dan dzikir sehingga Bu Nyai Zuhri pun mengurungkan niat tersebut.

Baca: Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #1

Selama 13 tahun menjalin rumah tangga dengan Kyai Mundzir Bu Nyai Zuhri tidak dikarunia anak, karena memang sejak awal Kyai Mundzir sudah dawuh kepada Bu Nyai Zuhri; “Nyai, tidak usah punya anak ya, hidupnya dihabiskan untuk deres quran saja”. Hidup beliau dihabiskan untuk bermakrifat kepada-Nya. Selain menjadi ibu rumah tangga Bu Nyai Zuhri juga membantu mengajar di Pondok Pesantren Ma’unah Sari Kediri. Pondok Pesantren Ma’unah Sari lebih fokus di bidang Tashawwuf terutama mengistiqomahkan shalat berjamaah dan dzikir. Pesantren ini pun awalnya hanya menerima santri putra, akan tetapi dengan kehadiran Bu Nyai Zuhri berpengaruh sekali dalam perjalanan panjang Pesantren Ma’unah Sari Kediri ini. Kemudian Pondok Pesantren Ma’unah Sari pun mulai menerima santri putri yang langsung dibimbing oleh Bu Nyai Zuhri, program pengajian al-Qur’an bil ghoib maupun bin nadzri juga dibuka. Pada akhirnya Pondok Pesantren Ma’unah sari menjadi pesantren al-Qur’an yang terkenal hingga sekarang.

Bu Nyai Zuhri terkenal dengan kedermawanannya, uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit tidak serta merta beliau gunakan untuk kebutuhan pribadi. Dari uang yang terkumpul itu beliau pernah gunakan untuk menghajikan sekitar sepuluh orang. Kedermawanan beliau yang sudah di luar nalar manusia biasa pada umumnya. “Sabar, syukur, nerimo (tawakkal), ngalah, dan loman (dermawan). Beliau mengamalkan lima hal tersebut, kalua kita belum tentu bisa mengamalkan salah satu diantaranya. Beliau mengamalkan semuanya dan saya percaya seratus persen bahwa beliau itu wali, ungkap Kyai Hafidz Tanwir (cucu dan santri ndalem Bu Nyai Zuhri).

Baca: Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

Berdasarkan sifat dan sikap yang ada pada Bu Nyai Zuhri banyak yang beranggapan bahwa beliau adalah seorang wali. Tidak semua orang bisa berkumpul dengan Kyai Mundzir yang juga sudah terkenal masyhur akan kewaliannya. “Tentunya perempuan yang bisa mendampingi Kyai Mundzir sebagai istrinya adalah perempuan yang sederajat dengan beliau” terang KH. Nurul Jazuli Ploso. Terlepas dari pernyataan apakah beliau wali atau bukan, yang jelas beliau adalah sosok yang harus kita teladani. Seorang guru al-Qur’an yang menghabiskan hidupnya hanya untuk mencintai al-Qur’an. Hamba Allah yang tidak sekedar penghafal al-Qur’an tetapi juga Hamilul qur’an.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by jaringansantri.com

Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #1

Ndreso ben lanyah Qurane” (Dereslah supaya lancar hafalan qur’an nya). Kalimat yang populer dari Ibu Nyai Zuhriyyah di kalangan santri Pondok Pesantren Ma’unah sari Kediri. Nok Huri panggilan kecilnya Bu Nyai Zuhri ini merupakan salah satu putri KH. M. Munawwir Bin Abdullah Rosyad pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, dari hasil pernikahan dengan istri ke-lima yakni dengan Ibu Nyai Khodijah. Nok Huri merupakan saudara kandung dengan KH. Ahmad Munawwir dan Nyai Hj. Walidah Nawawi Ngerukem An Nur Bantul. Bu Nyai Zuhri lahir pada hari Rabu tanggal 2 Jumadi Tsani 1358 H atau 19 Juli 1939 M.

Nok Huri mengaji quran di bawah bimbingan kakaknya yakni KH. Abdul Qodir Munawwir, ketika beliau berusia 3 tahun sejak sang ayah wafat. Kemudian setelah beranjak dewasa beliau melanjutkan nyantri di Pondok Pesantren Yanbu’ul Quran di Kudus di bawah bimbingan KH. Arwani Amin sampai hafalan al-Qur’annya khatam. Setelah boyong dari Kudus beliau membantu ibunya mengurus  Rubatut Tahfidz (sekarang bernama Komplek L) bersama KH. Ahmad Munawwir.

Baca: Kisah Kiai Zainal Dengan Santri Baru

Bu Nyai Zuhri senaniasa selalu istiqomah menjaga hafalan al-Qur’annya dengan nderes, bahkan ketika ada tamu pun yang berkunjung hanya untuk berbincang dengannya, beliau hanya menemui sebentar guna menunaikan kewajiban menerima tamu. Kemudian beliau meminta izin untuk ke belakang dan berlama-lama, sehingga sang tamu segera pulang dengan sendirinya. Kemudian setelah itu beliau melanjutkan deresannya.

Bu Nyai Zuhri mengalami penyakit yang misterius, yakni ketika melafadzkan lafadz Allah dalam al-Qur’an beliau mengalami kejang bahkan sampai pingsan. Kejadian ini terjadi tidak hanya satu atau dua kali saja, melainkan bisa berkali-kali karena memang terdapat banyak sekali lafadz Allah di dalam al-Qur’an. Menurut KH. Munawwar Ahmad (pengasuh Komplek L) Bu Nyai Zuhri merupakan hamba-Nya yang telah sampai pada tingkatan Iman. Hal ini sesuai dalam al-Qur’an surah al-Anfal ayat 2:

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka dan bila dibacakan ayat-ayat Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal”.

