Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Ibunda almaghfurlah KH. Ahmad Warson Munawwir dan KH. Zainal Abidin yakni Ibu Nyai Hj. Khodijah atau biasa dipanggil dengan Bu Nyai Sukis. Bu Nyai Sukis satu rumah dengan Mbah KH. Ali Maksum (menantu) dan anak-anak beliau, yakni Gus Bik (KH. Atabik Ali), Mbak Ifah, Mbak Genuk, Gus Jis (KH. Jirjis Ali). Gus Kelik (almarhum) dan Mbak Ida belum lahir waktu itu.

Pada saat zaman Mbah Munawwir masih sugeng santri masih terbilang sedikit, bahasa yang dipakai sehari-hari masih bahasa Jawa, sebab santri-santri kebanyakan dari Jawa Tengah dan sedikit dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Sangat jauh berbeda ketika zaman Mbah Ali memegang kendali, santri-santri dari Jakarta membludak, terutama dari Klender (Jakarta Timur).

Bersamaan dengan perkembangan pondok dan santri-santri yang memakai bahasa Indonesia mulai banyak, otomatis Bu Nyai Sukis sering mendengar bahasa Indonesia dari Bu Nyai Hasyimah (istri Mbah Ali). Lama-lama berani memakai bahasa Indonesia meskipun dengan kosakata terbatas.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

Suatu hari ada tamu keluarga dari Jakarta, begitu pagi saat sarapan hidangan sudah di hadapan para tamu, Bu Nyai Sukis ditinggal Bu Nyai Hasyimah mengambil sendok ke dapur. Saat itulah Bu Nyai Sukis yang ambil peran mempersilakan tamu.

“Ayo makan, ayo makan.” Bu Nyai Sukis mempersilahkan

Tamu pun paham, mulailah mereka ambil nasi dan lauk. Ketika tamu mau mengambil sayur, Bu Nyai Sukis mempersilahkan tamu.

“Ya, ini jangan, ini juga jangan.” Bu Nyai Sukis mempersilahkan

Tamu pun merasa bingung.

“Mau ambil sayur kok tidak boleh?” ucap tamu dalam hati

Akhirnya diurungkan untuk mengambil sayur, cukup makan dengan tempe dan tanpa sayur.

Ketika Bu Nyai Hasyimah datang dan mempersilakan mengambil sayur, tamu pun baru paham bahwa ‘jangan’ itu bahasa Jawa dari sayur. Tetapi karena sudah terlanjur malu, tamu pun membatalkan mengambil sayur tersebut.

“Ambil tempek lagi aje dah.” ucap tamu

Anaknya yang menjadi santri menegur

“Bu, di sini ‘tempe’ nggak pake ‘k’!” sang anak menegur

“Iye, iye, tempek ‘kan?” sang ibu menyahut

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: almunawwir.com

Picture by almunawwir.com

Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

KH M Munawwir adalah guru besar Alquran nusantara, tidak diragukan lagi karena hampir di setiap sanad al-Qur’an di Indonesia banyak guru-gurunya yang melewati beliau. KH. M. Munawwir mempunyai banyak murid yang tersebar di penjuru tanah air, diantaranya:

  1. K.H. Arwani Amin (Kudus)
  2. K.H. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
  3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
  4. K.H. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
  5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
  6. K.H. Noor (Tegalarum – Kertosono)
  7. K.H. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
  8. K.H. Murtadho (Buntet – Cirebon)
  9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
  10. K.H. Abu Amar (Kroya)
  11. K.H. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
  12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
  13. K.H. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
  14. K.H. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
  15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
  16. Haji Mahfudz (Purworejo)

Dan ada dua santri yang sama-sama murid beliau yang kami tahu dan akhirnya bertemu nasab menjadi bagian dari keluarga beliau.

Pertama, Kiai Hasbulloh adalah murid KH M Munawwir berasal dari Jejeran-Bantul. Dikisahkan sewaktu Mbah Hasbulloh sowan kepada Kiai Munawwir setelah khatam mengaji sambil membawa se-tundun pisang untuk tasyakuran.

Lalu beliau matur, “niki kagem Yai, panjenengan ngersakke nopo maleh.” (ini untuk Pak Yai, kira-kira Pak Yai menghendaki apalagi)

Kiai Munawwir berkata, “iku sing mbuk ajak sopo ng sampingmu?” (itu yang kamu ajak disampingmu siapa ?)

Mbah Hasbulloh menjawab, “niki putri kulo.” (ini putri saya)

Kemudian Kiai Munawwir menyahut, “yo wis aku pengen anakmu wae.” (yaudah, aku pengen putrimu saja)

Begitu ta’dzimnya seorang murid kepada guru, tanpa berpikir panjang akhirnya dinikahkanlah sang puteri dengan sang guru, walaupun selisih umur yang sangat jauh, sehingga jadilah beliau sebagai murid sekaligus mertua.

Sang putri yang dimaksud adalah Ny. Khodijah yakni istri kelima sekaligus terakhir Kiai Munawwir, dari beliaulah melahirkan Ny. Walidah Munawwir (istri KH Nawawi Abd Aziz, PP An Nur, Ngrukem-Bantul), KH Ahmad Munawwir (Komplek L-Krapyak), Ny. Zuhriyyah Munawwir (istri KH Mubassyir Mundzir, PP Maunah Sari-Kediri) 

Murid Kiai Munawwir kedua yang akhirnya menjadi bagian dari keluarga beliau adalah Mbah Ma’shum bin Siroj. Beliau berasal dari Gedongan Cirebon. Hubungan beliau dengan Kiai Munawwir sudah sangat dekat dimulai dari kakek, yakni Kiai Sa’id. Kiai Sa’id merupakan muassis awal Pesantren Gedongan, beliau menjadi penghubung antara Kiai Munawwir dengan seseorang yang mewaqafkan tanah untuk berdirinya pesantren dan akhirnya pindah di Krapyak yang sebelumnya berada di Kauman Yogyakarta.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

Mbah Ma’shum adalah putra pertama dari delapan bersaudara, beliau tercatat sebagai pengasuh Pesantren Gedongan periode ke empat menggantikan ayahnya, Kiai Siroj bin Sa’id, diantara adiknya adalah Kiai Aqil (PP KHAS Kempek-Cirebon, ayah dari KH Said Aqil Siroj).

