Tidak Ada Air, Tidak Ada Batu. Tidak Ada Tisu Bagaimana Tata Caranya Beristinja’ dengan Barang Lainnya?

Ilustrasi Air dan Batu sebagai Alat Istinja. Sumber: Islami.co

Istinja’ dengan barang yang dimuliakan

Istinja hendaknya dilakukan oleh setiap orang muslim yang mukalaf ketika sudah selesai buang air. Istinja ini hukumnya wajib baginya, karena jikalau tidak istinja setelah buang air maka orang tersebut masih dikategorikan orang yang masih membawa najis. Sehingga apabila demikan masih berlangsung orang tersebut tidak sah untuk melaksanakan sholat. Istinja ini dapat dilakukan dengan menggunakan air ataupun batu yang memang bersifat padat, suci, kasar, dan tidak dimuliakan.

Jika menengok baru baru ini, banyak orang-orang melakukan perjalanan jarak jauh yang kurang memperhatikan perihal istinja ini. Beberapa dari mereka tidak menyiapkan media-media untuk beristinja sehingga cenderung menggunakan benda seadanya saja. Padahal dalam istinja ada larangan-larangan untuk menggunakan benda benda yang dimuliakan (muhtarom). Padahal bisa saja di tempat ia melakukan perjalanan mereka menggunakan benda untuk istinja’ yang mana benda itu dimuliakan oleh orang-orang di daerah setempat. Sehingga jika mustanji menggunakan benda yang seadanya saja, akan terdapat kemungkinan penggunaan benda yang dimuliakan ini untuk beristinja’. Tidak jarang pula sebagian dari mreka mengguankan benda yang bisa dibilang perhiasan seperti emas, perak atau bahkan alat transaksi seperti uang.

Lantas apa saja benda yang tergolong muhtarom (dimuliakan) itu? Bagaimana jika benda yang dianggap mulia didaerah tertentu dan tidak dianggap mulia di daerah lain? Dan bagaimanakah hukumnya bersitinja’ dengannya?

Barang yang dimuliakan oleh syariat

Barang ini dimuliakan sehingga tidak diperbolehkan digunakan untuk beristinja’. Termasuk dalam kategori ini adalah buku atau kitab syariat, sampulnya jika masih bersambung dengan nama yang diagungkan (asma al-a’dzam) sampul mushaf baik bersambung atau tidak. Termasuk juga kedalam barang yang dimuliakan adalah bagian dari masjid namun belum hilang persifatannya sebagai bagian dari masjid, bagian tubuh manusia meskipun tergolong kafir al-harbi (orang kafir yang wajib diperangi), serta bagian tubuh hewan yang masih tersambung. Dalam Kitab Hasyiyah al-Bajuri ala Syarhi al-Allamah Ibn al-Qasim al-Ghazi dikatakan :  

ومن المحترم كتب العلم الشرعي وما ينتفع به فيه كالحديث والفقه والنحو والحساب والطب والعروض لا كفلسفة ومنطق مشتمل عليها, وكتب التورة والإنجيل غير المبدلين وما كتب عليه اسم معظم مالم يقصد به غير المعظم, ويلحق بذلك جلده المتصل به دون المنفصل عنه نعم جلد المصحف يمتنع الإستنجاء به مطلقا. ومن المحترم أيضا جزء المسجد ولو منفصلا إلا إذا انقطعت نسبته عنه بأن بيع وحكم بصحة بيعه كما مر. وجزء الأدمي ولو مهدرا كالحربي لأنه محترم من حيث الخلقة وإن كان غير محترم من حيث الإهداء

