Ibu Nyai Hindun Dari Krapyak Hingga Kempek

Nyai Hj. Hindun lahir pada hari Selasa Kliwon, jam 01.00, tanggal 17 Shoffar 1340 H tahun Ha (1852), Nyai Hindun merupakan putri pertama dari K.H. M. Munawwir sebagai pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir dari istri ke 3 yakni Ibu Nyai Salimah dari Wonokromo, Bantul. Adapun adik-adik beliau diantaranya yakni; Aminah, Ny. Zulaikha, Hidayatullah, Washil, Ja’far, K.H. Dalhar Munawwirr, Ny. Hj.  Jauharoh dan Ny. Hj. Badi’ah.

Nyai Hj. Hindun menikah dengan Kiai Yusuf Harun yakni putra pertama dari K.H. Harun Abdul Jalil dari istri Ny.Ummi Laila, Kempek Cirebon dan kemudian setelah menikah Nyai Hj. Hindun menetap di Kempek. Setelah K.H. Yusuf Harun wafat dalam usia muda karena sakit cacar kemudian Nyai Hindun menikah dengan K.H. Umar Sholeh yakni putra kedua dari K.H. Harun Abdul Jalil dari istri Ny. Mutimmah, Kempek Cirebon. Karena atas permintaan guru dan ayahandanya sebagai bukti sam’an watho’atan supaya tetap mengembangkan ilmu al-Qur’an dan juga demi mendapatkan rida dari sang Kiai. K.H. Umar Sholeh merupakan salah satu murid K.H. M. Munawwir diantara banyaknya murid yang pernah mengaji dengan K.H. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad. Hal ini semata-mata untuk menjaga kelangsungan persaudaraan Nyai Hindun agar terus menetap di Kempek tanpa harus kembali ke Yogyakarta untuk mengasuh putri tunggalnya yakni buah pernikahannya dengan Kiai Yusuf Harun.

Baca: Hubungan Silsilah Kempek dan Krapyak: Mengenal Sosok K. Zainuddin (1)

Adapun dari pernikahan Nyai Hindun dan K.H. Yusuf Harun melahirkan seorang putri tunggal yang bernama Nyai Hj. Jazilah Yusuf. Beliau Nyai Hj. Hindun merupakan sosok yang bersahaja dan suka bersedekah, beliau merupakan seorang putri yang patuh terhadap orang tuanya. Dibuktikan dengan kesungguhan beliau dalam mengaji dan mempelajari al-Qur’an langsung dengan orang tuanya yakni K.H. M. Munawwir dan kakaknya yaitu K.H. Abdul Qodir (putra ke 5 dari pernikahan K.H. M. Munawwir dengan RA.Mursidah) sehingga beliau menjadi sosok yang dikagumi dan dihormati oleh keluarga dan masyarakat. Dari situlah awal penyebaran al-Qur’an yang beliau bawa sampai di Pondok Pesantren Kempek dan berkembang sampai sekarang.

Dokumentasi oleh: Khaskempek.com-Ibu Nyai Hj. Jazilah Yusuf

Sepeninggalan K.H. Yusuf Harun estafet kepemimpinan pesantren digantikan oleh adiknya yaitu K.H. Umar Sholeh. Pada masa ini Pondok Pesantren Kempek berkembang pesat. Pengelolaan pembelajaran pesantren dikelola secara bersama-sama, saling bahu-membahu dengan adik dan ipar-ipar beliau seperti K.H. Aqil Siroj, K.H. Nashir, Kiai Hasan, Kiai Maksum, Kiai Muslim, Kiai Judhi dan lain-lain. Kiai Umar wafat pada 3 Dzul Hijjah 1999 dengan meninggalkan seorang putra H. M Nawawi dari istri ke 2 yakni Nyai ‘Aisyah binti KH. Ahmad Syathori dari Pondok Pesantren Arjawinangun Cirebon.

Nyai Hj. Hindun memperkenalkan dan mengajarkan al-Qur’an kepada santri-santri putri dengan metode sama persis yang didapatkan langsung dari K.H. M.  Munawwir yang tak lain merupakan ayahanda sekaligus guru beliau. Dari dulu sampai sekarang santri di Pondok Pesantren Kempek mengaji al-Qur’an dimulai dari hafalan surat al-Fatihah kemudian bacaan Tahiyyat, kemudian dilanjut surat an-Nas sampai surat an-Naba’ (Juz ‘Amma bil hifdzi). Setelah khatam Juz ‘Amma dilanjutkan dengan mengaji al-Qur’an yang dimulai dari surat al-Fatihah diteruskan ke surat al-Baqarah sampai khatam surat an-Nas (al-Qur’an bin nadzor).

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Jadi santri putri yang mengaji al-Qur’an di Pondok Pesantren Kempek itu secara otomatis sanadnya tersambung sampai ke K.H. M. Munawwir Krapyak yakni lewat jalur Nyai Jazilah Yusuf yang mengaji al-Qur’an dari Nyai Hindun dan Nyai Hindun belajar langsung dengan ayahandanya, yaitu K.H. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad. Salah satu dawuh dari K.H. M. Munawwir kepada Nyai Hj. Hindun yakni “Orang hafal al-Quran, mengamalkan isi kitab Majmu’ dan Mudzakarat, insya Allah menjadi orang shalihah.”

Nyai Hj. Hindun wafat saat wukuf di Arafah tanggal 8 Dzul Hijjah 1975. Sedangkan dikutip dari Khaskempek.com bahwasanya Nyai Hj. Jazilah Yusuf pernah bercerita bahwasanya Nyai Hj. Hindun itu wafat ketika sedang menunaikan ibadah haji di Makkah. “Mimie isun wafat ning tanah Arafah, tanggal 8 Dzul Hijjah,” tutur beliau. Kemudian Nyai Hj. Jazilah melanjutkan ceritanya “Ibu berangkat haji sekitar tahun 1971 bersama Kiai Dalhar” (adik dari Nyai Hj. Hindun).

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Khaskempek.com, Kempek-online.com

Keterangan Foto: Almarhumah Nyai Hj. Hindun Munawwir dan putrinya, Nyai Hj. Jazilah Yusuf (Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Munawwiroh Kempek, Cirebon) Foto: KHASMedia

Biografi KH Dalhar Munawwir

K.H. Dalhar Munawwir lahir pada hari Kamis Pon, pukul 13.00 WIB pada tanggal 14 Sya’ban tahun Dal atau 6 Juli 1933. Beliau merupakan putra ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan K.H. Muhammad Munawwir bin Abdul Rosyad dari istri yang ketiga yaitu Nyai Hj. Salimah. Beliau memiliki enam orang kakak, yakni; Nyai Hj. Hindun (sebagai kakak pertama), Nyai Aminah, Nyai Hj. Akikah, Nyai Hj. Baidah, Gus Wasil, Gus Jafar dan dua adik beliau adalah Nyai Hj. Jauharoh dan Gus Hidayatullah.

K.H. Dalhar Munawwir merupakan pengasuh di salah satu bagian pesantren otonom dari Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta yakni Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Nurussalam yang terletak diantara Komplek Q dan Komplek L dan terletak di perbatasan Kota Yogyakarta.

K.H. Muhammad Munawwir merupakan ayahanda sekaligus guru pertama beliau dalam mempelajari al-Quran. Dari kecil beliau sudah menggeluti ilmu al-Quran kepada ayahandanya hingga K.H. M. Munawwir wafat pada tahun 1942. Ketika beliau sudah dewasa, beliau melanjutkan mendalami al-Quran kepada K.H. Abdul Qodir Munawwir yang tidak lain adalah kakak beliau sendiri. Tidak hanya itu, beliau juga mempelajari kitab-kitab klasik kepada kakak iparnya, yaitu K.H. Ali Maksum. Pada waktu itu, K.H. Dalhar Munawwir beserta saudara- saudaranya yang lain; K.H. Ahmad Warson Munawwir, K.H. Zuhdi Dakhlan, K.H. Hasyim dan K.H. Nursidi mengaji kepada K.H. Ali Maksum.

Baca: Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Seperti tradisi para Kiai pesantren lainnya, rihlah keilmuan beliau tidak hanya didalami di lingkungan Pondok Krapyak saja, sekitar tahun 1959 beliau juga belajar kepada K.H. Nahrowi Dalhar (salah satu kiai kharismatik di pulau Jawa) yang merupakan pengasuh serta pendiri pesantren di Watucongol Magelang sewaktu posonan (pengajian di bulan Ramadhan). K.H. Dalhar Munawwir juga pernah menimba ilmu langsung kepada K.H. Siroj (Payaman), K.H. Musyafa’ (Kaliwungu), K.H. Dimyathi (Comal Pemalang), K.H. Bisri Mustofa (Rembang), dan K.H. Suyuthi (Rembang).

Pada tahun 1958 di usia 25 tahun K.H. Dalhar Munawwir mempersunting Nyai Hj. Rr. Makmunah, putri seorang Kiai dari Purworejo Jawa Tengah, yaitu K.H. Raden Ahmad Siroj atau Kiai Ahmad Jambul. Beliau dikaruniai lima anak laki- laki, yakni; K.H. Fuad Asnawi, K.H. Fathoni, K.H. Fairuzi Afiq, K. Faishol Majdi, dan K. Fahmi, serta seorang anak perempuan bernama Fanny Rifqoh.

Sumber foto dari instagram @nurussalamkrapyak

Di bawah asuhan K.H. Dalhar Munawwir, pesantren ini menjadi semakin berkembang dengan masuk dan bertambahnya santri putra yang datang dari berbagai penjuru daerah di Jawa bahkan hingga luar Jawa seperti Bali, Sumatera, dan daerah lainnya. Pada masa inilah bersamaan dengan berubahnya nama Pondok Pesantren Putri Krapyak, menjadi Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Nurussalam. Kata “Nurussalam” (cahaya keselamatan) sendiri disandarkan kepada pendiri pertama Pondok Putri yaitu Ibu Nyai Hj Salimah Munawwir yang tak lain merupakan ibunda K.H. Dalhar Munawwir.

Baca: Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil Dan Ketawadhuannya

Hubungan K.H. Dalhar Munawwir dengan para santri seperti seorang bapak dengan anak-anaknya, beliau lebih senang memanggil santrinya dengan sebutan anak-anakku. Begitu juga beliau tidak begitu senang dipanggil Kiai oleh para santrinya, beliau lebih senang dipanggil “Bapak” atau “Mbah”. Kedekatan K.H. Dalhar Munawwir dengan para santrinya bagaikan sebuah keluarga besar, hal ini bisa dilihat dari berbagai kegiatan atau rutinitas yang ada di pesantren, beliau sering terjun langsung setiap hari mengawal kegiatan santri-santrinya di Pondok Pesantren Nurussalam. K.H. Dalhar Munawwir tidak pernah membedakan antara santri yang satu dengan santri yang lain, baik santri itu merupakan anak kyai atau bukan dalam pandangan beliau semua santri itu sama yaitu sebagai anak-anak yang ingin menuntut ilmu.

An-Namiqotu fil Qowa’idil Fiqhhiyyah merupakan karya K.H. Dalhar Munawwir yang ditulis langsung oleh beliau pada waktu itu, yang berisi 40 kaidah fiqih menggunakan bahasa Indonesia-Arab. Tidak hanya itu beliau juga menulis sebuah kumpulan tulisan Khutbah Jum’at yang beliau tulis sendiri ketika beliau menjadi Khotib Sholat Jum’at.

Pada hari Rabu, 18 November 2009, jam 10.00 WIB, Kiai yang istiqomah dalam kesederhanaan itu ‘berpulang’ di usianya yang ke-76 tahun. Pada waktu itu beliau di rawat di RSUD Wirosaban Kota Gede Yogyakarta, karena beliau mempunyai penyakit radang paru-paru.

Sebelum disemayamkan, jenazah disholatkan di Masjid Pondok Pesantren Al- Munawwir. Kemudian dibawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir yakni di komplek makam keluarga Dongkelan, sesuai wasiat K.H. Dalhar Munawwir beliau ditempatkan di sebelah barat istri tercintanya, Nyai Hj. Rr. Siti Makmunah.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: almunawwir.com, el tasrih Komplek L

Picture by instagram @nurussalamkrapyak

Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil Dan Ketawadhuannya

Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil adalah sosok kyai yang sangat tawadhu. Sikap tawadhu beliau cukup masyhur dimasyarakat sekitar Krapyak, salah satu kebiasan yang mencerminkan ke tawadhu-an beliau adalah ketika hendak ke Masjid Al Munawwwir Krapyak, dari pintu gerbang beliau sudah menuntun sepedanya, tidak pernah beliau berani mengendari sampai masuk ke area Masjid. Hal serupa juga di ungkapkan oleh putra beliau yaitu Gus Hafidz ketika menceritakan sikap tawadhu beliau. “Bapak tidak pernah merasa lebih bisa dari siapapun bahkan dari santrinya sendiri” ungkap Gus Hafidz Tanwir ketika di wawancarai kru el-tasriih.

Tawadhu juga menjadi alasan beliau memperistri cucu KH. M. Munawwir yaitu Ibu Nyai Siti Rohmah binti Asyaithibi. Saking tawadhu-nya selain masalah hukum, beliau  selalu mengalah kepada istrinya, mengalah di sini bukan berarti kalah akan tetapi karena beliau memandang Ibu Nyai Siti Rohmah bukan hanya sebagai istri melainkan juga sebagai putri dari gurunya.

Baca: Amalan Satus Tembus

Saat mengajar al-Quran di PP. Al-Munawwir Komplek L, metode yang beliau terapkan sama seperti metode yang pernah beliau dapatkan dari gurunya. Ketika bacaan santri salah beliau langsung menuntun dan memebenarkanya, seperti yang di ungkapkan santri yang pernah mengaji kepada beliau yaitu Akhmad Haris yang mengungkapkan:

“Simbol kalau sudah boleh naik ke surat berikutnya adalah telunjuk beliau ketika beliau sudah mengangkat jari telunjuk berarti santri sudah boleh melanjutkan ke surat berikutnya tetapi kalau belum, santri harus kembali mengulanginya kembali”. ucap Kang Haris

Dokumentasi foto oleh M. Mudzakir Putra ke-6 beliau

Kang Haris juga menambahkan beliau adalah sosok yang sangat sabar dalam mengajar, telaten dan juga istiqomah. Mbah Yai Tanwir sering sekali lebih dulu hadir di sebelum para santrinya datang. Beliau memiliki kebiasaan yang selalu dilakukan yaitu nderes Sambil berjalan di sekeliling Pondok sebelum mengajar. Pesan yang selau di ingat oleh Akhmad Haris sebagai salah satu santrinya adalah “Urip kuwe kudu Sing Sabar Yo” karena ungkapan Ini adalah pesan terakhir beliau ketika menjelang wafat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Ibunda almaghfurlah KH. Ahmad Warson Munawwir dan KH. Zainal Abidin yakni Ibu Nyai Hj. Khodijah atau biasa dipanggil dengan Bu Nyai Sukis. Bu Nyai Sukis satu rumah dengan Mbah KH. Ali Maksum (menantu) dan anak-anak beliau, yakni Gus Bik (KH. Atabik Ali), Mbak Ifah, Mbak Genuk, Gus Jis (KH. Jirjis Ali). Gus Kelik (almarhum) dan Mbak Ida belum lahir waktu itu.

Pada saat zaman Mbah Munawwir masih sugeng santri masih terbilang sedikit, bahasa yang dipakai sehari-hari masih bahasa Jawa, sebab santri-santri kebanyakan dari Jawa Tengah dan sedikit dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Sangat jauh berbeda ketika zaman Mbah Ali memegang kendali, santri-santri dari Jakarta membludak, terutama dari Klender (Jakarta Timur).

Bersamaan dengan perkembangan pondok dan santri-santri yang memakai bahasa Indonesia mulai banyak, otomatis Bu Nyai Sukis sering mendengar bahasa Indonesia dari Bu Nyai Hasyimah (istri Mbah Ali). Lama-lama berani memakai bahasa Indonesia meskipun dengan kosakata terbatas.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

Suatu hari ada tamu keluarga dari Jakarta, begitu pagi saat sarapan hidangan sudah di hadapan para tamu, Bu Nyai Sukis ditinggal Bu Nyai Hasyimah mengambil sendok ke dapur. Saat itulah Bu Nyai Sukis yang ambil peran mempersilakan tamu.

“Ayo makan, ayo makan.” Bu Nyai Sukis mempersilahkan

Tamu pun paham, mulailah mereka ambil nasi dan lauk. Ketika tamu mau mengambil sayur, Bu Nyai Sukis mempersilahkan tamu.

“Ya, ini jangan, ini juga jangan.” Bu Nyai Sukis mempersilahkan

Tamu pun merasa bingung.

“Mau ambil sayur kok tidak boleh?” ucap tamu dalam hati

Akhirnya diurungkan untuk mengambil sayur, cukup makan dengan tempe dan tanpa sayur.

Ketika Bu Nyai Hasyimah datang dan mempersilakan mengambil sayur, tamu pun baru paham bahwa ‘jangan’ itu bahasa Jawa dari sayur. Tetapi karena sudah terlanjur malu, tamu pun membatalkan mengambil sayur tersebut.

“Ambil tempek lagi aje dah.” ucap tamu

Anaknya yang menjadi santri menegur

“Bu, di sini ‘tempe’ nggak pake ‘k’!” sang anak menegur

“Iye, iye, tempek ‘kan?” sang ibu menyahut

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: almunawwir.com

Picture by almunawwir.com

Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

KH M Munawwir adalah guru besar Alquran nusantara, tidak diragukan lagi karena hampir di setiap sanad al-Qur’an di Indonesia banyak guru-gurunya yang melewati beliau. KH. M. Munawwir mempunyai banyak murid yang tersebar di penjuru tanah air, diantaranya:

  1. K.H. Arwani Amin (Kudus)
  2. K.H. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
  3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
  4. K.H. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
  5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
  6. K.H. Noor (Tegalarum – Kertosono)
  7. K.H. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
  8. K.H. Murtadho (Buntet – Cirebon)
  9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
  10. K.H. Abu Amar (Kroya)
  11. K.H. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
  12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
  13. K.H. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
  14. K.H. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
  15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
  16. Haji Mahfudz (Purworejo)

Dan ada dua santri yang sama-sama murid beliau yang kami tahu dan akhirnya bertemu nasab menjadi bagian dari keluarga beliau.

Pertama, Kiai Hasbulloh adalah murid KH M Munawwir berasal dari Jejeran-Bantul. Dikisahkan sewaktu Mbah Hasbulloh sowan kepada Kiai Munawwir setelah khatam mengaji sambil membawa se-tundun pisang untuk tasyakuran.

Lalu beliau matur, “niki kagem Yai, panjenengan ngersakke nopo maleh.” (ini untuk Pak Yai, kira-kira Pak Yai menghendaki apalagi)

Kiai Munawwir berkata, “iku sing mbuk ajak sopo ng sampingmu?” (itu yang kamu ajak disampingmu siapa ?)

Mbah Hasbulloh menjawab, “niki putri kulo.” (ini putri saya)

Kemudian Kiai Munawwir menyahut, “yo wis aku pengen anakmu wae.” (yaudah, aku pengen putrimu saja)

Begitu ta’dzimnya seorang murid kepada guru, tanpa berpikir panjang akhirnya dinikahkanlah sang puteri dengan sang guru, walaupun selisih umur yang sangat jauh, sehingga jadilah beliau sebagai murid sekaligus mertua.

Sang putri yang dimaksud adalah Ny. Khodijah yakni istri kelima sekaligus terakhir Kiai Munawwir, dari beliaulah melahirkan Ny. Walidah Munawwir (istri KH Nawawi Abd Aziz, PP An Nur, Ngrukem-Bantul), KH Ahmad Munawwir (Komplek L-Krapyak), Ny. Zuhriyyah Munawwir (istri KH Mubassyir Mundzir, PP Maunah Sari-Kediri) 

Murid Kiai Munawwir kedua yang akhirnya menjadi bagian dari keluarga beliau adalah Mbah Ma’shum bin Siroj. Beliau berasal dari Gedongan Cirebon. Hubungan beliau dengan Kiai Munawwir sudah sangat dekat dimulai dari kakek, yakni Kiai Sa’id. Kiai Sa’id merupakan muassis awal Pesantren Gedongan, beliau menjadi penghubung antara Kiai Munawwir dengan seseorang yang mewaqafkan tanah untuk berdirinya pesantren dan akhirnya pindah di Krapyak yang sebelumnya berada di Kauman Yogyakarta.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

Mbah Ma’shum adalah putra pertama dari delapan bersaudara, beliau tercatat sebagai pengasuh Pesantren Gedongan periode ke empat menggantikan ayahnya, Kiai Siroj bin Sa’id, diantara adiknya adalah Kiai Aqil (PP KHAS Kempek-Cirebon, ayah dari KH Said Aqil Siroj).

Mbah Ma’shum terkenal pandai mengarang syair dengan bahasa Arab, sehingga mempunyai karangan kitab Nailurroja Madzhumah Safinatinnaja. Kitab ini telah disyarahi oleh KH Sahal Mahfudzh Kajen-Pati dengan judul kitab Faidl Al-Hija.

Suatu hari Mbah Ma’shum berkesempatan mengunjungi Pesantren Krapyak bersama dengan keluarganya, termasuk dalam rombongan tersebut adalah putrinya yang berusia 18 tahun. Di sana beliau dan rombongan diterima oleh Kiai Ali Maksum, menantu yang ikut mengasuh Pesantren Krapyak setelah Kiai Munawwir wafat pada tahun 1942.

Dari pertemuan tersebut terkejutlah sang putri mendengar dhawuh dari ayahnya, ia mengira datang ke Krapyak untuk mondok, melihat usianya yang terbilang muda dan sebelumnya masih menjadi santri di Pesantren Arjowinangun-Cirebon, ternyata ia akan dinikahkan dengan putra Kiai Munawwir.

Sang putri tersebut bernama Ny. Shofiyyah (18-an tahun) dan menikah dengan KH Ahmad Munawwir (40an tahun), muassis komplek L (salah satu asrama di PP Al-Munawwir). Dari pernikahan tersebut, maka Mbah Ma’shum adalah murid juga menjadi besannya Kiai Munawwir.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: www.almunawwir.com

Dikisahkan oleh: Ust Rosyid Yusuf Alumni Komplek L

Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

Satu minggu menjelang memperingati Haul KH. M Munawwir bin Abdullah Rosyad yang ke-82 kita akan terlebih dahulu memperingati haulnya almaghfurlah KH. Ahmad Warson Munawwir. Beliau adalah sosok dibalik kemasyhuran kamus legendaris Al-Munawwir, beliau juga merupakan pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Q. Beliau wafat pada hari Kamis Pahing, 7 Jumadil Akhir 1434 H/ 18 April 2013 M tepat 3 hari sebelum peringatan Haul KH. M Munawwir yang ke-74.

Almaghfurlah KH. Ahmad Warson Munawwir merupakan putra ke-10 dari 11 bersaudara dari istri ke-2 KH. M Munawwir yakni Ny Hj. Khodijah (Sukis). Beliau lahir pada hari Jum’at pon 22 Sya’ban 1353 tahun wawu atau 30 November 1934 M. Nama beliau yakni Warson terinspirasi dari kata warsy yang terdiri dari tiga huruf hijaiyah yakni wawu, raa dan syin. Kata ini diambil dari salah seorang ulama ahli qira’ah yaitu Imam Warsy’. Pada saat umur 8 tahun almaghfurlah KH. Ahmad Warson sudah ditinggalkan oleh ayahanda-nya KH. M Munawwir pada tahun 1942, maka posisi pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir dipegang oleh tiga orang sekaligus yakni KH. R. Abdullah Affandi (putra tertua), KH. R. Abdul Qodir dan KH. Ali Maksum.

Dalam deretan nama murid pertama KH. Ali Maksum terdapat nama Ahmad Warson Munawwir yang mana dalam asuhan KH. Ali Maksum, Kyai Warson benar-benar digembleng. Beliau dituntut oleh KH. Ali untuk menghapal bait-bait alfiyah, terkadang dalam proses mengapal tersebut kaki beliau diikat oleh Kyai Ali agar bisa duduk tenang ketika diperdengarkan bait-bait alfiyah. Bahkan jika beliau tidak kunjung menghapalkan bait-bait alfiyah maka akan dihukum oleh Kyai Ali, beliau sering dilempar dengan benda, disabet, dicubit bahkan dipukul. Dengan model pendidikan yang sangat disiplin yang dilakukan oleh Kyai Ali tidak mengherankan jika murid-murid pertama Kyai Ali menjadi orang-orang yang memiliki keilmuan tinggi termasuk Kyai Warson. Pada saat usia 13 tahun Kyai Warson dipercaya oleh Kyai Ali untuk mengajarkan bait-bait alfiyah kepada para santri yang notabene usianya di atas beliau, karena amanat dari sang guru beliau tetap mengajar dengan tekun.

Baca: Gus Baha Di Majlis Tahlil 7 Hari Wafatnya Romo Yai Najib

Ketika berusia 26 tahun (1970 M) beliau mempersunting Nyai Husnul Khotimah dari Kutoarjo, semenjak berumah tangga beliau memulai bisnisnya dalam dunia usaha. Beliau pernah merintis usaha jual beli mobil dan motor, selain itu beliau juga pernah memiliki percetakan di Gading sebelah utara Krapyak dengan nama Percetakan Anugerah. Beliau juga pernah beternak burung puyuh yang jumlahnya mencapai ribuan, pernah juga beliau bersama sang kakak KH. Zainal Abidin Munawwir memiliki usaha toko kelontong di sebuah kios yang kini menjadi mushola timur Komplek Q.

Pada saat usia 47 tahun yakni pada tahun 1981 M beliau berpindah dari rumah ibundanya Ny. Hj Khodijah (Sukis) di komplek pusat Pondok Pesantren Al Munawwir ke rumah barunya yang terletak di sebelah utara komplek pusat. Bangunannya terletak diantara Komplek Nurussalam dan Komplek L yang merupakan bagian dari Pondok Pesantren Al Munawwir. Ketika beliau sudah pindah dari rumah ibundanya, kegiatan mengajar tidak lagi difokuskan di komplek pesantren pusat, beliau memusatkan perhatiannya untuk mengajar di rumahnya sendiri yang kemudian hari semakin berkembang dan menjadi komplek pesantren sendiri hingga sekarang.

Selain mendirikan pesantren khusus putri di lingkungan Pondok Pesantren Al Munawwir beliau juga berhasil menyusun kamus bahasa Arab-Indonesia yang sangat populer di kalangan pesantren, tidak hanya menjadi rujukan santri di Indonesia melainkan juga di mancanegara, kamus itu dikenal dengan nama Kamus Al Munawwir. Kamus Al Munawwir ditulis dalam bimbingan Kyai Ali, selama penulisan kamus beliau menggunakan metode setoran dalam memeriksakan naskah kamus beliau kepada Kyai Ali. Beliau membawa naskah tersebut kepada Kyai Ali untuk diperiksa sambil memijiti Kyai Ali, begitu seterusnya hingga kamus tersebut selesai dikerjakan.

Kyai Warson tidak hanya berdiam diri di lingkungan pondok pesantren saja, tetapi beliau juga aktif dalam kancah perpolitikan nasional. Pernah juga menjadi seorang pengusaha, menjadi pemimpin redaksi koran Harian Duta Masyarakat, penuli kamus, penggagas berdirinya SMK Al Munawwir serta Stikes Alma Ata. Selama hidup beliau Kyai Warson hanya berguru kepada Kyai Ali maksum saja, beliau tidak pernah mondok di pesantren lain. Meskipun demikian beliau mampu menulis mahakarya kamus Arab-Indonesia Al Munawwir yang sangat fenomenal.

Baca: Sang Murobbi Dipangkuan Ilahi

Karena sudah lama menekuni proses penyusunan kamus yang dilakukan oleh beliau sambil duduk, beliau kemudian terkena penyakit ambeien. Menurut dokter hal itu disebabkan karena terlalus sering dan lama duduk, pada tahun 2012 setelah beliau jatuh saat tidur mulai mengalami sakit dan menghentikan kegiatan beliau di luar. Beberapa hari sebelum wafat Kyai Warson bercerita yang dikisahkan oleh Bu Nyai Husnul bahwa beliau bermimpi dengan Kyai Ali, dalam mimpinya Kyai Ali mengajak beliau ikut dengan Kyai Ali. Sebagai wujud ta’dzim kepada gurunya beliau mengiyakan ajakan kyai ali untuk ikut.

Oleh: Taufik Ilham

Sumber: digilib.uin-suka.ac.id

Majalah Al Munawwir Edisi VI/2014, Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak

Picture by belajarsemua.github.io

Romo Yai Najib Menata Sandal Santri

Bercerita tentang akhlak dan haliyah beliau pasti tidak akan habisnya. Semua yang pernah ndherekne, mengaji bahkan sekadar melihat beliau saja akan memiliki kesan bahwa beliau merupakan ahlul Qur’an yang sebenar–benarnya ahlul Qur’an. Bukan hanya karena beliau seorang hamilul Qur’an yang hafal diluar kepala, lebih dari itu, bahwa nilai-nilai yang termuat dalam Al Qur’an semua tercermin atas pribadi beliau.

Diantara akhlak dan pribadi beliau yang masyhur ialah ketawadhuan dan syafaqah (welas asih dan perhatian) beliau kepada semua orang, terkhusus kepada para santri.

Jenengmu sopo kang?

Asli pundi kang?

Mbiyen mondok neng ndi?

Itulah pertanyaan yang sering dilontarkan Romo Yai kepada para santri ketika sowan kepada beliau. Bahkan suatu saat ketika saya sowan dengan beberapa santri, saya menyaksikan dan mendengarkan sendiri bahwa ada salah satu santri yang sampai ditanya perihal keluarga dan kondisinya, siapa nama ayahnya, berapa jumlah saudaranya, dll . Bahkan lebih detail lagi, Romo Yai sering menanyakan daerah-daerah sekitar rumah para santri.

Baca: Lima Hal Yang Akan Dihadapi Di Akhirat

Perihal ketawadhuan beliau, pernah suatu ketika beberapa santri menunggu beliau mandap (turun) dari masjid dengan maksud ingin sowan izin pulang. Termasuk saya sendiri; ketika beliau sudah sampai di depan ndalem dan selesai menyalami para santri, tiba-tiba beliau merunduk  dan membetulkan posisi sendal yang berantakan di depan ndalem. Dan kami hapal betul bahwa sandal yang ditata beliau merupakan sandal santri yang memang biasanya tertinggal ketika selesai ngaji di ndalem.  Seketika  itu, kami langsung menyusul dan sesegera mungkin menata sandal yang lain. Kemudian Romo Yai masuk ndalem dan mempersilakan kami masuk.

Sejak awal masuk ndalem sampai keluar lagi, terbersit di benak kami bahwa betapa mulia dan tawadhu’-nya beliau, sekalipun dengan para santrinya. Bisa saja, bahkan sangat wajar jika Romo Yai menyuruh kami untuk menata sendal. Tetapi beliau memilih diam dan menata sendiri. Padahal saat itu tangan beliau memegang payung. Sungguh mulianya akhlak Romo Yai.

Baca: Penyangga Langit Krapyak Tersisa Satu

Disisi lain, ini merupakann model tarbiyah Romo Yai kepada para santrinya. Tarbiyah yang bahkan tidak sekadar terucap lewat lisan, tapi berupa haliyah dan perilaku. Saya yakin, hal ini karena beliau paham betul bahwa lisanul hal afshahu min lisanil maqal; nasihat yang berupa perilaku dan teladan akan lebih mengena dibanding sekadar lewat ucapan (lisan).

Penulis: Ibnu Hajar Al Qodiri (Nama Pena)

Santri Madrasah Huffadz 1 Al Munawwir

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Gus Baha Di Majlis Tahlil 7 Hari Wafatnya Romo Yai Najib

Pada Ahad (10/01) sekitar pukul 20:30 waktu setempat Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak menggelar Majlis Tahlil 7 hari wafatnya Syaikhuna KH. R Najib Abdul Qodir, Majlis Tahlil ini digelar di gedung Aula G Pondok dan dihadiri oleh jamaah yang memadati lingkungan Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak. Dalam acara Majlis Tahlil ini dihadiri juga oleh Gus Baha yang memberikan Mauidhoh Hasanah kepada para jamaah.

Gus Baha bercerita bahwasanya dulu ayah beliau Kyai Nursalim itu akrab dengan Romo Yai Najib, ayahanda beliau merupakan seniornya Romo Yai Najib. Saya (Gus Baha) dengan Krapyak mempunyai hubungan kekeluargaan karena dulu Mbah Munawwir itu ngaji dengan Mbah Sholeh Darat sedangkan Mbah Sholeh Darat pernah ngaji dengan buyut saya yakni Asnawi Sepuh, jadi duriyatan min ba’duha jadi semua saling menghormati. Keluarga Mbah Munawwir itu membawa Al Qur’an, membawa Al Qur’an itu tidak harus hapal, ada yang hidmah membina orang berbagai macam jadi tidak harus menghapalkan Al Quran. Dulu juga dalam dunia Gus ada Gus Miek (Hamim Tohari Djazuli) pokoknya ada banyak Gus yang membina orang berbagai macam yang terpenting yaitu mempunyai mental membina masyarakat.

Baca: Lima Hal Yang Akan Dihadapi Di Akhirat

Sebagai seorang santri hendaknya kita ketika sudah boyong kelak bisa membina masyarakat karena jika kita tidak mau memimpin dengan madzhab ahlu sunnah wal jamaah dan menghindarinya artinya kita sudah membiarkan umat dipimpin oleh kelompok lain dan bisa saja dipimpin oleh orang yang mubtadiah, orang yang kafiroh, orang yang mudillah bisa juga orang yang mukhtariah. Jadi jangan sampai membiarkan umatnya kanjeng nabi dipimpin oleh orang-orang yang tidak ahli sunnah wal jamaah.

Karena diluar sana untuk senang itu harus menunggu punya uang dan punya pangkat dulu, tapi para santri ketika khataman Al Qur’an mayoran saja sudah senang sudah bisa senang khatam meskipun khatamnya itu tidak karuan yang penting khatam asalkan tidak dites saja. Karena senang terhadap kebaikan merupakan sebuah perlawanan terhadap kemungkaran, orang harus senang dengan kebaikan karena itu bentuk perlawanan terhadap senang harus lewat maksiat. Dalam kitan kasyifatus saja ada sebuah redaksi mengatakan bahwa cara melawan setan diantaranya kita harus menikmati sesuatu yang tidak haram, misalnya para santri Krapyak tinggalnya di kota itu berat karena di kota itu apa saja ada tapi para santri itu senang ketika bisa setoran tidak keliru saja sudah senangnya luar biasa atau ketika setoran keliru pas Kyainya ngantuk itu senang, senangnya karena keliru sedikit tidak ketahuan oleh kyainya.

Baca: Obituari untuk KH R. M. Najib Abdul Qodir, Sang Pembawa Al-Qur’an

Contoh yang lainnya yaitu ketika bayar iuran khataman 3 juta kemudian ngomong sama orang tuanya bayar 5 juta, senang meskipun membohongi orang tuanya, itu didukung oleh agama yang terpenting tidak haram. Kenapa membohongi orang tua halal karena orang tuanya ridho, jadi halalnya itu terlambat  membohongi orang tua itu haram tapi ketika orang tuanya ridho jadi halal. Kalau misal orangtuanya tidak ridho itu ya kebangetan orang tua macam apa.

Jadi dalam beragama itu membutuhkan orang yang adnal halat supaya orang bisa tahu batas minimal suatu perkara, para santri juga harus bisa mengerti ukuran baik itu bisa mengambil sikap adnal halat (sikap paling rendah) karena agama ini butuh nilai minimal, jadi jangan membayangkan dunia itu ideal bisa-bisa kita menjadi khawarij karena khawarij itu membayangkan dunia itu ideal sampai nabi saja digugat oleh mereka.

Oleh: Taufik Ilham

Do’a Untuk Sang Maestro Al Qur’an

Malam ini, Ahad (10/01) tepat 7 hari wafatnya KH. R Najib Abdul Qodir Munawwir yakni Sang Permata Al Qur’an kembali ke pangkuan Ilahi. Malam nanti akan diadakan Majlis Tahlil Virtual pukul 20.00 melalui chanel Youtube Almunawwir TV.

Di sini, di Pondok pesantren Al Munawwir Krapyak tidak semuanya menjadi santri di Madrasah Huffadz dibawah asuhan beliau Mbah Najib Abdul Qodir allahuyarham, tidak semuanya bisa merasakan setoran hapalannya kepada beliau, tetapi santri Krapyak tetaplah santri Krapyak. Semua santri mencintai para Masyayikh dan juga merasa dicintai. Sebagai seorang santri hendaknya kita menjadikan Mbah Najib sebagi suri tauladan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai seorang santri, karena dalam haliyah beliau terdapat sebuah pesan untuk selalu bersahaja kepada sesama. Ketika beliau  membaca bacaan shalat ataupun wirid setelah shalat, tahlilan dan do’a-doa selalu menartilkan setiap huruf  yang dilafadzkan oleh beliau. Apalagi ketika beliau sedang memanjatkan doa yakni dengan keadaan tangan yang menadahkan layaknya seorang anak meminta sesuatu kepada orang tuanya dan dengan wajah yang menunduk. Menggambarkan bahwa sebagai seorang hamba yang sedang memohon tidak ada kata main-main ketika sedang berdoa. Ketartilan beliau tidak hanya dalam bacaan belaka melainkan menjalani kehidupan beliau dengan tartil pula.