Bu Nyai Zuhri sangat menjaga sikapnya ketika berhadapan dengan lawan jenis, ketika berpapasan di jalan dengan lawan jenis Bu Nyai Zuhri akan berpura-pura cacat atau seperti pura-pura juling. Hal itu beliau lakukan supaya tidak menimbulkan syahwat diantara lawan jenis. Menginjak usia 35 tahun Bu Nyai Zuhri belum juga menikah bahkan banyak yang hendak mengkhitbah beliau tetapi selalu beliau tolak.

Di lain pihak KH. M. Mubasyir Mundzir yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Ma’unah Sari Kediri yang terkenal dengan kewaliannya sejak masih muda juga belum kunjung menikah, padahal usia beliau pada saat itu sudah 55 tahun, usia yang sudah tidak muda lagi. Kyai Mundzir disarankan oleh seseorang untuk melamar Bu Nyai Zuhri, padahal saat itu beliau belum mengenali Bu Nyai Zuhri sama sekali. Akhirnya KH. Mundzir meminta Gus Thoha (KH. Thoha Yasin) yang notabene merupakan salah satu murid juga keponakan beliau untuk melihat dari mata kebatinan Gus Thoha, Gus Thoha mengisyaratkan Bu Nyai Zuhri sebagai seekor burung merpati putih yang berparuhkan emas. Burung merpati yang senantiasa menyanyikan ayat-ayat al-Qur’an.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Kyai Mundzir dan Bu Nyai Zuhri belum pernah bertemu sebelumnya, akan tetapi bila sudah jodoh tidak akan pergi kemana dan pula tidak akan tertukar. Akhirnya pada hari Jum’at (akhir bulan Juni 1973) berlangsunglah pernikahan KH. M. Mubasyir Mundzir dengan Ibu Nyai Zuhriyyah binti KH. Munawwir dengan suasana sederhana. Uang sebesar Rp. 10.000 sebagai mahar dilaksanaknlah pernikahan antara keduanya di Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L. Dimana yang bertindak selaku wali adalah KH. Ahmad Munawwir, adapun yang mengakadkan adalah KH. Ali Maksum, sedangkan sebagai saksinya adalah Bapak Syal’an dan Gus Thoha. Gus Thoha pun yang bertindak sebagai pembaca doa.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by jaringansantri.com

KH. Dimyathi Syafi’ie #2

Pesantren yang pertama ia singgahi terletak di Pesantren Termas, Pacitan. Kemudian ia meneruskan pengembaraan ke Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdullah Fakih, di sini kurang lebih selama 6 Tahun. Setelah dirasa cukup ia meneruskan ke Pesantren Pesantren IdhamSari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah Syuja disinilah ia memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran. Lalu ia melanjutkan pendidikan terakhir di dua pesantren yang berada di wilayah Banyuwangi.

Dalam sistem pendidikan di pesantrennya, KH Dimyathi lebih mengandalkan sistem sorogan. Sistem ini menjadikan santri-santrinya menyimak dengan saksama. Karena sorogan yang dipakai oleh KH Dimyathi adalah “sorogan tak langsung”. Artinya para santri mengulangi membaca kitab yang telah dibaca oleh sang kyai beberapa hari sebelumnya. Jadi para santri secara otomatis akan mendengarkan dengan saksama ketika sang Kyai sedang membacakan, karena mereka harus mengulanginya secara terjadwal.

Baca: KH. Dimyathi Syafi’ie #1

Sementara cara lain yang digunakan oleh KH Dimyathi di Pesantrennya adalah metode bandongan. Dalam mekanisme bandongan sang kyai bebas menerangkan agar para santri mengerti maksud-maksud tersirat dari teks-teks kitab yang sedang dipelajari. Cara ini lazim digunakan di madrasah-madrasah Blambangan selatan sebagaimana juga pesantren-pesantren Nusantara lainnya.

Selama mengasuh Pesantren, selain terlibat dalam perjuangan fisik secara langsung pada malam hari, KH Dimyathi juga sempat membuat karangan tentang akhlak karakter yang semestinya dimiliki oleh para remaja Islam. Karangan ini berbentuk nadzam semacam pantun dalam bahasa Arab, yang menggunakan susunan rima ab ab. Nadzam karangan KH Dimyati ini berjudul Muidzotus Syibyan Nasihat untuk para Remaja

Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb / Pondok Pesantren Kepundungan sendiri sangat mengutamakan penguasaan ilmu alat, nahwu dan shorof. Meski tentu saja kitab2 tafsir juga menjadi kajian utama para santrinya. Menurut beberapa santri yang sempat menimba ilmu kapada KH Dimyati, kehebatan Pesantren Nahdlatut Thullab adalah dalam pengembangan aqoid 50-nya. Melalui pembinaan Aqoid 50 ini para santri yang telah boyongan dapat memberikan solusi untuk masalah-masalah ke-Tuhanan kepada masyarakat di daerah alumni itu sendiri.

Beberapa santri bahkan menyatakan ilmu-ilmu tersebut dapat mereka kuasai secara ladunni. Artinya, dulu ketika diajar langsung terkadang mereka tidak memahami pelajaran saat itu juga, namun setelah keluar dan mengabdi untuk masyarakat, mereka tiba-tiba teringat dan mengerti maksud penjelasan KH Dimyathi sewaktu di Pesantren dahulu.

