Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Apa sebenarnya cita-cita dan harapan seorang muslim yang giat di bulan Ramadhan? Jawabannya tergambar dalam doa yang sering dipanjatkannya di sepanjang malam bulan Ramadhan. Tentu saja doa-doa itu banyak sekali. Penulis membatasi pada “Doa Kamilin” saja yang biasa dibaca usai Shalat Tarawih. 

Nama “Kamilin” diambil dari salah satu kalimat awal dalam doa tersebut. Doa itu lumayan panjang hingga satu halaman. Ada sekitar 24 permintaan dan harapan yang dipanjatkan dalam doa tersebut. Kita hanya mengambil 5 kalimat doa saja untuk diuraikan secara singkat dan padat. 

Dalam kitab Mutiara Ramadhan yang disusun oleh Abuya KH Abdurrahman Nawi, doa tersebut berbunyi: 

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. 

Artinya: “Ya Allah, jadikalah kami golongan yang sempurna dengan (di dalam) iman, yang mampu menunaikan berbagai kewajiban, memelihara shalat, melaksanakan zakat dan hanya mencari (ridha) di sisi Engkau.” Hadlirin yang berbahagia, Ada 5 (lima) harapan dan cita-cita dalam doa tersebut. 

Harapan pertama yaitu kesempurnaan iman (اَلْكَامِلِيْنَ بِالْإِيْمَانِ). Bagaimanakah kesempurnaan itu didapat. Baginda RasulullahSaw bersabda:

 اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ 

Artinya: Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang berlaku baik kepada istrinya. (HR Turmudzi) Dalam kitab Mauidhatul Mu’minin karya Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dikatakan bahwa empat pokok akhlak yang mulia adalah: keberanian, keadilan, kebijaksanaan, dan menjaga kehormatan. 

Harapan kedua, yaitu dapat menunaikan segala kewajiban (وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ) . Maknanya, mampu bertakwa kepada Allah, menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi larangannya. Kemampuan itu dinamakan taufiq yang diciptakan Allah. Apa itu taufiq? Dalam kitab Syarah An-Nawâwi alâ Muslim I/73, taufiq adalah   خَلْقُ قُدْرَةِ الطَّاعَةِ Artinya: “Diciptakannya kemampuan untuk taat kepada Allah.  Berdasarkan QS al-Baqarah ayat 183, kemampuan itu dapat diraih dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Allah menjanjikan kita dapat bertakwa dengan ungkapan “la’allakum tattaqun” yang artinya, pasti kalian menjadi orang yang bertakwa jika kalian melaksanakan kewajiban puasa di bulana Ramadhan. 

Baca: Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Orang Yang Berpengaruh di Sekitar Kita

Harapan ketiga, yaitu shalat yang terpelihara (وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ). Bagaimanakah caranya agar shalat kita terpelihara?. Pertama-tama harus kita pahami bahwa Allah tidak hanya memerintahkan shalat tapi memelihara dan menegakkan shalat.  Allah SWT berfirman:   

أَقِمِ الصّلَاةَ لِذِكْرِيْ 

Artinya: “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (Allah).” 

(QS Thaha: 14) 

حَافِظٌوْا عَلىَ الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وقُوْمُوْا للهِ قَانِتِيْنَ  

Artinya: “Peliharalah shalat 5 waktu dan shalat wustha (Ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS al-Baqarah: 238) 

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ يُرَاؤُوْنَ وَيَمْنَعُوْنَ اْلمَاعُوْنَ 

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

(QS al-Ma‘un: 4-6) Kita tidak diperintahkan shalat saja. Tapi menegakkan, mendirikan, dan memelihara shalat kita. Shalat kita harus lurus, tegak, dan terpelihara. Niatnya lurus. Caranya lurus. Hatinya khusyu’. Maka hasilnya pun juga insyaallah lurus dan benar. Yaitu tercegah dari perbuatan keji dan mungkar.   

