Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #3

KH. M. Moenawwir selalu memilih awal waktu untuk menunaikan shalat, lengkap dengan shalat sunnah rawatibnya. Shalat witir beliau tunaikan 11 raka’at dengan hafalan al-Qur’an sebagai bacaannya. Begitu juga dalam mudawamah beliau terhadap shalat isyroq (setelah terbit Matahari) sholat dhuha dan shalat tahajjud.

Beliau mewiridkan al-Qur’an tiap ba’da ashar dan ba’da shubuh. Walau sudah hafal seringkali beliau tetap menggunakan mushaf. Bahkan kemana pun beliau bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara wirid al-Qur’an tetap terjaga. Beliau mengkhatamkan al-Qur’an sekali setiap satu minggu, yakni pada hari Kamis sore. Demikianlah beliau mewiridkan al-Qur’an semenjak berusia 15 tahun.

Baca: Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #2

Waktu siang beliau lewatkan dengan mengajarkan al-Qur’an dan di waktu senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus (dahulu terletak di sebelah utara masjid) untuk bertawajjuh kepad Allah Swt. Sedangkan di malam hari beliau istirahat secara bergilir di antara istri-istri dengan demikian adilnya.

Beliau memiliki 5 orang istri, adapun istri kelima dinikahi setelah wafatnya istri pertama, yakni:

  1. Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
  2. Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
  3. Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
  4. Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
  5. Nyai Khodijah (Kanggotan – Yogyakarta)

Begitulah KH. M. Moenawwir hidup beserta keluarga di tengah ketenangan, kerukunan, istiqomah dan wibawa dengan berkah al-Qur’anul Kariim. Orang hafal al-Qur’an (Hafidz) yang beliau akui adalah orang yang bertaqwa kepada Allah, dan shalat tarawih dengan hafalan al-Qur’an sebagai bacaannya. Begitu besar pengagungan beliau terhadap al-Qur’an, sampai-sampai undangan Haflah Khotmil Qur’an hanya beliau sampaikan kepada mereka yang jika memegang mushaf al-Qur’an selalu dalam keadaan suci dari Hadats.

Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang Mushaf al-Qur’an dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh KH. M. Moenawwir, akhirnya santri tersebut mengakuinya atas pengakuannya si santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan sudah menghapalkan al-Qur’an 23,5 juz. Setiap setengah bulan sekali beliau memotong rambut, juga tak pernah diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup baik itu dengan kopyah, sorban, maupun keduanya. Menggunting kuku selalu beliau lakukan setiap hari Jum’at.

Pakaian beliau sederhana namun sempurna untuk melakukan ibadah, rapi dan bersetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan tasbih selalu tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu beliau kenakan ketika menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, beliau sering mengenakan baju jas hitam, sorban, dan sarung. Beliau tidak suka makan sampai kenyang, terlebih lagi di bulan Ramadhan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan. Jika ada pemberian bantuan dari orang, beliau pergunakan sesuai dengan tujuan pemberinya, jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya. Walau beliau termasuk dalam abdi dalem Kraton, namun beliau tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai hiburan, beliau senang sekali mendengarkan lantunan Sholawat-sholawat, Burdah dan tentunya Tilawatil Qur’an.

Baca: Mbah Munawwir Sekatenan

Para santri beliau perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan setiap Kamis sore. Setiap berziarah beliau membaca Surah Yasin dan Tahlil. Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyangkut ummat pada umumnya, beliau mengumpulkan semua santri untuk bersama-sama tawajjuh dan memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya dengan membaca Sholawat Nariyyah 4444 kali atau Surat Yasin 41 kali. Selain mengasuh santri, beliau tak lantas meninggalkan tugas sebagai kepala rumah tangga. Setiap ba’da Shubuh beliau mengajar Al-Qur’an kepada segenap keluarga dan pembantu rumah tangga. Nafkah dari beliau baik untuk istri-istri maupun anak-anak, selalu cukup menurut kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa tenang, tenteram, rukun, dan tidak sembarang orang keluar-masuk rumah selain atas ijin dan perkenan dari beliau.

