Romo Yai Najib Menata Sandal Santri

Bercerita tentang akhlak dan haliyah beliau pasti tidak akan habisnya. Semua yang pernah ndherekne, mengaji bahkan sekadar melihat beliau saja akan memiliki kesan bahwa beliau merupakan ahlul Qur’an yang sebenar–benarnya ahlul Qur’an. Bukan hanya karena beliau seorang hamilul Qur’an yang hafal diluar kepala, lebih dari itu, bahwa nilai-nilai yang termuat dalam Al Qur’an semua tercermin atas pribadi beliau.

Diantara akhlak dan pribadi beliau yang masyhur ialah ketawadhuan dan syafaqah (welas asih dan perhatian) beliau kepada semua orang, terkhusus kepada para santri.

Jenengmu sopo kang?

Asli pundi kang?

Mbiyen mondok neng ndi?

Itulah pertanyaan yang sering dilontarkan Romo Yai kepada para santri ketika sowan kepada beliau. Bahkan suatu saat ketika saya sowan dengan beberapa santri, saya menyaksikan dan mendengarkan sendiri bahwa ada salah satu santri yang sampai ditanya perihal keluarga dan kondisinya, siapa nama ayahnya, berapa jumlah saudaranya, dll . Bahkan lebih detail lagi, Romo Yai sering menanyakan daerah-daerah sekitar rumah para santri.

Baca: Lima Hal Yang Akan Dihadapi Di Akhirat

Perihal ketawadhuan beliau, pernah suatu ketika beberapa santri menunggu beliau mandap (turun) dari masjid dengan maksud ingin sowan izin pulang. Termasuk saya sendiri; ketika beliau sudah sampai di depan ndalem dan selesai menyalami para santri, tiba-tiba beliau merunduk  dan membetulkan posisi sendal yang berantakan di depan ndalem. Dan kami hapal betul bahwa sandal yang ditata beliau merupakan sandal santri yang memang biasanya tertinggal ketika selesai ngaji di ndalem.  Seketika  itu, kami langsung menyusul dan sesegera mungkin menata sandal yang lain. Kemudian Romo Yai masuk ndalem dan mempersilakan kami masuk.

Sejak awal masuk ndalem sampai keluar lagi, terbersit di benak kami bahwa betapa mulia dan tawadhu’-nya beliau, sekalipun dengan para santrinya. Bisa saja, bahkan sangat wajar jika Romo Yai menyuruh kami untuk menata sendal. Tetapi beliau memilih diam dan menata sendiri. Padahal saat itu tangan beliau memegang payung. Sungguh mulianya akhlak Romo Yai.

Baca: Penyangga Langit Krapyak Tersisa Satu

Disisi lain, ini merupakann model tarbiyah Romo Yai kepada para santrinya. Tarbiyah yang bahkan tidak sekadar terucap lewat lisan, tapi berupa haliyah dan perilaku. Saya yakin, hal ini karena beliau paham betul bahwa lisanul hal afshahu min lisanil maqal; nasihat yang berupa perilaku dan teladan akan lebih mengena dibanding sekadar lewat ucapan (lisan).

Penulis: Ibnu Hajar Al Qodiri (Nama Pena)

Santri Madrasah Huffadz 1 Al Munawwir

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Gus Baha Di Majlis Tahlil 7 Hari Wafatnya Romo Yai Najib

Pada Ahad (10/01) sekitar pukul 20:30 waktu setempat Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak menggelar Majlis Tahlil 7 hari wafatnya Syaikhuna KH. R Najib Abdul Qodir, Majlis Tahlil ini digelar di gedung Aula G Pondok dan dihadiri oleh jamaah yang memadati lingkungan Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak. Dalam acara Majlis Tahlil ini dihadiri juga oleh Gus Baha yang memberikan Mauidhoh Hasanah kepada para jamaah.

Gus Baha bercerita bahwasanya dulu ayah beliau Kyai Nursalim itu akrab dengan Romo Yai Najib, ayahanda beliau merupakan seniornya Romo Yai Najib. Saya (Gus Baha) dengan Krapyak mempunyai hubungan kekeluargaan karena dulu Mbah Munawwir itu ngaji dengan Mbah Sholeh Darat sedangkan Mbah Sholeh Darat pernah ngaji dengan buyut saya yakni Asnawi Sepuh, jadi duriyatan min ba’duha jadi semua saling menghormati. Keluarga Mbah Munawwir itu membawa Al Qur’an, membawa Al Qur’an itu tidak harus hapal, ada yang hidmah membina orang berbagai macam jadi tidak harus menghapalkan Al Quran. Dulu juga dalam dunia Gus ada Gus Miek (Hamim Tohari Djazuli) pokoknya ada banyak Gus yang membina orang berbagai macam yang terpenting yaitu mempunyai mental membina masyarakat.

Baca: Lima Hal Yang Akan Dihadapi Di Akhirat

Sebagai seorang santri hendaknya kita ketika sudah boyong kelak bisa membina masyarakat karena jika kita tidak mau memimpin dengan madzhab ahlu sunnah wal jamaah dan menghindarinya artinya kita sudah membiarkan umat dipimpin oleh kelompok lain dan bisa saja dipimpin oleh orang yang mubtadiah, orang yang kafiroh, orang yang mudillah bisa juga orang yang mukhtariah. Jadi jangan sampai membiarkan umatnya kanjeng nabi dipimpin oleh orang-orang yang tidak ahli sunnah wal jamaah.