Metodenya pembelajaran KH Dimyathi sebenarnya sangat sederhana sekali. Namun karena keyakinan tinggi dari para santrinya, maka mereka mendapatkan semacam pencerahan. Hal pertama yang ditancapkan kepada para santri adalah Al-Qur’an. Para santri diwajibkan senantiasa mendawamkan membaca Al-Qur’an di sepanjang hari, di setiap aktivitas mereka. Kemudian barulah didoktrin dengan Aqoid 50 dan baru belajar nahwu shorof serta ilmu-ilmu lainnya.

Hal penting lain yang diajarkan KH Dimyathi adalah pendidikan bilhal/ bifi’li. Yakni pendidikan praktik langsung, bukan hanya teori. KH Dimyathi terkenal suka mengajak para santrinya untuk bersilaturrahim. Hal ini adalah salah satu aspek pendidikan yang terus tertanam di hati para santrinya sepanjang hidup mereka.

Pada zaman-zaman perjuangan merebut kemerdekaan, banyak sekali korban yang harus dipertaruhkan oleh bangsa Indonesia. Tak terhitung lagi korban yang telah dipersembahkan demi sebuah emerdekaan. Bukan sekadar harta dan nyawa, namun juga perasaan terhinakan karena terus dikejar-kejar dan terusir dari kampung halaman.

Baca: Biografi KH. Faqih Abdul Jabbar Maskumambang

Namun tentu saja banyak sekali para pahlawan yang justru memanfaatkannya untuk berjuang di dua ranah, yakni perjuangan fisik dengan mengangkat senjata dan perjuangan dakwah dengan mendidik generasi penerus bangsa. Salah satu di antara sekian banyak para pahlawan bangsa yang berjuang di dalam dua medan perjuangan sekaligus ini adalah KH Dimyathi Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb Kabupaten Banyuwangi.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nahdlatululama.id

Picture by nahdlatululama.id

KH. Dimyathi Syafi’ie #1

KH. Dimyathi Syafi’ie lahir tahun 1912 M di desa Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta, putra dari Kyai Syafi’ie. Thobiri adalah nama kecilnya. Saat usia 14 tahun, mulailah ia melalang dalam menimba ilmu agama dan saat itu ia diajak bersama sang kakak (Kiai Maksum) ke tanah Blambangan Banyuwangi.

KH Dimyathi ketika masa-masa remaja, ia ingin menuntut ilmu ke luar dari wilayah Blambangan Banyuwangi. Maka, ia pun mengutarakan maksudnya ini kepada ibundanya. Namun sang ibu menyatakan bahwa keluarganya sedang tidak memiliki bekal yang cukup untuk membiayai keinginannya. Keluarga di Banyuwangi hanya memiliki tanah persawahan yang tidak dapat diharapkan banyak karena sulitnya zaman akibat penjajahan.

Baca: Biografi KH. Faqih Abdul Jabbar Maskumambang

Namun Dimyathi nampaknya telah teguh dengan keinginannya. Ia menginginkan untuk menjual sawah yang menjadi bagian warisannya kelak ketika dewasa. Kendati terheran-heran dan hampir tak percaya, Ibunya pun kemudian menyanggupi ketika melihat tekad bulat anaknya ini. Ibunya lebih heran lagi ketika melihat bahwa semua uang hasil penjualan sawah satu hektare bagiannya, dibelikan kitab. Saking herannya ibunya bahkan sempat mengatakan, ”Makan tuh kitab.”

Walhasil Dimyathi pun segera meninggalkan rumahnya untuk mondok ke Pesantren Termas, di Pacitan. Karena seluruh uangnya telah dibelikan kitab, maka ia hanya dibekali oleh ibunya dengan sekarung cengkaruk/ karak campur jagung. Bahan makanan ini berupa bahan yang menunjukkan betapa sebenarnya keluarga Dimyathi di Banyuwangi juga sama-sama susah akibat penjajahan Belanda.

Namun rupanya dengan bekal hanya sekarung cengkaruk ini, Dimyathi mampu bertahan hingga tiga tahun di Pesantren Termas. Rupanya ia bertahan di Termas dengan cara bekerja ke sawah untuk mencukupi kebutuhannya selama mondok. Karenanya Dimyathi kemudian menerapkan metode ini di pesantrennya yang telah ia bangun kembali.

Selama di Pesantren Dimyathi memang terkenal sebagai santri yang tekun, konon ia adalah santri kesayangan sang pengasuh Pesantren Termas. Pada saat itu Pesantren Termas berada di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyathi. Karena saking sayangnya, di sinilah Dimyathi berganti namanya menjadi Dimyathi, nama yang digunakannya hingga akhir hayatnya. Sebelumnya, nama lahirnya adalah Muhibbut Thobari. Maka setelah boyongan dari Pesantren Termas, ia pun menggunakan nama Dimyathi. Sementara nama lahirnya, Muhibbut Thobari, tak lagi digunakan.

Dalam pandangan KH Dimyathi, para santri sah-sah saja bekerja selama menimba ilmu di Pesantren, karena justru akan membantu mereka untuk mandiri sejak dini dan tidak membebani orang tua di rumah. Pesantren dapat menyediakan lahan yang digunakan oleh para santri untuk bercocok tanam atau membuka usaha, asalkan tidak mengesampingkan tugas utamanya, yaitu belajar ilmu agama. Dengan demikian para santri dapat menopang sendiri hidupnya, sehingga tidak perlu dikirim oleh orangtua dari rumah.

Begitulah yang dijalani Dimyathi selama mengaji di tiga Pesantren, yakni Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdullah Fakih dan Pesantren Idham Sari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah Syuja’. Kedua pesantren yang terakhir berada di wilayah Banyuwangi sendiri.

