Krapyak Kembali Berduka

Krapyak kembali berduka, sebelumnya sekitar awal bulan Januari 2021 tepatnya pada hari Senin, 4 Januari 2021 sore, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, KH. Muhammad Najib Abdul Qadir wafat.
Kemarin sore Indonesia kembali kehilangan seorang ulama kharismatik yakni KH. Atabik Ali, beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. KH. Atabik Ali meninggal dunia pada Sabtu (6/2/2021) sekitar pukul 13.00 WIB di usia 77 tahun. Beliau merupakan putra sulung Kiai besar Nahdatul Ulama KH.  Ali Maksum dengan Ibu Nyai Hasyimah yang mana Ibu Nyai Hasyimah merupakan putri dari KH. M. Munawwir dari sitri yang ke 2 yakni Ibu Nyai Hj. Suistiyah.

Waqiila… Suatu hari KH. Ali Maksum pernah dawuh kepada KH. Atabik Ali ketika masih muda.

“Awakmu wani ngumbah mobil kui?” tanya KH. Ali Maksum

“Nggeh…wantun” jawab KH. Atabik Ali

Ketika KH. Ali Maksum memerintahkan KH. Atabik Ali untuk mencucikan mobil tersebut, disamping mobil yang dimaksud terdapat banyak santri putri dan normalnya santri putra akan merasa malu ketika melaksanakan perintah dari KH. Ali Maksum. Namun sosok KH. Atabik Ali muda dengan penuh semangat untuk sendiko dawuh melaksanakan tugas dari ayahandanya, setelah selesai mencucikan mobil kemudian KH. Ali Maksum dawuh:

“Wah wani tenan awakmu, insyaallah sesuk bakale awakmu due pondok gede tur santrine akeh” dawuh KH. Ali Maksum.

Dan terbukti bahwa beliau dan keluarga KH. Ali Maksum mempunyai ribuan santri dengan sekolah formalnya. KH. Ali Maksum dikenal sebagai salah satu pelopor modernisasi Pesantren di Indonesia. Kemudian jejak Kiai Ali Maksum ini diikuti oleh putranya, yakni Kiai Atabik Ali dan para santrinya. Setelah wafatnya Kiai Ali Maksum pada tahun 1989, Kiai Atabik melanjutkan kepemimpinan pesantren dari ayahanda tercinta. Di tangan Kiai Atabik ini pesantren kemudian berkembang pesat dengan berbagai terobosan yang luar biasa. Kiai Atabik Ali juga pernah duduk dalam kepengurusan PBNU di masa Gus Dur, yakni sejak Muktamar Situbondo tahun 1984.

Baca: Ijazah Surah al-Fatihah Dari KH. M. Munawwir Oleh Gus Mus

Lokasi Pemakaman Keluarga Dongkelan, Bantul.

Kelahiran dan kematian datang silih berganti, besok atau lusa atau kapapun saja bisa datang begitu saja tanpa aba-aba. Semua akan kembali ke asal, disini tidak ada yang abadi semua akan kembali kepada Sang Maha Pencipta alam semesta. Suatu saat diantara kita akan pulang sendirian sama saat seperti kita datang pertama kali ke muka bumi.

Jika kita merasa sebagai salah satu santrinya berusahalah meniru akhlaknya, senantiasa patuh dengan dawuh-dawuh beliau, semoga kita semua diakui oleh beliau sebagai santrinya. Semoga guru kita semua, orang tua kita semua KH. Atabik Ali wafat dengan Husnul Khatimah, diterima semua amal ibadahnya dan ditempatkan bersama para kekasih Allah di surga, Amin.

Oleh: Tim Redaksi

Ibu Nyai Hindun Dari Krapyak Hingga Kempek

Nyai Hj. Hindun lahir pada hari Selasa Kliwon, jam 01.00, tanggal 17 Shoffar 1340 H tahun Ha (1852), Nyai Hindun merupakan putri pertama dari K.H. M. Munawwir sebagai pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir dari istri ke 3 yakni Ibu Nyai Salimah dari Wonokromo, Bantul. Adapun adik-adik beliau diantaranya yakni; Aminah, Ny. Zulaikha, Hidayatullah, Washil, Ja’far, K.H. Dalhar Munawwirr, Ny. Hj.  Jauharoh dan Ny. Hj. Badi’ah.

Nyai Hj. Hindun menikah dengan Kiai Yusuf Harun yakni putra pertama dari K.H. Harun Abdul Jalil dari istri Ny.Ummi Laila, Kempek Cirebon dan kemudian setelah menikah Nyai Hj. Hindun menetap di Kempek. Setelah K.H. Yusuf Harun wafat dalam usia muda karena sakit cacar kemudian Nyai Hindun menikah dengan K.H. Umar Sholeh yakni putra kedua dari K.H. Harun Abdul Jalil dari istri Ny. Mutimmah, Kempek Cirebon. Karena atas permintaan guru dan ayahandanya sebagai bukti sam’an watho’atan supaya tetap mengembangkan ilmu al-Qur’an dan juga demi mendapatkan rida dari sang Kiai. K.H. Umar Sholeh merupakan salah satu murid K.H. M. Munawwir diantara banyaknya murid yang pernah mengaji dengan K.H. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad. Hal ini semata-mata untuk menjaga kelangsungan persaudaraan Nyai Hindun agar terus menetap di Kempek tanpa harus kembali ke Yogyakarta untuk mengasuh putri tunggalnya yakni buah pernikahannya dengan Kiai Yusuf Harun.