Karena diluar sana untuk senang itu harus menunggu punya uang dan punya pangkat dulu, tapi para santri ketika khataman Al Qur’an mayoran saja sudah senang sudah bisa senang khatam meskipun khatamnya itu tidak karuan yang penting khatam asalkan tidak dites saja. Karena senang terhadap kebaikan merupakan sebuah perlawanan terhadap kemungkaran, orang harus senang dengan kebaikan karena itu bentuk perlawanan terhadap senang harus lewat maksiat. Dalam kitan kasyifatus saja ada sebuah redaksi mengatakan bahwa cara melawan setan diantaranya kita harus menikmati sesuatu yang tidak haram, misalnya para santri Krapyak tinggalnya di kota itu berat karena di kota itu apa saja ada tapi para santri itu senang ketika bisa setoran tidak keliru saja sudah senangnya luar biasa atau ketika setoran keliru pas Kyainya ngantuk itu senang, senangnya karena keliru sedikit tidak ketahuan oleh kyainya.

Baca: Obituari untuk KH R. M. Najib Abdul Qodir, Sang Pembawa Al-Qur’an

Contoh yang lainnya yaitu ketika bayar iuran khataman 3 juta kemudian ngomong sama orang tuanya bayar 5 juta, senang meskipun membohongi orang tuanya, itu didukung oleh agama yang terpenting tidak haram. Kenapa membohongi orang tua halal karena orang tuanya ridho, jadi halalnya itu terlambat  membohongi orang tua itu haram tapi ketika orang tuanya ridho jadi halal. Kalau misal orangtuanya tidak ridho itu ya kebangetan orang tua macam apa.

Jadi dalam beragama itu membutuhkan orang yang adnal halat supaya orang bisa tahu batas minimal suatu perkara, para santri juga harus bisa mengerti ukuran baik itu bisa mengambil sikap adnal halat (sikap paling rendah) karena agama ini butuh nilai minimal, jadi jangan membayangkan dunia itu ideal bisa-bisa kita menjadi khawarij karena khawarij itu membayangkan dunia itu ideal sampai nabi saja digugat oleh mereka.

Oleh: Taufik Ilham

Sang Murobbi Dipangkuan Ilahi

Krapyak sedang berduka karena salah satu songgone langit Krapyak penjaga Al Qur’an di Nusantara dan pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak telah kembali ke asal memenuhi panggilan Gusti Allah di Surga, KH. Raden Najib Abdul Qodir, Senin 04 Januari 2020 sekitar pukul 16.30 Wib.

Senin sore ketika kami selesai Roan tiba-tiba mendapatkan kabar bahwasanya Mbah Najib sampun kapundut.

“Gek ndang adus kang, ayo nang pusat Mbah Najib sedo”

“Loh sing tenan kang? Ojo guyon!”

“Hooh tenan mosok ngapusi?”

“Ya Allah…”

Seketika badan terasa lemas dan tidak percaya bahwasanya berita barusan benar adanya. Karena bagi kami beliau merupakan salah satu orang tua kami di sini, merasa kehilangan sosok orang tua sekaligus guru bagi kami semua itu terasa sangat menyakitkan. Patah hatinya seorang santri bukan karena diitinggal rabi oleh sang kekasih hati melainkan ditinggal pergi oleh sang Murobbi. Beliau seorang Kyai yang sangat rendah hati, beliau seorang Ulama namun penampilannya seperti orang biasa pada umumnya. Bukan karena kaya materi nama beliau terkenal hinggal pelosok negeri, membuat beliau disegani juga dihormati, melainkan karena sifat rendah hati dan kesederhanaan beliaulah yang mengangkat derajat beliau selama ini.

Dalam sebuah kesempatan beliau pernah berpesan bahwasanya “Ngaji itu sebuah kewajiban paling atas setelah shalat fardhu jangan sampai dikalahkan yang lain, harus sadar kasihan orang tua jangan sampai mengecewakan harapan orang tua sudah dikasih kepercayaan tapi tidak mengaji. Itu namanya durhaka dan dosa besar.”

Waqila Al Maghfurlah Mbah Najib merupakan satu-satunya murid Mbah Arwani yang diperbolehkan untuk mengikuti Musabaqoh karena merupakan cucu dari KH M Munawwir Krapyak, bahkan mendapatkan suatu kehormatan bisa masuk ke dalam Ka’bah karena prestasinya juara internasional pada saat itu.

Mbah Najib bergelar Raden karena ibunda beliau Ny. R. Ayu Mursyidah merupakan keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat istri pertama dari Mbah Munawwir sebagai muasis Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak. Mbah Najib urutan ke-5 dari 8 bersaudara diantaranya sebagai berikut : KH.R. Abdul Qodir mempunyai keturunan dari Nyai. Hj Salimah (Jejeran, Yogyakarta) :

1. Ning Fatimah (wafat)

2. Ning Nurjihan (wafat)

3. Gus Widodo (wafat)

4. Nyai. Hj. Ummi Salamah

5. KH.R Muhammad Najib (wafat)

6. Nyai. Hj. Munawwaroh

7. KH.R Abdul Hamid

8. KH.R Abdul  Hafidz (wafat).

Kelahiran dan kematian datang silih berganti, esok atau lusa atau kapapun saja bisa saja datang begitu saja tanpa aba-aba. Semua akan kembali ke asal disini tidak ada yang abadi semua akan kembali kepada Sang Maha Pencipta alam ini. Suatu saat diantara kita akan pulang sendirian sama saat seperti kita datang pertama kali ke muka bumi.

Jika kita merasa sebagai salah satu santrinya berusahalah meniru akhlaknya senantiasa patuh dengan dawuh-dawuh beliau, semoga kita semua diakui oleh beliau sebagai santrinya. Semoga guru kita semua, orang tua kita semua KH. R Najib Abdul Qodir wafat Husnul khatimah, diterima semua amal ibadahnya dan ditempatkan bersama para kekasih Allah dan pecinta Al Qur’an di surga, Amin.

Oleh : Tim Redaksi