Bernostalgia Bersama KH. Ahsin Sakho’

Di malam ketiga Majlis Tahlil (06/01) wafatnya penjaga Al Qur’an di Nusantara KH. R Najib Abdul Qodir  kerawuhan murid sekaligus sahabat beliau yakni Dr. Ahsin Sakho’ Muhammad MA., Al Hafiz. Beliau berpesan bahwa “Beliau (Mbah Najib) adalah orang yang betul-betul ahlul Qur’an, kalau yang saya perhatikan hadist-hadist Fadloilul Qur’an, hadist tersebut ada dalam diri beliau. Beliau tidak pernah membicarakan yang tidak enak kepada orang lain, kalau ada arah menuju kesana beliau membelokan pembicaraannya, beliau tidak mau masuk ke wilayah pribadi orang lain. Lisannya benar-benar terjaga, haliyah beliau benar-benar terjaga, seperti itulah Hafidzul Qur’an”. Itu adalah sedikit dari potongan cerita beliau tentang Mbah Najib Abdul Qodir dalam Majlis Tahlil.

Setelah selesai menghadiri acara Majlis Tahlil beliau KH. Ahsin singgah ke tempat dimana beliau dan Mbah Najib dulu pernah menyetorkan hapalan Al Quran kepada Mbah Mad (KH. Ahmad Munawwir) selama di Krapyak. Beliau bercerita kembali, bernostalgia bersama dengan Pengasuh Pondok pesantren Al Munawwir Komplek L KH. Muhammad Munawwar Ahmad beserta dengan para santri Tahfidz. Beliau bercerita ketika mondok di Krapyak sekitar tahun 1973-1976, pada saat itu beliau menempati kamar A nomor 2 di Komplek L. Pada saat itu Mbah Mad memberikan kesempatan kepada Mbah Najib untuk mengajar karena Mbah Mad sudah mempunyai sebuah firasat bahwasanya kelak yang akan melanjutkan estafet Tahfidzul Quran di Krapyak itu Mbah Najib. Begitu caranya Mbah Mad meregenerasi yakni dengan cara memberikan kesempatan Mbah Najib untuk mengajar disini. Mbah Najib sudah menganggap Mbah Mad itu seperti ayahnya sendiri karena Mbah Najib sudah ditinggalkan oleh ayahnya ketika masih kecil. Oleh karena itu apapun yang di dawuhkan Mbah Mad pokoknya sendiko dawuh apa kata Mbah Mad.

Sampai pada akhirnya Mbah Najib ingin melanjutkan Qiro’ah Sab’ah di Mbah Arwani Kudus, kemudian diantar oleh Mbah Mad begitu pun dengan saya dan teman-teman lainnya ikut mengantarkan Mbah Najib ke Kudus menggunakan mobil pickup. Pada saat mau sowan Mbah Arwani pakaian Mbah Mad dirasa kurang sopan dan tidak pantas untuk menghadap Mbah Arwani maka Mbah Mad meminta temannya untuk bertukar pakaian dengan Mbah Mad.

“Cubo ijolan sek klambine” pinta Mbah Mad

Karena begitu tawadhu’nya Mbah Mad hendak sowan menghadap Mbah Arwani beliau rela bertukar pakaian dengan temannya, kalau tidak salah nama teman yang bertukar pakaian dengan Mbah Mad itu namanya Marosi. Kami semua ngaji sama Mbah Najib setiap pagi dan sore beliau pake sepeda dari ndalemnya menuju kesini (Komplek L), saya setor hafalan dengan Mbah Najib dari awal sampai Surah At-Taubah selanjutnya saya setoran dengan Mbah Mad sampai Khatam sampai di doakan oleh Mbah Mad. Dulu itu tidak ada yang namanya Wisuda Al Qur’an jadi betul-betul lillahi ta’ala, orang-orangnya betul abid, betul-betul ahlul qur’an. Fasihnya Mbah Mad itu luas biasa, jadi fashoha nya Mbah Mad itu bisa menjadi contoh fashoha nya orang krapyak. Jadi bacaan Al Quran mau dibaca kemana saja bisa, dibaca dengan cepat bisa, dibaca dengan tahqiq bisa, dibaca dengan tartil pun bisa. Pokonya dengan model apa saja bisa dibawakan oleh Mbah Mad.

