Biografi KH. Nawawi Berjan #2

Pendiri Jam’iyyah Ahli Thariqot al-Mu’tabaroh

Secara singkat, sejarah Thariqohal-Qhadiriyyah wa Naqsyabandiyyah berkembang di Berjan adalah merupakan hasil gabungan antara dua aliran, yakni aliran Thariqoh Qhadiriyyah dan aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah yang gagas oleh Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar daerah Sambas Kalimantan Barat (1802-1872 M). Sedangkan aliran Thariqoh al-Qhadiriyyah pencetusnya adalah Syaikh Abdul Qhodir al-Jailani sebagai pelopor cikal-bakal aliran-aliran organisasi thariqoh dengan cabang-cabangnya di belahan penjuru dunia Islam.

Sementara aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah adalah dirintis oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Bukhari al-Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389 M) seorang tokoh sufi yang memulai belajar tentang tasawuf kepada gurunya Baba al-Samsyi pada saat berusia 18 tahun. Syekh Ahmad Khatib Sambas telah berhasil untuk menggabungkan dua aliran Thariqoh tersebut sebagaimana tertulis dalam karya kitabnya Fath al-Arifin dengan metode jenis Dzikir yaitu Dzikir Jahr dalam Thariqoh Qhadiriyyah dan Dzikir Khafi dalam Thariqoh Naqsybandiyyah.

Baca: Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh

Syekh Ahmad Khatib Sambas menjadi pelopor pemikiran Thariqoh Qhadiriyyah wa Naqsyandiyyah walaupun lama bermukim di Mekah pada pertengahan abad ke-19, maka banyak yang bersedia menjadi muridnya baik dari Negara Malaysia, Jawa dan luar Jawa. Pada perkembangannya Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara banyak yang bersumber kepada salah satu atau ketiga menjadi Mursyid pertama, mulai dan Syaikh Abdul Karim paman Syekh Nawawi  Banten sebagai pimpinan Thariqoh.

Sedangkan muridnya meneruskan dan berjasa besar untuk mengembangkan Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara yaitu, Kiai Asnawi Caringan Banten (w.1937), Syekh Zarkasyi (1830-1914 M), pada tahun 1860. Sementara Syekh Zarkasyi pada periode pertama mengembangkan Thariqoh wa Naqsyabandiyyah diteruskan pada periode kedua Muhammad Siddiq dan diteruskan ke periode ketiga yaitu KH. Nawawi Berjan Purworejo Jawa Tengah.

Pada periode KH. Nawawi  pada mulanya tidak bersedia untuk di baiat menjadi mursyid karena alasan berjuang bersama laskar Hizbullah pada saat itu, lalu pamannya, memberanikan diri Kiai Abdul Majid Pagedangan matur untuk di baiat sebagai mursyid tapi KH. Nawawi jawabannya tetap sibuk berjuang bersama laskar Hizbullah, maka sementara kedudukan mursyid dilanjutkan oleh pamannya sendiri, Simbah Kiai Munir bin Zarkasyi.

Setelah pasca perjuangan melawan penjajah, dan saudara kandung mirip ayahandanya wafat bernama Muhammad Kahfi pada hari kamis tanggal 6 Dzulqo’dah 1371/1950 M, maka barulah KH. Nawawi  berkenan untuk di baiat sebagai mursyid kepada Simbah Kiai Munir (w. 1958) Amanah yang berat sebagai pewaris pimpinan pondok pesantren dan juga sebagai mursyid Thariqoh wa Naqsyabandiyah selama 35 tahun (1947-1982). Pada saat itulah, KH. Nawawi  mulai merasakan keadaan terhadap aliran dan organisasi Thoriqoh yang berkembang dengan saling menyalahkan dan bahkan mengkafirkan antara aliran Thariqoh seperti Thariqoh Tijaniyyah dan Thariqoh Syathoriyyah yang sejatinya sama-sama berasal dari organisasi NU.