Hampir-hampir beliau tak pernah marah kepada santrinya, selain dalam hal yang mengharuskannya. Pernah suatu waktu beliau tiduran di muka kamar santri, tiba-tiba bantal yang beliau pakai diambil secara tiba-tiba oleh seorang santri, sampai terdengar suara kepala beliau mengenai lantai. Lantas beliau memanggil santri yang mengambil bantal tadi seraya berkata; “Nak… saya pinjam bantalmu, karena bantal yang saya pakai baru saja diambil oleh seorang santri.” Seringkali beliau memberikan sangu kepada santri yang mohon ijin pulang ke kampung halamannya, dan sangat memperhatikan kehidupan santri-santrinya. Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar pesantren, biasanya sekali setiap setengah bulan sebagai pelepas penat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku “Manaqibus Syaikh: K.H.M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta”

Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #2

Sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M, beliau lantas mendakwahkan al-Qur’an di sekitar kediaman beliau di Kauman tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta. Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau KH. Mudzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon) pada tahun 1910 M beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.

Pada 15 November 1910 Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk mengajar al-Qur’an. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa KH. Abdul Jalil. Konon KH. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid, adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan Kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.

KH. M. Moenawwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan amaliyah membaca Surah Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung. Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M. Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam pengajaran al-Qur’an. Para santri sangat menghormati beliau, bukan karena takut, melainkan karena Haibah, wibawa beliau.

Baca: Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #1

Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh KH. M. Moenawwir adalah Kitab Suci al-Qur’an, yakni terbagi atas 2 bagian; Bin-Nadzor (membaca) dan Bil-Ghoib (menghafal). Santri bermula dari Surah al-Fatihah, lantas lafadz tahiyyat sampai dengan Shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian Surah an-Nas sampai Surah an-Naba’, baru kemudian Surah al-Fatihah diteruskan ke Surah al-Baqoroh sampai khatam Surah an-Nas. Selain itu, pengajian kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910 seorang santri dari Purworejo yang dianggap mampu oleh beliau diperintahkan “Ajarkanlah ilmu Fiqh kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”

Begitu seterusnya berkembang, baik kitab Fiqh maupun Tafsir, makin menonjol disamping pengajian al-Qur’an yang utama. Beliau mengajar secara sistem Musyafahah, yakni sorogan setiap santri langsung membaca di hadapan beliau, jika ada kesalahan beliau langsung membetulkannya. Adab dalam pengajian al-Qur’an sangat beliau tekankan kepada para santri. Berbagai aturan dan ta’ziran beliau berlakukan terhadap para santri. Untuk santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah do’a untuknya langsung oleh KH. M. Moenawwir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah yang intinya berisi pengakuan Ilmu dari guru kepada muridnya serta Tarottubur-Ruwat (urutan riwayat) atau sanad dari Sang Guru sampai kepada Rasulullah saw. secara lengkap.

Baca: Mbah Munawwir Sekatenan

Banyak di antara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran al-Qur’an pada khususnya. Misal:

  1. K.H. Arwani Amin (Kudus)
  2. K.H. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
  3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
  4. K.H. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
  5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
  6. K.H. Noor (Tegalarum – Kertosono)
  7. K.H. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
  8. K.H. Murtadho (Buntet – Cirebon)
  9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
  10. K.H. Abu Amar (Kroya)
  11. K.H. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
  12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
  13. K.H. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
  14. K.H. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
  15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
  16. Haji Mahfudz (Purworejo)

Untuk para Mutakhorrijiin (alumni) beliau senantiasa menjalin hubungan dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat masing-masing.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku “Manaqibus Syaikh: K.H.M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta”

Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #1

Dahulu ada seorang ulama pejuang, KH. Hasan Bashori namanya, atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari ajudan Pangeran Diponegoro. Beliau sangat ingin menghapalkan Kitab Suci al-Qur’an namun terasa berat setelah mencobanya berkali-kali. Akhirnya beliau melakukan riyadhoh dan bermujahadah, hingga suatu saat Allah Swt mengilhamkan bahwa apa yang dicita-citakan itu baru akan dikaruniakan kepada keturunannya.