Harapan keempat, menjadi golongan penunai zakat (وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ).  Harapan ini adalah harapan yang sangat penting diwujudkan bagi pegiat Ramadhan. Sebab zakat tidak hanya zakat mal saja. Tapi juga zakat fitrah. Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan pada saat bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda:  

 فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةٌ لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ 

Artinya: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih orang yang berpuasa dari ucapan yang tidak berfaidah dan jelek.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah) 

Baca: Hisab Dunia Meringankan Hisab Akhirat

Harapan kelima, mencari tempat yang mulia dan keridhaan di sisi Allah (وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ).  Harapan ini menjadi harapan penyempurna bagi seluruh harapan pegiat Ramadhan. Artinya, semua amal ibadah kita harus ditujukan semata-mata hanya karena mengharap ridha Allah (ikhlas).  Al-Imam Al-Haddad berkata dalam kitabnya an-Nashâ’ihud Dîniyyah:  

مَعْنىَ الْإِخْلاَصِ أَنْ يَكُوْنَ قَصْدُ اْلإِنْسَانِ فِيْ جَمِيْعِ طَاعَاتِهِ وَأَعْمَالِهِ مُجَرَّدَ التَّقَرُّبِ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ وَإِرَادَةِ قُرْبِهِ وَرِضَاهُ, دُوْنَ غَرْضٍ أَخَرَ مِنْمُرَاءَاةِ النَّاسِ وَطَلَبِ مَحْمَدَةٍ مِنْهُمْ أَوْ طَمَعٍ  

“Pengertian ikhlas adalah seseorang di dalam seluruh ketaatan dan perbuatannya ditujukan semata-mata karena berusaha mendekat kepada Allah dan menginginkan kedekatan dan keridhaannya. Tidak ada maksud yang lain seperti ingin pamer, dipuji atau mengharap sesuatu dari makhluk (tamak).” 

Semoga Allah mengabulkan semua harapan dan doa tersebut. Amîn ya rabbal ‘alamin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: islam.nu.or.id

Picture by indonesiainside.id

Isra’ Mi’raj, Sains Dan Shalat

Seringkali orang mempertanyakan kebenaran Islam lewat perspektif keilmuan, sementara metode keilmuan selama ini yang dipakai adalah metode keilmuan Barat yang sekuler. Inilah yang seringkali menimbulkan bias. Jika orang hendak melihat Islam secara ilmiah, maka perspektifnya harus dibangun dari perspektif keilmuan Islam. Bagaimana pendekatan studi Islam?

Dalam studi Islam dapat digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan rasional-spikulatif-idealistik dan pendekatan rasional-empirik. Pendekatan pertama adalah pendekatan filosofis, yaitu pendekatan yang digunakan terhadap teks-teks yang terkait dengan masalah yang bersifat metafisik, termasuk dalam hal ini adalah perisatiwa mi’raj nabi Muhammad saw. dari Masjidil Aqsha ke Sidrat al-Muntaha yang tidak membutuhkan jawaban empirik karena keterbatasan rasio manusia; kedua adalah pendekatan scientific (keilmuan), yaitu pendekatan terhadap teks-teks yang terkait dengan sunnatullah (ayat-ayat kauniyah), teks-teks hukum yang bersifat perintah dan larangan dan sejarah masa lampau umat manusia.

Mi’raj Nabi Muhammad saw.  dari  Masjid al-Aqsha ke Sidrat al-Muntaha pada  27 Rajab dalam waktu yang amat cepat merupakan peristiwa spektakuler yang mengundang reaksi keras dari kalangan kafir Quraisy saat itu, bahkan hingga sekarang. Ada yang mengatakan peristiwa itu terjadi dalam mimpi, bukan dalam alam nyata, atau terjadi pada diri Muhammad dengan ruhnya bukan jasadnya. 

Baca: Kisah KH. Zainal Abidin Munawwir Selamat Dari Gempa

Kaum emipris dan rasionalis boleh mempersoalkan dan menggugat dengan sejumlah sanggahan: Bagaimana mungkin kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui Muhammad tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang membakar tubuhnya? Bagaimana mungkin ia dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Menurut kaum empiris dan rasionalis hal ini tidak mungkin terjadi.