Baca: Hubungan Silsilah Kempek dan Krapyak: Mengenal Sosok K. Zainuddin (1)

Adapun dari pernikahan Nyai Hindun dan K.H. Yusuf Harun melahirkan seorang putri tunggal yang bernama Nyai Hj. Jazilah Yusuf. Beliau Nyai Hj. Hindun merupakan sosok yang bersahaja dan suka bersedekah, beliau merupakan seorang putri yang patuh terhadap orang tuanya. Dibuktikan dengan kesungguhan beliau dalam mengaji dan mempelajari al-Qur’an langsung dengan orang tuanya yakni K.H. M. Munawwir dan kakaknya yaitu K.H. Abdul Qodir (putra ke 5 dari pernikahan K.H. M. Munawwir dengan RA.Mursidah) sehingga beliau menjadi sosok yang dikagumi dan dihormati oleh keluarga dan masyarakat. Dari situlah awal penyebaran al-Qur’an yang beliau bawa sampai di Pondok Pesantren Kempek dan berkembang sampai sekarang.

Dokumentasi oleh: Khaskempek.com-Ibu Nyai Hj. Jazilah Yusuf

Sepeninggalan K.H. Yusuf Harun estafet kepemimpinan pesantren digantikan oleh adiknya yaitu K.H. Umar Sholeh. Pada masa ini Pondok Pesantren Kempek berkembang pesat. Pengelolaan pembelajaran pesantren dikelola secara bersama-sama, saling bahu-membahu dengan adik dan ipar-ipar beliau seperti K.H. Aqil Siroj, K.H. Nashir, Kiai Hasan, Kiai Maksum, Kiai Muslim, Kiai Judhi dan lain-lain. Kiai Umar wafat pada 3 Dzul Hijjah 1999 dengan meninggalkan seorang putra H. M Nawawi dari istri ke 2 yakni Nyai ‘Aisyah binti KH. Ahmad Syathori dari Pondok Pesantren Arjawinangun Cirebon.

Nyai Hj. Hindun memperkenalkan dan mengajarkan al-Qur’an kepada santri-santri putri dengan metode sama persis yang didapatkan langsung dari K.H. M.  Munawwir yang tak lain merupakan ayahanda sekaligus guru beliau. Dari dulu sampai sekarang santri di Pondok Pesantren Kempek mengaji al-Qur’an dimulai dari hafalan surat al-Fatihah kemudian bacaan Tahiyyat, kemudian dilanjut surat an-Nas sampai surat an-Naba’ (Juz ‘Amma bil hifdzi). Setelah khatam Juz ‘Amma dilanjutkan dengan mengaji al-Qur’an yang dimulai dari surat al-Fatihah diteruskan ke surat al-Baqarah sampai khatam surat an-Nas (al-Qur’an bin nadzor).

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Jadi santri putri yang mengaji al-Qur’an di Pondok Pesantren Kempek itu secara otomatis sanadnya tersambung sampai ke K.H. M. Munawwir Krapyak yakni lewat jalur Nyai Jazilah Yusuf yang mengaji al-Qur’an dari Nyai Hindun dan Nyai Hindun belajar langsung dengan ayahandanya, yaitu K.H. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad. Salah satu dawuh dari K.H. M. Munawwir kepada Nyai Hj. Hindun yakni “Orang hafal al-Quran, mengamalkan isi kitab Majmu’ dan Mudzakarat, insya Allah menjadi orang shalihah.”

Nyai Hj. Hindun wafat saat wukuf di Arafah tanggal 8 Dzul Hijjah 1975. Sedangkan dikutip dari Khaskempek.com bahwasanya Nyai Hj. Jazilah Yusuf pernah bercerita bahwasanya Nyai Hj. Hindun itu wafat ketika sedang menunaikan ibadah haji di Makkah. “Mimie isun wafat ning tanah Arafah, tanggal 8 Dzul Hijjah,” tutur beliau. Kemudian Nyai Hj. Jazilah melanjutkan ceritanya “Ibu berangkat haji sekitar tahun 1971 bersama Kiai Dalhar” (adik dari Nyai Hj. Hindun).

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Khaskempek.com, Kempek-online.com

Keterangan Foto: Almarhumah Nyai Hj. Hindun Munawwir dan putrinya, Nyai Hj. Jazilah Yusuf (Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Munawwiroh Kempek, Cirebon) Foto: KHASMedia

Biografi KH Dalhar Munawwir

K.H. Dalhar Munawwir lahir pada hari Kamis Pon, pukul 13.00 WIB pada tanggal 14 Sya’ban tahun Dal atau 6 Juli 1933. Beliau merupakan putra ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan K.H. Muhammad Munawwir bin Abdul Rosyad dari istri yang ketiga yaitu Nyai Hj. Salimah. Beliau memiliki enam orang kakak, yakni; Nyai Hj. Hindun (sebagai kakak pertama), Nyai Aminah, Nyai Hj. Akikah, Nyai Hj. Baidah, Gus Wasil, Gus Jafar dan dua adik beliau adalah Nyai Hj. Jauharoh dan Gus Hidayatullah.

K.H. Dalhar Munawwir merupakan pengasuh di salah satu bagian pesantren otonom dari Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta yakni Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Nurussalam yang terletak diantara Komplek Q dan Komplek L dan terletak di perbatasan Kota Yogyakarta.