Maka demikian pun ia mempraktikkan ilmunya ketika telah mengasuh Pesantren. Para santri di Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb tidak harus membawa bekal atau dibekali oleh orang tuanya dari rumah. Asalkan santrinya bekerja keras tentu dapat menopang kehidupan dan membiayai pendidikannya selama di pesantren. Karenanya, dana pembangunan pesantren yang diperoleh dari Presiden Soekarno disisakan untuk membeli lahan, agar para santri tidak membebani orang tua masing-masing.

Baca: Biografi KH. Nawawi Berjan #1

Kenyataan ini adalah yang sebenarnya, karena entah kebetulan atau tidak, jumlah santrinya tidak pernah lebih dari kapasitas lahan yang tersedia yang digunakan untuk menopang kehidupan dan kebutuhan belajar santri. Sehingga KH Dimyathi dapat benar-benar mendidik santri dengan saksama, termasuk ketika harus membina mereka sebagai laskar Hizbullah pada kegelapan malam. Mengendap-endap dan menyergap musuh, untuk merangkul kitab kuning pagi harinya di pesantren.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nahdlatululama.id

Picture by nahdlatululama.id

Biografi KH. Faqih Abdul Jabbar Maskumambang

KH. Faqih Abdul Jabbar atau yang kerap disapa dengang panggilan KH. Faqih Maskumambang lahir pada tahun 1282 H atau bertepatan pada tahun 1866 M, di desa Maskumambang, wilayah Sedayu, Gresik di Jawa Timur. KH. Faqih Maskumambang wafat pada tahun 1353 H/1937 M dan dimakamkan di Maskumambang.

Penerus KH. Faqih Maskumambang adalah KH. Ammar bin Faqih Maskumambang (lahir 1902 dan wafat 1965), yang melanjutkan tonggak kepemimpinan Pesantren Maskumambang sepeninggal KH. Faqih. KH. Ammar bin Faqih juga menulis beberapa karangan kitab, di antaranya adalah “al-Rudud wa al-Nawadir” yang mengkaji permasalahan hukum dua shalat Jum’at, juga kitab “al-Nur al-Mubin”, “al-Hujjah al-Balighah”, “Tahdih Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” dan lain-lain.

Baca: Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

KH. Faqih Abdul Jabbar memulai pendidikkannya dengan belajar langsung kepada ayahnya. Beliau belajar membaca al-Qur’an dengan qira’at Nafi’ dan selainnya, juga belajar fikih kepadanya dan membaca kitab al-Minhaj (Minhaj al-Thalibin karya al-Nawawi).

Setelah selesai belajar kepada sang ayah, kemudian beliau melanjutkan pendidikannya dengan belajar ilmu nahwu dan bahasa Arab kepada Syekh Kholil Bangkalan. Setelah selesai belajar kepada Syekh Kholil Bangkalan, pada tahun 1298 H/1880 M, KH. Faqih Maskumambang pergi haji dan bermukim di Makkah untuk thalabul ilmi.

Di Makkah beliau belajar kepada Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Sayyid Umar bin Muhammad Syatha dan anaknya Ahmad. Beliau juga menjumpai beberapa murid Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan belajar dari mereka. Beliau belajar fikih dan nahwu kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Makki, murid dari Muhammad ‘Abid al-Sindi dan Abdullah bin Hasan al-Dimyathi. Beliau mengaji Shahih Tirmidzi di beberapa majlis, seperti majlis Syekh Sa’id bin Muhammad Ba-Bashil yang saat itu menjabat sebagai mufti madzhab Syafi’i. Beliau juga mengaji Shahih Bukhari dari Sayyid Husain bin Muhammad al-Habsyi al-‘Alawi. Beliau mengambil riwayat dari Abid bin Husain bin Ibrahim al-Maliki, Jamal bin al-Amir al-Maliki, Sa’id bin Muhammad al-Yamani, Mahfuzh bin Abdullah al-Tarmasi, dan Abdul Hayy bin Abdul Kabir al-Kattani.

Selain belajar kepada ulama besar Makkah, KH. Faqih Maskumambang juga mengambil kredensi intelektual (ijazah) dan sanad keilmuan dari ulama-ulama besar dunia Islam yang datang ke Makkah untuk berhaji, seperti Syekh Syu’aib bin Ali al-Rabathi, Syekh Muhammad Ja’far al-Kattani, Syekh Abdullah Shudfan al-Hanbali al-Dimasyqi, Syekh Abdul Aziz bin Ahmad al-Banati al-Fasi, dan lain sebagainya.

Informasi berharga lainnya yang dikemukakan oleh Habib Salim bin Jindan dalam “Raudhah al-Wildan” adalah keberadaan kitab tsabat dan sanad milik KH. Faqih Maskumambang, berjudul “Ghayah al-Amani fi Asanid al-Syekh Faqih bin ‘Abd al-Jabbar al-Maskumbani”. Habib Salim bin Jindan mengatakan jika dirinya mendapatkan kitab tersebut dari KH. Faqih Maskumambang di Surabaya.

Sepulangnya dari Makkah, KH. Faqih Maskumambang kemudian menetap di Maskumambang, Gresik, Jawa Timur dan membuka pesantren di sana. Beliau juga terhitung sebagai kawan dekat KH. Hasyim Asy’ari Jombang yang mana bersama-sama turut serta membidani kelahiran Nahdlatoel Oelama (NU) di Surabaya pada tahun 1926.