Begitu pula putra beliau KH. Abdoellah Rosjad, selama 9 tahun riyadhoh menghapalkan al-Qur’an, ketika berada di Tanah Suci Makkah beliau mendapat ilham bahwa yang akan dianugerahi hapal al-Qur’an adalah anak-cucunya. KH. Abdoellah Rosjad dikaruniai 11 orang anak dari 4 orang istri, salah satunya adalah KH. M. Moenawwir yang merupakan buah pernikahan beliau dengan Nyai Khodijah (Bantul).

Guru pertama beliau (KH. M. Moenawwir) adalah ayah beliau sendiri. Sebagai targhib (penyemangat) nderes al-Qur’an, sang ayah memberikan hadiah sebesar Rp 2,50 jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya sekali. Ternyata hal ini terlaksana dengan baik, bahkan terus berlangsung sekalipun hadiah tak diberikan lagi.

Baca: Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

KH. M. Moenawwir tidak hanya belajar qiro’at (bacaan) dan menghafal al-Qur’an saja, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang beliau timba dari ulama-ulama di masa itu, di antaranya:

1. K.H. Abdullah (Kanggotan – Bantul)

2. K.H. Cholil (Bangkalan – Madura)

3. K.H. Sholih (Darat – Semarang)

4. K.H. Abdurrahman (Watucongol – Magelang)

Setelah itu, pada tahun 1888 M beliau melanjutkan pengajian al-Qur’an serta pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (Dua Tanah Suci) baik di Makkah Al-Mukarromah maupun di Madinah Al-Munawwaroh. Adapun Guru-guru beliau antara lain:

  1. Syaikh Abdullah Sanqoro
  2. Syaikh Syarbini
  3. Syaikh Mukri
  4. Syaikh Ibrohim Huzaimi
  5. Syaikh Manshur
  6. Syaikh Abdus Syakur
  7. Syaikh Mushthofa
  8. Syaikh Yusuf Hajar (Guru beliau dalam Qiro’ah Sab’ah)

Pernah dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah tepatnya di Rabigh, beliau berjumpa dengan orang tua yang tidak beliau kenal. Pak Tua mengajak berjabat tangan, lantas beliau minta didoakan agar menjadi seorang Hafidz al-Quran sejati. Lalu Pak Tua menjawab “Insyaa-Allah.” Menurut KH. Arwani Amin (Kudus) orang tua itu adalah Nabiyullah Khidhr a.s.

KH. M. Moenawwir ahli dalam Qiro’ah Sab’ah (7 bacaan Al-Quran). Dan salah satunya adalah Qiro’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh, berikut inilah sanad Qiro’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh KH. M. Moenawwir sampai kepada Nabi Muhammad saw, yakni dari:

  1. Syaikh Abdulkarim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, dari
  2. Syaikh Isma’il, dari
  3. Syaikh Ahmad Ar-Rosyidi, dari
  4. Syaikh Mushthofa bin Abdurrahman Al-Azmiri, dari
  5. Syaikh Hijaziy, dari
  6. Syaikh Ali bin Sulaiman Al-Manshuriy, dari
  7. Syaikh Sulthon Al-Muzahiy, dari
  8. Syaikh Saifuddin bin ‘Athoillah Al-Fadholiy, dari
  9. Syaikh Tahazah Al-Yamani, dari
  10. Syaikh Namruddin At-Thoblawiy, dari
  11. Syaikh Zakariyya Al-Anshori, dari
  12. Syaikh Ahmad Al-Asyuthi, dari
  13. Syaikh Muhammad Ibnul Jazariy, dari
  14. Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Kholiq Al-Mishri As-Syafi’i, dari
  15. Al-Imam Abi al-Hasan bin As-Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa Al-‘Abbasi Al-Mishri, dari
  16. Al-Imam Abi Qosim As-Syathibi, dari
  17. Al-Imam Abi al-Hasan bin Huzail, dari
  18. Ibnu Dawud Sulaiman bin Najjah, dari
  19. Al-Hafidz Abi ‘Amr Ad-Daniy, dari
  20. Abi al-Hasan At-Thohir, dari
  21. Syaikh Abi al-‘Abbas Al-Asynawiy, dari
  22. ‘Ubaid ibnu as-Shobbagh, dari
  23. Al-Imam Hafsh, dari
  24. Al-Imam ‘Ashim, dari
  25. Abdurrahman As-Salma, dari
  26. Saadaatina Utsman bin ‘Affan, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Tholib, dari
  27. Rasulullah, Muhammad saw. dari Robbil ‘Aalamiin Allah swt., dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s.

