Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #3

Rais ‘Amm, Madzhab Politik & Pemikiran

Tepat pada tanggal 30 Agustus hingga 2 September 1981 dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama yang diselenggarakan oleh organisasi keislaman NU di Kaliurang Yogyakarta, memutuskan beberapa hal penting yang kaitannya dengan pergantian pimpinan tertinggi organisasi (Rais ‘Amm) setelah wafatnya Rais ‘Amm sebelumnya, KH. Bisri Syansuri (Pendiri Pesantren Denanyar). Dalam Munas tersebut menghasilkan beberapa poin, diantaranya memilih KH. Ali Maksum sebagai Rais ‘Amm ke 4 Nahdlatuth Ulama. Pada awalnya Kyai Ali menolak untuk dijadikan Rais ‘Amm, penolakan tersebut bukanlah tanpa alasan, karena menurut beliau Rais ‘Amm merupakan tanggung jawab yang hubungannya dengan umat baik di dunia hingga akhirat. Akan tetapi, karena pertimbangan lain serta adanya sebagian peserta Munas yang menjemput Kyai Ali di Krapyak, maka tanggung jawab tersebut tidak bisa dielakkan lagi meskipun Kyai Ali sendiri harus muwun (jawa: menangis) ketika di baiat di hadapan ribuan peserta Munas.

Dalam kepemimpinan Kyai Ali, NU mengeluarkan beberapa keputusan-keputusan penting dalam sejarah, diantaranya menerima asas Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi dan bernegara. Selain itu, melalui Muktamar NU ke-27 di Situbondo, menetapkan bahwa NU harus kembali ke Khittah 1926, artinya secara resmi NU melepaskan diri dari hal-hal yang kaitan formal dengan segala organisasi politik serta memberi hak kepada warga NU untuk mengartikulasikan aspirasi politiknya melalui partai politik yang diinginkan secara bebas, bermartabat dan bertanggung jawab.

Keterangan Foto (ki-ka): KH. Mahrus Ali (Lirboyo), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Ali Maksum (Krapyak)

Selain berjuang di organisasi para ulama’, Kyai Ali juga sosok yang aktif dalam perhelatan politik dan masuk dalam anggota Partai NU. Berbagai langkah nyata yang dilakukan oleh Kyai Ali diantaranya ialah mendukung Partai NU untuk keluar dari barisan Masyumi, dan berusaha keras untuk mengenalkan NU kepada masyarakat pedesaan khususnya di kalangan muslimin yang masih bersifat tradisionalis dengan cara melakukan ceramah pengajian saat momentum hari besar keagamaan.

Terkait pemikiran Kyai Ali, beliau dikenal sebagai sosok yang moderat. Salah satu ungkapan yang dilontarkan oleh Kyai Ali ialah bahwa pintu ijtihad akan tetap terbuka dan bisa dilakukan oleh siapapun, tentunya dengan koridor atau persyaratan yang telah berlaku. Pernyataan tersebut dianggap berani karena bertentangan dengan arus besar pemikiran ummat saat itu yang sebagian besar masih terbelenggu oleh fanatic madzhab serta taklid buta. Pada dasarnya pernyataan tersebut bukanlah tanpa alasan, hal ini beliau sampaikan di tengah kegelisaan intelektualnya. Dari kegelisaan tersebut Kyai Ali menginginkan bahwa NU dan umat Islam lainnya sudah waktunya melakukan pembaharuan, dan hal tersebut harus dimulai dari para tokohnya yang berkompeten.

Sumber:

1) KH. Ali Maksum Ulama, Pesantren dan NU. Ahmad Athoillah (2019).

2) Jejak Sang Pionir Kamus al-Munawwir: KH. A. warson Munawwir. Khalimatun Nisa, Fahma Amirotulhaq, dkk. (2020)

3) Biografi 5 Rais ‘Amm Nahdlatuth Ulama. Badrun Alaina dan Humaidy Abdussami (1995)

4) Antologi NU Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan (2007)

Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #2

Improvisasi Sistem Madrasah Tremas, Pernikahan & Belajar di Tanah Haram

Oleh karena kecerdasan yang Kyai Ali miliki, dan kepercayaan yang diberikan KH. Dimyathi oleh beliau, bersama Gus Hamid Dimyathi, Kyai Ali melakukan improvisasi besar terhadap sistem pendidikan di pesantren Tremas.  Merubah sistem dari pendidikan klasik ke sistem madrasah modern, selain itu kitab baru seperti Qira’atus Rasyidah yang terdapat gambar-gambar hewan seperti anjing, diikutsertakan sebagai salah satu buku ajar di madrasah, yang sebelumnya belum pernah terpikirkan bahkan tidak diperbolehkan.