Kedekatan hubungan ini pun kian bertambah erat ketika salah satu keponakan KH. Faqih, yaitu KH. Ma’shum Ali (pengarang kitab ilmu shorof “al-Amtsilah al-Tashrifiyyah” yang terkenal), dinikahkan dengan putri pertama KH. Hasyim Asy’ari, yaitu Nyai Khoiriyyah Hasyim. Keponakan KH. Faqih yang lain, yang juga adik KH. Ma’shum Ali, yaitu KH. Adlan Ali, juga terhitung sebagai salah satu tokoh NU masa-masa awal.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

KH. Faqih Maskumambang tercatat memiliki beberapa karangan yang ditulis dalam bahasa Arab, di antaranya adalah “al-Manzhumah al-Daliyyah li Ma’rifah al-Syuhur al-Qamariyyah” dalam bidang ilmu falak, juga kitab “al-Nushush al-Islamiyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah” yang mengkritik dan menolak ideologi kaum puritan Wahhabisme dari Nejd.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by nahdlatululama.id

KH. M. Munawwir Dan Sajadah

Para Kiai pesantren itu khas, juga unik. Para Kiai itu istiqomah dalam ngaji, sangat sabar dalam mendidik santri. Sehari-sehari para kiai tak pernah sepi dari ngaji, sekaligus tidak pernah putus dalam ibadahnya. Ibadah wajib dan sunnah menjadi satu kesatuan, tak pernah dipisahkan.

Termasuk Kiai Munawwir Krapyak. Sehari-sehari, Kiai Munawwir setia dengan sajadahnya. Bukan untuk “gaya”, melainkan wujud istiqomahnya dalam belajar. Dalam sajadah itu pula, Kiai Munawwir begitu khidmat dalam mengajari santri-santrinya terhadap al-Qur’an. Tidak pernah geser dari sajadah, karena itulah khittah perjuangan yang dipilihnya.

Pada suatu saat, ada santri yang diperintah istri Kiai Munawwir untuk meminta uang belanja. Kiai Munawwir sendiri dalam kesehariannya tidak pernah membawa dompet, tidak juga mengantongi uang saku. Keseharian Kiai Munawwir adalah keseharian bersama al-Qur’an. Tetapi ketika santri utusan Ibu Nyai meminta uang belanja, Kiai Munawwir merogoh sajadahnya untuk mengambil uang.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Santri itu heran, bingung, sekaligus penuh tanda tanya. Kenapa bisa begitu? Karena keseharian Kiai Munawwir itu mengajar ngaji, tak pernah surut. Waktunya habis di serambi Masjid bersama para santri. Uang belanja dari sajadah Kiai Munawwir adalah karomah beliau. Itulah kekasih Allah yang selalu mendapatkan kemudahan atas berbagai persoalan yang dijalaninya.

Sajadah Kiai Munawwir dan santri utusan Ibu Nyai hanyalah sekilas dari kisah penuh inspirasi. Kiai Munawwir dikenal sangat ketat dalam ngaji al-Quran. Bahkan untuk mengaji surat al-Fatihah, seorang santri bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan ada yang setahun lebih. Bukan waktu yang menjadi ukuran, karena ngaji itu mengutamakan kualitas ilmu. Jadi, santri itu harus benar-benar menguasai bacaan dalam al-Qur’an. Apalagi surat al-Fatihah yang menjadi rukun dalam sholat.

Sajadah dan al-Qur’an begitu melekat dalam diri Kiai Munawwir. Dari sini pula, Kiai Munawwir melahirkan banyak santri yang menjadi ulama besar pada masanya. Kiai Munawwir belajarnya juga tidak sebentar, karena pernah ngaji di Makkah-Madinah selama 21 tahun. Kiai Munawwir juga mendapatkan ijazah sanad qiroah sab’ah (tuju cara membaca al-Qur’an) yang sanadnya bersambung di urutan ke-35 kepada Nabi Muhammad SAW.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by wallpaperflare.com

Biografi KH. Nawawi Berjan #2

Pendiri Jam’iyyah Ahli Thariqot al-Mu’tabaroh

Secara singkat, sejarah Thariqohal-Qhadiriyyah wa Naqsyabandiyyah berkembang di Berjan adalah merupakan hasil gabungan antara dua aliran, yakni aliran Thariqoh Qhadiriyyah dan aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah yang gagas oleh Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar daerah Sambas Kalimantan Barat (1802-1872 M). Sedangkan aliran Thariqoh al-Qhadiriyyah pencetusnya adalah Syaikh Abdul Qhodir al-Jailani sebagai pelopor cikal-bakal aliran-aliran organisasi thariqoh dengan cabang-cabangnya di belahan penjuru dunia Islam.

Sementara aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah adalah dirintis oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Bukhari al-Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389 M) seorang tokoh sufi yang memulai belajar tentang tasawuf kepada gurunya Baba al-Samsyi pada saat berusia 18 tahun. Syekh Ahmad Khatib Sambas telah berhasil untuk menggabungkan dua aliran Thariqoh tersebut sebagaimana tertulis dalam karya kitabnya Fath al-Arifin dengan metode jenis Dzikir yaitu Dzikir Jahr dalam Thariqoh Qhadiriyyah dan Dzikir Khafi dalam Thariqoh Naqsybandiyyah.

Baca: Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh

Syekh Ahmad Khatib Sambas menjadi pelopor pemikiran Thariqoh Qhadiriyyah wa Naqsyandiyyah walaupun lama bermukim di Mekah pada pertengahan abad ke-19, maka banyak yang bersedia menjadi muridnya baik dari Negara Malaysia, Jawa dan luar Jawa. Pada perkembangannya Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara banyak yang bersumber kepada salah satu atau ketiga menjadi Mursyid pertama, mulai dan Syaikh Abdul Karim paman Syekh Nawawi  Banten sebagai pimpinan Thariqoh.