Mbah Ma’shum terkenal pandai mengarang syair dengan bahasa Arab, sehingga mempunyai karangan kitab Nailurroja Madzhumah Safinatinnaja. Kitab ini telah disyarahi oleh KH Sahal Mahfudzh Kajen-Pati dengan judul kitab Faidl Al-Hija.

Suatu hari Mbah Ma’shum berkesempatan mengunjungi Pesantren Krapyak bersama dengan keluarganya, termasuk dalam rombongan tersebut adalah putrinya yang berusia 18 tahun. Di sana beliau dan rombongan diterima oleh Kiai Ali Maksum, menantu yang ikut mengasuh Pesantren Krapyak setelah Kiai Munawwir wafat pada tahun 1942.

Dari pertemuan tersebut terkejutlah sang putri mendengar dhawuh dari ayahnya, ia mengira datang ke Krapyak untuk mondok, melihat usianya yang terbilang muda dan sebelumnya masih menjadi santri di Pesantren Arjowinangun-Cirebon, ternyata ia akan dinikahkan dengan putra Kiai Munawwir.

Sang putri tersebut bernama Ny. Shofiyyah (18-an tahun) dan menikah dengan KH Ahmad Munawwir (40an tahun), muassis komplek L (salah satu asrama di PP Al-Munawwir). Dari pernikahan tersebut, maka Mbah Ma’shum adalah murid juga menjadi besannya Kiai Munawwir.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: www.almunawwir.com

Dikisahkan oleh: Ust Rosyid Yusuf Alumni Komplek L

Romo Yai Najib Menata Sandal Santri

Bercerita tentang akhlak dan haliyah beliau pasti tidak akan habisnya. Semua yang pernah ndherekne, mengaji bahkan sekadar melihat beliau saja akan memiliki kesan bahwa beliau merupakan ahlul Qur’an yang sebenar–benarnya ahlul Qur’an. Bukan hanya karena beliau seorang hamilul Qur’an yang hafal diluar kepala, lebih dari itu, bahwa nilai-nilai yang termuat dalam Al Qur’an semua tercermin atas pribadi beliau.

Diantara akhlak dan pribadi beliau yang masyhur ialah ketawadhuan dan syafaqah (welas asih dan perhatian) beliau kepada semua orang, terkhusus kepada para santri.

Jenengmu sopo kang?

Asli pundi kang?

Mbiyen mondok neng ndi?

Itulah pertanyaan yang sering dilontarkan Romo Yai kepada para santri ketika sowan kepada beliau. Bahkan suatu saat ketika saya sowan dengan beberapa santri, saya menyaksikan dan mendengarkan sendiri bahwa ada salah satu santri yang sampai ditanya perihal keluarga dan kondisinya, siapa nama ayahnya, berapa jumlah saudaranya, dll . Bahkan lebih detail lagi, Romo Yai sering menanyakan daerah-daerah sekitar rumah para santri.

Baca: Lima Hal Yang Akan Dihadapi Di Akhirat

Perihal ketawadhuan beliau, pernah suatu ketika beberapa santri menunggu beliau mandap (turun) dari masjid dengan maksud ingin sowan izin pulang. Termasuk saya sendiri; ketika beliau sudah sampai di depan ndalem dan selesai menyalami para santri, tiba-tiba beliau merunduk  dan membetulkan posisi sendal yang berantakan di depan ndalem. Dan kami hapal betul bahwa sandal yang ditata beliau merupakan sandal santri yang memang biasanya tertinggal ketika selesai ngaji di ndalem.  Seketika  itu, kami langsung menyusul dan sesegera mungkin menata sandal yang lain. Kemudian Romo Yai masuk ndalem dan mempersilakan kami masuk.

Sejak awal masuk ndalem sampai keluar lagi, terbersit di benak kami bahwa betapa mulia dan tawadhu’-nya beliau, sekalipun dengan para santrinya. Bisa saja, bahkan sangat wajar jika Romo Yai menyuruh kami untuk menata sendal. Tetapi beliau memilih diam dan menata sendiri. Padahal saat itu tangan beliau memegang payung. Sungguh mulianya akhlak Romo Yai.

Baca: Penyangga Langit Krapyak Tersisa Satu

Disisi lain, ini merupakann model tarbiyah Romo Yai kepada para santrinya. Tarbiyah yang bahkan tidak sekadar terucap lewat lisan, tapi berupa haliyah dan perilaku. Saya yakin, hal ini karena beliau paham betul bahwa lisanul hal afshahu min lisanil maqal; nasihat yang berupa perilaku dan teladan akan lebih mengena dibanding sekadar lewat ucapan (lisan).

Penulis: Ibnu Hajar Al Qodiri (Nama Pena)

Santri Madrasah Huffadz 1 Al Munawwir

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Gus Baha Di Majlis Tahlil 7 Hari Wafatnya Romo Yai Najib

Pada Ahad (10/01) sekitar pukul 20:30 waktu setempat Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak menggelar Majlis Tahlil 7 hari wafatnya Syaikhuna KH. R Najib Abdul Qodir, Majlis Tahlil ini digelar di gedung Aula G Pondok dan dihadiri oleh jamaah yang memadati lingkungan Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak. Dalam acara Majlis Tahlil ini dihadiri juga oleh Gus Baha yang memberikan Mauidhoh Hasanah kepada para jamaah.