Pada tanggal 31 Desember Tahun 1955 KH. Nawawi  Berjan dan KH Masruhan berdialog untuk berusaha meluruskan para penganut Thariqoh dan perlunya menyepakati dalam bentuk Jam’iyyah thariqoh yang benar dan lurus, mana yang mu’thabaroh maupun yang tidak. Sekitar dua tahun kemudian, KH. Nawawi  bersilaturrahim kebeberapa daerah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah bersama Kiai Mahfudz Rembang, maka pada tahun 1957 yang didampingi oleh Kiai Abdurrahim Pagedangan sehingga melahirkan Tim Pentasheh Thariqoh yang beranggotakan enam orang diantaranya Kyai Muslih Mranggen, dan Kiai Baedlowi Lasem.

Dengan keperihatinan dalam menyaksikan maraknya perpecahan dikalangan para penganut Thariqoh ini, kemudian KH. Nawawi  mengabadikan dalam catatan buku hariannya dengan menulis yaitu cara-cara yang menjalin hubungan persatuan berbagai panganut Thariqoh.

Menurut catatan-catatan buku harian KH. Nawawi , cara-cara mengeratkan ukhuwah di antara ikhwan thoriqoh. Pertama, para mursyid diberi tuntunan-tuntunan asas Thoriqoh yang semuanya asas-asas tadi dimengerti sampai tahu betul para murid dengan asas tujuan Thoriqoh hingga paham adab-adabnya murid Thoriqoh, adab kepada guru dan adab teman-teman Thoriqoh dengan inshaf, dan patuh terutama adab ma’a Allah dan Rasulnya. Kedua, supaya dianjurkan tazawur diantara mursyidin dengan para abdal satu sama lain, dengan tukar pikiran bagaimana caranya mentarbiyah murid-murid mana yang baik ditiru oleh ikhwan lain agar menambah amal khair.

Ketiga, para mursyid menganjurkan kepada abdal-abdal supaya berangkat khataman, tawajuhan dan riyadloh jasmaniyah dan rohaniyah serta tafakkur yang dapat mendekatkan muroqobah hingga para ikhwan Thoriqoh bisa melatih diri inshaf kepada ajaran-ajaran Sufi yang mana bisa sabar dan Ridho pada hukum Allah, dan membuat kebaikan kepada makhluk serta cinta kepada teman-teman dan menjauhi larangan-larangan tuhan dan terus mengabdi tambahannya ilmu serta ingat kepada mati agar giat beribadah.

Baca: Ibu Nyai Hindun Dari Krapyak Hingga Kempek

Dengan terbentuknya panitia sementara dalam rencana penyelenggarakan kongres pertama. Maka pada tanggal 11 Agustus tahun 1956 dengan susunan kepanitiaan Pelindung KH. Romli Tamim Rejo Jombang dan Ketua I KH. Nawawi  Berjan serta pembantu-pembantu I KH. Khudlori Magelang. Hasil Presidium Kepengurusan Kongres perdana dengan Anggota KH. Mandhur, KH. Chudlori Tegalrejo, KH. Usman, KH. Chafidz Rembang, KH. Nawawi, KH. Masruchan Brumbung, dengan sidang pertama di Rejoso Jombang. Kesepakatan kongres pada tanggal 19/20 Rabiul awal 1377 atau 10 Oktober 1957 sebagai hari lahir Jam’iyyah Ahli Thariqoh al-Mu’tabaroh. Pendirian Jam’iyyah ini telah direstui oleh KH. Dalhar Watucongol, walaupun pada saat itu beliau tidak berkenan naik panggung. 