Kurang lebih delapan tahun Kyai Ali belajar di pesantren Tremas, tibalah waktunya untuk kembali ke Lasem, membantu dan meneruskan perjuangan pesantren Lasem milik keluarga, yang sebelumnya telah dikembangbesarkan oleh Ayah beliau KH. Maksum.  Adapun madrasah yang beliau rintis beserta sistem pembaharuan yang diterapkan, tapuk kepemimpinannya diserahkan kepada Kyai Hamid Dimyathi sebagai direktur dan Mukti Ali sebagai wakil direktur.

Setelah kepulangan dari Pesantren Tremas dan tiga tahun membantu pesantren ayahnya di Lasem, tepatnya pada tahun 1938, Kyai Ali menikah dengan Nyai Hasyimah putri KH. M. Munawwir asal Yogyakarta. Tidak lama berselang, seorang bernama H. Djunaid asal Kauman Yogyakarta, melalui ayahnya Kyai Maksum, memberi tawaran untuk berangkat ibadah haji secara gratis kepada Kyai Ali. Mendengar hal tersebut, KH. Munawwir sebagai mertuanya berpendapat, sebaiknya tawaran tersebut ditolak atau ditunda pada waktu lain. Namun, bagi ayahnya, tawaran tersebut sebaiknya diterima karena kesempatan langka. Kemudian, setelah melakukan sholat Istikharah, Kyai Ali memutuskan untuk mengambil tawaran tersebut, serta harus rela meninggalkan istri dan pondok Pesantren Lasem yang belum lama beliau kembangkan.

KH Ali Maksum dalam sebuah acara

Kyai Ali berada di Makkah selama dua tahun dan selama itu juga beliau menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali. Selama dua tahun pula Kyai Ali belajar kitab Luma’ karya Syekh Abul Hassan al-Asy’ari (tokoh pendiri madzhab teologi Asy’ariyah) kepada Sayid  Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani. Kyai Ali juga belajar kitab Shahīh al-Bukhōri kepada Syekh Umar Hamdan. Setelah dua tahun menghabiskan waktu untuk melaksanakan ibadah Haji dan memperdalam ilmu, Kyai Ali kembali ke Lasem untuk meneruskan perjuangan mengembangkan pesantren yang dulu sempat ditinggal ke Makkah, bersama Istrinya, Nyai Hasyimah binti KH. Munawwir.

Perpindahan ke Krapyak, Menjadi Dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta & Anggotan Penerjemah Alquran

Setelah wafatnya KH. Munawwir pada tahun 1942 terdapat kekosongan pimpinan di internal Pesantren Krapyak, putra beliau paling tua KH. Abdulloh Affandi masih sangat muda untuk diamanahi sebagai pengganti Ayah beliu, sedang adik KH. Afandi, KH. Abdul Qodir Munawwir pada saat itu masih berusia remaja. Adapun putra putri Kyai Munawwir lainnya saat itu masih berusia anak-anak. Maka, untuk mengatasi kekosongan tersebut diadakanlah rapat keluarga yang memutuskan, pertama kepemimpinan pondok pesantren tetap diamanahkan kepada putra putri dan menantu KH. Munawwir. Kedua, mengirim utusan, yakni KH. Abdurrahman (Adik Kyai Munawwir), ke Lasem guna menghadap ke KH. Maksum dengan maksud memboyong Kyai Ali ke Krapyak untuk membantu keluarga mengelola pondok pesantren peninggalan mertua beliau.

Semenjak saat itu, KH. Abdulloh Afandi Munawwir, KH. Abdul Qodir Munawwir dan KH. Ali Maksum mulai bersama-sama membangun kembali pesantren dengan beberapa pembagian tugas. KH. Abdulloh Afandi sendiri disamping sebagai pimpinan umum, beliau juga menangani hubungan pesantren dengan pihak luar. KH. Abdul Qodir mendapatkan bagian pengajian Tahfidz dan urusan-urusan dalam pesantren. Sedangkan KH. Ali Maksum mendapat bagian penanggung jawab pengajian-pengajian kitab kuning.