K.H. Muhammad Munawwir merupakan ayahanda sekaligus guru pertama beliau dalam mempelajari al-Quran. Dari kecil beliau sudah menggeluti ilmu al-Quran kepada ayahandanya hingga K.H. M. Munawwir wafat pada tahun 1942. Ketika beliau sudah dewasa, beliau melanjutkan mendalami al-Quran kepada K.H. Abdul Qodir Munawwir yang tidak lain adalah kakak beliau sendiri. Tidak hanya itu, beliau juga mempelajari kitab-kitab klasik kepada kakak iparnya, yaitu K.H. Ali Maksum. Pada waktu itu, K.H. Dalhar Munawwir beserta saudara- saudaranya yang lain; K.H. Ahmad Warson Munawwir, K.H. Zuhdi Dakhlan, K.H. Hasyim dan K.H. Nursidi mengaji kepada K.H. Ali Maksum.

Baca: Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Seperti tradisi para Kiai pesantren lainnya, rihlah keilmuan beliau tidak hanya didalami di lingkungan Pondok Krapyak saja, sekitar tahun 1959 beliau juga belajar kepada K.H. Nahrowi Dalhar (salah satu kiai kharismatik di pulau Jawa) yang merupakan pengasuh serta pendiri pesantren di Watucongol Magelang sewaktu posonan (pengajian di bulan Ramadhan). K.H. Dalhar Munawwir juga pernah menimba ilmu langsung kepada K.H. Siroj (Payaman), K.H. Musyafa’ (Kaliwungu), K.H. Dimyathi (Comal Pemalang), K.H. Bisri Mustofa (Rembang), dan K.H. Suyuthi (Rembang).

Pada tahun 1958 di usia 25 tahun K.H. Dalhar Munawwir mempersunting Nyai Hj. Rr. Makmunah, putri seorang Kiai dari Purworejo Jawa Tengah, yaitu K.H. Raden Ahmad Siroj atau Kiai Ahmad Jambul. Beliau dikaruniai lima anak laki- laki, yakni; K.H. Fuad Asnawi, K.H. Fathoni, K.H. Fairuzi Afiq, K. Faishol Majdi, dan K. Fahmi, serta seorang anak perempuan bernama Fanny Rifqoh.

Sumber foto dari instagram @nurussalamkrapyak

Di bawah asuhan K.H. Dalhar Munawwir, pesantren ini menjadi semakin berkembang dengan masuk dan bertambahnya santri putra yang datang dari berbagai penjuru daerah di Jawa bahkan hingga luar Jawa seperti Bali, Sumatera, dan daerah lainnya. Pada masa inilah bersamaan dengan berubahnya nama Pondok Pesantren Putri Krapyak, menjadi Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Nurussalam. Kata “Nurussalam” (cahaya keselamatan) sendiri disandarkan kepada pendiri pertama Pondok Putri yaitu Ibu Nyai Hj Salimah Munawwir yang tak lain merupakan ibunda K.H. Dalhar Munawwir.

Baca: Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil Dan Ketawadhuannya

Hubungan K.H. Dalhar Munawwir dengan para santri seperti seorang bapak dengan anak-anaknya, beliau lebih senang memanggil santrinya dengan sebutan anak-anakku. Begitu juga beliau tidak begitu senang dipanggil Kiai oleh para santrinya, beliau lebih senang dipanggil “Bapak” atau “Mbah”. Kedekatan K.H. Dalhar Munawwir dengan para santrinya bagaikan sebuah keluarga besar, hal ini bisa dilihat dari berbagai kegiatan atau rutinitas yang ada di pesantren, beliau sering terjun langsung setiap hari mengawal kegiatan santri-santrinya di Pondok Pesantren Nurussalam. K.H. Dalhar Munawwir tidak pernah membedakan antara santri yang satu dengan santri yang lain, baik santri itu merupakan anak kyai atau bukan dalam pandangan beliau semua santri itu sama yaitu sebagai anak-anak yang ingin menuntut ilmu.

An-Namiqotu fil Qowa’idil Fiqhhiyyah merupakan karya K.H. Dalhar Munawwir yang ditulis langsung oleh beliau pada waktu itu, yang berisi 40 kaidah fiqih menggunakan bahasa Indonesia-Arab. Tidak hanya itu beliau juga menulis sebuah kumpulan tulisan Khutbah Jum’at yang beliau tulis sendiri ketika beliau menjadi Khotib Sholat Jum’at.

Pada hari Rabu, 18 November 2009, jam 10.00 WIB, Kiai yang istiqomah dalam kesederhanaan itu ‘berpulang’ di usianya yang ke-76 tahun. Pada waktu itu beliau di rawat di RSUD Wirosaban Kota Gede Yogyakarta, karena beliau mempunyai penyakit radang paru-paru.

Sebelum disemayamkan, jenazah disholatkan di Masjid Pondok Pesantren Al- Munawwir. Kemudian dibawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir yakni di komplek makam keluarga Dongkelan, sesuai wasiat K.H. Dalhar Munawwir beliau ditempatkan di sebelah barat istri tercintanya, Nyai Hj. Rr. Siti Makmunah.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: almunawwir.com, el tasrih Komplek L

Picture by instagram @nurussalamkrapyak

Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil Dan Ketawadhuannya

Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil adalah sosok kyai yang sangat tawadhu. Sikap tawadhu beliau cukup masyhur dimasyarakat sekitar Krapyak, salah satu kebiasan yang mencerminkan ke tawadhu-an beliau adalah ketika hendak ke Masjid Al Munawwwir Krapyak, dari pintu gerbang beliau sudah menuntun sepedanya, tidak pernah beliau berani mengendari sampai masuk ke area Masjid. Hal serupa juga di ungkapkan oleh putra beliau yaitu Gus Hafidz ketika menceritakan sikap tawadhu beliau. “Bapak tidak pernah merasa lebih bisa dari siapapun bahkan dari santrinya sendiri” ungkap Gus Hafidz Tanwir ketika di wawancarai kru el-tasriih.