Baca: Mbah Munawwir Sekatenan

Beliau menekuni al-Qur’an dengan riyadhoh, yakni sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, dan terakhir adalah Riyadhoh membaca al-Qur’an selama 40 hari tanpa henti hingga mulut beliau berdarah karenanya. Setelah 21 tahun menimba ilmu di Tanah Suci, beliau pun kembali ke kediaman beliau di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku “Manaqibus Syaikh: K.H.M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta”

Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #3

Rais ‘Amm, Madzhab Politik & Pemikiran

Tepat pada tanggal 30 Agustus hingga 2 September 1981 dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama yang diselenggarakan oleh organisasi keislaman NU di Kaliurang Yogyakarta, memutuskan beberapa hal penting yang kaitannya dengan pergantian pimpinan tertinggi organisasi (Rais ‘Amm) setelah wafatnya Rais ‘Amm sebelumnya, KH. Bisri Syansuri (Pendiri Pesantren Denanyar). Dalam Munas tersebut menghasilkan beberapa poin, diantaranya memilih KH. Ali Maksum sebagai Rais ‘Amm ke 4 Nahdlatuth Ulama. Pada awalnya Kyai Ali menolak untuk dijadikan Rais ‘Amm, penolakan tersebut bukanlah tanpa alasan, karena menurut beliau Rais ‘Amm merupakan tanggung jawab yang hubungannya dengan umat baik di dunia hingga akhirat. Akan tetapi, karena pertimbangan lain serta adanya sebagian peserta Munas yang menjemput Kyai Ali di Krapyak, maka tanggung jawab tersebut tidak bisa dielakkan lagi meskipun Kyai Ali sendiri harus muwun (jawa: menangis) ketika di baiat di hadapan ribuan peserta Munas.

Dalam kepemimpinan Kyai Ali, NU mengeluarkan beberapa keputusan-keputusan penting dalam sejarah, diantaranya menerima asas Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi dan bernegara. Selain itu, melalui Muktamar NU ke-27 di Situbondo, menetapkan bahwa NU harus kembali ke Khittah 1926, artinya secara resmi NU melepaskan diri dari hal-hal yang kaitan formal dengan segala organisasi politik serta memberi hak kepada warga NU untuk mengartikulasikan aspirasi politiknya melalui partai politik yang diinginkan secara bebas, bermartabat dan bertanggung jawab.

Keterangan Foto (ki-ka): KH. Mahrus Ali (Lirboyo), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Ali Maksum (Krapyak)

Selain berjuang di organisasi para ulama’, Kyai Ali juga sosok yang aktif dalam perhelatan politik dan masuk dalam anggota Partai NU. Berbagai langkah nyata yang dilakukan oleh Kyai Ali diantaranya ialah mendukung Partai NU untuk keluar dari barisan Masyumi, dan berusaha keras untuk mengenalkan NU kepada masyarakat pedesaan khususnya di kalangan muslimin yang masih bersifat tradisionalis dengan cara melakukan ceramah pengajian saat momentum hari besar keagamaan.

Terkait pemikiran Kyai Ali, beliau dikenal sebagai sosok yang moderat. Salah satu ungkapan yang dilontarkan oleh Kyai Ali ialah bahwa pintu ijtihad akan tetap terbuka dan bisa dilakukan oleh siapapun, tentunya dengan koridor atau persyaratan yang telah berlaku. Pernyataan tersebut dianggap berani karena bertentangan dengan arus besar pemikiran ummat saat itu yang sebagian besar masih terbelenggu oleh fanatic madzhab serta taklid buta. Pada dasarnya pernyataan tersebut bukanlah tanpa alasan, hal ini beliau sampaikan di tengah kegelisaan intelektualnya. Dari kegelisaan tersebut Kyai Ali menginginkan bahwa NU dan umat Islam lainnya sudah waktunya melakukan pembaharuan, dan hal tersebut harus dimulai dari para tokohnya yang berkompeten.

Sumber:

1) KH. Ali Maksum Ulama, Pesantren dan NU. Ahmad Athoillah (2019).