Langkah pertama kali yang dilakukan Kyai Ali di Pesantren Krapyak ialah menutup sementara pondok pesantren untuk memfokuskan diri pada kaderisasi. Pada awalnya Kyai Ali hanya mengajar beberapa putra, cucu dan menantu KH. Munawwir serta beberapa warga sekitar. Murid-murid pertama kali Kyai Ali di Krapyak diantaranya ialah KH. Abdul Qodir (putra Kyai Munawwir/Komplek RQ dan MH), KH. Mufid Mas’ud  (menantu/Pndiri Pesantren Pandanaran), KH. Nawawi Abdul Aziz (menantu/Pendiri Pesantren An-Nur Ngrukem), KH. Dalhar Munawwir (putra/Komplek Nurussalam), KH. Zainal Abdidin Munawwir (putra/Komplek AB dan R), KH. Ahmad Munawwir (putra/Komplek L), KH. Ahmad Warson Munawwir (putra/Komplek Q), Wardan Joned, Zuhdi Dahlan dan Abdul Hamid.

Pada periode selanjutnya, yakni setelah wafatnya KH. Abdul Qodir Munawwir pada 2 februari 1961 dan wafatnya KH. Abdulloh Affandi pada 1 Januari 1968, KH. Ali Maksum menjadi pengasuh utama dalam kepengurusan Pesantren Krapyak, pada periode ini juga program pengajian kitab dapat berjalan seimbang dengan pengajian Alqur’an.  Kyai Ali dalam mengembangkan pesantren dibantu oleh beberapa putra maupun menantu yang dulu menjadi murid pertama beliau. Untuk pengajian Alquran putra dibantu oleh KH. Ahmad Munawwir, KH. Nawawi Abdul Aziz, KH. Mufid Mas’ud dan KH. Zaini Munawwir. Sedangkan pengajian Alquran putri dibantu oleh KH. Mufid Mas’ud, KH. Dalhar Munawwir, Nyai Hj. Hasyimah Ali Maksum, Nyai Hj. Jaoharoh Mufid, Nyai Badriyah Munawwir dan Nyai Jumalah Munawwir. Untuk pengajian kitab Kyai Ali dibantu oleh KH. Zainal Abidin Munawwir, KH. Warson Munawwir dan beberapa santri senior. Selain itu, Kyai Ali juga mendirikan beberapa Madrasah sebagai tambahan untuk menampung para santri yang terus bertambah jumlahnya.

Dalam beberapa keterangan juga menyebutkan bahwa KH. Ali Maksum selain sebagai guru pengajar di Pesantren Krapyak, pada sekitaran tahun 1960, beliau juga termasuk dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengampuh mata kuliah qiro’atul kutub pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Aktivitas ilmiah Kyai Ali  lainnya ialah sebagai anggota penerjemah Alquran Departemen Agama Republik Indonesia.

Sumber:

1) KH. Ali Maksum Ulama, Pesantren dan NU. Ahmad Athoillah (2019).

2) Jejak Sang Pionir Kamus al-Munawwir: KH. A. warson Munawwir. Khalimatun Nisa, Fahma Amirotulhaq, dkk. (2020)

3) Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Pengurus Pusat PP. AlMunawwir (2001).

Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #1

Garis Keturunan Dan Orang Tua

Secara genealogis, KH. Ali Maksum mewarisi jalur ulama besar dari pesisir utara pulau jawa, tepatnya di daerah Lasem Jawatengah. Dari pihak ayah, Kyai Ali bin KH. Maksum bersambung dengan Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri): KH. Ali bin Maksum bin Ahmad bin Abdul Karim bin Zaid bin Syaikh Jarum (Ajrumi) bin Sayid Muzaed bin Sunan Senongko bin Sultan Mahmud Minangkabau bin Alif Khalifatullah fil Alam bin Syaikh Abdurrahim Minangkabau bin Syaikh Abdurrahman Minangkabau bin Radeng Ainul Yaqin Sunan Giri.