Ya, bisa dimaklumi jika kaum empiris dan rasionalis mempertanyakan peristiwa yang spektakuler itu. Sebab mereka memandang segala sesuatunya berdasarkan realita empiris dan yang rasional saja. Padahal Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang sublim.

Sebagaiman konsep keilmuan Barat, bahwa sesuatu disebut ilmiah (secara ontologis) jika lingkup penelaahannya berada pada daerah jelajah atau jangkuan akal pikiran manusia. Dan sesuatu dianggap benar jika didasarkan pada tiga hal: koherensi, korespondensi dan pragmatisme. Penganut positivisme hanya mengakui satu kebenaran, yaitu kebenaran yang bersifat inderawi, yang teramati dan terukur, yang dapat diulangbuktikan oleh siapa pun.  Dalam konsep keilmuan Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri-sensual (induktif), empiri-logik (deduktif) atau logico-hipotetico-verificatif, artinya baru disebut sebagai ilmu jika telah dibuktikan kebenarannya secara empiris. Jelaslah dari sini, jika peristiwa Mi’raj dilihat dari perspektif keilmuan Barat, maka ia tidak dipandang sebagai sesuatu yang ilmiah melainkan hanya bersifat dogma dan sistem kepercayaan (credo).

Namun, jika dilihat dari prespektif keilmuan Islam, maka persoalannya menjadi lain, ia tetap ilmiah dan benar, sebab dalam konsep Islam, ilmu di samping memiliki paradigma deduktif-induktif juga mengakui paradigma transenden, yaitu pengakuan adanya kebenaran yang datang dari Tuhan. Pengakuan terhadap hal-hal yang bersifat metafisik (misalnya adanya Tuhan, malaikat, hari kebangkitan, surga, neraka dan seterusnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, melainkan persolan-persoalan metafisik tersebut benar adanya (realistis). Sesuatu yang tidak atau belum terjangkau oleh akal pikiran manusia tidaklah selalu menjadi dalih akan ketidakbenaran sesuatu itu sendiri, sebab al-Qur’an menyebutkan : …. “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali” (QS.17 : 85).

Baca: Sejarah Metode Halaqah dalam Pengajaran Al-Qur’an

Apa yang ditegaskan Al-Qur’an tentang keterbatasan pengetahuan manusia tersebut juga diakui oleh para ilmuwan abad 20. Schwart misalnya –seorang pakar matematika kenamaan Perancis—menyatakan, bahwa fisikawan abad ke-19 berbangga diri dengan kemampunnya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak sekalipun. Sedangkan fisikawan abad 20 yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya meski yang disebut materi sekalipun. Teori Black Holes menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3 persen saja, sedangkan 97 persennya di luar kemampuan manusia. Itulah sebabnya seorang Kierkegaard tokoh eksistensialisme menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, melainkan karena ia tidak tahu“. Lalu Imanual Kant juga berkata, “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi penyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya“.

Sebetulnya peristiwa Isra’ Mi’raj ini memiliki arti penting bagi pembinaan keperibadian manusia, karena dalam peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut Nabi menerima perintah shalat lima waktu dalam sehari. Shalat inilah yang merupakan inti dari peristiwa besar tersebut, karena shalat merupakan tiang agama dan dasar dari pembangunan keperibadian manusia. Dalam pengertian lebih luas, shalat memiliki arti dzikir dan senantiasa mengingat Allah dalam segala tindakannya, sehingga dengan menegakkan shalat ini diharapkan manusia tidak pernah memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan dan segala macam tindakan keji lainnya. Pertanyaanya kemudian, shalat yang bagaimanakah yang mampu mencegah perilaku keji dan munkar itu? Kenapa sudah banyak orang yang melaksanakan shalat tetapi justru kejahatan makin menjadi-jadi? Pertanyaan inilah yang sering terdengar di telinga kita.

