Soal Toa Masjid Yang Harusnya Tak Perlu Disoal

Kemajuan teknologi zaman membawa manusia kepada keadaan yang serba praktis. Banyak kebutuhan-kebutuhan manusia yang dimudahkan oleh teknologi. Jika dulu orang-orang bepergian ke sebuah menaiki kuda dengan waktu yang cukup lama. Kini mereka sudah bisa menempuh perjalanan yang tidak makan banyak waktu dengan motor atau mobil. Kalau dulu para petani di desa membajak sawahnya dengan sapi sekarang mereka bisa mengenakan traktor.

Tak hanya dalam sektor itu saja, teknologi juga membantu manusia dalam beribadah kepada Tuhan. Satu contohnya toa, yang akan kita bahas pada tulisan kali ini. Teknologi satu ini sangat membantu umat Islam dalam menegakkan syiar Islam. Dahulu sahabat Bilal harus naik ke loteng untuk mengumandangkan azan agar umat muslim dapat mendengarnya dan memenuhi panggilan Allah tersebut.

Baca: Lebih Utama Mana Membaca Al-Qur’an Sambil Melihat Mushaf atau Sambil Dihafal?

Pada zaman itu lantunan azan Bilal bisa sampai ke telinga para penduduk. Sebabnya perumahan penduduk masih sangat sedikit, sehingga suara yang dilantunkan pun bisa lepas. Tetapi seiring berjalannya waktu keadaan berubah. Rumah penduduk sudah semakin banyak. Walhasil sekeras apapun kita berteriak tidak akan bisa didengar oleh semua orang. Sebab suara yang dikeluarkan terhalangi oleh rumah-rumah dan pohon.

Namun semua masalah itu sudah bisa diatasi berkat toa. Teknologi kecil itu bisa menyalurkan suara pewarta salat hingga ke ujung kampung. Dan akhirnya umat muslim bisa dengan mudah mengetahui masuknya waktu salat dan melaksanakannya berjamaah bagi mereka yang punya waktu longgar. Tentu itu hal yang sangat baik.

Zaman terus berputar dan populasi penduduk semakin padat. Umat muslim pun dengan spiritualitasnya yang tinggi berlomba-lomba membangun masjid atau mushala, karena satu masjid saja tak cukup untuk menampung banyaknya jamaah. Hingga sekarang bisa kita saksikan hampir di setiap jarak seratus meter di perkampungan mesti terdapat tempat salat. Apa semua ada jamaahnya? Tidak perlu kita bahas.

Yang perlu kita persoalkan, apakah semua masjid itu menggunakan perangkat speaker dan toa dalam mensyiarkan agama? Tentu iya. Apa tujuannya? Sudah pasti biar umat muslim dapat mengingat waktu salat dan mendengarkan irama-irama islami lainnya. Tentu itu hal bagus, bukan? Karena ada toa umat muslim bisa salat tepat waktu.

Namun syiar juga harus mempedulikan situasi dan kondisi lingkungan sekitar. Apakah semua masyarakat sekitar adalah objek dari syiar tersebut. Terkadang ada hal yang terkadang kelihatan sebagai syiar agama, karena mengandung unsur-unsur Qur’ani, namun karena membawa sebuah mafsadah maka tidak bisa lagi disebut syiar. Contohnya tahrim, sebuah salawat yang dilantunkan sebelum subuh.

Dalam satu tulisannya di Tempo yang berjudul “Islam Kaset dan Kebisingannya” sosok Gus Dur mencoba untuk menyoal soal tahrim yang dilantunkan dengan volume keras. Entah perangkatnya apa tidak disebutkan oleh beliau. Menurutnya tahrim yang dikumandangkan sebelum subuh itu kurang sesuai dengan makna syiar itu sendiri (ini tafsir saya). Karena objeknya tidak menyeluruh. Ada sebagian orang yang tidak terkena kewajiban salat subuh harus terganggu dari tidur lelapnya. Dalam bahasa Gus Dur Illat/alasan yang mendasari tahrim sebagai syiar tidak menyeluruh.

Sudah. Lupakan soal Gus Dur. Ada hal yang lebih relevan untuk kita bahas. Beberapa minggu lalu gus Yaqut Cholil Qoumas dengan tiba-tiba ingin mengatur soal toa masjid yang seharusnya bisa membantu syiar Islam.