Tentang KH. Maksum Ahmad (abah KH. Ali Maksum), beliau merupakan salah seorang ulama kaliber di masanya yang turut mendirikan organisasi NU bersama KH. Hasyim Asy’ari dan para ulama lainnya. Kyai Maksum Lahir di desa Soditan Lasem pd sekitaran tahun 1870 M. Dalam sebuah keterangan Kyai Maksum pd waktu kecilnya bernama Muhammadun. Berbeda dengan abah beliau, kyai Ahmad yg masih ada garis keturunan dengan Sunan Giri, informasi tentang ibunda Kyai Maksum yang bernama ibunyai Qasimah tdk banyak diketahui. Ada yg mengatakan bahwa Ibunda Kyai Maksum wafat pada usia muda. Oleh sebab itulah Kyai Maksum ketika balita pernah menuusu  kepada Ibunyai Zainab Zaid Soditan dan jg pernah menyusu kepada Ibundanya KH. Muhammad Shidiq Jember, Ibunyai Aminah.

Diantara guru-guru Kyai Maksum ialah Kyai Nawawi di daerah Melonggo Jepara, Kyai Abdullah Kajen, Kyai Abdussalam Kajen, Kyai Siraj Kajen, Kyai Maksum Damaran Kudus, KH. Kholil Bangkalan dan masih banyak lagi. Setelah menyelesaikan pengembaraan studi agamanya, Kyai Maksum menikah dengan Nyai Muslihatun binti KH. Musthofa, namun sampai istri beliau meninggal dunia belum di karuniai keturunan. Untul kedua kalinya KH. Maksum menikah dg Nyai Nuriyati binti KH. Zainuddin dlm pernikahan ini Kyai Maksum dan ibunyai Nuriyati dikaruniai beberapa putra dan putri: 1) Muhammad Ali (KH. Ali Maksum). 2) Nyai Fatimah. 3) Ahmad Syakir. 10) Nyai Azizah. Jumlah putra putri KH. Maksum ialah 13.

Kelahiran & Perjalanan Intelektual

Nama lengkap KH. Ali Maksum di masa kecilnya ialah Muhammad Ali, sedang nama Maksum pada nama belakang beliau dinisbatkan kepada ayahnya, KH. Maksum Ahmad. Terkait tanggal persis kelahiran KH. Ali Maksum terdapat beberapa perbedaan, diantaranya ada yang menyebutkan bahwa Kyai Ali lahir pada tanggal 2 Maret 1915. Keterangan lain menyebutkan 15 Maret 1915, dan ada juga yang mengatakan bahwa Kyai Ali lahir pada tahun 1916. Adapun lokasi tempat kelahirannya terletak di Dusun Sumurkepel, Desa Sumbergirang, Lasem Jawa Tengah di rumah ibunya, Ibunyai Nuriyati Maksum. Perkembangan kepribadian Kyai Ali tidak lepas dari bagaimana pendidikan agama yang beliau peroleh sejak kecil melalui didikan dan pengaruh keluarganya dalam lingkungan pesantren.

Keterangan Foto: KH Ali Maksum di kediaman

Pendidikan pertama kali yang diperoleh Kyai Ali ialah dari ayahnya sendiri. Meskipun Kyai Maksum sosok kyai yang memiliki banyak santri, tidak lantas meninggalkan kewajibannya sebagai ayah untuk memberikan pelajaran-pelajaran dasar tentang keagamaan kepada Kyai Ali yang saat itu masih berumur 10 tahun. Pelajaran agama seperti mengenalkan huruf-huruf Alquran, pelajaran dasar ilmu fikih, dan ilmu-ilmu lainnya. Pendidikan selanjutnya Kyai Ali masuk pesantren dan belajar agama kepada KH. Amir Idris di Pekalongan yang masih ada ikatan keluarga. Kepada KH. Amir, Kyai Ali mendalami dasar-dasar ilmu balaghah.