Gus Baha bercerita bahwasanya dulu ayah beliau Kyai Nursalim itu akrab dengan Romo Yai Najib, ayahanda beliau merupakan seniornya Romo Yai Najib. Saya (Gus Baha) dengan Krapyak mempunyai hubungan kekeluargaan karena dulu Mbah Munawwir itu ngaji dengan Mbah Sholeh Darat sedangkan Mbah Sholeh Darat pernah ngaji dengan buyut saya yakni Asnawi Sepuh, jadi duriyatan min ba’duha jadi semua saling menghormati. Keluarga Mbah Munawwir itu membawa Al Qur’an, membawa Al Qur’an itu tidak harus hapal, ada yang hidmah membina orang berbagai macam jadi tidak harus menghapalkan Al Quran. Dulu juga dalam dunia Gus ada Gus Miek (Hamim Tohari Djazuli) pokoknya ada banyak Gus yang membina orang berbagai macam yang terpenting yaitu mempunyai mental membina masyarakat.

Baca: Lima Hal Yang Akan Dihadapi Di Akhirat

Sebagai seorang santri hendaknya kita ketika sudah boyong kelak bisa membina masyarakat karena jika kita tidak mau memimpin dengan madzhab ahlu sunnah wal jamaah dan menghindarinya artinya kita sudah membiarkan umat dipimpin oleh kelompok lain dan bisa saja dipimpin oleh orang yang mubtadiah, orang yang kafiroh, orang yang mudillah bisa juga orang yang mukhtariah. Jadi jangan sampai membiarkan umatnya kanjeng nabi dipimpin oleh orang-orang yang tidak ahli sunnah wal jamaah.

Karena diluar sana untuk senang itu harus menunggu punya uang dan punya pangkat dulu, tapi para santri ketika khataman Al Qur’an mayoran saja sudah senang sudah bisa senang khatam meskipun khatamnya itu tidak karuan yang penting khatam asalkan tidak dites saja. Karena senang terhadap kebaikan merupakan sebuah perlawanan terhadap kemungkaran, orang harus senang dengan kebaikan karena itu bentuk perlawanan terhadap senang harus lewat maksiat. Dalam kitan kasyifatus saja ada sebuah redaksi mengatakan bahwa cara melawan setan diantaranya kita harus menikmati sesuatu yang tidak haram, misalnya para santri Krapyak tinggalnya di kota itu berat karena di kota itu apa saja ada tapi para santri itu senang ketika bisa setoran tidak keliru saja sudah senangnya luar biasa atau ketika setoran keliru pas Kyainya ngantuk itu senang, senangnya karena keliru sedikit tidak ketahuan oleh kyainya.

Baca: Obituari untuk KH R. M. Najib Abdul Qodir, Sang Pembawa Al-Qur’an

Contoh yang lainnya yaitu ketika bayar iuran khataman 3 juta kemudian ngomong sama orang tuanya bayar 5 juta, senang meskipun membohongi orang tuanya, itu didukung oleh agama yang terpenting tidak haram. Kenapa membohongi orang tua halal karena orang tuanya ridho, jadi halalnya itu terlambat  membohongi orang tua itu haram tapi ketika orang tuanya ridho jadi halal. Kalau misal orangtuanya tidak ridho itu ya kebangetan orang tua macam apa.

Jadi dalam beragama itu membutuhkan orang yang adnal halat supaya orang bisa tahu batas minimal suatu perkara, para santri juga harus bisa mengerti ukuran baik itu bisa mengambil sikap adnal halat (sikap paling rendah) karena agama ini butuh nilai minimal, jadi jangan membayangkan dunia itu ideal bisa-bisa kita menjadi khawarij karena khawarij itu membayangkan dunia itu ideal sampai nabi saja digugat oleh mereka.

Oleh: Taufik Ilham

Do’a Untuk Sang Maestro Al Qur’an

Malam ini, Ahad (10/01) tepat 7 hari wafatnya KH. R Najib Abdul Qodir Munawwir yakni Sang Permata Al Qur’an kembali ke pangkuan Ilahi. Malam nanti akan diadakan Majlis Tahlil Virtual pukul 20.00 melalui chanel Youtube Almunawwir TV.

Di sini, di Pondok pesantren Al Munawwir Krapyak tidak semuanya menjadi santri di Madrasah Huffadz dibawah asuhan beliau Mbah Najib Abdul Qodir allahuyarham, tidak semuanya bisa merasakan setoran hapalannya kepada beliau, tetapi santri Krapyak tetaplah santri Krapyak. Semua santri mencintai para Masyayikh dan juga merasa dicintai. Sebagai seorang santri hendaknya kita menjadikan Mbah Najib sebagi suri tauladan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai seorang santri, karena dalam haliyah beliau terdapat sebuah pesan untuk selalu bersahaja kepada sesama. Ketika beliau  membaca bacaan shalat ataupun wirid setelah shalat, tahlilan dan do’a-doa selalu menartilkan setiap huruf  yang dilafadzkan oleh beliau. Apalagi ketika beliau sedang memanjatkan doa yakni dengan keadaan tangan yang menadahkan layaknya seorang anak meminta sesuatu kepada orang tuanya dan dengan wajah yang menunduk. Menggambarkan bahwa sebagai seorang hamba yang sedang memohon tidak ada kata main-main ketika sedang berdoa. Ketartilan beliau tidak hanya dalam bacaan belaka melainkan menjalani kehidupan beliau dengan tartil pula.

Baca: Penyangga Langit Krapyak Tersisa Satu

Jika belum ada kesempatan untuk bisa datang bersilaturahim langsung untuk mendoakan beliau, maka sempatkanlah Surah Al Fatihah di setiap akhir sujud shalat, jika masih belum mampu juga maka sempatkanlah berdoa jika sedikit terlintas wajah beliau. Karena tidak ada yang lebih mulia di sisi Allah daripada do’a, karena tidak ada kata doa yang sia-sia. Terlebih untuk mendoakan guru kita semua, sebagai seorang santri paling minim ya membaca tahlil.

Diceritakan Mbah Kholil Bangkalan pernah diminta untuk memimpin tahlil di kediaman warga sekitar, sesampainya di rumah shohibul hajat Mbah Kholil memimpin tahlil hanya dengan membacakan kalimat thoyibah “La ilaha illallah” sekali saja. Setelah itu Mbah Kholil pamit pulang dan dibekali berkat yang sangat besar.

Mengetahui hal tersebut shohibul hajat kemudian mendatangi kediaman Mbah Kholil dan menjelaskan maksud dan tujuannya yakni karena tidak sebanding antara apa yang dibaca dengan berkat yang telah diberikan. Untuk menjelaskan semua itu Mbah Kholil kemudian mengambil timbangan dengan kertas yang bertuliskan kalimat thoyibah dan berkat yang besar tadi pemberian shohibul hajat. Dan ternyata setelah ditimbang selembar kertas yang bertuliskan kalimat thoyibah tadi lebih berat ketimbang berkat besar. Karena membaca satu kalimat tahlil saja itu sudah cukup untuk bingkisan ahli kubur, beratnya pun melebihi berat dari berkat yang berisi apa pun.

Baca: Gus Baha Di Majlis Tahlil 7 Hari Wafatnya Mbah Najib

Yang bisa kita lakukan saat ini yakni meneladani dan melaksanakan dawuh-dawuh beliau, menghidupkan ilmu beliau dan terus menyebarkan barokah yang beliau tinggalkan kepada kita semua. Semoga kita semua senantiasa diberi kesabaran dan hidayah oleh Allah Swt. Amin.

Oleh: Tim Redaksi

Picture by ponpesduta.files.wordpress.com

Penyangga Langit Krapyak Tersisa Satu

Momen lebaran adalah momen dimana berkumpulnya sanak saudara, melepaskan kerinduan dengan orang terkasih. Bagi orang-orang yang sedang merantau merindukan hal-hal tersebut karena menjadi sebagai salah satu momen yang ditunggu-tunggu untuk bisa menghabiskan waktu bersama kerabat dan keluarga. Setiap kali gema takbiran bergema teringat jengkol badalo masakan sang ibu.

Tradisi ketika lebaran adalah mudik ke kampung halaman, tidak sedikit masyarakat yang memiliki kehidupan jauh dari kampung halamannya, tidak ketinggalan para santri yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren juga melakukan tradisi ini. Namun tidak semua melakukan tradisi mudik tersebut, ada beberapa santri yang lebih memilih mukim di pondok saat hari raya idul fitri. Ada beberapa alasan kenapa para santri yang tidak memilih mudik ke kampung halamannya diantaranya yakni karena memang kampung halamannya nan jauh disana ada juga yang beralasan tidak akan pulang sebelum membawa calon untuk ibu dan bapak. Namun pada dasarnya alasan santri lebih memilih mukim karena dilandasi karena rasa hormat kepada kyai ataupun ibu nyai sebagi figur teladan sebagai murobbi ruh nya.

Pada saat momen seperti inilah para santri yang tidak memilih pulang ke kampung halamannya memanfaatkan momen untuk sowan-sowan kepada para masyayikh yang ada di sekitar lingkungan pondok. Sowan yang dilakukan bisa lebih intens karena masih dalam suasana idul fitri yang masih kental dengan hikmah serta do’a beliau secara langsung. Kesempatan ini yang jarang di dapatkan oleh santri pada umumnya.

Baca : Bernostalgia Bersama KH. Ahsin Sakho’

Setelah sowan kepada Pak Yai dan keluarga ndalem kemudian kami keliling sowan kepada para masyayikh Krapyak dan dzuriyah pondok pesantren dan juga tak lupa bertamu ke rumah warga sekitar. Pada saat sowan ke ndalemnya Gus Chaidar kami diceritakan sedikit rahasia yang mungkin tidak kebanyakan orang mengetahuinya. Karena pada saat itu tidak lama setelah wafatnya KH. Agus Rifqi Ali Bin KH. Ali Maksum atau biasa akrab dengan sapaan Gus Kelik.

Tiba-tiba beliau dawuh bahwasanya :

“Jimate Krapyak iku ono telu, lah iki sijine sing nembe kapundut yaiku Gus Kelik, lah iki ijeh loro sing sijine yaiku Mbah Yai Najib (sing nembe kapundut) karo sing sijine yaiku…”

Dan untuk yang ketiga ini beliau masih sugeng, mudah-mudahan beliau selalu diberikan kesehatan dipanjangkan umurnya juga mberkahi untuk kita semua. Mudah-mudahan kita semua diakui menjadi santrinya beliau. Amin.

Oleh : Taufik Ilham

Sumber : Alumni Komplek L

Picture by Lilik

Bernostalgia Bersama KH. Ahsin Sakho’

Di malam ketiga Majlis Tahlil (06/01) wafatnya penjaga Al Qur’an di Nusantara KH. R Najib Abdul Qodir  kerawuhan murid sekaligus sahabat beliau yakni Dr. Ahsin Sakho’ Muhammad MA., Al Hafiz. Beliau berpesan bahwa “Beliau (Mbah Najib) adalah orang yang betul-betul ahlul Qur’an, kalau yang saya perhatikan hadist-hadist Fadloilul Qur’an, hadist tersebut ada dalam diri beliau. Beliau tidak pernah membicarakan yang tidak enak kepada orang lain, kalau ada arah menuju kesana beliau membelokan pembicaraannya, beliau tidak mau masuk ke wilayah pribadi orang lain. Lisannya benar-benar terjaga, haliyah beliau benar-benar terjaga, seperti itulah Hafidzul Qur’an”. Itu adalah sedikit dari potongan cerita beliau tentang Mbah Najib Abdul Qodir dalam Majlis Tahlil.

Setelah selesai menghadiri acara Majlis Tahlil beliau KH. Ahsin singgah ke tempat dimana beliau dan Mbah Najib dulu pernah menyetorkan hapalan Al Quran kepada Mbah Mad (KH. Ahmad Munawwir) selama di Krapyak. Beliau bercerita kembali, bernostalgia bersama dengan Pengasuh Pondok pesantren Al Munawwir Komplek L KH. Muhammad Munawwar Ahmad beserta dengan para santri Tahfidz. Beliau bercerita ketika mondok di Krapyak sekitar tahun 1973-1976, pada saat itu beliau menempati kamar A nomor 2 di Komplek L. Pada saat itu Mbah Mad memberikan kesempatan kepada Mbah Najib untuk mengajar karena Mbah Mad sudah mempunyai sebuah firasat bahwasanya kelak yang akan melanjutkan estafet Tahfidzul Quran di Krapyak itu Mbah Najib. Begitu caranya Mbah Mad meregenerasi yakni dengan cara memberikan kesempatan Mbah Najib untuk mengajar disini. Mbah Najib sudah menganggap Mbah Mad itu seperti ayahnya sendiri karena Mbah Najib sudah ditinggalkan oleh ayahnya ketika masih kecil. Oleh karena itu apapun yang di dawuhkan Mbah Mad pokoknya sendiko dawuh apa kata Mbah Mad.

Sampai pada akhirnya Mbah Najib ingin melanjutkan Qiro’ah Sab’ah di Mbah Arwani Kudus, kemudian diantar oleh Mbah Mad begitu pun dengan saya dan teman-teman lainnya ikut mengantarkan Mbah Najib ke Kudus menggunakan mobil pickup. Pada saat mau sowan Mbah Arwani pakaian Mbah Mad dirasa kurang sopan dan tidak pantas untuk menghadap Mbah Arwani maka Mbah Mad meminta temannya untuk bertukar pakaian dengan Mbah Mad.

“Cubo ijolan sek klambine” pinta Mbah Mad

Karena begitu tawadhu’nya Mbah Mad hendak sowan menghadap Mbah Arwani beliau rela bertukar pakaian dengan temannya, kalau tidak salah nama teman yang bertukar pakaian dengan Mbah Mad itu namanya Marosi. Kami semua ngaji sama Mbah Najib setiap pagi dan sore beliau pake sepeda dari ndalemnya menuju kesini (Komplek L), saya setor hafalan dengan Mbah Najib dari awal sampai Surah At-Taubah selanjutnya saya setoran dengan Mbah Mad sampai Khatam sampai di doakan oleh Mbah Mad. Dulu itu tidak ada yang namanya Wisuda Al Qur’an jadi betul-betul lillahi ta’ala, orang-orangnya betul abid, betul-betul ahlul qur’an. Fasihnya Mbah Mad itu luas biasa, jadi fashoha nya Mbah Mad itu bisa menjadi contoh fashoha nya orang krapyak. Jadi bacaan Al Quran mau dibaca kemana saja bisa, dibaca dengan cepat bisa, dibaca dengan tahqiq bisa, dibaca dengan tartil pun bisa. Pokonya dengan model apa saja bisa dibawakan oleh Mbah Mad.

Baca : Memberi Isyarat Dengan Gerakan Mata Dalam Shalat

Ketika malam pertama bulan Ramadhan Mbah Mad ngimami shalat tarawih di Pondok Pusat sampai tanggal 27 Ramadhan, diikuti dibelakang melakukan shalat tarawih sendiri yakni para santri tahfidz yang digilir menjadi imam setiap satu salaman bergantian menjadi imamnya. Setiap bulan ramadhan bisa mengkhatamkan satu kali di Pondok Pusat dan satu kali di sini, satu kalinya disini bisa dikatakan 3 hari bisa satu kali khataman karena dalam satu malam bisa sampai 10 juz.

Pernah suatu waktu Mbah Mad ingin para santrinya jam 3 malam supaya bangun jadi 1 jam sebelum subuh semua santri sudah bangun.

“Wes nek arep gawe kopi ora popo” begitu dawuh beliau.

Mbah Mad itu seorang yang zahid “Ora kumantil karo bondo dunyo”, beliau juga seorang sohibul karomah, pernah pada saat itu yang cerita teman saya. Waktu Mbah Mad sedang jamaah ada santri ndalem yang sedang di dapur ngurusi makanan, Mbah Mad duko (marah) sampai ditendang kompornya hingga kebakaran. Waktu itu masih banyak sepeda di depan dan berlalu begitu saja ga ada yang coba memadamkan apinya.

Begitu metode beliau mengajarkan antara Qur’an dengan tahqiq, kami semua para santri memberikan tanda kalau di ayat ini berhentinya disini terus mulainya lagi dari mana terus dikasih tanda lagi. Itu harus orang yang mahir betul karena untuk meng-iadah itu tidak gampang. Itulah cara-cara Mbah Mad mempraktekan mengajarkan cara-cara Qur’an talqin syafa. Dulu setiap jum’at pagi setelah subuh semaan antar para ukhos dibagi menjadi beberapa kelompok, jadi setiap anak itu baca satu lembar sampai shalat duha. Metode yang dipraktekan Mbah Mad itu ketat dalam jamaah shalat, kadangkala sebelum subuh beliau tarkhiman sambil membangunkan anak-anak untuk jamaah. Perpaduan metode antara tahsinul akhlakul karimah dengan menghapalkan Al Qur’an. Dulu itu mengaji 3 kali dalam satu hari yakni setelah shalat subuh kemudian jam 9 pagi sampai jam 11 dan beliau mengawasi dari belakang dari arah dapur melihat kita nderesan. Saya disini kurang lebih ada 2 tahun setengah lamanya.

Baca : Sebagian Tanda Dari Kematian

Krapyak itu terkenal dengan Qur’annya, keberkahan Krapyak itu ya karena Al Quran, dengan Al Qur’an Krapyak menjadi seperti sekarang ini dan Krapyak mempunyai sanad yang ‘Ali sanad bacaan Al Qur’an dari Mbah Munawwir sampai Kanjeng Nabi itu sanadnya mutawattir. Oleh karena itu saya himbau para santri teruslah menghapalkan Al Quran, karena waktu saya dulu menghapalkan Al Qur’an itu tidak tahu mau jadi apa pokoknya saya ngapalin Qur’an saja. Kalau sudah hapal Al Qur’an mau kemana saja gampang, karena Al Qur’an itu merupakan sebongkah emas yang masih bisa untuk jadi kalung, bisa jadi gelang, bisa menjadi apa saja.

Oleh karena itu jangan ragu-ragu untuk menghapalkan Al Qur’an karena Al Qur’an itu kalamullah, orang kalau menghapalkan Al Qur’an Allah itu senang, kalau Allah senang maka Allah mempunyai cara sendiri bagaimana cara menyenangkan hambanya. Mudah-mudahan semuanya bisa terus menghapal Al Qur’an bersama Pak Yai Munawwar. Amin

Perjumpaan dengan Dr. Ahsin Sakho’ Muhammad MA., Al Hafiz ditutup dengan memanjatkan doa yang dipimpin oleh beliau.

Oleh : Tim Redaksi

Sang Murobbi Dipangkuan Ilahi

Krapyak sedang berduka karena salah satu songgone langit Krapyak penjaga Al Qur’an di Nusantara dan pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak telah kembali ke asal memenuhi panggilan Gusti Allah di Surga, KH. Raden Najib Abdul Qodir, Senin 04 Januari 2020 sekitar pukul 16.30 Wib.

Senin sore ketika kami selesai Roan tiba-tiba mendapatkan kabar bahwasanya Mbah Najib sampun kapundut.

“Gek ndang adus kang, ayo nang pusat Mbah Najib sedo”

“Loh sing tenan kang? Ojo guyon!”

“Hooh tenan mosok ngapusi?”

“Ya Allah…”

Seketika badan terasa lemas dan tidak percaya bahwasanya berita barusan benar adanya. Karena bagi kami beliau merupakan salah satu orang tua kami di sini, merasa kehilangan sosok orang tua sekaligus guru bagi kami semua itu terasa sangat menyakitkan. Patah hatinya seorang santri bukan karena diitinggal rabi oleh sang kekasih hati melainkan ditinggal pergi oleh sang Murobbi. Beliau seorang Kyai yang sangat rendah hati, beliau seorang Ulama namun penampilannya seperti orang biasa pada umumnya. Bukan karena kaya materi nama beliau terkenal hinggal pelosok negeri, membuat beliau disegani juga dihormati, melainkan karena sifat rendah hati dan kesederhanaan beliaulah yang mengangkat derajat beliau selama ini.

Dalam sebuah kesempatan beliau pernah berpesan bahwasanya “Ngaji itu sebuah kewajiban paling atas setelah shalat fardhu jangan sampai dikalahkan yang lain, harus sadar kasihan orang tua jangan sampai mengecewakan harapan orang tua sudah dikasih kepercayaan tapi tidak mengaji. Itu namanya durhaka dan dosa besar.”

Waqila Al Maghfurlah Mbah Najib merupakan satu-satunya murid Mbah Arwani yang diperbolehkan untuk mengikuti Musabaqoh karena merupakan cucu dari KH M Munawwir Krapyak, bahkan mendapatkan suatu kehormatan bisa masuk ke dalam Ka’bah karena prestasinya juara internasional pada saat itu.

Mbah Najib bergelar Raden karena ibunda beliau Ny. R. Ayu Mursyidah merupakan keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat istri pertama dari Mbah Munawwir sebagai muasis Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak. Mbah Najib urutan ke-5 dari 8 bersaudara diantaranya sebagai berikut : KH.R. Abdul Qodir mempunyai keturunan dari Nyai. Hj Salimah (Jejeran, Yogyakarta) :

1. Ning Fatimah (wafat)

2. Ning Nurjihan (wafat)

3. Gus Widodo (wafat)

4. Nyai. Hj. Ummi Salamah

5. KH.R Muhammad Najib (wafat)

6. Nyai. Hj. Munawwaroh

7. KH.R Abdul Hamid

8. KH.R Abdul  Hafidz (wafat).

Kelahiran dan kematian datang silih berganti, esok atau lusa atau kapapun saja bisa saja datang begitu saja tanpa aba-aba. Semua akan kembali ke asal disini tidak ada yang abadi semua akan kembali kepada Sang Maha Pencipta alam ini. Suatu saat diantara kita akan pulang sendirian sama saat seperti kita datang pertama kali ke muka bumi.

Jika kita merasa sebagai salah satu santrinya berusahalah meniru akhlaknya senantiasa patuh dengan dawuh-dawuh beliau, semoga kita semua diakui oleh beliau sebagai santrinya. Semoga guru kita semua, orang tua kita semua KH. R Najib Abdul Qodir wafat Husnul khatimah, diterima semua amal ibadahnya dan ditempatkan bersama para kekasih Allah dan pecinta Al Qur’an di surga, Amin.