Tawadhu juga menjadi alasan beliau memperistri cucu KH. M. Munawwir yaitu Ibu Nyai Siti Rohmah binti Asyaithibi. Saking tawadhu-nya selain masalah hukum, beliau  selalu mengalah kepada istrinya, mengalah di sini bukan berarti kalah akan tetapi karena beliau memandang Ibu Nyai Siti Rohmah bukan hanya sebagai istri melainkan juga sebagai putri dari gurunya.

Baca: Amalan Satus Tembus

Saat mengajar al-Quran di PP. Al-Munawwir Komplek L, metode yang beliau terapkan sama seperti metode yang pernah beliau dapatkan dari gurunya. Ketika bacaan santri salah beliau langsung menuntun dan memebenarkanya, seperti yang di ungkapkan santri yang pernah mengaji kepada beliau yaitu Akhmad Haris yang mengungkapkan:

“Simbol kalau sudah boleh naik ke surat berikutnya adalah telunjuk beliau ketika beliau sudah mengangkat jari telunjuk berarti santri sudah boleh melanjutkan ke surat berikutnya tetapi kalau belum, santri harus kembali mengulanginya kembali”. ucap Kang Haris

Dokumentasi foto oleh M. Mudzakir Putra ke-6 beliau

Kang Haris juga menambahkan beliau adalah sosok yang sangat sabar dalam mengajar, telaten dan juga istiqomah. Mbah Yai Tanwir sering sekali lebih dulu hadir di sebelum para santrinya datang. Beliau memiliki kebiasaan yang selalu dilakukan yaitu nderes Sambil berjalan di sekeliling Pondok sebelum mengajar. Pesan yang selau di ingat oleh Akhmad Haris sebagai salah satu santrinya adalah “Urip kuwe kudu Sing Sabar Yo” karena ungkapan Ini adalah pesan terakhir beliau ketika menjelang wafat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #3

KH. M. Moenawwir selalu memilih awal waktu untuk menunaikan shalat, lengkap dengan shalat sunnah rawatibnya. Shalat witir beliau tunaikan 11 raka’at dengan hafalan al-Qur’an sebagai bacaannya. Begitu juga dalam mudawamah beliau terhadap shalat isyroq (setelah terbit Matahari) sholat dhuha dan shalat tahajjud.

Beliau mewiridkan al-Qur’an tiap ba’da ashar dan ba’da shubuh. Walau sudah hafal seringkali beliau tetap menggunakan mushaf. Bahkan kemana pun beliau bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara wirid al-Qur’an tetap terjaga. Beliau mengkhatamkan al-Qur’an sekali setiap satu minggu, yakni pada hari Kamis sore. Demikianlah beliau mewiridkan al-Qur’an semenjak berusia 15 tahun.

Baca: Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #2

Waktu siang beliau lewatkan dengan mengajarkan al-Qur’an dan di waktu senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus (dahulu terletak di sebelah utara masjid) untuk bertawajjuh kepad Allah Swt. Sedangkan di malam hari beliau istirahat secara bergilir di antara istri-istri dengan demikian adilnya.

Beliau memiliki 5 orang istri, adapun istri kelima dinikahi setelah wafatnya istri pertama, yakni:

  1. Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
  2. Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
  3. Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
  4. Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
  5. Nyai Khodijah (Kanggotan – Yogyakarta)

Begitulah KH. M. Moenawwir hidup beserta keluarga di tengah ketenangan, kerukunan, istiqomah dan wibawa dengan berkah al-Qur’anul Kariim. Orang hafal al-Qur’an (Hafidz) yang beliau akui adalah orang yang bertaqwa kepada Allah, dan shalat tarawih dengan hafalan al-Qur’an sebagai bacaannya. Begitu besar pengagungan beliau terhadap al-Qur’an, sampai-sampai undangan Haflah Khotmil Qur’an hanya beliau sampaikan kepada mereka yang jika memegang mushaf al-Qur’an selalu dalam keadaan suci dari Hadats.

Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang Mushaf al-Qur’an dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh KH. M. Moenawwir, akhirnya santri tersebut mengakuinya atas pengakuannya si santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan sudah menghapalkan al-Qur’an 23,5 juz. Setiap setengah bulan sekali beliau memotong rambut, juga tak pernah diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup baik itu dengan kopyah, sorban, maupun keduanya. Menggunting kuku selalu beliau lakukan setiap hari Jum’at.

Pakaian beliau sederhana namun sempurna untuk melakukan ibadah, rapi dan bersetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan tasbih selalu tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu beliau kenakan ketika menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, beliau sering mengenakan baju jas hitam, sorban, dan sarung. Beliau tidak suka makan sampai kenyang, terlebih lagi di bulan Ramadhan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan. Jika ada pemberian bantuan dari orang, beliau pergunakan sesuai dengan tujuan pemberinya, jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya. Walau beliau termasuk dalam abdi dalem Kraton, namun beliau tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai hiburan, beliau senang sekali mendengarkan lantunan Sholawat-sholawat, Burdah dan tentunya Tilawatil Qur’an.