Baca: Penyangga Langit Krapyak Tersisa Satu

Jika belum ada kesempatan untuk bisa datang bersilaturahim langsung untuk mendoakan beliau, maka sempatkanlah Surah Al Fatihah di setiap akhir sujud shalat, jika masih belum mampu juga maka sempatkanlah berdoa jika sedikit terlintas wajah beliau. Karena tidak ada yang lebih mulia di sisi Allah daripada do’a, karena tidak ada kata doa yang sia-sia. Terlebih untuk mendoakan guru kita semua, sebagai seorang santri paling minim ya membaca tahlil.

Diceritakan Mbah Kholil Bangkalan pernah diminta untuk memimpin tahlil di kediaman warga sekitar, sesampainya di rumah shohibul hajat Mbah Kholil memimpin tahlil hanya dengan membacakan kalimat thoyibah “La ilaha illallah” sekali saja. Setelah itu Mbah Kholil pamit pulang dan dibekali berkat yang sangat besar.

Mengetahui hal tersebut shohibul hajat kemudian mendatangi kediaman Mbah Kholil dan menjelaskan maksud dan tujuannya yakni karena tidak sebanding antara apa yang dibaca dengan berkat yang telah diberikan. Untuk menjelaskan semua itu Mbah Kholil kemudian mengambil timbangan dengan kertas yang bertuliskan kalimat thoyibah dan berkat yang besar tadi pemberian shohibul hajat. Dan ternyata setelah ditimbang selembar kertas yang bertuliskan kalimat thoyibah tadi lebih berat ketimbang berkat besar. Karena membaca satu kalimat tahlil saja itu sudah cukup untuk bingkisan ahli kubur, beratnya pun melebihi berat dari berkat yang berisi apa pun.

Baca: Gus Baha Di Majlis Tahlil 7 Hari Wafatnya Mbah Najib

Yang bisa kita lakukan saat ini yakni meneladani dan melaksanakan dawuh-dawuh beliau, menghidupkan ilmu beliau dan terus menyebarkan barokah yang beliau tinggalkan kepada kita semua. Semoga kita semua senantiasa diberi kesabaran dan hidayah oleh Allah Swt. Amin.

Oleh: Tim Redaksi

Picture by ponpesduta.files.wordpress.com

Penyangga Langit Krapyak Tersisa Satu

Momen lebaran adalah momen dimana berkumpulnya sanak saudara, melepaskan kerinduan dengan orang terkasih. Bagi orang-orang yang sedang merantau merindukan hal-hal tersebut karena menjadi sebagai salah satu momen yang ditunggu-tunggu untuk bisa menghabiskan waktu bersama kerabat dan keluarga. Setiap kali gema takbiran bergema teringat jengkol badalo masakan sang ibu.

Tradisi ketika lebaran adalah mudik ke kampung halaman, tidak sedikit masyarakat yang memiliki kehidupan jauh dari kampung halamannya, tidak ketinggalan para santri yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren juga melakukan tradisi ini. Namun tidak semua melakukan tradisi mudik tersebut, ada beberapa santri yang lebih memilih mukim di pondok saat hari raya idul fitri. Ada beberapa alasan kenapa para santri yang tidak memilih mudik ke kampung halamannya diantaranya yakni karena memang kampung halamannya nan jauh disana ada juga yang beralasan tidak akan pulang sebelum membawa calon untuk ibu dan bapak. Namun pada dasarnya alasan santri lebih memilih mukim karena dilandasi karena rasa hormat kepada kyai ataupun ibu nyai sebagi figur teladan sebagai murobbi ruh nya.

Pada saat momen seperti inilah para santri yang tidak memilih pulang ke kampung halamannya memanfaatkan momen untuk sowan-sowan kepada para masyayikh yang ada di sekitar lingkungan pondok. Sowan yang dilakukan bisa lebih intens karena masih dalam suasana idul fitri yang masih kental dengan hikmah serta do’a beliau secara langsung. Kesempatan ini yang jarang di dapatkan oleh santri pada umumnya.

Baca : Bernostalgia Bersama KH. Ahsin Sakho’

Setelah sowan kepada Pak Yai dan keluarga ndalem kemudian kami keliling sowan kepada para masyayikh Krapyak dan dzuriyah pondok pesantren dan juga tak lupa bertamu ke rumah warga sekitar. Pada saat sowan ke ndalemnya Gus Chaidar kami diceritakan sedikit rahasia yang mungkin tidak kebanyakan orang mengetahuinya. Karena pada saat itu tidak lama setelah wafatnya KH. Agus Rifqi Ali Bin KH. Ali Maksum atau biasa akrab dengan sapaan Gus Kelik.

Tiba-tiba beliau dawuh bahwasanya :

“Jimate Krapyak iku ono telu, lah iki sijine sing nembe kapundut yaiku Gus Kelik, lah iki ijeh loro sing sijine yaiku Mbah Yai Najib (sing nembe kapundut) karo sing sijine yaiku…”

Dan untuk yang ketiga ini beliau masih sugeng, mudah-mudahan beliau selalu diberikan kesehatan dipanjangkan umurnya juga mberkahi untuk kita semua. Mudah-mudahan kita semua diakui menjadi santrinya beliau. Amin.

Oleh : Taufik Ilham

Sumber : Alumni Komplek L

Picture by Lilik