Baca: Sekilas Tentang Asal Usul Huruf Arab

Bagaimana reaksi netizen? Tentu variatif. Sebagian ada yang mendukung. Dan tidak sedikit pula yang menentangnya. Bahkan dari sebagian yang menentang ada yang sampai mereaksinya dengan sebuah konten. Misal, sebuah video (nama youtubernya gak bisa saya sebut) yang berisikan seorang santri yang memanggil temannya dengan nada lirih. Saat ditanya mengapa harus bersuara pelan ia menjawab “jika suara Tuhan saja harus dikecilkan, apalagi suara kita”. Bahkan ada juga yang sampai memelintir ungkapan Menag Yaqut, yang kata dia menteri agama telah berani menyamakan azan dengan suara gonggongan anjing.

Salahkah mereka yang mengkritik gus Yaqut dengan konten? Menurut saya tidak. Bahkan itu sangat baik untuk kemaslahatan umat muslim. Pasalnya sebuah peraturan harus kita koreksi bersama terlebih dahulu agar penerapannya jauh lebih efektif.

Namun ada yang perlu dikoreksi lebih dalam lagi bagi mereka yang mau memberikan kritik. Yakni, baca dulu aturan-aturan yang akan ditetapkan. Dan dengarkan dengan seksama pernyataan pak Menteri, adakah beliau benar-benar ingin menghina azan dengan menyamakannya seperti gonggongan anjing.

Gus Yaqut tentu tidak bodoh soal syariah. Jika dicermati lagi pengaturan volume suara toa masjid justru demi sebuah kemaslahatan. Pasalnya menurut beliau, jika volume toa masjid tidak diatur maka yang terjadi malah saling sengkarut antar satu suara azan dengan azan yang lain. Sebab bangunan mushala atau masjid yang ada di Indonesia sangat banyak, hampir setiap seratus meter ada. Sehingga bukannya malah memunculkan syiar Islam yang indah dan enak didengar malah justru menjadi bising.

Dalam peraturan toa tersebut beliau juga menuliskan, bahwa sura yang dipancarkan melalui pengeras suara perlu diperhatikan kualitas dan kelayakannya. Bukankah ini salah satu anjuran dalam Islam. salahkah beliau?

Dan terakhir soal azan yang disamakan dengan gonggongan anjing. Adakah benar demikian maksud gus Yaqut? Coba anda googling lagi soal itu dan dengarkan dengan seksama. Yang anda temukan mesti berbeda. Dari sini sudah jelas bahwa peraturan soal toa harusnya tak perlu dipersoal lagi.

Yang perlu kita ketahui lagi, peraturan dibuat untuk menciptakan sebuah kemaslahatan, tidak lain dan tidak bukan. Tabik.

Oleh: Ahmad Miftahul Janah

Picture by tawazun.id

Batasan-Batasan Penghalang Ketika Shalat Berjamaah Di Masjid Dan Di Luar Masjid

Pembahasan penghalang (حائل) dalam aturan salat berjama’ah tidak terlepas dari salah satu syarat sah salat jama’ah, yaitu berkumpulnya antara makmum dan imam dalam satu tempat. Secara umum antara imam dan makmum dikatakan berada dalam satu tempat apabila antara keduanya tidak ada penghalang (حائل). Namun ada perbedaan batasan-batasan penghalang (حائل) yang berhubungan dengan tempat berja’maah antara di masjid dan di luar masjid. Berikut ini penjabarannya:

  1. Imam dan makmum di dalam masjid

Apabila imam dan makmum keduanya berjama’ah di dalam masjid, maka untuk dapat berjama’ah dengan imam disyaratkan bagi makmum adanya jalan tembus (manfadz) di dalam masjid yang memungkinkan bagi si makmum untuk berjalan menuju posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah (bukan loncat), walaupun dilakukan dengan cara berbalik badan dan berjalan mundur (ولو بازورار و انعطاف). Oleh sebab itu, apabila antara imam dan makmum yang berjama’ah dalam satu masjid, tetapi terdapat penghalang (حائل) yang dapat mencegah sampainya makmum berjalan ke posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah, walaupun penghalang tersebut tidak menghalangi si makmum untuk bisa melihat imam atau melihat makmum lain, maka dalam kondisi demikian salat jama’ahnya tidak sah.