2) Jejak Sang Pionir Kamus al-Munawwir: KH. A. warson Munawwir. Khalimatun Nisa, Fahma Amirotulhaq, dkk. (2020)

3) Biografi 5 Rais ‘Amm Nahdlatuth Ulama. Badrun Alaina dan Humaidy Abdussami (1995)

4) Antologi NU Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan (2007)

Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #2

Improvisasi Sistem Madrasah Tremas, Pernikahan & Belajar di Tanah Haram

Oleh karena kecerdasan yang Kyai Ali miliki, dan kepercayaan yang diberikan KH. Dimyathi oleh beliau, bersama Gus Hamid Dimyathi, Kyai Ali melakukan improvisasi besar terhadap sistem pendidikan di pesantren Tremas.  Merubah sistem dari pendidikan klasik ke sistem madrasah modern, selain itu kitab baru seperti Qira’atus Rasyidah yang terdapat gambar-gambar hewan seperti anjing, diikutsertakan sebagai salah satu buku ajar di madrasah, yang sebelumnya belum pernah terpikirkan bahkan tidak diperbolehkan.

Kurang lebih delapan tahun Kyai Ali belajar di pesantren Tremas, tibalah waktunya untuk kembali ke Lasem, membantu dan meneruskan perjuangan pesantren Lasem milik keluarga, yang sebelumnya telah dikembangbesarkan oleh Ayah beliau KH. Maksum.  Adapun madrasah yang beliau rintis beserta sistem pembaharuan yang diterapkan, tapuk kepemimpinannya diserahkan kepada Kyai Hamid Dimyathi sebagai direktur dan Mukti Ali sebagai wakil direktur.

Setelah kepulangan dari Pesantren Tremas dan tiga tahun membantu pesantren ayahnya di Lasem, tepatnya pada tahun 1938, Kyai Ali menikah dengan Nyai Hasyimah putri KH. M. Munawwir asal Yogyakarta. Tidak lama berselang, seorang bernama H. Djunaid asal Kauman Yogyakarta, melalui ayahnya Kyai Maksum, memberi tawaran untuk berangkat ibadah haji secara gratis kepada Kyai Ali. Mendengar hal tersebut, KH. Munawwir sebagai mertuanya berpendapat, sebaiknya tawaran tersebut ditolak atau ditunda pada waktu lain. Namun, bagi ayahnya, tawaran tersebut sebaiknya diterima karena kesempatan langka. Kemudian, setelah melakukan sholat Istikharah, Kyai Ali memutuskan untuk mengambil tawaran tersebut, serta harus rela meninggalkan istri dan pondok Pesantren Lasem yang belum lama beliau kembangkan.

KH Ali Maksum dalam sebuah acara

Kyai Ali berada di Makkah selama dua tahun dan selama itu juga beliau menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali. Selama dua tahun pula Kyai Ali belajar kitab Luma’ karya Syekh Abul Hassan al-Asy’ari (tokoh pendiri madzhab teologi Asy’ariyah) kepada Sayid  Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani. Kyai Ali juga belajar kitab Shahīh al-Bukhōri kepada Syekh Umar Hamdan. Setelah dua tahun menghabiskan waktu untuk melaksanakan ibadah Haji dan memperdalam ilmu, Kyai Ali kembali ke Lasem untuk meneruskan perjuangan mengembangkan pesantren yang dulu sempat ditinggal ke Makkah, bersama Istrinya, Nyai Hasyimah binti KH. Munawwir.

Perpindahan ke Krapyak, Menjadi Dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta & Anggotan Penerjemah Alquran

Setelah wafatnya KH. Munawwir pada tahun 1942 terdapat kekosongan pimpinan di internal Pesantren Krapyak, putra beliau paling tua KH. Abdulloh Affandi masih sangat muda untuk diamanahi sebagai pengganti Ayah beliu, sedang adik KH. Afandi, KH. Abdul Qodir Munawwir pada saat itu masih berusia remaja. Adapun putra putri Kyai Munawwir lainnya saat itu masih berusia anak-anak. Maka, untuk mengatasi kekosongan tersebut diadakanlah rapat keluarga yang memutuskan, pertama kepemimpinan pondok pesantren tetap diamanahkan kepada putra putri dan menantu KH. Munawwir. Kedua, mengirim utusan, yakni KH. Abdurrahman (Adik Kyai Munawwir), ke Lasem guna menghadap ke KH. Maksum dengan maksud memboyong Kyai Ali ke Krapyak untuk membantu keluarga mengelola pondok pesantren peninggalan mertua beliau.

