Pengaruh Pentingnya Kebersihan Kuku terhadap Kegiatan Bersuci Sehari-hari

Ilustrasi kotor pada kuku. Sumber: Dream.co.id

Memotong kuku merupakan kegiatan yang disunahkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. Syariat kesunahan tersebut dapat diketahui secara seksama dalam banyak hadis yang diriwayatkan oleh para ulama. Seperti yang dikutip oleh Imam As-Syairozy dalam kitab al-Muhadzdzab dari kitab Shahih Muslim

ويستحب أن يقلم الأظافر ويقص الشارب ويغسل البراجم وينتف الإبط ويحلق العانة لما روى عمار بن ياسر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : { الفطرة عشرة : المضمضة ، والاستنشاق ، والسواك ، وقص الشارب ، وتقليم الأظافر ، وغسل البراجم ، ونتف الإبط ، والانتضاح بالماء ، والختان ، والاستحداد{

Disunahkan untuk memotong kuku dan memendekkan kumis, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, dan mencukur rambut kemaluan karena sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Ammar bin Yasir ra. sesungguhnya Nabi saw. bersabda {kesucian itu ada 10: berkumur, menghisap air ke dalam hidung, bersiwak, memendekkan kumis, memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, bersuci dengan air, khitan, dan mencukur rambut kemaluan} [As-Syairozy, Al-Muhadzdzab, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1/34]

Dalam hal melaksanakan kesunahan-kesunahan di atas seperti memotong kuku dan lain-lain terdapat batasan jarak waktu maksimal. Jarak waktu tersebut disepakati oleh jumhur ulama baik dari ulama ahli hadis maupun ulama ushul fiqh yaitu 40 hari lamanya. Sedangkan anjuran dari ketetapan yang diberikan oleh Imam Syafii dan para ulama Syafiiyyah adalah setiap jumat.

Pengambilan ketetapan tersebut bukan tanpa alasan, melainkan disebabkan oleh perintah Rasulullah saw. untuk memotong kuku dan beliau juga tidak menyukai adanya kotoran di bawah kuku dikarenakan menghalangi sampainya air wudhu ke sela-sela antara kuku dan kulit. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus mungkin saja ada beberapa orang yang membutuhkan kuku yang panjang untuk memudahkan urusan mereka. Dampak dari memelihara kuku agar panjang tersebut adalah bertumpuknya kotoran di bawah kuku tersebut. Berikut perbedaan pendapat antara ulama mengenai kotoran di bawah kuku

ولو كان تحت الأظفار وسخ فإن لم يمنع وصول الماء إلى ما تحته لقلته صح الوضوء وإن منع فقطع المتولي بأنه لا يجزيه ولا يرتفع حدثه: كما لو كان الوسخ في موضع آخر من البدن وقطع الغزالي في الإحياء بالإجزاء وصحة الوضوء والغسل وانه يعفى عنه للحاجة

Apabila dibawah kuku terdapat kotoran maka jika tidak menghalangi sampainya air ke bawahnya karena sedikitnya kotoran tersebut maka (tetap) sah wudhunya. Dan jika menghalangi maka Imam al-Mutawally menetapkan bahwa hal tersebut tidak mencukupi bagi orang yang berwudu dan tidak hilang hadasnya. Sebagaimana jika terdapat kotoran di tempat lain pada anggota bahan. Imam al-Ghazali menetapkan dalam kitab Ihya’ dengan memperbolehkannya dan sahnya wudhu dan mandi. Dan sesungguhnya (kotoran) tersebut ditolerir karena adanya kebutuhan [An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, al-Muniriyyah, 1/286]

Sehingga menurut para ulama jika kotoran dibawah kuku tergolong sedikit dengan batasan tidak mencegah sampainya air ke kulit. Namun ketika kotoran tersebut tergolong banyak maka Imam al-Mutawalli menetapkan tidak sahnya wudhu bagi orang yang memiliki banyak kotoran dibawah kukunya. Sedangkan menurut Imam al-Ghazali menetapkan tetap sah wudhunya dikarenakan adanya kebutuhan dan kotoran tersebut ditolerir. Dikuatkan oleh pendapat dari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari nya

قال القرطبي في المفهم ذكر الأربعين تحديد لأكثر المدة ولا يمنع تفقد ذلك من الجمعة إلى الجمعة والضابط في ذلك الاحتياج وكذا قال النووي المختار أن ذلك كله يضبط بالحاجة وقال في شرح المهذب ينبغي أن يختلف ذلك باختلاف الأحوال والأشخاص والضابط الحاجة في هذا وفي جميع الخصال المذكورة قلت لكن لا يمنع من التفقد يوم الجمعة فإن المبالغة في التنظف فيه مشروع والله أعلم

Imam al-Qurtubi berkata dalam pemahaman penyebutan 40 hari adalah membatasi banyaknya waktu dan tidak dilarang tidak sesuainya dengan bilangan tersebut (jika melakukan kesunahan di atas) dari Jumat ke Jumat (yang akan datang). Batasan dari hal itu adalah kebutuhan begitu pula Imam an-Nawawi berkata bahwa pendapat yang terpilih adalah kesunahan di atas dibatasi dengan kebutuhan. Beliau berkata dalam kitab Syarh al-Muhadzdzab seyogyanya perbedaan waktu tersebut sesuai dengan perbedaan keadaan dan (karakter) manusia dan adapun batasannya adalah kebutuhan dalam perkara ini (memotong kuku) dan semua perkara-perkara yang telah disebutkan. Aku berkata tetapi tidak dilarang pula tidak sesuai dengan hari Jumat karena sesungguhnya berlebihan dalam bersuci pada perkara tersebut merupakan sesuatu yang disyariatkan. Adapun Allah lebih mengetahui [Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifat, 10/346]

Dari penjelasan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa memotong kuku merupakan salah satu kegiatan yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. Anjuran tersebut dapat diketahui melalui hadis yang diriwayatkan para ulama. Dalam pembahasan lain, waktu maksimal memotong kuku adalah 40 hari atau bisa dilaksanakan setiap hari Jumat. Ketika dilaksanakan lebih sering dari itu maka juga diperbolehkan karena bersungguh-sungguh dalam membersihkan diri merupakan sesuatu yang disyariatkan.

Meskipun demikian, terdapat beberapa orang yang membutuhkan kuku yang panjang untuk memudahkan urusan mereka. Sehingga mereka memelihara kuku mereka dan tidak memotongnya. Oleh sebab kuku yang panjang memungkinkan untuk bertumpuknya kotoran dibawahnya sehingga memungkinkan juga air tidak sampai ke kulit yang wajib terkena air ketika berwudhu. Beberapa ulama membolehkannya dengan berpegangan pada batasan memotong kuku adalah sesuai kebutuhan masing-masing. Sehingga memanjangkan kuku dikarenakan ada kebutuhan merupakan sesuatu yang diperbolehkan namun menyelisihi sunah Nabi saw. yang merupakan pembimbing kita di dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam bisshowab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *