Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #1

Garis Keturunan Dan Orang Tua

Secara genealogis, KH. Ali Maksum mewarisi jalur ulama besar dari pesisir utara pulau jawa, tepatnya di daerah Lasem Jawatengah. Dari pihak ayah, Kyai Ali bin KH. Maksum bersambung dengan Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri): KH. Ali bin Maksum bin Ahmad bin Abdul Karim bin Zaid bin Syaikh Jarum (Ajrumi) bin Sayid Muzaed bin Sunan Senongko bin Sultan Mahmud Minangkabau bin Alif Khalifatullah fil Alam bin Syaikh Abdurrahim Minangkabau bin Syaikh Abdurrahman Minangkabau bin Radeng Ainul Yaqin Sunan Giri.

Tentang KH. Maksum Ahmad (abah KH. Ali Maksum), beliau merupakan salah seorang ulama kaliber di masanya yang turut mendirikan organisasi NU bersama KH. Hasyim Asy’ari dan para ulama lainnya. Kyai Maksum Lahir di desa Soditan Lasem pd sekitaran tahun 1870 M. Dalam sebuah keterangan Kyai Maksum pd waktu kecilnya bernama Muhammadun. Berbeda dengan abah beliau, kyai Ahmad yg masih ada garis keturunan dengan Sunan Giri, informasi tentang ibunda Kyai Maksum yang bernama ibunyai Qasimah tdk banyak diketahui. Ada yg mengatakan bahwa Ibunda Kyai Maksum wafat pada usia muda. Oleh sebab itulah Kyai Maksum ketika balita pernah menuusu  kepada Ibunyai Zainab Zaid Soditan dan jg pernah menyusu kepada Ibundanya KH. Muhammad Shidiq Jember, Ibunyai Aminah.

Diantara guru-guru Kyai Maksum ialah Kyai Nawawi di daerah Melonggo Jepara, Kyai Abdullah Kajen, Kyai Abdussalam Kajen, Kyai Siraj Kajen, Kyai Maksum Damaran Kudus, KH. Kholil Bangkalan dan masih banyak lagi. Setelah menyelesaikan pengembaraan studi agamanya, Kyai Maksum menikah dengan Nyai Muslihatun binti KH. Musthofa, namun sampai istri beliau meninggal dunia belum di karuniai keturunan. Untul kedua kalinya KH. Maksum menikah dg Nyai Nuriyati binti KH. Zainuddin dlm pernikahan ini Kyai Maksum dan ibunyai Nuriyati dikaruniai beberapa putra dan putri: 1) Muhammad Ali (KH. Ali Maksum). 2) Nyai Fatimah. 3) Ahmad Syakir. 10) Nyai Azizah. Jumlah putra putri KH. Maksum ialah 13.

Kelahiran & Perjalanan Intelektual

Nama lengkap KH. Ali Maksum di masa kecilnya ialah Muhammad Ali, sedang nama Maksum pada nama belakang beliau dinisbatkan kepada ayahnya, KH. Maksum Ahmad. Terkait tanggal persis kelahiran KH. Ali Maksum terdapat beberapa perbedaan, diantaranya ada yang menyebutkan bahwa Kyai Ali lahir pada tanggal 2 Maret 1915. Keterangan lain menyebutkan 15 Maret 1915, dan ada juga yang mengatakan bahwa Kyai Ali lahir pada tahun 1916. Adapun lokasi tempat kelahirannya terletak di Dusun Sumurkepel, Desa Sumbergirang, Lasem Jawa Tengah di rumah ibunya, Ibunyai Nuriyati Maksum. Perkembangan kepribadian Kyai Ali tidak lepas dari bagaimana pendidikan agama yang beliau peroleh sejak kecil melalui didikan dan pengaruh keluarganya dalam lingkungan pesantren.