Baca: Mbah Munawwir Sekatenan

Para santri beliau perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan setiap Kamis sore. Setiap berziarah beliau membaca Surah Yasin dan Tahlil. Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyangkut ummat pada umumnya, beliau mengumpulkan semua santri untuk bersama-sama tawajjuh dan memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya dengan membaca Sholawat Nariyyah 4444 kali atau Surat Yasin 41 kali. Selain mengasuh santri, beliau tak lantas meninggalkan tugas sebagai kepala rumah tangga. Setiap ba’da Shubuh beliau mengajar Al-Qur’an kepada segenap keluarga dan pembantu rumah tangga. Nafkah dari beliau baik untuk istri-istri maupun anak-anak, selalu cukup menurut kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa tenang, tenteram, rukun, dan tidak sembarang orang keluar-masuk rumah selain atas ijin dan perkenan dari beliau.

Hampir-hampir beliau tak pernah marah kepada santrinya, selain dalam hal yang mengharuskannya. Pernah suatu waktu beliau tiduran di muka kamar santri, tiba-tiba bantal yang beliau pakai diambil secara tiba-tiba oleh seorang santri, sampai terdengar suara kepala beliau mengenai lantai. Lantas beliau memanggil santri yang mengambil bantal tadi seraya berkata; “Nak… saya pinjam bantalmu, karena bantal yang saya pakai baru saja diambil oleh seorang santri.” Seringkali beliau memberikan sangu kepada santri yang mohon ijin pulang ke kampung halamannya, dan sangat memperhatikan kehidupan santri-santrinya. Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar pesantren, biasanya sekali setiap setengah bulan sebagai pelepas penat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku “Manaqibus Syaikh: K.H.M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta”

Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #2

Sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M, beliau lantas mendakwahkan al-Qur’an di sekitar kediaman beliau di Kauman tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta. Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau KH. Mudzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon) pada tahun 1910 M beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.

Pada 15 November 1910 Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk mengajar al-Qur’an. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa KH. Abdul Jalil. Konon KH. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid, adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan Kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.

KH. M. Moenawwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan amaliyah membaca Surah Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung. Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M. Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam pengajaran al-Qur’an. Para santri sangat menghormati beliau, bukan karena takut, melainkan karena Haibah, wibawa beliau.

Baca: Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #1

Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh KH. M. Moenawwir adalah Kitab Suci al-Qur’an, yakni terbagi atas 2 bagian; Bin-Nadzor (membaca) dan Bil-Ghoib (menghafal). Santri bermula dari Surah al-Fatihah, lantas lafadz tahiyyat sampai dengan Shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian Surah an-Nas sampai Surah an-Naba’, baru kemudian Surah al-Fatihah diteruskan ke Surah al-Baqoroh sampai khatam Surah an-Nas. Selain itu, pengajian kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910 seorang santri dari Purworejo yang dianggap mampu oleh beliau diperintahkan “Ajarkanlah ilmu Fiqh kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”

Begitu seterusnya berkembang, baik kitab Fiqh maupun Tafsir, makin menonjol disamping pengajian al-Qur’an yang utama. Beliau mengajar secara sistem Musyafahah, yakni sorogan setiap santri langsung membaca di hadapan beliau, jika ada kesalahan beliau langsung membetulkannya. Adab dalam pengajian al-Qur’an sangat beliau tekankan kepada para santri. Berbagai aturan dan ta’ziran beliau berlakukan terhadap para santri. Untuk santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah do’a untuknya langsung oleh KH. M. Moenawwir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah yang intinya berisi pengakuan Ilmu dari guru kepada muridnya serta Tarottubur-Ruwat (urutan riwayat) atau sanad dari Sang Guru sampai kepada Rasulullah saw. secara lengkap.

Baca: Mbah Munawwir Sekatenan

Banyak di antara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran al-Qur’an pada khususnya. Misal:

  1. K.H. Arwani Amin (Kudus)
  2. K.H. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
  3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
  4. K.H. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
  5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
  6. K.H. Noor (Tegalarum – Kertosono)
  7. K.H. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
  8. K.H. Murtadho (Buntet – Cirebon)
  9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
  10. K.H. Abu Amar (Kroya)
  11. K.H. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
  12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
  13. K.H. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
  14. K.H. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
  15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
  16. Haji Mahfudz (Purworejo)

Untuk para Mutakhorrijiin (alumni) beliau senantiasa menjalin hubungan dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat masing-masing.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku “Manaqibus Syaikh: K.H.M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta”

Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #1

Dahulu ada seorang ulama pejuang, KH. Hasan Bashori namanya, atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari ajudan Pangeran Diponegoro. Beliau sangat ingin menghapalkan Kitab Suci al-Qur’an namun terasa berat setelah mencobanya berkali-kali. Akhirnya beliau melakukan riyadhoh dan bermujahadah, hingga suatu saat Allah Swt mengilhamkan bahwa apa yang dicita-citakan itu baru akan dikaruniakan kepada keturunannya.

Begitu pula putra beliau KH. Abdoellah Rosjad, selama 9 tahun riyadhoh menghapalkan al-Qur’an, ketika berada di Tanah Suci Makkah beliau mendapat ilham bahwa yang akan dianugerahi hapal al-Qur’an adalah anak-cucunya. KH. Abdoellah Rosjad dikaruniai 11 orang anak dari 4 orang istri, salah satunya adalah KH. M. Moenawwir yang merupakan buah pernikahan beliau dengan Nyai Khodijah (Bantul).