Dalam kongres Jam’iyyah Ahli Thoriqoh ke 1 pada tanggal 12-13 Oktober 1957 di Tegalrejo Magelang dalam kapasitasnya sebagai ketua Panitia Kongres, KH. Nawawi dan Kyai Siraj Payaman yang paling banyak memberikan Jawaban setiap pertanyaan dari peserrta, termasuk dari Kiai Mahrus Lirboyo.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by annawawiberjan.or.id

Biografi KH. Nawawi Berjan #1

KH. Muhammad Nawawi lahir pada hari Selasa Kliwon tanggal Robi’ul Awwal 1334 H atau bertepatan pada 10 Januari 1916 M, di Berjan Purworejo. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Muhammad Shiddiq dengan Nyai Fatimah.

KH. Muhammad Nawawi merupakan keturunan dari keluarga ningrat bernasab keturunan dari Sultan Agung Mataram dari jalur ayahnya yaitu; Muhammad Nawawi bin KH. Muhammad Shiddiq bin Kiai Zarkasyi bin Asnawi Tempel bin Kiai Nuriman Tempel bin Kiai Burhan Joho bin Kiai Suratman Pacalan bin Jindi Amoh Plak Jurang bin Kiai Dalujah Wunut bin Gusti Oro-oro Wanut bin Untung Suropati bin Sinuwun Sayyid Tegal Arum bin Sultan Agung bin Pangeran Senopati.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Dari jalur ibunya bernama Nyai Fatimah bin Muhyiddin (w.137 H/1948 M) kakek KH. Muhammad Nawawi dari garis ibunya adalah cikal bakal desa Rending, sebuah desa disebelah utara desa Gintungan. Di desa yang didirikannya tersebut, kakeknya pernah menjabat sebagai lurah Desa. Pada sebagian wilayah desa Rendeng inilah terdapat sebuah pedukuhan bernama Tirip, tempat mukim simbah Kiai Zaid, seorang Ulama besar dan juga saudara ipar KH. Abdullah Termas Pacitan.

Masih kecilnya KH. Nawawi  termasuk keluarga yang religius, dan sering membaca buku dan kitab kuning walaupun bermain dengan teman sebaya dan bersama keluarga besarnya. Masa remajanya terkenal rajin belajar yang sangat tinggi bahkan membawa catatan sambil diskusi-musyawarah. Pada tahun 1970 yang ditulis oleh KH. Nawawi  sendiri, di mulai dengan belajar al-Quran, fath al-Qorib, Sanusi, Minhaj al-Qawim, Ta’lim al-Muta’allim, Tanqikh al-Qaul, dan Shahih Bukhari kepada ayahnya sendiri KH. Muhammad Shiddiq.

KH. Nawawi nyantri di berbagai daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan daerah Yogyakarta, seperti; Pondok Lirboyo di Kediri, Pondok Watucongol, Pondok Lasem, Pondok Jampes, Pondok Termas di Pacitan dan Pondok Tebuireng di Jombang. Di Bidang pendidikan al-Quran bin Nadhor diperdalam langsung oleh KH. M. Munawwir Krapyak Yogyakarta.

KH. Nawawi berajar banyak kiai-guru di pulau Jawa bahkan mampu mengusai kitab kuning. Dalam catatan beliau terhadap kitab Faidul Barry Fi Manaqibi al-Imam Bukhari al-Ju’fy tahun 1377 H tentang sanad yang telah ditulisnya sebagaimana pada saat belajar Shahih al-Bukhari di Pondok Pesantren Tebuireng oleh KH. Hasyim Asyari Jombang dan belajar Dalail Al-Khairat kepada Syekh Ahmad Alawy Jombang.

Baca: Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Pada perkembangannya, KH. Nawawi  tidak pula meninggalkan dunia lembaga pendidikan formal di dalam usaha dengan nalar idenya untuk menawarkan di pesantren yang dipimpinnya sebagai alternatif tempat penyelenggaraan lembaga Pendidikan Guru Agama (PGA), tiga tahun mengalami penurunan jumlah murid secara drastis walaupun dalam transisi infrastruktur pendidikan sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Menteri Agama untuk mendirikan lembaga pendidikan sejenis. Pembangunan ruang kelas baru dilaksanakan sejak pada tahun 1963 berkat bantuan Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by annawawiberjan.or.id