Termasuk dalam kategori penghalang, dalam hal ini adalah kaca dan jendela. Oleh sebab itu, apabila imam dan makmum keduanya berada di dalam masjid, akan tetapi posisi makmum berada di suatu ruangan tertutup rapat oleh kaca, sedangkan imam berada di luar ruangan tersebut, maka tidak diperbolehkan bagi makmum berjama’ah di dalam ruangan tersebut dengan imam yang berada di luar ruangan, walaupun makmum bisa melihat imam dari dalam ruangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi penghalang (حائل) yang dapat menghalangi antara imam dan makmum ketika keduanya berjama’ah di dalam masjid adalah penghalang yang dapat mencegah sampainya makmum berjalan ke posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah, bukan penghalang yang mencegah si makmum untuk melihat si imam atau makmum lain yang melihat imam.

            Sebaliknya, apabila keduanya di dalam masjid dan makmum terhalang dari melihat imam, tetapi dia tidak terhalang untuk berjalan menuju posisi imam, maka salatnya jama’ahnya tetap sah. Sebab ketika imam dan makmum di dalam masjid, melihat imam bukan termasuk syarat dari salat berjama’ah. Adapun mengenai syarat ” makmum harus mengetahui gerakan imam” tidak harus dilakukan dengan cara melihat secara langsung, tetapi bisa dengan cara mendengar suara imam, atau muballigh jama’ah.[1]

  • Imam atau makmum di luar masjid

Apabila salah satu antara imam dan makmum berada di luar masjid atau keduanya berada di luar masjid, maka disyaratakan “tidak adanya penghalang (حائل) antara keduanya” sebagaimana keterangan dalam redaksi maqro’ di atas (وإن صلى الإمام في المسجد  إلخ). Adapun definisi penghalang (حائل) dalam redaksi di atas dikatagorikan menjadi dua, yaitu:

Katagori pertama        : Penghalang yang dapat mencegah makmum untuk berjalan menuju posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah tanpa berbalik badan (izwirar) atau berjalan mundur (in’ithaf). Yang termasuk dalam katagori ini adalah jendela dan kaca.

Katagori kedua           : Penghalang yang dapat mencegah makmum untuk melihat imam atau makmum lain yang melihat imam.

Oleh sebab itu, apabila salah satu dari imam atau makmum berada di tempat selain masjid, atau keduanya berada di tempat selain masjid, untuk memenuhi syarat “tidak adanya penghalang (حائل)”, maka disyaratkan harus ada jalan menerus (manfadz) menuju posisi imam yang memungkinkan bagi makmum untuk berjalan lurus tanpa berbalik badan atau tanpa berjalan mundur  (بدون ازورار و انعطاف ) dengan cara berjalan yang lumrah (misalnya, bukan loncat) dan disyaratkan juga harus bisa melihat imam atau makmum lain yang melihat imam.

Catatan : Dalam kondisi berjama’ah di luar masjid, misalnya antara makmum A dan imam terdapat jalan menerus yang memungkinkan bagi makmum A untuk menuju ke posisi imam (berjalan lurus tanpa berbalik badan atau tanpa berjalan mundur untuk menuju posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah), tetapi makmum tidak bisa melihat imam atau makmum yang melihat imam, maka agar jama’ah makmum A bisa sah disyaratkan adanya makmum penghubung (الواقف/ الرابط) yang sekiranya si makmum pengubung tersebut bisa melihat imam atau makmum lain yang melihat imam dan juga terlihat oleh makmum A.[2]

Referensi :

[نووي الجاوي، نهاية الزين، ص ١٢٢]

(فَإِن كَانَا بِمَسْجِد) فالمدار على الْعلم بالانتقالات بطرِيق من الطّرق الْمُتَقَدّمَة وَحِينَئِذٍ (صَحَّ الِاقْتِدَاء) وَإِن بَعدت الْمسَافَة بَينهمَا وزادت على ثَلَاثمِائَة ذِرَاع وَلَا بُد من إِمْكَان الْوُصُول إِلَى الإِمَام وَلَو بازورار وانعطاف نعم لَا يضر الْبَاب المغلق وَلَا الْمَرْدُود من غير إغلاق بِالْأولَى وَالْبَاب المسمر يضر فِي الِابْتِدَاء دون الدَّوَام وَمثله مَا لَو كَانَ بسطح أَو دكة لَا مرقى لَهَا فَيضر ابْتِدَاء لَا دواما لِأَنَّهُ يغْتَفر فِي الدَّوَام مَا لَا يغْتَفر فِي الِابْتِدَاء فَلَو حَال بَينهمَا جِدَار لَا بَاب فِيهِ أَو شباك ضرّ لعدم إِمْكَان الْوُصُول وَلَو كَانَ أَحدهمَا بعلو كسطح الْمَسْجِد أَو منارته وَالْآخر بسفل كسردابه أَو بِئْر فِيهِ لَا يضر وَلَو حَال بَينهمَا نهر أَو طَرِيق قديم بِأَن سبقا وجود الْمَسْجِد بل أَو قارناه كَانَ كَمَا لَو كَانَ أَحدهمَا فِي مَسْجِد وَالْآخر فِي غَيره وَسَيَأْتِي حكمه بِخِلَاف مَا لَو كَانَ النَّهر طارئا بعد المسجدية فَلَا عِبْرَة بِهِ والمساجد المتلاصقة الَّتِي تفتح أَبْوَاب بَعْضهَا إِلَى بعض كمسجد وَاحِد

[الشربيني، محمد و الباجوري، الأقناع وبأسفله تقريرالأوحاد – ١/ص ١٥٧]

(قوله ولا حائل) المراد به ما يمنع مرورا وإن لم يمنع الرؤية كالشباك أو ما يمنع الرؤية وإن لم يمنع المرور كالباب المردود بخلاف الحائل الذي يشترط نفيه في المسجد فالمراد به ما يمنع الوصول إلى الإمام وإن لم يمنع الرؤية فيضر الشباك فإن لم يمنع الوصول لم يضر وإن منع الرؤية كالباب المردود أو المغلق ولذلك قال فيما تقدم سواء أغلقت أبوابها أم لا ولا يضر إلا التسمير في الابتداء أما في الدوام فلا يضر خلافا لما في الحاشية ومثل ذلك زوال سلم الدكة وأما غلق الباب في غير المسجد فيضر مطلقا وأما رده فيضر في الابتداء دون الأثناء فيكون قول الشارح نعم لو كان الباب مفتوحا وقت الإحرام فانغلق لم يضر ضعيفا على هذا ولذلك قال بعضهم المراد بالغلق الرد

[الكاف، التقريرات السديدة في المسائل المفيد = دار العلوم الإسلامية، 20٠/١]

وإذا كانا في المسجد فيزاد شرط وهو :

– أن لا يكون هناك حائل يمنع وصول المأموم إلى الإمام، أي: أن يمكن للمأموم الوصول إلى الإمام ولو بازورار و انعطاف، بأن يولي ظهره اللقبلة أثناءالمعتاد، فلا يضر ذلك . مروره بالمشي

وإذا كانا خارج المسجد، أو أحدهما بالمسجد والآخر خارج المسجد ،

فيزاد ثلاثه شروط :

الأول: أن لا يكون هناك حائل يمنع الرؤية ، أي : أن يرى المأموم الإمام أو يرى مأموما آخر يرى الإمام .

الثاني : أن يمكن الوصول للإمام بدون ازورار و انعطاف، فلو كان هناك حائل يمنع الوصول مطلقا، أو يمكن الوصول ولك  بازورار و انعطاف، فلا تصح الجماعة .

الثالث : أن لا يزيد ما بينهما على ثلاث مئة ذراع .

– وإذا كانا داخل المسجد: فلا تضر الزيادة على ٣٠٠ ذراع (مئة وخمسين مترا) تقريبا .

– وإذا كانا خارج المسجد: فتضر الزيادة على ۳۰۰ ذراع

 -وإذا كان أحدهما داخل المسجد والآخر خارجه، فتضر أيضا الزيادة على ۳۰۰ ذراع، وتحسب المسافه هنا من آخر المسجد، لا من آخر صف في المسجد

و مسائل من شروط الجماعة :

ا- الباب المغلق في المسجد لا يضر، وأما المستمر فیضر

۲ – إذا كان بينهما حائل يمنع المرور – کزجاج في المسجد فیضر وإن علم المأموم انتقالات إمامه .

٣- لا تشترط الرؤية داخل المسجد .

٤ – لا يضر تخلل الشارع بين الإمام والمأموم، وكذلك النهر الكبير ، ولا البحر بين سفينتين .