Termasuk benda-benda yang dimuliakan adalah buku-buku yang bertuliskan ilmu syariat dan yang dapat bermanfaat didalamnya seperti hadis, fiqih, nahwu, hisab, pengobatan, dan arudl. Dikecualikan buku yang bertuliskan tentang filsafat,mantiq dan sesamanya. Termasuk yang dimuliakan pula yakni kitab taurat dan injil yang masih terjaga keasliannya (tidak ada yang diubah). Juga sesuatu yang didalamnya terdapat asma yang diagungkan walaupun tidak bermaksud menulis asma yang diagungkan tersebut. Dan diilhaqkan pula atau termasuk kedalam benda yang dimuliakan yaitu sampul yang masih bersambung dengan buku buku yang dimuliakan diatas, tidak dengan sampul yang sudah terpisah dengannya. Karena sampul mushaf tidak boleh digunakan untuk istija’ secara mutlak.  Dan termasuk kedalam barang yang dimuliakan juga adalah bagian dari masjid walaupun sudah terpisah dari masjid namun masih mengandung persifatan dari masjid itu sendiri seperti halnya ketika bagian tersebut dijual dan dihukumi sah untuk dijual seperti penjelasan sebelumnya. Dan termasuk pula kedalam benda yang dimuliakan adalah bagian tubuh dari anak adam walaupun termasuk dalam kafir harby. Hal ini disebabkan karena kafir harby tersebut masih dimuliakan sebagai manusia, walau tidak dimuliakan dari segi mendapatkan hidayah”.

Bersuci dengan menggunakan alat yang dimuliakan di daerah tertentu dan tidak dimuliakan ditempat lain.

Tidak diperbolehkannya istinja dengan menggunakan benda yang dimuliakan menimbulkan pertanyaan yaitu apakah daerah yang sedah ditempati itu memuliakan atau tidak barang yang tersebut? Adapun benda yang dimuliakan disini adalah benda yang dimuliakan secara syariat, bukan benda yang dimuliakan oleh penduduk tertentu. Sedangkan benda yang dimuliakan berupa emas, perak, dan alat tukar masih boleh digunakan untuk istinja ketika memang tidak dicetak untuk tujuan istinja. Dalam kitab Asna al-Matholib fii Syarhi Roudli at-Tholib karya Syeikh Zakaria Al-Anshari mengatakan :

(ويجوز) ‌الاستنجاء (بذهب، وفضة، وجوهر) ، وبقطعة ديباج نعم حجارة الحرم، والمطبوع من الذهب، والفضة

“Dan diperbolehkan beristinja dengan menggunakan emas, perak, dan permata dan dengan potongan batu hiasan, yaitu batu mulia dan sesuatu yang dicetak dari emas dan perak”. Asna al-Matholib fii Syarhi Roudli at-Tholib Juz :1, hal : 50

Sehingga dapat disimpulkan bahwa istinja yang mana musatnja’ bih-nya menggunakan benda berupa emas dan perak masih diperbolehkan.

Keabsahan beristinja dengan menggunakan emas dan perak ataupun alat tukar berupa uang.

Dalam keadaan ini hendaknya mustanji melihat terlebih dahulu apakah pada emas, perak, atau uang tersebut terdapat asma mu’adzom atau tidak kalau tidak maka sah Namun, kalau ada maka diharamkan menggunakkannya untuk beristinja’. Beristinja pada keadaan ini dikatakan sah ketika memenuhi syarat benda sebagai mustanja bih padat, suci, dapat melepas najis dan tidak terdapat asma mu’adzomnya. Dalam kitab Hasyiyah Bujairomi ala al-Khatib dikatakan :

وشمل غير المهيأ الدراهم والدنانير المضروبة، فإنها لم تطبع للاستنجاء بل للتعامل بها، فيجوز ‌الاستنجاء بها على ما اقتضاه كلامه

Dan termasuk (benda yang diperbolehkan digunakan untuk istinja,) adalah dirham dan dinar yang dicetak tidak untuk dipersiapkan untuk istinja’. Karena pada umumnya dirham dan dinar tidak dicetak untuk untuk istinja’, akan tetapi (dicetak) untuk bertransaksi. Maka diperbolehkan istinja’ jika memang sesuai dengan pernyataan memang uang tersebut dicetak untuk tujuan istinja’.”Hasyiyah Bujairomi ala al-Khatib Juz : 1,Hal : 182.

Maka dapat disimpulkan sah sah saja beristinja’ dengan menggunakan uang jika uang tersebut dicertak atau dibuat tidak dengan tujuan untuk beristinja’, namun untuk bertransaksi. Juga dikatakan sah beristinja’ dengan menggunakan emas dan perak dengan dasar ibaroh yang telah disebutkan sebelumnya.