Baca: Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Ada tiga kategori manusia yang digolongkan sebagai “manusia yang melalaikan shalat” itu: Pertama, lalai waktu. Mereka ini suka mengolor-olor waktu shalat, sudah waktunya shalat, tetapi masih ditunda-tunda untuk melaksakannya, alias mereka tidak disiplin dan tidak tepat waktu. Itulah sebabnya ketika Nabi ditanya salah seorang sahabatnya mengenai amal yang afdhal, beliau menjawab “shalat yang tepat waktu”. Kedua, lalai tidak mengingat Allah dalam shalatnya, artinya selama dalam shalat, mereka lisannya mengucapkan bacaan-bacaan shalat, tetapi hatinya keluar dari kontesks shalat, pikirannya tertuju pada urusan duniawi, bahkan mereka tidak menghayati gerakan yang ada dalam shalat itu. (tiadak thuma’ninah). Ketiga, orang yang shalat, tetapi di luar shalat mereka tidak shalat, artinya mereka shalat, mungkin thuma’ninah dan tepat waktu, tetapi di luar tindakan shalat formal itu mereka tetap melakukan kejahatan. Contoh sederhananya, selesai melaksanakan shalat berjamaah di masjid misalnya, mereka masih mau mengambil sandal atau sepatu orang lain. Jika pada contoh yang lebih luas, mereka masih mau korupsi, manipulasi dan eksploitasi. Jadi mereka memisahkan antara shalat sebagai ibadah dengan urusan kehidupan dunia sehari-hari, inilah sesungguhnya yang disebut dengan “orang sekuler” atau sahun dalam bahasa Qur’an-nya.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: uin-malang.ac.id

Picture by waspada.co.id

Keutamaan Shalat Berjamaah Shaf Paling Belakang

Kanjeng Nabi Muhammad SAW banyak menjelaskan tentang pentingnya shalat di shaf paling depan, juga fadhilah-fadhilah shaf paling depan. Karena hal tersebut untuk menambah keyakinan dan memacu semangat seorang hamba dalam berlomba-lomba melakukan kebajikan. Apabila seorang hamba mengetahui keutamaan shalat di shaf paling depan pasti mereka rela untuk berebut undian mendapatkannya. Tapi ada seorang sahabat yang memilih berada di bagian shaf paling belakang padahal ia bisa saja menempati shaf paling depan, ia pun mengerti seberapa besar keutamaan dan pahala yang terkandung di dalamnya.

Suatu ketika sahabat Sa’id bin Amir hendak melaksanakan shalat berjamaah, namun terlebih dahulu menemui Abi Darda’ untuk berangkat bersama-sama. Setelah iqomat dikumandangkan para sahabat mulai berebut shaf dibagian paling depan, namun Abi Darda’ tidak bergerak sama sekali justru malah melangkahkan kakinya ke belakang di bagian shaf paling akhir. Melihat hal tersebut Sa’id Bin Amir terkejut dan ketika shalat sudah selesai dilaksanakan sahabat Sa’id Bin Amir memberanikan diri untuk bertanya kepada Abi Darda’.

Baca: Definisi Makan al-Shalat (Tempat Shalat)

“Bukankah engkau sudah mengetahui akan shaf yang paling utama adalah shaf yang pertama wahai Abu Darda’?” tanya sahabat Sa’id

“Ya, saya mengetahuinya. Akan tetapi perlu kamu ketahui bahwa umat ini adalah umat yang paling dikasihi dan lebih dilihat oleh Allah dari pada umat-umat yang lain. Ketika shalat Allah akan melihatnya dan akan mengampuni orang itu beserta orang-orang yang berada di belakangnya dan alasan saya berada di shaf paling belakang karena saya berharap Allah mengampuni dosa saya lantaran orang-orang yang berada di depan saya.”