Pada tahun 1927 atau bertepatan dengan Kyai Ali yang berusia 12 tahun, sehabis pulang dari Pekalongan, Kyai Ali melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke Pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur. Pesantren Tremas saat itu merupakan salah satu pusat kajian ilmu agama berbasis kitab kuning di tanah Jawa. Pertama kali di pesantren, Kyai Ali menerapkan apa yang menjadi tradisi di pesantren tersebut istilahnya naun, yaitu santri tidak pulang kampung sampai tiga tahun lamanya. Dan banyak yang mempercayai apabila santri yang selama tiga tahun pertama sejak kedatangannya di Tremas tidak pernah pulang kampung, bisa dipastikan yang bersangkutan akan sukses menyerap ilmu dan kelak akan menjadi seorang yang alim. Diantara guru-guru Kyai Ali saat di Tremas yang paling mempengaruhi dan berkesan ialah KH. Dimyathi, KH. Masyhud, dan Sayid Hasan Ba’abud.

Kyai Ali dikenal sebagai santri yang tekun dalam belajar, diantara banyaknya fan ilmu, yang paling diminati beliau adalah ilmu tafsir Alquran dan ilmu bahasa Arab, oleh karena kegemarannya dengan bahasa Arab, kelak mengantarkan beliau sebagai salah satu pakar tafsir dan bahasa Arab terkemuka di Indonesia sehingga banyak yang menjuluki beliau sebagai munjid berjalan. Oleh krena banyaknya bacaan Kyai Ali diberbagai fan ilmu, sehingga ada beberapa kitab yang menurut Kyai Dimyathi dilarang untuk dikonsumsi oleh santri pada umumnya selain Kyai Ali, seperti kitab Al-Manar karya Rasyid Ridha, Tafsir Maraghi, Fatawa Ibnu Taimiyah, dalam hal ini Kyai Ali dianggap sudah paham betul dasar-dasar agama yang luas dibanding santri lainnya. Dari beberapa bacaan karya “kaum pembaharu” tersebutlah yang kelak mempengaruhi cara berfikir Kyai Ali yang maju dan moderat.

Sumber:

1) 99 Kiai Kharismatik Indonesia Riwayat, Perjuangan, Doa dan Hizib: KH. Aziz Masyhuri (2017).

2) KH. Ali Maksum Ulama Pesantren dan NU: Ahmad Athoillah (2019).

Hubungan Silsilah Kempek dan Krapyak: Mengenal Sosok K. Zainuddin (2)

Sebelumnya telah dijelaskan dari pasangan Nyai Mu’minah dan K. Abdullah yang dikaruniai seorang putri yang bernama Nyai Halimah. Barulah disini Nyai Halimah menikah dengan K. Zainuddin (Krapyak, Yogyakarta). Lalu keduanya dikaruniai seorang putra tunggal yaitu K. Hamdan Zainuddin (sekarang beliau tinggal di PP. Kempek, Cirebon). Beliau termasuk putra yang sangat alim dan terkenal tegas dalam mendidik santri-santrinya disaat mengaji Al-Qur’an bersanad Krapyak, bila ada santri yang makhrajnya kurang fashih, kang Hamdan (sapaan akrab beliau) tak segan-segan membentaknya seraya menjelaskan letak kesalahannya, bahkan terkadang beliau memukul santrinya dengan rotan bila dirasa kesalahan bacaannya banyak yang keliru.

Beliau juga paham dalam bidang sejarah, bila beliau menjelaskan sebuah tempat tertentu, beliau akan menjelaskannya secara detail dimana letak posisi tempat tersebut. Salah satu contohnya adalah ketika beliau menjelaskan tempat-tempat peribadahan haji, beliau akan menjelaskan secara detail sehingga para santri yang mendengar seakan-akan tahu persis dimana tempat itu berada.

Selain dalam fan sejarah, kang Hamdan juga mahir dalam ilmu fikih dan linguistik Arab (Sintaksis dan Morfologi). Satu lafal yang beliau jelaskan, tentu akan menghabiskan waktu yang lama agar lafal tersebut terkelupas semua, beliau jelaskan bentuk asal katanya, pentashrifannya, dan faidah yang terkandung dalam lafal tersebut. Ini menjadi bukti kecerdasaan beliau dalam memahami ilmu yang telah dipelajarinya selama 12 tahun di PP. Sarang, Rembang, Jawa Tengah.

Selepas Nyai Halimah firoq dengan K. Zainuddin (ayahanda kang Hamdan). Kemudian selang beberapa waktu, beliau menikah lagi dengan K. Sholeh dan dianugerahi empat keturunan putra-putri yaitu Aminah, Fauzan, Idris, dan Nur Khalis.