Wallahu’alam

Pengaruh Pentingnya Kebersihan Kuku terhadap Kegiatan Bersuci Sehari-hari

Ilustrasi kotor pada kuku. Sumber: Dream.co.id

Memotong kuku merupakan kegiatan yang disunahkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. Syariat kesunahan tersebut dapat diketahui secara seksama dalam banyak hadis yang diriwayatkan oleh para ulama. Seperti yang dikutip oleh Imam As-Syairozy dalam kitab al-Muhadzdzab dari kitab Shahih Muslim

ويستحب أن يقلم الأظافر ويقص الشارب ويغسل البراجم وينتف الإبط ويحلق العانة لما روى عمار بن ياسر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : { الفطرة عشرة : المضمضة ، والاستنشاق ، والسواك ، وقص الشارب ، وتقليم الأظافر ، وغسل البراجم ، ونتف الإبط ، والانتضاح بالماء ، والختان ، والاستحداد{

Disunahkan untuk memotong kuku dan memendekkan kumis, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, dan mencukur rambut kemaluan karena sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Ammar bin Yasir ra. sesungguhnya Nabi saw. bersabda {kesucian itu ada 10: berkumur, menghisap air ke dalam hidung, bersiwak, memendekkan kumis, memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, bersuci dengan air, khitan, dan mencukur rambut kemaluan} [As-Syairozy, Al-Muhadzdzab, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1/34]

Dalam hal melaksanakan kesunahan-kesunahan di atas seperti memotong kuku dan lain-lain terdapat batasan jarak waktu maksimal. Jarak waktu tersebut disepakati oleh jumhur ulama baik dari ulama ahli hadis maupun ulama ushul fiqh yaitu 40 hari lamanya. Sedangkan anjuran dari ketetapan yang diberikan oleh Imam Syafii dan para ulama Syafiiyyah adalah setiap jumat.

Pengambilan ketetapan tersebut bukan tanpa alasan, melainkan disebabkan oleh perintah Rasulullah saw. untuk memotong kuku dan beliau juga tidak menyukai adanya kotoran di bawah kuku dikarenakan menghalangi sampainya air wudhu ke sela-sela antara kuku dan kulit. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus mungkin saja ada beberapa orang yang membutuhkan kuku yang panjang untuk memudahkan urusan mereka. Dampak dari memelihara kuku agar panjang tersebut adalah bertumpuknya kotoran di bawah kuku tersebut. Berikut perbedaan pendapat antara ulama mengenai kotoran di bawah kuku

ولو كان تحت الأظفار وسخ فإن لم يمنع وصول الماء إلى ما تحته لقلته صح الوضوء وإن منع فقطع المتولي بأنه لا يجزيه ولا يرتفع حدثه: كما لو كان الوسخ في موضع آخر من البدن وقطع الغزالي في الإحياء بالإجزاء وصحة الوضوء والغسل وانه يعفى عنه للحاجة

Apabila dibawah kuku terdapat kotoran maka jika tidak menghalangi sampainya air ke bawahnya karena sedikitnya kotoran tersebut maka (tetap) sah wudhunya. Dan jika menghalangi maka Imam al-Mutawally menetapkan bahwa hal tersebut tidak mencukupi bagi orang yang berwudu dan tidak hilang hadasnya. Sebagaimana jika terdapat kotoran di tempat lain pada anggota bahan. Imam al-Ghazali menetapkan dalam kitab Ihya’ dengan memperbolehkannya dan sahnya wudhu dan mandi. Dan sesungguhnya (kotoran) tersebut ditolerir karena adanya kebutuhan [An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, al-Muniriyyah, 1/286]

Sehingga menurut para ulama jika kotoran dibawah kuku tergolong sedikit dengan batasan tidak mencegah sampainya air ke kulit. Namun ketika kotoran tersebut tergolong banyak maka Imam al-Mutawalli menetapkan tidak sahnya wudhu bagi orang yang memiliki banyak kotoran dibawah kukunya. Sedangkan menurut Imam al-Ghazali menetapkan tetap sah wudhunya dikarenakan adanya kebutuhan dan kotoran tersebut ditolerir. Dikuatkan oleh pendapat dari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari nya