Baca : Memberi Isyarat Dengan Gerakan Mata Dalam Shalat

Ketika malam pertama bulan Ramadhan Mbah Mad ngimami shalat tarawih di Pondok Pusat sampai tanggal 27 Ramadhan, diikuti dibelakang melakukan shalat tarawih sendiri yakni para santri tahfidz yang digilir menjadi imam setiap satu salaman bergantian menjadi imamnya. Setiap bulan ramadhan bisa mengkhatamkan satu kali di Pondok Pusat dan satu kali di sini, satu kalinya disini bisa dikatakan 3 hari bisa satu kali khataman karena dalam satu malam bisa sampai 10 juz.

Pernah suatu waktu Mbah Mad ingin para santrinya jam 3 malam supaya bangun jadi 1 jam sebelum subuh semua santri sudah bangun.

“Wes nek arep gawe kopi ora popo” begitu dawuh beliau.

Mbah Mad itu seorang yang zahid “Ora kumantil karo bondo dunyo”, beliau juga seorang sohibul karomah, pernah pada saat itu yang cerita teman saya. Waktu Mbah Mad sedang jamaah ada santri ndalem yang sedang di dapur ngurusi makanan, Mbah Mad duko (marah) sampai ditendang kompornya hingga kebakaran. Waktu itu masih banyak sepeda di depan dan berlalu begitu saja ga ada yang coba memadamkan apinya.

Begitu metode beliau mengajarkan antara Qur’an dengan tahqiq, kami semua para santri memberikan tanda kalau di ayat ini berhentinya disini terus mulainya lagi dari mana terus dikasih tanda lagi. Itu harus orang yang mahir betul karena untuk meng-iadah itu tidak gampang. Itulah cara-cara Mbah Mad mempraktekan mengajarkan cara-cara Qur’an talqin syafa. Dulu setiap jum’at pagi setelah subuh semaan antar para ukhos dibagi menjadi beberapa kelompok, jadi setiap anak itu baca satu lembar sampai shalat duha. Metode yang dipraktekan Mbah Mad itu ketat dalam jamaah shalat, kadangkala sebelum subuh beliau tarkhiman sambil membangunkan anak-anak untuk jamaah. Perpaduan metode antara tahsinul akhlakul karimah dengan menghapalkan Al Qur’an. Dulu itu mengaji 3 kali dalam satu hari yakni setelah shalat subuh kemudian jam 9 pagi sampai jam 11 dan beliau mengawasi dari belakang dari arah dapur melihat kita nderesan. Saya disini kurang lebih ada 2 tahun setengah lamanya.

Baca : Sebagian Tanda Dari Kematian

Krapyak itu terkenal dengan Qur’annya, keberkahan Krapyak itu ya karena Al Quran, dengan Al Qur’an Krapyak menjadi seperti sekarang ini dan Krapyak mempunyai sanad yang ‘Ali sanad bacaan Al Qur’an dari Mbah Munawwir sampai Kanjeng Nabi itu sanadnya mutawattir. Oleh karena itu saya himbau para santri teruslah menghapalkan Al Quran, karena waktu saya dulu menghapalkan Al Qur’an itu tidak tahu mau jadi apa pokoknya saya ngapalin Qur’an saja. Kalau sudah hapal Al Qur’an mau kemana saja gampang, karena Al Qur’an itu merupakan sebongkah emas yang masih bisa untuk jadi kalung, bisa jadi gelang, bisa menjadi apa saja.

Oleh karena itu jangan ragu-ragu untuk menghapalkan Al Qur’an karena Al Qur’an itu kalamullah, orang kalau menghapalkan Al Qur’an Allah itu senang, kalau Allah senang maka Allah mempunyai cara sendiri bagaimana cara menyenangkan hambanya. Mudah-mudahan semuanya bisa terus menghapal Al Qur’an bersama Pak Yai Munawwar. Amin

Perjumpaan dengan Dr. Ahsin Sakho’ Muhammad MA., Al Hafiz ditutup dengan memanjatkan doa yang dipimpin oleh beliau.

Oleh : Tim Redaksi

Sang Murobbi Dipangkuan Ilahi

Krapyak sedang berduka karena salah satu songgone langit Krapyak penjaga Al Qur’an di Nusantara dan pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak telah kembali ke asal memenuhi panggilan Gusti Allah di Surga, KH. Raden Najib Abdul Qodir, Senin 04 Januari 2020 sekitar pukul 16.30 Wib.