Oleh : Tim Redaksi

Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #3

Rais ‘Amm, Madzhab Politik & Pemikiran

Tepat pada tanggal 30 Agustus hingga 2 September 1981 dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama yang diselenggarakan oleh organisasi keislaman NU di Kaliurang Yogyakarta, memutuskan beberapa hal penting yang kaitannya dengan pergantian pimpinan tertinggi organisasi (Rais ‘Amm) setelah wafatnya Rais ‘Amm sebelumnya, KH. Bisri Syansuri (Pendiri Pesantren Denanyar). Dalam Munas tersebut menghasilkan beberapa poin, diantaranya memilih KH. Ali Maksum sebagai Rais ‘Amm ke 4 Nahdlatuth Ulama. Pada awalnya Kyai Ali menolak untuk dijadikan Rais ‘Amm, penolakan tersebut bukanlah tanpa alasan, karena menurut beliau Rais ‘Amm merupakan tanggung jawab yang hubungannya dengan umat baik di dunia hingga akhirat. Akan tetapi, karena pertimbangan lain serta adanya sebagian peserta Munas yang menjemput Kyai Ali di Krapyak, maka tanggung jawab tersebut tidak bisa dielakkan lagi meskipun Kyai Ali sendiri harus muwun (jawa: menangis) ketika di baiat di hadapan ribuan peserta Munas.

Dalam kepemimpinan Kyai Ali, NU mengeluarkan beberapa keputusan-keputusan penting dalam sejarah, diantaranya menerima asas Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi dan bernegara. Selain itu, melalui Muktamar NU ke-27 di Situbondo, menetapkan bahwa NU harus kembali ke Khittah 1926, artinya secara resmi NU melepaskan diri dari hal-hal yang kaitan formal dengan segala organisasi politik serta memberi hak kepada warga NU untuk mengartikulasikan aspirasi politiknya melalui partai politik yang diinginkan secara bebas, bermartabat dan bertanggung jawab.

Keterangan Foto (ki-ka): KH. Mahrus Ali (Lirboyo), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Ali Maksum (Krapyak)

Selain berjuang di organisasi para ulama’, Kyai Ali juga sosok yang aktif dalam perhelatan politik dan masuk dalam anggota Partai NU. Berbagai langkah nyata yang dilakukan oleh Kyai Ali diantaranya ialah mendukung Partai NU untuk keluar dari barisan Masyumi, dan berusaha keras untuk mengenalkan NU kepada masyarakat pedesaan khususnya di kalangan muslimin yang masih bersifat tradisionalis dengan cara melakukan ceramah pengajian saat momentum hari besar keagamaan.

Terkait pemikiran Kyai Ali, beliau dikenal sebagai sosok yang moderat. Salah satu ungkapan yang dilontarkan oleh Kyai Ali ialah bahwa pintu ijtihad akan tetap terbuka dan bisa dilakukan oleh siapapun, tentunya dengan koridor atau persyaratan yang telah berlaku. Pernyataan tersebut dianggap berani karena bertentangan dengan arus besar pemikiran ummat saat itu yang sebagian besar masih terbelenggu oleh fanatic madzhab serta taklid buta. Pada dasarnya pernyataan tersebut bukanlah tanpa alasan, hal ini beliau sampaikan di tengah kegelisaan intelektualnya. Dari kegelisaan tersebut Kyai Ali menginginkan bahwa NU dan umat Islam lainnya sudah waktunya melakukan pembaharuan, dan hal tersebut harus dimulai dari para tokohnya yang berkompeten.

Sumber:

1) KH. Ali Maksum Ulama, Pesantren dan NU. Ahmad Athoillah (2019).

2) Jejak Sang Pionir Kamus al-Munawwir: KH. A. warson Munawwir. Khalimatun Nisa, Fahma Amirotulhaq, dkk. (2020)

3) Biografi 5 Rais ‘Amm Nahdlatuth Ulama. Badrun Alaina dan Humaidy Abdussami (1995)

4) Antologi NU Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan (2007)

Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #2

Improvisasi Sistem Madrasah Tremas, Pernikahan & Belajar di Tanah Haram

Oleh karena kecerdasan yang Kyai Ali miliki, dan kepercayaan yang diberikan KH. Dimyathi oleh beliau, bersama Gus Hamid Dimyathi, Kyai Ali melakukan improvisasi besar terhadap sistem pendidikan di pesantren Tremas.  Merubah sistem dari pendidikan klasik ke sistem madrasah modern, selain itu kitab baru seperti Qira’atus Rasyidah yang terdapat gambar-gambar hewan seperti anjing, diikutsertakan sebagai salah satu buku ajar di madrasah, yang sebelumnya belum pernah terpikirkan bahkan tidak diperbolehkan.

Kurang lebih delapan tahun Kyai Ali belajar di pesantren Tremas, tibalah waktunya untuk kembali ke Lasem, membantu dan meneruskan perjuangan pesantren Lasem milik keluarga, yang sebelumnya telah dikembangbesarkan oleh Ayah beliau KH. Maksum.  Adapun madrasah yang beliau rintis beserta sistem pembaharuan yang diterapkan, tapuk kepemimpinannya diserahkan kepada Kyai Hamid Dimyathi sebagai direktur dan Mukti Ali sebagai wakil direktur.

Setelah kepulangan dari Pesantren Tremas dan tiga tahun membantu pesantren ayahnya di Lasem, tepatnya pada tahun 1938, Kyai Ali menikah dengan Nyai Hasyimah putri KH. M. Munawwir asal Yogyakarta. Tidak lama berselang, seorang bernama H. Djunaid asal Kauman Yogyakarta, melalui ayahnya Kyai Maksum, memberi tawaran untuk berangkat ibadah haji secara gratis kepada Kyai Ali. Mendengar hal tersebut, KH. Munawwir sebagai mertuanya berpendapat, sebaiknya tawaran tersebut ditolak atau ditunda pada waktu lain. Namun, bagi ayahnya, tawaran tersebut sebaiknya diterima karena kesempatan langka. Kemudian, setelah melakukan sholat Istikharah, Kyai Ali memutuskan untuk mengambil tawaran tersebut, serta harus rela meninggalkan istri dan pondok Pesantren Lasem yang belum lama beliau kembangkan.