Perlu diketahui pula bahwa ketersambungan silsilah keluarga Krapyak dan Kempek bukan hanya terjalin sebab adanya faktor nasab. Melainkan juga sebab sanad keilmuan berupa ikatan antara murid dan guru yang begitu erat. Sebagaimana sosok yang mula-mula membawa bacaan Al-Qur’an bercorak Krapyak menuju Kempek adalah KH. Umar Sholeh (putra KH. Harun dari istri ke-1, Nyai Mutimmah sekaligus ayahanda KH. M. Nawawi Umar, pengasuh PP. Kempek Induk hingga sekarang) yang berguru secara mubasyarah kepada Mbah Munawwir.

Disamping KH. Umar Sholeh menjalin sanad keilmuan dengan Mbah Munawwir, terutama dalam bacaan Al-Qur’an yang sanadnya tersambung sampai Rasulullah. Salah satu putra Mbah Harun dari istri ke-2, Nyai Ummi Laila. Yaitu K. Yusuf Harun menikah dengan Nyai Hindun (putri dari Mbah Munawwir dari istri ke-3, Nyai Salimah Munawwir).

Bilamana KH. Umar Sholeh merupakan sosok dari kalangan laki-laki yang membawa metode Krapyak, maka Nyai Hindun pula merupakan sosok dari kalangan perempuan yang membawakan metode bacaan Al-Qur’an bercorak Krapyak yang diajarkan kepada santri-santri putri di PP. Kempek Cirebon. Setelah sepeninggal Nyai Hindun, perjuangan beliau dilanjutkan oleh putri tunggalnya yaitu Nyai Jazilah Yusuf (biasa akrab dipanggil Bude/Mi Jazil, pengasuh PP. Munawwiroh Putri hingga sekarang).

Oleh : Irfan Fauzi

Photo by kempek-online.com

Sumber :

Pengajian Khusus Ramadhan yang disampaikan oleh KH. M. Munawwar Ahmad, pada tanggal 19 April 2020.

Sebagian sumber diambil dari wawancara dengan dzuriyyah Kempek, K. Akhfasy Alfaizy Harun, pada tanggal 26 April 2020.

Tulisan ini telah diperiksa dan ditashih oleh keluarga Nyai Hj. Daimah.

Hubungan Silsilah Kempek dan Krapyak: Mengenal Sosok K. Zainuddin (1)

Dikala pengajian kitab Washiyatul Musthafa berlangsung (19/4) yang diampu oleh KH. M. Munawwar Ahmad yang merupakan cucu dari istri ke-5 KH. M. Munawwir—selanjutnya Mbah Munawwir— yaitu Nyai Khadijah (Yogyakarta), menjelaskan silsilah Mbah Munawwir dari istri ke-4, Nyai Rumiyah (Jombang, Jawa Timur). Dari pasangan ini, Mbah Munawwir dikaruniai dua anak: 1. K. Zainuddin Munawwir dan 2. Nyai Badriyah Munawwir.

K. Zainuddin adalah salah satu putra Mbah Munawwir yang dianugerahi kealiman dalam Al-Qur’an. Beliau termasuk salah satu ahlen (keluarga pondok) min ahlil qur’an (orang-orang yang ahli dalam Al-Qur’an).

Konon, dalam suatu rapat ahlen K. Zainuddin sempat terpilih sebagai penerus tongkat kepemimpinan PP. Krapyak Al-Munawwir setelah sepeninggalnya  KH. R. Abdul Qodir Munawwir (putra Mbah Munawwir dari istri ke-1, Nyai Mursidah dari keluarga Kraton Yogyakarta), dengan pertimbangan rapat tersebut, semua ahlen sepakat bahwa beliau lah yang terpilih sebagai penerus kepemimpinan pondok ini karena beliau salah satu putra Mbah Munawwir yang lebih alim dalan Al-Quran dibandingkan lainnya.

Namun, hal yang tak terduga terjadi tatkala beliau ditunjuk sebagai pemangku pondok ini. Beliau enggan menerima keputusan tersebut, dan berkata dengan bahasa majaz “Moh, Krapyak wes rusak” (Tidak mau, Krapyak sekarang sudah rusak).