Semenjak saat itu, KH. Abdulloh Afandi Munawwir, KH. Abdul Qodir Munawwir dan KH. Ali Maksum mulai bersama-sama membangun kembali pesantren dengan beberapa pembagian tugas. KH. Abdulloh Afandi sendiri disamping sebagai pimpinan umum, beliau juga menangani hubungan pesantren dengan pihak luar. KH. Abdul Qodir mendapatkan bagian pengajian Tahfidz dan urusan-urusan dalam pesantren. Sedangkan KH. Ali Maksum mendapat bagian penanggung jawab pengajian-pengajian kitab kuning.

Langkah pertama kali yang dilakukan Kyai Ali di Pesantren Krapyak ialah menutup sementara pondok pesantren untuk memfokuskan diri pada kaderisasi. Pada awalnya Kyai Ali hanya mengajar beberapa putra, cucu dan menantu KH. Munawwir serta beberapa warga sekitar. Murid-murid pertama kali Kyai Ali di Krapyak diantaranya ialah KH. Abdul Qodir (putra Kyai Munawwir/Komplek RQ dan MH), KH. Mufid Mas’ud  (menantu/Pndiri Pesantren Pandanaran), KH. Nawawi Abdul Aziz (menantu/Pendiri Pesantren An-Nur Ngrukem), KH. Dalhar Munawwir (putra/Komplek Nurussalam), KH. Zainal Abdidin Munawwir (putra/Komplek AB dan R), KH. Ahmad Munawwir (putra/Komplek L), KH. Ahmad Warson Munawwir (putra/Komplek Q), Wardan Joned, Zuhdi Dahlan dan Abdul Hamid.

Pada periode selanjutnya, yakni setelah wafatnya KH. Abdul Qodir Munawwir pada 2 februari 1961 dan wafatnya KH. Abdulloh Affandi pada 1 Januari 1968, KH. Ali Maksum menjadi pengasuh utama dalam kepengurusan Pesantren Krapyak, pada periode ini juga program pengajian kitab dapat berjalan seimbang dengan pengajian Alqur’an.  Kyai Ali dalam mengembangkan pesantren dibantu oleh beberapa putra maupun menantu yang dulu menjadi murid pertama beliau. Untuk pengajian Alquran putra dibantu oleh KH. Ahmad Munawwir, KH. Nawawi Abdul Aziz, KH. Mufid Mas’ud dan KH. Zaini Munawwir. Sedangkan pengajian Alquran putri dibantu oleh KH. Mufid Mas’ud, KH. Dalhar Munawwir, Nyai Hj. Hasyimah Ali Maksum, Nyai Hj. Jaoharoh Mufid, Nyai Badriyah Munawwir dan Nyai Jumalah Munawwir. Untuk pengajian kitab Kyai Ali dibantu oleh KH. Zainal Abidin Munawwir, KH. Warson Munawwir dan beberapa santri senior. Selain itu, Kyai Ali juga mendirikan beberapa Madrasah sebagai tambahan untuk menampung para santri yang terus bertambah jumlahnya.

Dalam beberapa keterangan juga menyebutkan bahwa KH. Ali Maksum selain sebagai guru pengajar di Pesantren Krapyak, pada sekitaran tahun 1960, beliau juga termasuk dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengampuh mata kuliah qiro’atul kutub pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Aktivitas ilmiah Kyai Ali  lainnya ialah sebagai anggota penerjemah Alquran Departemen Agama Republik Indonesia.

Sumber:

1) KH. Ali Maksum Ulama, Pesantren dan NU. Ahmad Athoillah (2019).

2) Jejak Sang Pionir Kamus al-Munawwir: KH. A. warson Munawwir. Khalimatun Nisa, Fahma Amirotulhaq, dkk. (2020)

3) Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Pengurus Pusat PP. AlMunawwir (2001).