Sedangkan muridnya meneruskan dan berjasa besar untuk mengembangkan Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara yaitu, Kiai Asnawi Caringan Banten (w.1937), Syekh Zarkasyi (1830-1914 M), pada tahun 1860. Sementara Syekh Zarkasyi pada periode pertama mengembangkan Thariqoh wa Naqsyabandiyyah diteruskan pada periode kedua Muhammad Siddiq dan diteruskan ke periode ketiga yaitu KH. Nawawi Berjan Purworejo Jawa Tengah.

Pada periode KH. Nawawi  pada mulanya tidak bersedia untuk di baiat menjadi mursyid karena alasan berjuang bersama laskar Hizbullah pada saat itu, lalu pamannya, memberanikan diri Kiai Abdul Majid Pagedangan matur untuk di baiat sebagai mursyid tapi KH. Nawawi jawabannya tetap sibuk berjuang bersama laskar Hizbullah, maka sementara kedudukan mursyid dilanjutkan oleh pamannya sendiri, Simbah Kiai Munir bin Zarkasyi.

Setelah pasca perjuangan melawan penjajah, dan saudara kandung mirip ayahandanya wafat bernama Muhammad Kahfi pada hari kamis tanggal 6 Dzulqo’dah 1371/1950 M, maka barulah KH. Nawawi  berkenan untuk di baiat sebagai mursyid kepada Simbah Kiai Munir (w. 1958) Amanah yang berat sebagai pewaris pimpinan pondok pesantren dan juga sebagai mursyid Thariqoh wa Naqsyabandiyah selama 35 tahun (1947-1982). Pada saat itulah, KH. Nawawi  mulai merasakan keadaan terhadap aliran dan organisasi Thoriqoh yang berkembang dengan saling menyalahkan dan bahkan mengkafirkan antara aliran Thariqoh seperti Thariqoh Tijaniyyah dan Thariqoh Syathoriyyah yang sejatinya sama-sama berasal dari organisasi NU.

Pada tanggal 31 Desember Tahun 1955 KH. Nawawi  Berjan dan KH Masruhan berdialog untuk berusaha meluruskan para penganut Thariqoh dan perlunya menyepakati dalam bentuk Jam’iyyah thariqoh yang benar dan lurus, mana yang mu’thabaroh maupun yang tidak. Sekitar dua tahun kemudian, KH. Nawawi  bersilaturrahim kebeberapa daerah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah bersama Kiai Mahfudz Rembang, maka pada tahun 1957 yang didampingi oleh Kiai Abdurrahim Pagedangan sehingga melahirkan Tim Pentasheh Thariqoh yang beranggotakan enam orang diantaranya Kyai Muslih Mranggen, dan Kiai Baedlowi Lasem.

Dengan keperihatinan dalam menyaksikan maraknya perpecahan dikalangan para penganut Thariqoh ini, kemudian KH. Nawawi  mengabadikan dalam catatan buku hariannya dengan menulis yaitu cara-cara yang menjalin hubungan persatuan berbagai panganut Thariqoh.

Menurut catatan-catatan buku harian KH. Nawawi , cara-cara mengeratkan ukhuwah di antara ikhwan thoriqoh. Pertama, para mursyid diberi tuntunan-tuntunan asas Thoriqoh yang semuanya asas-asas tadi dimengerti sampai tahu betul para murid dengan asas tujuan Thoriqoh hingga paham adab-adabnya murid Thoriqoh, adab kepada guru dan adab teman-teman Thoriqoh dengan inshaf, dan patuh terutama adab ma’a Allah dan Rasulnya. Kedua, supaya dianjurkan tazawur diantara mursyidin dengan para abdal satu sama lain, dengan tukar pikiran bagaimana caranya mentarbiyah murid-murid mana yang baik ditiru oleh ikhwan lain agar menambah amal khair.

Ketiga, para mursyid menganjurkan kepada abdal-abdal supaya berangkat khataman, tawajuhan dan riyadloh jasmaniyah dan rohaniyah serta tafakkur yang dapat mendekatkan muroqobah hingga para ikhwan Thoriqoh bisa melatih diri inshaf kepada ajaran-ajaran Sufi yang mana bisa sabar dan Ridho pada hukum Allah, dan membuat kebaikan kepada makhluk serta cinta kepada teman-teman dan menjauhi larangan-larangan tuhan dan terus mengabdi tambahannya ilmu serta ingat kepada mati agar giat beribadah.

Baca: Ibu Nyai Hindun Dari Krapyak Hingga Kempek

Dengan terbentuknya panitia sementara dalam rencana penyelenggarakan kongres pertama. Maka pada tanggal 11 Agustus tahun 1956 dengan susunan kepanitiaan Pelindung KH. Romli Tamim Rejo Jombang dan Ketua I KH. Nawawi  Berjan serta pembantu-pembantu I KH. Khudlori Magelang. Hasil Presidium Kepengurusan Kongres perdana dengan Anggota KH. Mandhur, KH. Chudlori Tegalrejo, KH. Usman, KH. Chafidz Rembang, KH. Nawawi, KH. Masruchan Brumbung, dengan sidang pertama di Rejoso Jombang. Kesepakatan kongres pada tanggal 19/20 Rabiul awal 1377 atau 10 Oktober 1957 sebagai hari lahir Jam’iyyah Ahli Thariqoh al-Mu’tabaroh. Pendirian Jam’iyyah ini telah direstui oleh KH. Dalhar Watucongol, walaupun pada saat itu beliau tidak berkenan naik panggung. 