Keterangan Foto: KH Ali Maksum di kediaman

Pendidikan pertama kali yang diperoleh Kyai Ali ialah dari ayahnya sendiri. Meskipun Kyai Maksum sosok kyai yang memiliki banyak santri, tidak lantas meninggalkan kewajibannya sebagai ayah untuk memberikan pelajaran-pelajaran dasar tentang keagamaan kepada Kyai Ali yang saat itu masih berumur 10 tahun. Pelajaran agama seperti mengenalkan huruf-huruf Alquran, pelajaran dasar ilmu fikih, dan ilmu-ilmu lainnya. Pendidikan selanjutnya Kyai Ali masuk pesantren dan belajar agama kepada KH. Amir Idris di Pekalongan yang masih ada ikatan keluarga. Kepada KH. Amir, Kyai Ali mendalami dasar-dasar ilmu balaghah.

Pada tahun 1927 atau bertepatan dengan Kyai Ali yang berusia 12 tahun, sehabis pulang dari Pekalongan, Kyai Ali melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke Pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur. Pesantren Tremas saat itu merupakan salah satu pusat kajian ilmu agama berbasis kitab kuning di tanah Jawa. Pertama kali di pesantren, Kyai Ali menerapkan apa yang menjadi tradisi di pesantren tersebut istilahnya naun, yaitu santri tidak pulang kampung sampai tiga tahun lamanya. Dan banyak yang mempercayai apabila santri yang selama tiga tahun pertama sejak kedatangannya di Tremas tidak pernah pulang kampung, bisa dipastikan yang bersangkutan akan sukses menyerap ilmu dan kelak akan menjadi seorang yang alim. Diantara guru-guru Kyai Ali saat di Tremas yang paling mempengaruhi dan berkesan ialah KH. Dimyathi, KH. Masyhud, dan Sayid Hasan Ba’abud.

Kyai Ali dikenal sebagai santri yang tekun dalam belajar, diantara banyaknya fan ilmu, yang paling diminati beliau adalah ilmu tafsir Alquran dan ilmu bahasa Arab, oleh karena kegemarannya dengan bahasa Arab, kelak mengantarkan beliau sebagai salah satu pakar tafsir dan bahasa Arab terkemuka di Indonesia sehingga banyak yang menjuluki beliau sebagai munjid berjalan. Oleh krena banyaknya bacaan Kyai Ali diberbagai fan ilmu, sehingga ada beberapa kitab yang menurut Kyai Dimyathi dilarang untuk dikonsumsi oleh santri pada umumnya selain Kyai Ali, seperti kitab Al-Manar karya Rasyid Ridha, Tafsir Maraghi, Fatawa Ibnu Taimiyah, dalam hal ini Kyai Ali dianggap sudah paham betul dasar-dasar agama yang luas dibanding santri lainnya. Dari beberapa bacaan karya “kaum pembaharu” tersebutlah yang kelak mempengaruhi cara berfikir Kyai Ali yang maju dan moderat.

Sumber:

1) 99 Kiai Kharismatik Indonesia Riwayat, Perjuangan, Doa dan Hizib: KH. Aziz Masyhuri (2017).

2) KH. Ali Maksum Ulama Pesantren dan NU: Ahmad Athoillah (2019).

Hubungan Silsilah Kempek dan Krapyak: Mengenal Sosok K. Zainuddin (2)

Sebelumnya telah dijelaskan dari pasangan Nyai Mu’minah dan K. Abdullah yang dikaruniai seorang putri yang bernama Nyai Halimah. Barulah disini Nyai Halimah menikah dengan K. Zainuddin (Krapyak, Yogyakarta). Lalu keduanya dikaruniai seorang putra tunggal yaitu K. Hamdan Zainuddin (sekarang beliau tinggal di PP. Kempek, Cirebon). Beliau termasuk putra yang sangat alim dan terkenal tegas dalam mendidik santri-santrinya disaat mengaji Al-Qur’an bersanad Krapyak, bila ada santri yang makhrajnya kurang fashih, kang Hamdan (sapaan akrab beliau) tak segan-segan membentaknya seraya menjelaskan letak kesalahannya, bahkan terkadang beliau memukul santrinya dengan rotan bila dirasa kesalahan bacaannya banyak yang keliru.

