Mbah Munawwir Sekatenan

Kata Sekaten sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, “Syahadatain” yang memiliki makna persaksian (syahadat). Bagi masyarakat Muslim, syahadat dianggap penting sebab merupakan proses pengakuan terhadap keesaan Tuhan dan risalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian, kata itu mengalami perluasan makna dengan “Suhatain” yang bermakna menghentikan atau menghindari dua perkara, perbuatan buruk dan menyeleweng. Makna ini kemudian berkembang lagi menjadi “Sakhatain” yang bermakna menghilangkan makna dua watak, hewan dan setan. Selain itu, ada juga “Sakhotain” yang berarti menanamkan dua perkara, yaitu memelihara budi suci dan budi luhur. Setelah itu ada juga kata “Sekati” yang bermakna orang hidup harus bisa menimbang yang baik dan buruk. Dan yang terakhir “Sekat”, adalah pembatas, untuk tidak berbuat jahat dan mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan. Akhirnya, makna Sekaten tak hanya sebatas hiburan dan prosesi upacara semata, melainkan mengandung makna kehidupan seperti penjelasan di atas yang harus bisa diterapkan oleh setiap insan individu.


Awal mula dan maksud perayaan Sekaten dapat ditarik sejak mulainya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, yaitu zaman Kesultanan Demak Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa saat itu menyukai gamelan, pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad di halaman Masjid Agung Demak dimainkanlah gamelan, sehingga warga masyarakat berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan gamelan dan sekaligus khutbah-khutbah mengenai keislaman. Tradisi arak-arakan semacam sekaten telah dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak, sebagai pelanjut dari “wahyu” kerajaan, mencoba meneruskan tradisi tersebut atas saran dari Wali Songo.

Di Sekaten Keraton Yogyakarta, Mbah Munawwir seringkali secara eksklusif diundang oleh Sultan HB IX untuk mengikuti peringatan Maulid Nabi saw. Karena beliau punya hubungan genealogis dengan Keraton yang sangat kental. Dimulai sejak era Kakek beliau, KH. Hasan Bashari yang menjadi Ajudan Raja Jawa di Perang Jawa yakni Pangeran Diponegoro, sampai pada Mbah Munawwir meminang Nyai R. A. Mursyidah, istri pertama beliau dari Kraton Yogyakarta. Karena kedetakan tersebut, dalam beberapa kesempatan Mbah Munawwir tatkala mendapat undangan dari Keraton seringkali ditawari untuk dijemput Pasukan Kavaleri dari Keraton. Namun, beliau dengan baik-baik tidak segera menerima tawaran tersebut.

Kersane ingsun kale santri-santri mawon, sareng-sareng mlampah ndugi Krapyak, kebetulan santri-santri saya juga pengen saya ajak”, beliau dawuh demikian dengan niat tidak menolak tawaran tersebut.

Mbah Munawwir memang sering mengajak santri-santrinya ketika ada undangan di Keraton, dan undangan yang lainnya. Santri yang diajak pun tidaklah sama antara undangan satu dengan yang lain. Dalam urusan ini beliau bisa dibilang menggilir para santrinya. Tidak jarang pula, banyak para santri yang mengharapkan ajakan beliau.

Hingga pada suatu ketika, sebelum berangkat, para santri yang masuk dalam daftar ajakan Mbah Munawwir, kumpul di depan Ndalem beliau.

“Loh, njenengan toh Gus”

“Loh kok njenengan kang?”

“Loh awakmu toh Dul”

”Loh Cak, samean  toh, bukane wingi samean meh nyilih duek nang aku yo?”

Mereka para santri yang diajak ke Keraton untuk mengikuti Barjanjen, saling bertanya satu sama lain. 

“Loh Gus, punten, tasek dereng saget nyauri utang kulo”

“Gapopo Cak, santai ae, penting do iso mangan”

“Bukane njenengan wingi bade nyambut duek teng kulo nggeh Gus?”

“Iyo kang, tapi gak sido wes”

“Ngge ngapunten nggeh Gus, kulo nggeh dereng kiriman”

Entah itu kebetulan atau bagaimana, mayoritas santri yang diajak Mbah Munawwir adalah mereka yang terlilit hutang atau bahkan tidak memiliki uang sama sekali dan mereka menyadari hal itu.

Mungkin Simbah mengetahui keresahan kita, kang, Cak, Dul”.

Nggeh Gus”.

Setoran gak nambah-nambah, deresan yo keteteran. Sehingga beliau mendistribusikan kesejahteraan kepada kita, beliau mempraktekkan kaidah kadal faqru an yakuna kufron”.

“Hehehe”. Semua tertawa mendengar hal itu.

Pun mikir aneh-aneh Gus. Penting Syukur sik, pun dijak Mbah Yai”.

Tak berselang lama, Mbah Munawwir keluar dari rumahnya. Para santri yang berdialog tadi, terperangah melihat ketampanan Mbah Munawwir yang memakai pakaian dinas Keraton berupa model Jas Laken dengan kerah model berdiri serta dengan rangkapan sutera lengkap dengan ornamen kancing bersepuh emas tentu dengan memakai blankon. Sehingga nampak lebih gagah, elegan dan terhormat. Menghoramati Nabi dan Raja.

Ayo Le, berangkat”. Lamunan mereka hilang dengan suara ajakan Mbah Munawwir.  

Lahumul Fatihah untuk KH. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad

Oleh: Taufik Ilham

Sumber: almunawwir.com, id.wikipedia.org, regional.kompas.com

Picture by blog.titipku.com

Wejangan Simbah KH. Muhammad Munawwir

1. Simbah KH. Muhammad Munawwir berkata : Rajinlah membaca Surat Yasin 41X jikalau engkau bermaksud akan sesuatu, bacalah Surat Yasin.

2. Simbah KH. Muhammad Munawwir berkata : Kalau ada orang sakit, maka bacakanlah Surat Al-Fatihah 41X. Setiap sampai pada lafadz وَلاَالضَّالِّينَ  tiupkanlah kepada orang itu, mulai dari pucuk kepala sampai telapak kakinya. Kalau untuk menghadapi orang lalim, setiap sampai pada اِيّاَكَ نَسْتَعِيْنُ berdo’alah di dalam hati apa yang kamu inginkan, sehubungan dengan kelaliman orang itu.

3. Simbah KH. M. Munawwir berkata : Seyogyanya kamu menghadiahkan berkah Al-Fatihah kepada segenap muslimin yang masih hidup, lebih-lebih di waktu tertimpa mara bahaya atau berperangai buruk, barangkali dapat menjadi obatnya. Seperti guru saya KH. Kholil Bangkalan pernah berkata : Jika kamu menghadiahkan Al-Fatihah jangan hanya kepada muslimin yang sudah meninggal saja, tetapi juga yang masih hidup. Syukurlah jika kepadaku pula. Sebab Rasulullah bersabda :

عُدَّ نَفْسَكَ مِنْ اَهْلِ الْقُبُوْرِ  “Anggaplah dirimu termasuk ahli kubur”

Oleh : Tim Redaksi

Sumber : Al-Munawwiriyyah

Picture by ayomondok.net