Dalam kongres Jam’iyyah Ahli Thoriqoh ke 1 pada tanggal 12-13 Oktober 1957 di Tegalrejo Magelang dalam kapasitasnya sebagai ketua Panitia Kongres, KH. Nawawi dan Kyai Siraj Payaman yang paling banyak memberikan Jawaban setiap pertanyaan dari peserrta, termasuk dari Kiai Mahrus Lirboyo.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by annawawiberjan.or.id

Biografi KH. Nawawi Berjan #1

KH. Muhammad Nawawi lahir pada hari Selasa Kliwon tanggal Robi’ul Awwal 1334 H atau bertepatan pada 10 Januari 1916 M, di Berjan Purworejo. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Muhammad Shiddiq dengan Nyai Fatimah.

KH. Muhammad Nawawi merupakan keturunan dari keluarga ningrat bernasab keturunan dari Sultan Agung Mataram dari jalur ayahnya yaitu; Muhammad Nawawi bin KH. Muhammad Shiddiq bin Kiai Zarkasyi bin Asnawi Tempel bin Kiai Nuriman Tempel bin Kiai Burhan Joho bin Kiai Suratman Pacalan bin Jindi Amoh Plak Jurang bin Kiai Dalujah Wunut bin Gusti Oro-oro Wanut bin Untung Suropati bin Sinuwun Sayyid Tegal Arum bin Sultan Agung bin Pangeran Senopati.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Dari jalur ibunya bernama Nyai Fatimah bin Muhyiddin (w.137 H/1948 M) kakek KH. Muhammad Nawawi dari garis ibunya adalah cikal bakal desa Rending, sebuah desa disebelah utara desa Gintungan. Di desa yang didirikannya tersebut, kakeknya pernah menjabat sebagai lurah Desa. Pada sebagian wilayah desa Rendeng inilah terdapat sebuah pedukuhan bernama Tirip, tempat mukim simbah Kiai Zaid, seorang Ulama besar dan juga saudara ipar KH. Abdullah Termas Pacitan.

Masih kecilnya KH. Nawawi  termasuk keluarga yang religius, dan sering membaca buku dan kitab kuning walaupun bermain dengan teman sebaya dan bersama keluarga besarnya. Masa remajanya terkenal rajin belajar yang sangat tinggi bahkan membawa catatan sambil diskusi-musyawarah. Pada tahun 1970 yang ditulis oleh KH. Nawawi  sendiri, di mulai dengan belajar al-Quran, fath al-Qorib, Sanusi, Minhaj al-Qawim, Ta’lim al-Muta’allim, Tanqikh al-Qaul, dan Shahih Bukhari kepada ayahnya sendiri KH. Muhammad Shiddiq.

KH. Nawawi nyantri di berbagai daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan daerah Yogyakarta, seperti; Pondok Lirboyo di Kediri, Pondok Watucongol, Pondok Lasem, Pondok Jampes, Pondok Termas di Pacitan dan Pondok Tebuireng di Jombang. Di Bidang pendidikan al-Quran bin Nadhor diperdalam langsung oleh KH. M. Munawwir Krapyak Yogyakarta.

KH. Nawawi berajar banyak kiai-guru di pulau Jawa bahkan mampu mengusai kitab kuning. Dalam catatan beliau terhadap kitab Faidul Barry Fi Manaqibi al-Imam Bukhari al-Ju’fy tahun 1377 H tentang sanad yang telah ditulisnya sebagaimana pada saat belajar Shahih al-Bukhari di Pondok Pesantren Tebuireng oleh KH. Hasyim Asyari Jombang dan belajar Dalail Al-Khairat kepada Syekh Ahmad Alawy Jombang.

Baca: Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Pada perkembangannya, KH. Nawawi  tidak pula meninggalkan dunia lembaga pendidikan formal di dalam usaha dengan nalar idenya untuk menawarkan di pesantren yang dipimpinnya sebagai alternatif tempat penyelenggaraan lembaga Pendidikan Guru Agama (PGA), tiga tahun mengalami penurunan jumlah murid secara drastis walaupun dalam transisi infrastruktur pendidikan sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Menteri Agama untuk mendirikan lembaga pendidikan sejenis. Pembangunan ruang kelas baru dilaksanakan sejak pada tahun 1963 berkat bantuan Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by annawawiberjan.or.id

Kisah Kiai Zainal Dengan Santri Baru

Kiai Zainal Abidin merupakan salah satu putra dari KH. Muhammad Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Nama panggilan beliau sejak kecil yakni ‘Zainal’, namun Mbah Ali Maksum memiliki penulisan unik untuk nama ‘Zainal’ sendiri apabila ditulis menggunakan tulisan arab; زينال menjadi tidak memiliki arti atau menjadi lain artinya.

Kiai Zainal ini memiliki perawakan yang kurus, tidak gemuk sama seperti dengan Kiai Sahal Mahfudz serupa dan sulit untuk dibedakan. Bagi yang belum kenal dengan Kiai Zainal, mungkin akan menyangka bahwa Kiai Zainal itu sebagai santri biasa atau orang biasa yang sedang mondok.

Baca: Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh

Sewaktu Kiai Zainal masih muda kira-kira sekitar tahun 60-an, ketika sore hari beliau berada di depan pondok datang seorang santri baru yang baru saja turun dari becaknya. Santri dulu kalau mondok tentu membawa beras, disamping membawa pakaian secukupnya. Dengan tanpa sungkan santri baru tadi yang turun dari becak meminta tolong kepada orang yang ada di depan pondok.