قال القرطبي في المفهم ذكر الأربعين تحديد لأكثر المدة ولا يمنع تفقد ذلك من الجمعة إلى الجمعة والضابط في ذلك الاحتياج وكذا قال النووي المختار أن ذلك كله يضبط بالحاجة وقال في شرح المهذب ينبغي أن يختلف ذلك باختلاف الأحوال والأشخاص والضابط الحاجة في هذا وفي جميع الخصال المذكورة قلت لكن لا يمنع من التفقد يوم الجمعة فإن المبالغة في التنظف فيه مشروع والله أعلم

Imam al-Qurtubi berkata dalam pemahaman penyebutan 40 hari adalah membatasi banyaknya waktu dan tidak dilarang tidak sesuainya dengan bilangan tersebut (jika melakukan kesunahan di atas) dari Jumat ke Jumat (yang akan datang). Batasan dari hal itu adalah kebutuhan begitu pula Imam an-Nawawi berkata bahwa pendapat yang terpilih adalah kesunahan di atas dibatasi dengan kebutuhan. Beliau berkata dalam kitab Syarh al-Muhadzdzab seyogyanya perbedaan waktu tersebut sesuai dengan perbedaan keadaan dan (karakter) manusia dan adapun batasannya adalah kebutuhan dalam perkara ini (memotong kuku) dan semua perkara-perkara yang telah disebutkan. Aku berkata tetapi tidak dilarang pula tidak sesuai dengan hari Jumat karena sesungguhnya berlebihan dalam bersuci pada perkara tersebut merupakan sesuatu yang disyariatkan. Adapun Allah lebih mengetahui [Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifat, 10/346]

Dari penjelasan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa memotong kuku merupakan salah satu kegiatan yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. Anjuran tersebut dapat diketahui melalui hadis yang diriwayatkan para ulama. Dalam pembahasan lain, waktu maksimal memotong kuku adalah 40 hari atau bisa dilaksanakan setiap hari Jumat. Ketika dilaksanakan lebih sering dari itu maka juga diperbolehkan karena bersungguh-sungguh dalam membersihkan diri merupakan sesuatu yang disyariatkan.

Meskipun demikian, terdapat beberapa orang yang membutuhkan kuku yang panjang untuk memudahkan urusan mereka. Sehingga mereka memelihara kuku mereka dan tidak memotongnya. Oleh sebab kuku yang panjang memungkinkan untuk bertumpuknya kotoran dibawahnya sehingga memungkinkan juga air tidak sampai ke kulit yang wajib terkena air ketika berwudhu. Beberapa ulama membolehkannya dengan berpegangan pada batasan memotong kuku adalah sesuai kebutuhan masing-masing. Sehingga memanjangkan kuku dikarenakan ada kebutuhan merupakan sesuatu yang diperbolehkan namun menyelisihi sunah Nabi saw. yang merupakan pembimbing kita di dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam bisshowab.

Teknologi Merambah Tubuh dengan Prostesis, Lalu Bagaimana Hukum Bersucinya?

Ilustrasi Penggunaan Prostesis pada tubuh manusia. Sumber: Sehatq.com

Apa itu Prostesis? dan Bagaimana Islam menanggapinya?

Perkembangan teknologi di era sekarang sudah memasuki berbagai aspek kehidupan dalam rangka memudahkan kehidupan manusia seperti aspek komunikasi, industri, olahraga, juga aspek kesehatan atau medis. Contoh yang dapat kita ambil dari perkembangan teknologi pada aspek medis adalah munculnya prostesis. Prostesis merupakan suatu alat bantu yang menyerupai bentuk bagian tubuh untuk menggantikan bagian tubuh yang terputus atau rusak akibat trauma, penyakit, atau kondisi kelahiran.

Prostesis sangat membantu manusia terlebih jika penggunaannya adalah untuk menggantikan anggota motorik tubuh seperti tangan dan kaki. Prostesis digunakan untuk membantu pasien mendapatkan kembali fungsi tertentu setelah bagian tubuhnya cedera berat karena kecelakaan atau terkena penyakit. Bahkan sekarang sudah mulai dikembangkan organ bionic/robotic di mana kerjanya sudah terintegrasikan dengan sistem syaraf ditubuh. Selain itu prostetis ini juga tahan air sehingga tidak mudah rusak. Sebagai alat bantu manusia, alat ini ada yang dibuat melekat permanen dan ada yang bisa dilepas dengan mudah.