Begitulah beliau lontarkan kalimat itu atas penolakan keputusan tersebut. Setelah kejadian itu, lambat laun beliau menunjukan haliyah khawariqul adat (hal-hal yang diluar kebiasaan manusia). Banyak kejadian-kejadian aneh yang menimpa beliau, konon katanya beliau sedang mengalami jadzab atau Majdzub. Jadzab sendiri dalam kosakata Arab diartikan menarik, sementara Majdzub berarti orang yang ditarik akalnya ke hadirat Allah swt. Biasanya dalam istilah dunia sufi, ada term “wali majdzub/jadzab”, itu berarti wali yang ditarik akalnya (perasaan insaniyahnya) untuk melebur dengan sifatullah.

Sebelum kejadian demikian, K. Zainuddin telah memiliki seorang istri dari keluarga pondok Cirebon, yaitu Nyai Halimah. Nyai Halimah adalah cucu KH. Harun—selanjutnya Mbah Harun—(Muassis PP. Kempek, Cirebon) dari istri ke-2, Nyai Ummi Laila. Ibunya adalah Nyai Mu’minah yang merupakan putri ke-5 Mbah Harun. Dimana Nyai Mu’minah menikah dengan K. Abdullah, lalu menurunkan putri tunggal yakni Nyai Halimah sendiri.

Setelah Nyai Mu’minah ditinggal wafat oleh suaminya, kemudian ia menikah lagi dengan KH. Nashir Abu Bakar (Tegal, Jawa Tengah) dan dianugerahi putri tunggal yaitu Nyai Hj. Daimah (beliau adalah istri dari alm. KH. Ja’far Shodiq Aqiel, pengasuh PP. KHAS Kempek, Cirebon, yang sekarang dilanjutkan oleh adik keduanya yaitu KH. Muhammad Musthafa Aqiel hingga sekarang).

Sementara itu, sebelum KH. Nashir Abu Bakar menikah dengan Nyai Mu’minah, beliau sempat menikah dengan Nyai Zubaedah (putri ke-6 mbah Harun atau adiknya Nyai Mu’minah). Kemudian dari pasangan ini, melahirkan putri tunggal, yakni Nyai Aisyah.

Oleh : Irfan Fauzi

Photo by kempek-online.com

Sumber :

Pengajian Khusus Ramadhan yang disampaikan oleh KH. M. Munawwar Ahmad, pada tanggal 19 April 2020.

Sebagian sumber diambil dari wawancara dengan dzuriyyah Kempek, K. Akhfasy Alfaizy Harun, pada tanggal 26 April 2020.

Tulisan ini telah diperiksa dan ditashih oleh keluarga Nyai Hj. Daimah.

Dalam Bingkai Tugung

Dalam Bingkai Tugung

Memang Kyai Abbas tidak memaksa untuk harus menerimanya. Beliau menyerahkan semua keputusan kepadanya. Hal itulah yang malahan membuat hatinya gelisah akhir-akhir ini.

Ia kembali memantapkan hatinya tentang pilihan yang akan ia ambil. Pilihan yang masih membuat pikirannya terus menerawang. Antara ya dan tidak.

***

وانْصَبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ          سافرْ تجد عوضاً عمَّن تفارقه

“Safarlah, engkau akan menemukan pengganti orang-orang yang engkau tinggalkan. Berpeluhlah engkau dalam usaha dan upaya, karena lezatnya kehidupan baru terasa setelah engkau merasakan payah dan peluh dalam bekerja dan berusaha.”

Itulah salah satu gubahan syair Imam Syafi’i kepada mereka para pencari ilmu. Begitu pula dengan Gus Mad. Mungkin Gus Mad merasa tersindir dengan isi syair tersebut. Walaupun di Krapyak Gus Mad sudah ngaji berbagai kitab fan ilmu agama dengan KH. Ali Maksum pun sudah menghatamkan hafalan Al Quran dengan KH. R. Abdul Qodir Munawwir, semua itu lantas tidak membuat Gus Mad merasa puas. Rasa haus terhadap ilmu semakin mendorong keingiannya untuk nyantri di luar Krapyak.

Singkat cerita,  atas restu dari Ibundanya, Ny. Khodijah dan juga izin dari para guru, akhirnya ia mantap meninggalkan Krapyak. Ngudi kawruh.

Di daerah  Banyuwangi Gus Mad bertemu pengganti orang-orang yang dia tinggalkan. Nama pondok pesantren itu adalah Pondok Pesantren Al-Azhar Tugung. Pondok yang terletak di Dusun Tugung, Kecamatan Sempu Kabupaten Banyuwangi ini didirikan oleh KH.R.Abbas Hasan, salah satu murid Almukarom KH. Muhammad Khalil Al-Maduri. Kyai Abbas merupakan keturunan dari Bapak Raden Mas Wongso Diprodjo alias Hamengkubuwono ke IV.

Di pondok Tugung, Gus Mad diterima sebagai santri ndalem. Entah atas keinginan siapa, antara motivasi Gus Mad untuk bisa lebih banak ngalap berkah dengan Kyai Abbas ataukah permintaan KH. Abbas sendiri.

Sebagai santri ndalem, tentunya Gus Mad harus membantu keperluan keluarga ndalem. Namun itu tidak bisa menjadi alasannya untuk bermalas-malasan untuk mengikuti kegiatan pondok.

Semua kegiatan pondok diikutinya dengan istiqomah. Mulai dari pengajian bandongan Talimulmuta’alim, Bidayah Wan Nihayaah, Durrotun Nashihin, Nashoihud Diniyyah, Sulamuttaufiq, hingga  Tafsir Jalalain semuanya ia ikuti dengan sungguh-sungguh. Pengajian kitab-kitab yang dilaksanakan mulai setelah Jamaah Sholat Ashar sampai Isya’ tersebut diampu langsung oleh Kyai Abbas. Setelah jamaah sholat isya , dilanjutkan dengan pengajian beberapa ayat Al Quran yang dibaca oleh Kyai Abbas.

Selain itu, Gus Mad juga mengikuti pengajian takhosshus di ndalem dengan Kyai Abbas hingga kira-kira jam sepuluh malam. Kitab yang dikaji adalah Ihya Uluuddin. Karena tidak ingin menyianyiakan waktu, setelah ngaji ihya’ Gus Mad pergi mengikuti pengajian kitab lagi di komplek-komplek yang diampu oleh santri-santri senior. Biasanya  setelah mengampu pengajian di komplek kebanyakan dari mereka juga meminta Gus Mad untuk mengajari Al Quran. Mungkin itu bukti bahwa penguasaan Al Quran Gus Mad memang sudah teruji.

Tidak hanya santri senior, Kyai Abbas juga mengakuinya. Memang Gus Mad tergolong santri istimewa menurut Kyai Abbas. Bukan karena dia sebagai salah satu putra KH. M. Munawwir, gurunya para guru Quran. Akan tetapi mungkin karena kengaliman Gus Mad terutama dalam bidang Al Quran.

Buktinya Kyai Abbas mengutus Gus Mad untuk memimpin majlis  sima’an Al Quran setiap Juma’at pagi. Majlis itu diikuti sekitar dua ribuan santri Al-Azhar. Setiap satu majlis, Gus Mad mampu membacakan dua juz dengan hafalan yang lanyah.

Selain karena Ahli Quran, semangat dan rasa haus akan ilmu membuat Kyai Abbas terpikat kepada sosok Gus Mad. Ya, Tempo kemarin Kyai Abbas memberi tawaran kepada Gus Mad. Tawaran seorang Kyai yang menurut kebanyakan para santri mungkin langsung menerimanya. Kyai Abbas menawari Gus Mad untuk menikahi salah satu putrinya.

Pernikahan memang bukan hal yang sepele. Apalagi menikahi Ning dari seorang Kyai Abbas. Tentunya tanggungjawabnya akan lebih berat.

***

Ia kembali memantapkan hatinya tentang pilihan yang akan ia ambil. Keputusan yang sudah ia bicarakan dengan keluarga di Krapyak. Keputusan yang sudah ia istikhorohi. Kuputusan yang juga sesuai isi hatinya.

Ya, tekad Gus Mad sudah bulat. Rasa hausnya terhadap ilmu mengalahkan tawaran Kyai Abbas. Gus Mad lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan ngudi kaweruh yang dirasa masih panjang. (*)

*Gus Mad adalah nama kecil dari Al-Maghfurlah KH. Ahmad Munawwir (1937-2001), pendiri PP. Al-Munawwir Komplek L. Di masa muda, beliau pernah  nyantri di Al-Azhar selama empat tahun (sekitar1960 -1964 M).