Guru pertama beliau (KH. M. Moenawwir) adalah ayah beliau sendiri. Sebagai targhib (penyemangat) nderes al-Qur’an, sang ayah memberikan hadiah sebesar Rp 2,50 jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya sekali. Ternyata hal ini terlaksana dengan baik, bahkan terus berlangsung sekalipun hadiah tak diberikan lagi.

Baca: Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

KH. M. Moenawwir tidak hanya belajar qiro’at (bacaan) dan menghafal al-Qur’an saja, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang beliau timba dari ulama-ulama di masa itu, di antaranya:

1. K.H. Abdullah (Kanggotan – Bantul)

2. K.H. Cholil (Bangkalan – Madura)

3. K.H. Sholih (Darat – Semarang)

4. K.H. Abdurrahman (Watucongol – Magelang)

Setelah itu, pada tahun 1888 M beliau melanjutkan pengajian al-Qur’an serta pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (Dua Tanah Suci) baik di Makkah Al-Mukarromah maupun di Madinah Al-Munawwaroh. Adapun Guru-guru beliau antara lain:

  1. Syaikh Abdullah Sanqoro
  2. Syaikh Syarbini
  3. Syaikh Mukri
  4. Syaikh Ibrohim Huzaimi
  5. Syaikh Manshur
  6. Syaikh Abdus Syakur
  7. Syaikh Mushthofa
  8. Syaikh Yusuf Hajar (Guru beliau dalam Qiro’ah Sab’ah)

Pernah dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah tepatnya di Rabigh, beliau berjumpa dengan orang tua yang tidak beliau kenal. Pak Tua mengajak berjabat tangan, lantas beliau minta didoakan agar menjadi seorang Hafidz al-Quran sejati. Lalu Pak Tua menjawab “Insyaa-Allah.” Menurut KH. Arwani Amin (Kudus) orang tua itu adalah Nabiyullah Khidhr a.s.

KH. M. Moenawwir ahli dalam Qiro’ah Sab’ah (7 bacaan Al-Quran). Dan salah satunya adalah Qiro’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh, berikut inilah sanad Qiro’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh KH. M. Moenawwir sampai kepada Nabi Muhammad saw, yakni dari:

  1. Syaikh Abdulkarim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, dari
  2. Syaikh Isma’il, dari
  3. Syaikh Ahmad Ar-Rosyidi, dari
  4. Syaikh Mushthofa bin Abdurrahman Al-Azmiri, dari
  5. Syaikh Hijaziy, dari
  6. Syaikh Ali bin Sulaiman Al-Manshuriy, dari
  7. Syaikh Sulthon Al-Muzahiy, dari
  8. Syaikh Saifuddin bin ‘Athoillah Al-Fadholiy, dari
  9. Syaikh Tahazah Al-Yamani, dari
  10. Syaikh Namruddin At-Thoblawiy, dari
  11. Syaikh Zakariyya Al-Anshori, dari
  12. Syaikh Ahmad Al-Asyuthi, dari
  13. Syaikh Muhammad Ibnul Jazariy, dari
  14. Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Kholiq Al-Mishri As-Syafi’i, dari
  15. Al-Imam Abi al-Hasan bin As-Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa Al-‘Abbasi Al-Mishri, dari
  16. Al-Imam Abi Qosim As-Syathibi, dari
  17. Al-Imam Abi al-Hasan bin Huzail, dari
  18. Ibnu Dawud Sulaiman bin Najjah, dari
  19. Al-Hafidz Abi ‘Amr Ad-Daniy, dari
  20. Abi al-Hasan At-Thohir, dari
  21. Syaikh Abi al-‘Abbas Al-Asynawiy, dari
  22. ‘Ubaid ibnu as-Shobbagh, dari
  23. Al-Imam Hafsh, dari
  24. Al-Imam ‘Ashim, dari
  25. Abdurrahman As-Salma, dari
  26. Saadaatina Utsman bin ‘Affan, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Tholib, dari
  27. Rasulullah, Muhammad saw. dari Robbil ‘Aalamiin Allah swt., dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s.

Baca: Mbah Munawwir Sekatenan

Beliau menekuni al-Qur’an dengan riyadhoh, yakni sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, dan terakhir adalah Riyadhoh membaca al-Qur’an selama 40 hari tanpa henti hingga mulut beliau berdarah karenanya. Setelah 21 tahun menimba ilmu di Tanah Suci, beliau pun kembali ke kediaman beliau di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku “Manaqibus Syaikh: K.H.M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta”

Komplek Q Memperingati Haul KH. A. Warson Munawwir Ke-8

Pada hari Kamis 21 Januari 2021 M/ 09 Jumadil Akhir 1442 H (malam ini) Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Q memperingati Haul KH. Ahmad Warson Munawwir yang ke-8, namun pelaksanaan Haul kali ini diselenggarakan secara tertutup untuk umum. Panitia Haul pun menghimbau untuk para alumni dan santri yang berada di luar pondok untuk tidak hadir dalam Majlis Haul tersebut, dikarenakan acara Majlis Haul kali ini akan disiarkan langsung melalui chanel Youtube Almunawwir Komplek Q.