Sedangkan dalam Islam sendiri tangan dan kaki merupakan anggota yang wajib dibasuh ketika seseorang melaksanakan wudhu yang jika tidak dibasuh maka wudhu dianggap tidak sah. Namun, kewajiban membasuh tersebut menjadi gugur ketika seseorang kehilangan tangan atau kakinya. Imam Nawawi menyebutkan dalam kitab Majmu’

وإن كان أقطع اليد ولم يبق من محل الفرض شئ فلا فرض عليه فيه احتراز مما إذا بقى من محل الفرض شئ فإنه يجب غسله بلا خلاف لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال وإذا أمرتكم بشئ فأتوا منه ما استطعتم رواه البخاري ومسلم

Jika seseorang tidak memiliki tangan dan tidak tersisa tempat (anggota) fardhu (wudhu) sama sekali maka ia tidak memiliki kewajiban pada anggota tersebut. Berbeda jika masih tersisa sebagian  tempat (anggota) fardhu (wudhu) maka wajib membasuhnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal tersebut. Karena (sesuai) dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda ketika aku memerintahkan kalian suatu perkara maka lakukanlah semampu kalian HR. Bukhari dan Muslim [An-Nawawi, Majmu’ Syarh Muhadzdzab, al-Muniriyyah, 1/392]

Lantas bagaimana jika seseorang menggunakan prostesis untuk menggantikan anggota tubuhnya dalam hal ini tangan atau kaki kemudian digunakan untuk berwudhu? Apakah mendapat kewajiban untuk membasuh prostesis tersebut? Dalam artikel singkat ini, penulis mencoba menjabarkannya dengan menggunakan kitab turast dan membagi hukum prostesis dengan dua pembagian sebagai berikut

Prostesis Non-Permanen

Dalam berwudhu, seseorang diwajibkan untuk membasuh bagian luar (dhahir) dari anggota tubuh yang diwajibkan dalam wudhu. Dan bagi orang yang terpotong tangan/kakinya wajib pula membasuh bekas bagian potongan jika masih termasuk dalam anggota wajib. Kewajiban membasuh tersebut juga ketika aman untuk dibasuh maksudnya adalah tidak ada kekhawatiran bertambahnya rasa sakit pada bekas potongan tersebut.

Penggunaan prostesis pada bagian tubuh yang terpotong akan menutupi tempat bekas potongan tersebut. Disisi lain, bagian terluar bekas potongan tersebut merupakan sesuatu yang wajib dibasuh ketika wudhu. Imam Ibnu Hajar menjelaskan dalam fatwanya

إن كان ذلك البدل بحيث يمكن بلا خشية مبيح تيمم إزالته وعوده وجبت إزالته وغسل ما تحته

Jika pengganti tersebut sekiranya memungkinkan dengan tanpa kekhawatiran hingga kondisi yang membolehkan tayamum untuk melepasnya dan mengembalikannya maka wajib untuk melepasnya dan membasuh apa yang ada di bawahnya [Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawy al-Fiqhiyyah al-Kubra, al-Maktabah al-Islamiyyah, 1/60]

Kondisi yang membolehkan tayamum maksudnya adalah ketika pelepasan prostesis tidak ada kekhawatiran timbulnya rasa sakit/penyakit, bertambahnya rasa sakit, memperlambat penyembuhan dan lain sebagainya.

Bagian yang wajib dibasuh adalah apa yang tersisa dari anggota tubuh yang terpotong, jika seluruh tangan hingga siku terputus (anggota yang wajib dibasuh dalam wudhu) maka tidak perlu dibasuh dan tidak ada kewajiban melepas prosthetis (tidak dihukumi anggota asli). Jika masih ada pergelangan tangan (sebagian yang wajib dibasuh) maka setiap wudlu prosthesis harus dilepas agar bagian yang ditempeli prostesis (anggota yang wajib) dapat terbasuh.

Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa prostesis non-permanen dengan batasan tidak ada kekhawatiran ketika melepasnya tidak dapat disamakan dengan anggota tubuh asli yang wajib dibasuh ketika berwudhu. Dan wajib dibasuh bagian terluar tubuh yang ditempeli alat prostesis. Sehingga prostesispun wajib dilepas ketika hendak berwudhu.