ه- وإذا كان المأموم في العلو والإمام في الأسفل أو العكس اشترطت الشروط الماضية لصحة الجماعة على المعتمد، وفي قول : يشترط محاذاة أحدهما للآخر بحيث إذا مشى الأسفل إلى جهة الأعلى مع فرض اعتدال قامته لأصاب برأسه قدمي الأعلى، هذا في غير المسجد، وأما في المسجد فلا يشترط ذلك على القولين

[البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين- ٢ /ص٣٢-٣٣]

(وقوله: اجتماعهما) حاصل الكلام على ما يتعلق بهذا الشرط، أن لاجتماعهما أربع حالات.

الحالة الأولى: أن يجتمعا في مسجد.

الحالة الثانية: أن يجتمعا في غيره، وهذه تحتها أربع صور، وذلك لأنهما إما أن يجتمعا في فضاء، أو في بناء، أو يكون الإمام في بناء والمأموم في فضاء، أو بالعكس.

الحالة الثالثة: أن يكون الإمام في المسجد، والمأموم خارجه.

الحالة الرابعة: بعكس هذه.

ففي الأولى يصح الاقتداء مطلقا وإن بعدت المسافة بينهما، وحالت أبنية واختلفت، كأن كان الإمام في سطح أو بئر، والمأموم في غير ذلك. لكن يشترط فيها أن تكون نافذة إلى المسجد نفوذا لا يمنع الاستطراق عادة، كأن كان في البئر مرقى يتوصل به إلى الإمام من غير مشقة. ولا يشترط هنا عدم الازورار والانعطاف، ولا يكفي الاستطراق من فرجة في أعلى البناء، لأن المدار على الاستطراق العادي. ولا يضر غلق أبوابها، ولو ضاع مفتاح الغلق، بخلاف التسمير، فيضر. وعلم أنه يضر الشباك الكائن في جدار المسجد، فلا تصح الصلاة من خلفه، لأنه يمنع الاستطراق عادة. وخالف الأسنوي فقال: لا يضر، لأن جدار المسجد منه. وهو ضعيف، لكن محل الضرر في الشباك، إذا لم يكن الجدار الذي هو فيه متصلا بباب المسجد، ويمكن الوصول منه إلى الإمام من غير ازورار وانعطاف. فإن كان كذلك فلا يضر. وقال ح ل: متى كان متصلا بما ذكر لا يضر، سواء وجد ازورار وانعطاف أو لا.

وفي الصورة الأولى من الحالة الثانية يشترط لصحة القدوة قرب المسافة بأن لا يزيد ما بينهما على ثلاثمائة ذراع.

وفي الصور الثلاث منها يشترط – زيادة على ذلك – عدم حائل يمنع مرورا أو رؤية أو وقوف واحد حذاء منفذ في الحائل إن وجد. ويشترط – في الواقف – أن يرى الإمام أو بعض من يقتدي به. وحكم هذا الوقف حكم الإمام بالنسبة لمن خلفه، فلا يحرمون قبله، ولا يسلمون قبله. وعند م ر: يشترط أن يكون ممن يصح الاقتداء به، فإن حال ما يمنع ذلك أو لم يقف واحد حذاء منفذ فيه بطلت القدوة.

وفي الحالة الثالثة والرابعة يشترط فيهما أيضا ما ذكر، من قرب المسافة، وعدم الحائل، أو وقوف واحد حذاء المنفذ.


[1] Penjelasan ini dapat dilihat dalam kitab Al-Iqna’ Fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’. Kutipan tentang definisi hail dalam masjid adalah sebagai berikut:

(قوله ولا حائل) المراد به ما يمنع مرورا وإن لم يمنع الرؤية كالشباك أو ما يمنع الرؤية وإن لم يمنع المرور كالباب المردود بخلاف الحائل الذي يشترط نفيه في المسجد فالمراد به ما يمنع الوصول إلى الإمام وإن لم يمنع الرؤية.

Untuk lebih jelasnya, silakan lihat referensi yang dicantumkan di akhir pembahasan ini.

[2] Penjelasan tentang syarat megetahui gerakan shalat imam ini sebagaimana tertera dalam redaksi kitab Fathul Qarib sebagai berikut:

(عالم بصلاته) أي الإمام بمشاهدة المأموم له أو بمشاهدته بعض صف (أجزأه) أي كفاه ذلك في صحة الاقتداء به

Photo by bp.blogspot.com