Adapun rangkaian acara Haul KH. A. Warson Munawwir yang ke-8 ini dimulai dari tanggal 17 Januari 2021 dengan agenda kegiatan Muqoddaman dan Istighosah, dilanjut pada tanggal 18 Januari 2021 dengan agenda kegiatan Sima’an al-Qur’an kemudian pada tanggal 19 Januari 2021 dilaksanakan Ro’an Akbar oleh seluruh santri Komplek Q.

Keterangan foto: KH. Ahmad Warson Munawwir ketika masih muda aktif di GEMUIS

Puncak acara Haul KH. A. Warson yang ke-8 yakni pada hari Kamis, 21 Januari 2021 M dengan agenda kegiatan Wisuda XXI Madrasah Salafiyyah III dimulai pukul 18.30-19.30 Wib, kemudian dilanjutkan Penampilan Santri MTPA dimulai pukul 19.30-20.00 Wib, agenda selanjutnya yakni Khotmil Qur’an yang akan dimulai pada pukul 20.00-21.00 Wib. Kemudian dilanjut acara inti Haul yang ke-8 al-Maghfurlah KH. A. Warson Munawwir pada pukul 21.00- selesai yang bertempat di Halaman Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Q.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

Meskipun Haul kali ini hanya bisa dilakukan secara virtual melaui chanel Youtube Almunawwir Komplek Q, para alumni dan santri masih bisa hormat Haul bersama keluarga tercinta di rumah ataupun komplek masing-masing. Dengan adanya Haul virtual ini diharapkan tidak merubah rasa mahabbah kita semua kepada almaghfurlah KH. A. Warson Munawwir, karena pada dasarnya yang berubah hanyalah keadaannya saja tidak dengan rasa cinta dan kasih sayang kita terhadap al-Maghfurlah KH. A. Warson Munawwir. Ini merupakan ujian rasa mahabbah kita semua terhadap Sang Maestro Kamus Al Munawwir, karena biasanya setiap tahun para alumni dan santri menjadikan momen haul sebagai ajang reuni dan mengenang masa-masa ketika masih berada di Pondok Pesantren khususnya bagi santri Komplek Q.

Mudah-mudahan kita semua selalu diberi kesehatan dan keselamatan di tengah pandemi saat ini. Dan tak lupa kita semua senantiasa selalu memohon perlindungan kepada Allah Swt, agar kiranya pandemi ini cepat berlalu dan bisa melakukan semua kegiatan dengan normal kembali.

Rabbi fanfa’naa bibarkatihi wa ihdinaa al-husnaa bihurmatihi.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: almunawwirkomplekq.com

Picture by almunawwirkomplekq.com

Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Ibunda almaghfurlah KH. Ahmad Warson Munawwir dan KH. Zainal Abidin yakni Ibu Nyai Hj. Khodijah atau biasa dipanggil dengan Bu Nyai Sukis. Bu Nyai Sukis satu rumah dengan Mbah KH. Ali Maksum (menantu) dan anak-anak beliau, yakni Gus Bik (KH. Atabik Ali), Mbak Ifah, Mbak Genuk, Gus Jis (KH. Jirjis Ali). Gus Kelik (almarhum) dan Mbak Ida belum lahir waktu itu.

Pada saat zaman Mbah Munawwir masih sugeng santri masih terbilang sedikit, bahasa yang dipakai sehari-hari masih bahasa Jawa, sebab santri-santri kebanyakan dari Jawa Tengah dan sedikit dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Sangat jauh berbeda ketika zaman Mbah Ali memegang kendali, santri-santri dari Jakarta membludak, terutama dari Klender (Jakarta Timur).

Bersamaan dengan perkembangan pondok dan santri-santri yang memakai bahasa Indonesia mulai banyak, otomatis Bu Nyai Sukis sering mendengar bahasa Indonesia dari Bu Nyai Hasyimah (istri Mbah Ali). Lama-lama berani memakai bahasa Indonesia meskipun dengan kosakata terbatas.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

Suatu hari ada tamu keluarga dari Jakarta, begitu pagi saat sarapan hidangan sudah di hadapan para tamu, Bu Nyai Sukis ditinggal Bu Nyai Hasyimah mengambil sendok ke dapur. Saat itulah Bu Nyai Sukis yang ambil peran mempersilakan tamu.

“Ayo makan, ayo makan.” Bu Nyai Sukis mempersilahkan

Tamu pun paham, mulailah mereka ambil nasi dan lauk. Ketika tamu mau mengambil sayur, Bu Nyai Sukis mempersilahkan tamu.

“Ya, ini jangan, ini juga jangan.” Bu Nyai Sukis mempersilahkan

Tamu pun merasa bingung.

“Mau ambil sayur kok tidak boleh?” ucap tamu dalam hati

Akhirnya diurungkan untuk mengambil sayur, cukup makan dengan tempe dan tanpa sayur.

Ketika Bu Nyai Hasyimah datang dan mempersilakan mengambil sayur, tamu pun baru paham bahwa ‘jangan’ itu bahasa Jawa dari sayur. Tetapi karena sudah terlanjur malu, tamu pun membatalkan mengambil sayur tersebut.