Beliau juga paham dalam bidang sejarah, bila beliau menjelaskan sebuah tempat tertentu, beliau akan menjelaskannya secara detail dimana letak posisi tempat tersebut. Salah satu contohnya adalah ketika beliau menjelaskan tempat-tempat peribadahan haji, beliau akan menjelaskan secara detail sehingga para santri yang mendengar seakan-akan tahu persis dimana tempat itu berada.

Selain dalam fan sejarah, kang Hamdan juga mahir dalam ilmu fikih dan linguistik Arab (Sintaksis dan Morfologi). Satu lafal yang beliau jelaskan, tentu akan menghabiskan waktu yang lama agar lafal tersebut terkelupas semua, beliau jelaskan bentuk asal katanya, pentashrifannya, dan faidah yang terkandung dalam lafal tersebut. Ini menjadi bukti kecerdasaan beliau dalam memahami ilmu yang telah dipelajarinya selama 12 tahun di PP. Sarang, Rembang, Jawa Tengah.

Selepas Nyai Halimah firoq dengan K. Zainuddin (ayahanda kang Hamdan). Kemudian selang beberapa waktu, beliau menikah lagi dengan K. Sholeh dan dianugerahi empat keturunan putra-putri yaitu Aminah, Fauzan, Idris, dan Nur Khalis.

Perlu diketahui pula bahwa ketersambungan silsilah keluarga Krapyak dan Kempek bukan hanya terjalin sebab adanya faktor nasab. Melainkan juga sebab sanad keilmuan berupa ikatan antara murid dan guru yang begitu erat. Sebagaimana sosok yang mula-mula membawa bacaan Al-Qur’an bercorak Krapyak menuju Kempek adalah KH. Umar Sholeh (putra KH. Harun dari istri ke-1, Nyai Mutimmah sekaligus ayahanda KH. M. Nawawi Umar, pengasuh PP. Kempek Induk hingga sekarang) yang berguru secara mubasyarah kepada Mbah Munawwir.

Disamping KH. Umar Sholeh menjalin sanad keilmuan dengan Mbah Munawwir, terutama dalam bacaan Al-Qur’an yang sanadnya tersambung sampai Rasulullah. Salah satu putra Mbah Harun dari istri ke-2, Nyai Ummi Laila. Yaitu K. Yusuf Harun menikah dengan Nyai Hindun (putri dari Mbah Munawwir dari istri ke-3, Nyai Salimah Munawwir).

Bilamana KH. Umar Sholeh merupakan sosok dari kalangan laki-laki yang membawa metode Krapyak, maka Nyai Hindun pula merupakan sosok dari kalangan perempuan yang membawakan metode bacaan Al-Qur’an bercorak Krapyak yang diajarkan kepada santri-santri putri di PP. Kempek Cirebon. Setelah sepeninggal Nyai Hindun, perjuangan beliau dilanjutkan oleh putri tunggalnya yaitu Nyai Jazilah Yusuf (biasa akrab dipanggil Bude/Mi Jazil, pengasuh PP. Munawwiroh Putri hingga sekarang).

Oleh : Irfan Fauzi

Photo by kempek-online.com

Sumber :

Pengajian Khusus Ramadhan yang disampaikan oleh KH. M. Munawwar Ahmad, pada tanggal 19 April 2020.

Sebagian sumber diambil dari wawancara dengan dzuriyyah Kempek, K. Akhfasy Alfaizy Harun, pada tanggal 26 April 2020.

Tulisan ini telah diperiksa dan ditashih oleh keluarga Nyai Hj. Daimah.

Hubungan Silsilah Kempek dan Krapyak: Mengenal Sosok K. Zainuddin (1)

Dikala pengajian kitab Washiyatul Musthafa berlangsung (19/4) yang diampu oleh KH. M. Munawwar Ahmad yang merupakan cucu dari istri ke-5 KH. M. Munawwir—selanjutnya Mbah Munawwir— yaitu Nyai Khadijah (Yogyakarta), menjelaskan silsilah Mbah Munawwir dari istri ke-4, Nyai Rumiyah (Jombang, Jawa Timur). Dari pasangan ini, Mbah Munawwir dikaruniai dua anak: 1. K. Zainuddin Munawwir dan 2. Nyai Badriyah Munawwir.