“Tolong Mas, bawakan kantong beras saya yang satu ini ya” perintah santri baru

“Ayo dibawa ke kantor pondok saja” jawab Kiai Zainal

“Ya iya” sahut santri baru sambil membayar becak

Ketika sampai di kantor pondok, kantong beras 20 Kg itu diletakan di depan pintu. Santri baru pun mengucapkan terima kasih karena sudah mau membawakan kantong beras miliknya itu, kemudian Kiai Zainal pamit meninggalkan santri baru tadi.

Kira-kira 3 hari setelah kejadian tersebut, santri baru pun sudah mulai beraktifitas dengan kegiatannya. Setelah maghrib ketika dia sedang mengaji tiba-tiba pandangan matanya tertuju tajam kedepan. Melihat Sang Guru yang sedang membacakan kitab, sambil angan-angannya melayang membayangkan kejadian 3 hari yang lalu.

Dalam benaknya timbul perasaan tidak enak dan menjadi sebuah pertanyaan besar dalam dirinya.

Baca: Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil Dan Ketawadhuannya

“Apakah orang itu yang kemarin saya mintai tolong? Betulkah Kiai itu yang membawa kantong berasku kemarin?” santri baru bertanya dengan dirinya sendiri.

Muncul perasaan gelisah dan resah, hingga malamnya dia tidak bisa tidur. Akhirnya diputuskan pagi harinya untuk sowan dan meminta maaf dan pamit pulang. Setelah beberapa hari Kiai Zainal bertanya kepada teman-teman satu kamarnya terkait keberadaan santri tersebut, teman-teman satu kamarnya pun menjawab sudah pulang. Kiai Zainal pun paham dan hanya tersenyum. Allahu Yarham.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Majalah Al Munawwir

Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh

Diantara tanda-tanda orang yang shaleh dan baik menurut Allah (bila tidak demikian berarti orang yang celaka) adalah;

Pertama, apabila mendengar kata “neraka” disebut, maka hatinya bergetar ketakutan dan berdoa jangan sampai dirinya terkena api neraka. Jangan sampai jadi orang yang hanya gara-gara mendengar “macan” saja tidak berani berbohong, tapi sebaliknya, apabila yang disebut adalah nama Allah malah berani berbohong. Jangan sampai tidak takut dengan neraka. Orang yang terkena api neraka apabila sudah gosong maka badannya akan diperbaharui dan kembali seperti semula. Badan yang terkena api neraka, ya badan yang sekarang dipakai ini.

Api neraka itu tidak seperti api dunia, sebab apinya selalu bertambah derajat dan tingkat kepanasannya. Demikian juga yang namanya neraka itu tempatnya kecil, tidak luas. Keadaan di sana orang bertumpuk-tumpuk, berdesak-desakan, susah untuk bernafas dan tidak leluasa untuk sekedar berpindah tempat. Api neraka membakar atas perintah Allah. Jadi tidak ada peluang untuk meminta tolong kepada siapapun, sebab yang menyuruh adalah Allah. Beda dengan api dunia, orang masih berkemungkinan meminta tolong kepada orang lain atau boleh jadi api yang membakar tidak bermuatan panas, sebab yang memerintahkan bukan Allah, sebagaimana apa yang terjadi kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Karena yang memerintahkan api untuk membakar bukan Allah, maka apinya malah jadi dingin.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Yang kedua, tanda orang shaleh adalah sebagaimana dipertegas oleh sabda Nabi Muhammad SAW:

إذا أرادالله بعبد خيرا فقهه في الدين

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seseorang, maka Dia akan menjadikannya mengerti agama.”

Hadits ini mengharuskan seseorang untuk mengerti betul ajaran agama islam. Kalau belum tahu ya harus belajar berbagai hal mengenai islam, baik itu yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah, maupun berhubungan dengan sesama manusia. Maka bagi karyawan yang bekerja dia harus tahu perkara-perkara muamalah dan tata cara islam yang terkait dengan pekerjaannya. Bagi orang yang berkecimpungan di bidang pemerintahan maka dia harus tahu bagaimana mengatur tata cara pemerintahan yang baik menurut ajaran Allah. Kalau orang hanya kerja sekedar kerja dan tidak tahu hal-hal yang dilarang oleh Allah terkait pekerjaannya, maka itu bukan orang yang shaleh.

Yang ketiga adalah sebagaimana disebut dalam surah al-A’raf (7) ayat 201:

إنّ الّذين اتّقواإذامسّهم طائف من الشّيطان تذكّروافإذاهم مبصرون

“Sesungguhnya orang-orang bertaqwa apabila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”

Baca: Bernostalgia Bersama KH. Ahsin Sakho’

Jadi tanda orang yang shaleh adalah apabila melakukan maksiat, kemudian sadar dan ingat kepada Allah, maka ia akan langsung bertaubat. Kalau tidak langsung bertaubat, berarti itu tandanya orang jelek dan tidak shaleh. Apalagi bila orang yang melakukan maksiat malah bangga atau gembira, seperti penjual barang-barang perniagaan yang haram atau pedagang wiski yang kaya, lalu dia merasa bahagia dengan usaha dan kekayaannya, maka kalau sudah seperti itu ya celaka.

Sumber: Majalah Al Munawwir, Khutbah Jum’ah Almarhum KH. Zainal Abidin Munawwir (20 Syawal 1433 H./7 September 2012 M.)