“Ambil tempek lagi aje dah.” ucap tamu

Anaknya yang menjadi santri menegur

“Bu, di sini ‘tempe’ nggak pake ‘k’!” sang anak menegur

“Iye, iye, tempek ‘kan?” sang ibu menyahut

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: almunawwir.com

Picture by almunawwir.com

Mbah Munawwir Sekatenan

Kata Sekaten sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, “Syahadatain” yang memiliki makna persaksian (syahadat). Bagi masyarakat Muslim, syahadat dianggap penting sebab merupakan proses pengakuan terhadap keesaan Tuhan dan risalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian, kata itu mengalami perluasan makna dengan “Suhatain” yang bermakna menghentikan atau menghindari dua perkara, perbuatan buruk dan menyeleweng. Makna ini kemudian berkembang lagi menjadi “Sakhatain” yang bermakna menghilangkan makna dua watak, hewan dan setan. Selain itu, ada juga “Sakhotain” yang berarti menanamkan dua perkara, yaitu memelihara budi suci dan budi luhur. Setelah itu ada juga kata “Sekati” yang bermakna orang hidup harus bisa menimbang yang baik dan buruk. Dan yang terakhir “Sekat”, adalah pembatas, untuk tidak berbuat jahat dan mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan. Akhirnya, makna Sekaten tak hanya sebatas hiburan dan prosesi upacara semata, melainkan mengandung makna kehidupan seperti penjelasan di atas yang harus bisa diterapkan oleh setiap insan individu.


Awal mula dan maksud perayaan Sekaten dapat ditarik sejak mulainya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, yaitu zaman Kesultanan Demak Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa saat itu menyukai gamelan, pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad di halaman Masjid Agung Demak dimainkanlah gamelan, sehingga warga masyarakat berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan gamelan dan sekaligus khutbah-khutbah mengenai keislaman. Tradisi arak-arakan semacam sekaten telah dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak, sebagai pelanjut dari “wahyu” kerajaan, mencoba meneruskan tradisi tersebut atas saran dari Wali Songo.

Di Sekaten Keraton Yogyakarta, Mbah Munawwir seringkali secara eksklusif diundang oleh Sultan HB IX untuk mengikuti peringatan Maulid Nabi saw. Karena beliau punya hubungan genealogis dengan Keraton yang sangat kental. Dimulai sejak era Kakek beliau, KH. Hasan Bashari yang menjadi Ajudan Raja Jawa di Perang Jawa yakni Pangeran Diponegoro, sampai pada Mbah Munawwir meminang Nyai R. A. Mursyidah, istri pertama beliau dari Kraton Yogyakarta. Karena kedetakan tersebut, dalam beberapa kesempatan Mbah Munawwir tatkala mendapat undangan dari Keraton seringkali ditawari untuk dijemput Pasukan Kavaleri dari Keraton. Namun, beliau dengan baik-baik tidak segera menerima tawaran tersebut.

Kersane ingsun kale santri-santri mawon, sareng-sareng mlampah ndugi Krapyak, kebetulan santri-santri saya juga pengen saya ajak”, beliau dawuh demikian dengan niat tidak menolak tawaran tersebut.

Mbah Munawwir memang sering mengajak santri-santrinya ketika ada undangan di Keraton, dan undangan yang lainnya. Santri yang diajak pun tidaklah sama antara undangan satu dengan yang lain. Dalam urusan ini beliau bisa dibilang menggilir para santrinya. Tidak jarang pula, banyak para santri yang mengharapkan ajakan beliau.

Hingga pada suatu ketika, sebelum berangkat, para santri yang masuk dalam daftar ajakan Mbah Munawwir, kumpul di depan Ndalem beliau.

“Loh, njenengan toh Gus”

“Loh kok njenengan kang?”

“Loh awakmu toh Dul”

”Loh Cak, samean  toh, bukane wingi samean meh nyilih duek nang aku yo?”

Mereka para santri yang diajak ke Keraton untuk mengikuti Barjanjen, saling bertanya satu sama lain. 

“Loh Gus, punten, tasek dereng saget nyauri utang kulo”

“Gapopo Cak, santai ae, penting do iso mangan”

“Bukane njenengan wingi bade nyambut duek teng kulo nggeh Gus?”

“Iyo kang, tapi gak sido wes”

“Ngge ngapunten nggeh Gus, kulo nggeh dereng kiriman”

Entah itu kebetulan atau bagaimana, mayoritas santri yang diajak Mbah Munawwir adalah mereka yang terlilit hutang atau bahkan tidak memiliki uang sama sekali dan mereka menyadari hal itu.

Mungkin Simbah mengetahui keresahan kita, kang, Cak, Dul”.

Nggeh Gus”.

Setoran gak nambah-nambah, deresan yo keteteran. Sehingga beliau mendistribusikan kesejahteraan kepada kita, beliau mempraktekkan kaidah kadal faqru an yakuna kufron”.

“Hehehe”. Semua tertawa mendengar hal itu.

Pun mikir aneh-aneh Gus. Penting Syukur sik, pun dijak Mbah Yai”.

Tak berselang lama, Mbah Munawwir keluar dari rumahnya. Para santri yang berdialog tadi, terperangah melihat ketampanan Mbah Munawwir yang memakai pakaian dinas Keraton berupa model Jas Laken dengan kerah model berdiri serta dengan rangkapan sutera lengkap dengan ornamen kancing bersepuh emas tentu dengan memakai blankon. Sehingga nampak lebih gagah, elegan dan terhormat. Menghoramati Nabi dan Raja.

Ayo Le, berangkat”. Lamunan mereka hilang dengan suara ajakan Mbah Munawwir.  

Lahumul Fatihah untuk KH. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad

Oleh: Taufik Ilham

Sumber: almunawwir.com, id.wikipedia.org, regional.kompas.com

Picture by blog.titipku.com