K. Zainuddin adalah salah satu putra Mbah Munawwir yang dianugerahi kealiman dalam Al-Qur’an. Beliau termasuk salah satu ahlen (keluarga pondok) min ahlil qur’an (orang-orang yang ahli dalam Al-Qur’an).

Konon, dalam suatu rapat ahlen K. Zainuddin sempat terpilih sebagai penerus tongkat kepemimpinan PP. Krapyak Al-Munawwir setelah sepeninggalnya  KH. R. Abdul Qodir Munawwir (putra Mbah Munawwir dari istri ke-1, Nyai Mursidah dari keluarga Kraton Yogyakarta), dengan pertimbangan rapat tersebut, semua ahlen sepakat bahwa beliau lah yang terpilih sebagai penerus kepemimpinan pondok ini karena beliau salah satu putra Mbah Munawwir yang lebih alim dalan Al-Quran dibandingkan lainnya.

Namun, hal yang tak terduga terjadi tatkala beliau ditunjuk sebagai pemangku pondok ini. Beliau enggan menerima keputusan tersebut, dan berkata dengan bahasa majaz “Moh, Krapyak wes rusak” (Tidak mau, Krapyak sekarang sudah rusak).

Begitulah beliau lontarkan kalimat itu atas penolakan keputusan tersebut. Setelah kejadian itu, lambat laun beliau menunjukan haliyah khawariqul adat (hal-hal yang diluar kebiasaan manusia). Banyak kejadian-kejadian aneh yang menimpa beliau, konon katanya beliau sedang mengalami jadzab atau Majdzub. Jadzab sendiri dalam kosakata Arab diartikan menarik, sementara Majdzub berarti orang yang ditarik akalnya ke hadirat Allah swt. Biasanya dalam istilah dunia sufi, ada term “wali majdzub/jadzab”, itu berarti wali yang ditarik akalnya (perasaan insaniyahnya) untuk melebur dengan sifatullah.

Sebelum kejadian demikian, K. Zainuddin telah memiliki seorang istri dari keluarga pondok Cirebon, yaitu Nyai Halimah. Nyai Halimah adalah cucu KH. Harun—selanjutnya Mbah Harun—(Muassis PP. Kempek, Cirebon) dari istri ke-2, Nyai Ummi Laila. Ibunya adalah Nyai Mu’minah yang merupakan putri ke-5 Mbah Harun. Dimana Nyai Mu’minah menikah dengan K. Abdullah, lalu menurunkan putri tunggal yakni Nyai Halimah sendiri.

Setelah Nyai Mu’minah ditinggal wafat oleh suaminya, kemudian ia menikah lagi dengan KH. Nashir Abu Bakar (Tegal, Jawa Tengah) dan dianugerahi putri tunggal yaitu Nyai Hj. Daimah (beliau adalah istri dari alm. KH. Ja’far Shodiq Aqiel, pengasuh PP. KHAS Kempek, Cirebon, yang sekarang dilanjutkan oleh adik keduanya yaitu KH. Muhammad Musthafa Aqiel hingga sekarang).

Sementara itu, sebelum KH. Nashir Abu Bakar menikah dengan Nyai Mu’minah, beliau sempat menikah dengan Nyai Zubaedah (putri ke-6 mbah Harun atau adiknya Nyai Mu’minah). Kemudian dari pasangan ini, melahirkan putri tunggal, yakni Nyai Aisyah.

Oleh : Irfan Fauzi

Photo by kempek-online.com

Sumber :

Pengajian Khusus Ramadhan yang disampaikan oleh KH. M. Munawwar Ahmad, pada tanggal 19 April 2020.

Sebagian sumber diambil dari wawancara dengan dzuriyyah Kempek, K. Akhfasy Alfaizy Harun, pada tanggal 26 April 2020.

Tulisan ini telah diperiksa dan ditashih oleh keluarga Nyai Hj. Daimah.