KH Ali Maksum dalam sebuah acara

Kyai Ali berada di Makkah selama dua tahun dan selama itu juga beliau menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali. Selama dua tahun pula Kyai Ali belajar kitab Luma’ karya Syekh Abul Hassan al-Asy’ari (tokoh pendiri madzhab teologi Asy’ariyah) kepada Sayid  Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani. Kyai Ali juga belajar kitab Shahīh al-Bukhōri kepada Syekh Umar Hamdan. Setelah dua tahun menghabiskan waktu untuk melaksanakan ibadah Haji dan memperdalam ilmu, Kyai Ali kembali ke Lasem untuk meneruskan perjuangan mengembangkan pesantren yang dulu sempat ditinggal ke Makkah, bersama Istrinya, Nyai Hasyimah binti KH. Munawwir.

Perpindahan ke Krapyak, Menjadi Dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta & Anggotan Penerjemah Alquran

Setelah wafatnya KH. Munawwir pada tahun 1942 terdapat kekosongan pimpinan di internal Pesantren Krapyak, putra beliau paling tua KH. Abdulloh Affandi masih sangat muda untuk diamanahi sebagai pengganti Ayah beliu, sedang adik KH. Afandi, KH. Abdul Qodir Munawwir pada saat itu masih berusia remaja. Adapun putra putri Kyai Munawwir lainnya saat itu masih berusia anak-anak. Maka, untuk mengatasi kekosongan tersebut diadakanlah rapat keluarga yang memutuskan, pertama kepemimpinan pondok pesantren tetap diamanahkan kepada putra putri dan menantu KH. Munawwir. Kedua, mengirim utusan, yakni KH. Abdurrahman (Adik Kyai Munawwir), ke Lasem guna menghadap ke KH. Maksum dengan maksud memboyong Kyai Ali ke Krapyak untuk membantu keluarga mengelola pondok pesantren peninggalan mertua beliau.

Semenjak saat itu, KH. Abdulloh Afandi Munawwir, KH. Abdul Qodir Munawwir dan KH. Ali Maksum mulai bersama-sama membangun kembali pesantren dengan beberapa pembagian tugas. KH. Abdulloh Afandi sendiri disamping sebagai pimpinan umum, beliau juga menangani hubungan pesantren dengan pihak luar. KH. Abdul Qodir mendapatkan bagian pengajian Tahfidz dan urusan-urusan dalam pesantren. Sedangkan KH. Ali Maksum mendapat bagian penanggung jawab pengajian-pengajian kitab kuning.

Langkah pertama kali yang dilakukan Kyai Ali di Pesantren Krapyak ialah menutup sementara pondok pesantren untuk memfokuskan diri pada kaderisasi. Pada awalnya Kyai Ali hanya mengajar beberapa putra, cucu dan menantu KH. Munawwir serta beberapa warga sekitar. Murid-murid pertama kali Kyai Ali di Krapyak diantaranya ialah KH. Abdul Qodir (putra Kyai Munawwir/Komplek RQ dan MH), KH. Mufid Mas’ud  (menantu/Pndiri Pesantren Pandanaran), KH. Nawawi Abdul Aziz (menantu/Pendiri Pesantren An-Nur Ngrukem), KH. Dalhar Munawwir (putra/Komplek Nurussalam), KH. Zainal Abdidin Munawwir (putra/Komplek AB dan R), KH. Ahmad Munawwir (putra/Komplek L), KH. Ahmad Warson Munawwir (putra/Komplek Q), Wardan Joned, Zuhdi Dahlan dan Abdul Hamid.

Pada periode selanjutnya, yakni setelah wafatnya KH. Abdul Qodir Munawwir pada 2 februari 1961 dan wafatnya KH. Abdulloh Affandi pada 1 Januari 1968, KH. Ali Maksum menjadi pengasuh utama dalam kepengurusan Pesantren Krapyak, pada periode ini juga program pengajian kitab dapat berjalan seimbang dengan pengajian Alqur’an.  Kyai Ali dalam mengembangkan pesantren dibantu oleh beberapa putra maupun menantu yang dulu menjadi murid pertama beliau. Untuk pengajian Alquran putra dibantu oleh KH. Ahmad Munawwir, KH. Nawawi Abdul Aziz, KH. Mufid Mas’ud dan KH. Zaini Munawwir. Sedangkan pengajian Alquran putri dibantu oleh KH. Mufid Mas’ud, KH. Dalhar Munawwir, Nyai Hj. Hasyimah Ali Maksum, Nyai Hj. Jaoharoh Mufid, Nyai Badriyah Munawwir dan Nyai Jumalah Munawwir. Untuk pengajian kitab Kyai Ali dibantu oleh KH. Zainal Abidin Munawwir, KH. Warson Munawwir dan beberapa santri senior. Selain itu, Kyai Ali juga mendirikan beberapa Madrasah sebagai tambahan untuk menampung para santri yang terus bertambah jumlahnya.

Dalam beberapa keterangan juga menyebutkan bahwa KH. Ali Maksum selain sebagai guru pengajar di Pesantren Krapyak, pada sekitaran tahun 1960, beliau juga termasuk dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengampuh mata kuliah qiro’atul kutub pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Aktivitas ilmiah Kyai Ali  lainnya ialah sebagai anggota penerjemah Alquran Departemen Agama Republik Indonesia.

Sumber:

1) KH. Ali Maksum Ulama, Pesantren dan NU. Ahmad Athoillah (2019).

2) Jejak Sang Pionir Kamus al-Munawwir: KH. A. warson Munawwir. Khalimatun Nisa, Fahma Amirotulhaq, dkk. (2020)

3) Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Pengurus Pusat PP. AlMunawwir (2001).