Senin sore ketika kami selesai Roan tiba-tiba mendapatkan kabar bahwasanya Mbah Najib sampun kapundut.

“Gek ndang adus kang, ayo nang pusat Mbah Najib sedo”

“Loh sing tenan kang? Ojo guyon!”

“Hooh tenan mosok ngapusi?”

“Ya Allah…”

Seketika badan terasa lemas dan tidak percaya bahwasanya berita barusan benar adanya. Karena bagi kami beliau merupakan salah satu orang tua kami di sini, merasa kehilangan sosok orang tua sekaligus guru bagi kami semua itu terasa sangat menyakitkan. Patah hatinya seorang santri bukan karena diitinggal rabi oleh sang kekasih hati melainkan ditinggal pergi oleh sang Murobbi. Beliau seorang Kyai yang sangat rendah hati, beliau seorang Ulama namun penampilannya seperti orang biasa pada umumnya. Bukan karena kaya materi nama beliau terkenal hinggal pelosok negeri, membuat beliau disegani juga dihormati, melainkan karena sifat rendah hati dan kesederhanaan beliaulah yang mengangkat derajat beliau selama ini.

Dalam sebuah kesempatan beliau pernah berpesan bahwasanya “Ngaji itu sebuah kewajiban paling atas setelah shalat fardhu jangan sampai dikalahkan yang lain, harus sadar kasihan orang tua jangan sampai mengecewakan harapan orang tua sudah dikasih kepercayaan tapi tidak mengaji. Itu namanya durhaka dan dosa besar.”

Waqila Al Maghfurlah Mbah Najib merupakan satu-satunya murid Mbah Arwani yang diperbolehkan untuk mengikuti Musabaqoh karena merupakan cucu dari KH M Munawwir Krapyak, bahkan mendapatkan suatu kehormatan bisa masuk ke dalam Ka’bah karena prestasinya juara internasional pada saat itu.

Mbah Najib bergelar Raden karena ibunda beliau Ny. R. Ayu Mursyidah merupakan keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat istri pertama dari Mbah Munawwir sebagai muasis Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak. Mbah Najib urutan ke-5 dari 8 bersaudara diantaranya sebagai berikut : KH.R. Abdul Qodir mempunyai keturunan dari Nyai. Hj Salimah (Jejeran, Yogyakarta) :

1. Ning Fatimah (wafat)

2. Ning Nurjihan (wafat)

3. Gus Widodo (wafat)

4. Nyai. Hj. Ummi Salamah

5. KH.R Muhammad Najib (wafat)

6. Nyai. Hj. Munawwaroh

7. KH.R Abdul Hamid

8. KH.R Abdul  Hafidz (wafat).

Kelahiran dan kematian datang silih berganti, esok atau lusa atau kapapun saja bisa saja datang begitu saja tanpa aba-aba. Semua akan kembali ke asal disini tidak ada yang abadi semua akan kembali kepada Sang Maha Pencipta alam ini. Suatu saat diantara kita akan pulang sendirian sama saat seperti kita datang pertama kali ke muka bumi.

Jika kita merasa sebagai salah satu santrinya berusahalah meniru akhlaknya senantiasa patuh dengan dawuh-dawuh beliau, semoga kita semua diakui oleh beliau sebagai santrinya. Semoga guru kita semua, orang tua kita semua KH. R Najib Abdul Qodir wafat Husnul khatimah, diterima semua amal ibadahnya dan ditempatkan bersama para kekasih Allah dan pecinta Al Qur’an di surga, Amin.

Oleh : Tim Redaksi

Hubungan Silsilah Kempek dan Krapyak: Mengenal Sosok K. Zainuddin (2)

Sebelumnya telah dijelaskan dari pasangan Nyai Mu’minah dan K. Abdullah yang dikaruniai seorang putri yang bernama Nyai Halimah. Barulah disini Nyai Halimah menikah dengan K. Zainuddin (Krapyak, Yogyakarta). Lalu keduanya dikaruniai seorang putra tunggal yaitu K. Hamdan Zainuddin (sekarang beliau tinggal di PP. Kempek, Cirebon). Beliau termasuk putra yang sangat alim dan terkenal tegas dalam mendidik santri-santrinya disaat mengaji Al-Qur’an bersanad Krapyak, bila ada santri yang makhrajnya kurang fashih, kang Hamdan (sapaan akrab beliau) tak segan-segan membentaknya seraya menjelaskan letak kesalahannya, bahkan terkadang beliau memukul santrinya dengan rotan bila dirasa kesalahan bacaannya banyak yang keliru.

Beliau juga paham dalam bidang sejarah, bila beliau menjelaskan sebuah tempat tertentu, beliau akan menjelaskannya secara detail dimana letak posisi tempat tersebut. Salah satu contohnya adalah ketika beliau menjelaskan tempat-tempat peribadahan haji, beliau akan menjelaskan secara detail sehingga para santri yang mendengar seakan-akan tahu persis dimana tempat itu berada.

Selain dalam fan sejarah, kang Hamdan juga mahir dalam ilmu fikih dan linguistik Arab (Sintaksis dan Morfologi). Satu lafal yang beliau jelaskan, tentu akan menghabiskan waktu yang lama agar lafal tersebut terkelupas semua, beliau jelaskan bentuk asal katanya, pentashrifannya, dan faidah yang terkandung dalam lafal tersebut. Ini menjadi bukti kecerdasaan beliau dalam memahami ilmu yang telah dipelajarinya selama 12 tahun di PP. Sarang, Rembang, Jawa Tengah.

Selepas Nyai Halimah firoq dengan K. Zainuddin (ayahanda kang Hamdan). Kemudian selang beberapa waktu, beliau menikah lagi dengan K. Sholeh dan dianugerahi empat keturunan putra-putri yaitu Aminah, Fauzan, Idris, dan Nur Khalis.

Perlu diketahui pula bahwa ketersambungan silsilah keluarga Krapyak dan Kempek bukan hanya terjalin sebab adanya faktor nasab. Melainkan juga sebab sanad keilmuan berupa ikatan antara murid dan guru yang begitu erat. Sebagaimana sosok yang mula-mula membawa bacaan Al-Qur’an bercorak Krapyak menuju Kempek adalah KH. Umar Sholeh (putra KH. Harun dari istri ke-1, Nyai Mutimmah sekaligus ayahanda KH. M. Nawawi Umar, pengasuh PP. Kempek Induk hingga sekarang) yang berguru secara mubasyarah kepada Mbah Munawwir.

Disamping KH. Umar Sholeh menjalin sanad keilmuan dengan Mbah Munawwir, terutama dalam bacaan Al-Qur’an yang sanadnya tersambung sampai Rasulullah. Salah satu putra Mbah Harun dari istri ke-2, Nyai Ummi Laila. Yaitu K. Yusuf Harun menikah dengan Nyai Hindun (putri dari Mbah Munawwir dari istri ke-3, Nyai Salimah Munawwir).

Bilamana KH. Umar Sholeh merupakan sosok dari kalangan laki-laki yang membawa metode Krapyak, maka Nyai Hindun pula merupakan sosok dari kalangan perempuan yang membawakan metode bacaan Al-Qur’an bercorak Krapyak yang diajarkan kepada santri-santri putri di PP. Kempek Cirebon. Setelah sepeninggal Nyai Hindun, perjuangan beliau dilanjutkan oleh putri tunggalnya yaitu Nyai Jazilah Yusuf (biasa akrab dipanggil Bude/Mi Jazil, pengasuh PP. Munawwiroh Putri hingga sekarang).

Oleh : Irfan Fauzi

Photo by kempek-online.com

Sumber :

Pengajian Khusus Ramadhan yang disampaikan oleh KH. M. Munawwar Ahmad, pada tanggal 19 April 2020.

Sebagian sumber diambil dari wawancara dengan dzuriyyah Kempek, K. Akhfasy Alfaizy Harun, pada tanggal 26 April 2020.

Tulisan ini telah diperiksa dan ditashih oleh keluarga Nyai Hj. Daimah.

Hubungan Silsilah Kempek dan Krapyak: Mengenal Sosok K. Zainuddin (1)

Dikala pengajian kitab Washiyatul Musthafa berlangsung (19/4) yang diampu oleh KH. M. Munawwar Ahmad yang merupakan cucu dari istri ke-5 KH. M. Munawwir—selanjutnya Mbah Munawwir— yaitu Nyai Khadijah (Yogyakarta), menjelaskan silsilah Mbah Munawwir dari istri ke-4, Nyai Rumiyah (Jombang, Jawa Timur). Dari pasangan ini, Mbah Munawwir dikaruniai dua anak: 1. K. Zainuddin Munawwir dan 2. Nyai Badriyah Munawwir.

K. Zainuddin adalah salah satu putra Mbah Munawwir yang dianugerahi kealiman dalam Al-Qur’an. Beliau termasuk salah satu ahlen (keluarga pondok) min ahlil qur’an (orang-orang yang ahli dalam Al-Qur’an).

Konon, dalam suatu rapat ahlen K. Zainuddin sempat terpilih sebagai penerus tongkat kepemimpinan PP. Krapyak Al-Munawwir setelah sepeninggalnya  KH. R. Abdul Qodir Munawwir (putra Mbah Munawwir dari istri ke-1, Nyai Mursidah dari keluarga Kraton Yogyakarta), dengan pertimbangan rapat tersebut, semua ahlen sepakat bahwa beliau lah yang terpilih sebagai penerus kepemimpinan pondok ini karena beliau salah satu putra Mbah Munawwir yang lebih alim dalan Al-Quran dibandingkan lainnya.

Namun, hal yang tak terduga terjadi tatkala beliau ditunjuk sebagai pemangku pondok ini. Beliau enggan menerima keputusan tersebut, dan berkata dengan bahasa majaz “Moh, Krapyak wes rusak” (Tidak mau, Krapyak sekarang sudah rusak).

Begitulah beliau lontarkan kalimat itu atas penolakan keputusan tersebut. Setelah kejadian itu, lambat laun beliau menunjukan haliyah khawariqul adat (hal-hal yang diluar kebiasaan manusia). Banyak kejadian-kejadian aneh yang menimpa beliau, konon katanya beliau sedang mengalami jadzab atau Majdzub. Jadzab sendiri dalam kosakata Arab diartikan menarik, sementara Majdzub berarti orang yang ditarik akalnya ke hadirat Allah swt. Biasanya dalam istilah dunia sufi, ada term “wali majdzub/jadzab”, itu berarti wali yang ditarik akalnya (perasaan insaniyahnya) untuk melebur dengan sifatullah.

Sebelum kejadian demikian, K. Zainuddin telah memiliki seorang istri dari keluarga pondok Cirebon, yaitu Nyai Halimah. Nyai Halimah adalah cucu KH. Harun—selanjutnya Mbah Harun—(Muassis PP. Kempek, Cirebon) dari istri ke-2, Nyai Ummi Laila. Ibunya adalah Nyai Mu’minah yang merupakan putri ke-5 Mbah Harun. Dimana Nyai Mu’minah menikah dengan K. Abdullah, lalu menurunkan putri tunggal yakni Nyai Halimah sendiri.

Setelah Nyai Mu’minah ditinggal wafat oleh suaminya, kemudian ia menikah lagi dengan KH. Nashir Abu Bakar (Tegal, Jawa Tengah) dan dianugerahi putri tunggal yaitu Nyai Hj. Daimah (beliau adalah istri dari alm. KH. Ja’far Shodiq Aqiel, pengasuh PP. KHAS Kempek, Cirebon, yang sekarang dilanjutkan oleh adik keduanya yaitu KH. Muhammad Musthafa Aqiel hingga sekarang).

Sementara itu, sebelum KH. Nashir Abu Bakar menikah dengan Nyai Mu’minah, beliau sempat menikah dengan Nyai Zubaedah (putri ke-6 mbah Harun atau adiknya Nyai Mu’minah). Kemudian dari pasangan ini, melahirkan putri tunggal, yakni Nyai Aisyah.

Oleh : Irfan Fauzi

Photo by kempek-online.com

Sumber :

Pengajian Khusus Ramadhan yang disampaikan oleh KH. M. Munawwar Ahmad, pada tanggal 19 April 2020.

Sebagian sumber diambil dari wawancara dengan dzuriyyah Kempek, K. Akhfasy Alfaizy Harun, pada tanggal 26 April 2020.

Tulisan ini telah diperiksa dan ditashih oleh keluarga Nyai Hj. Daimah.