Yang perlu menjadi catatan bahwasanya ada beberapa catatan yang sangat mendasar mengenai motif perbuatan sahabat ketika menempati shaf paling akhir dengan fenomena yang sering terjadi dengan kita yakni dengan sengaja menempati shaf paling belakang. Pertama terkait niat, para sahabat mempunyai niat yang baik dan berdasar. Mereka tidak asal-asalan ketika melakukan hal tersebut, berbeda dengan sebagian dari kita yang sengaja memilih shaf paling belakang dengan tujuan supaya bisa langsung dengan mudah pergi ketika meninggalkan masjid ketika shalat selesai. Yang kedua yaitu meskipun menempati shaf akhir para sahabat telah datang di tempat jamaah jauh sebelum iqomat dikumandangkan, berbeda dengan kita yang kebanyakan (tidak semuanya) malah baru datang ketika shalat sudah berjalan bahkan ada yang menunggu hingga lafadz Amin dikumandangkan oleh jamaah.

Baca: Anggota Sujud Dalam Shalat

Dapat disimpulkan bahwa telat ketika shalat jamaah tanpa adanya udzur syar’i merupakan tindakan yang kurang pantas karena sudah hilang kesempatan mendapatkan fadhilah ataupun keutamaan menempati shaf bagian pertama yang sangat dianjurkan oleh Kanjeng Nabi. Namun apabila terpaksa harus terlambat ketika shalat berjamaah dan harus menempati shaf bagian belakang karena udzur syar’i maka alangkah baiknya jika meniru niat para sahabat. Paling tidak dengan niat baik kita bisa mendapatkan fadhilah dan pahala yang besar dengan keterbatasan kita. Abu Nashr Bisyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan bahwasanya “Yang Dikehendaki dalam shalat adalah dekatnya hati bukan dekatnya jasad”.

Oleh: Taufik Ilham

Picture by kalem.id

Batasan-Batasan Penghalang Ketika Shalat Berjamaah Di Masjid Dan Di Luar Masjid

Pembahasan penghalang (حائل) dalam aturan salat berjama’ah tidak terlepas dari salah satu syarat sah salat jama’ah, yaitu berkumpulnya antara makmum dan imam dalam satu tempat. Secara umum antara imam dan makmum dikatakan berada dalam satu tempat apabila antara keduanya tidak ada penghalang (حائل). Namun ada perbedaan batasan-batasan penghalang (حائل) yang berhubungan dengan tempat berja’maah antara di masjid dan di luar masjid. Berikut ini penjabarannya:

  1. Imam dan makmum di dalam masjid

Apabila imam dan makmum keduanya berjama’ah di dalam masjid, maka untuk dapat berjama’ah dengan imam disyaratkan bagi makmum adanya jalan tembus (manfadz) di dalam masjid yang memungkinkan bagi si makmum untuk berjalan menuju posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah (bukan loncat), walaupun dilakukan dengan cara berbalik badan dan berjalan mundur (ولو بازورار و انعطاف). Oleh sebab itu, apabila antara imam dan makmum yang berjama’ah dalam satu masjid, tetapi terdapat penghalang (حائل) yang dapat mencegah sampainya makmum berjalan ke posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah, walaupun penghalang tersebut tidak menghalangi si makmum untuk bisa melihat imam atau melihat makmum lain, maka dalam kondisi demikian salat jama’ahnya tidak sah.

Termasuk dalam kategori penghalang, dalam hal ini adalah kaca dan jendela. Oleh sebab itu, apabila imam dan makmum keduanya berada di dalam masjid, akan tetapi posisi makmum berada di suatu ruangan tertutup rapat oleh kaca, sedangkan imam berada di luar ruangan tersebut, maka tidak diperbolehkan bagi makmum berjama’ah di dalam ruangan tersebut dengan imam yang berada di luar ruangan, walaupun makmum bisa melihat imam dari dalam ruangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi penghalang (حائل) yang dapat menghalangi antara imam dan makmum ketika keduanya berjama’ah di dalam masjid adalah penghalang yang dapat mencegah sampainya makmum berjalan ke posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah, bukan penghalang yang mencegah si makmum untuk melihat si imam atau makmum lain yang melihat imam.

            Sebaliknya, apabila keduanya di dalam masjid dan makmum terhalang dari melihat imam, tetapi dia tidak terhalang untuk berjalan menuju posisi imam, maka salatnya jama’ahnya tetap sah. Sebab ketika imam dan makmum di dalam masjid, melihat imam bukan termasuk syarat dari salat berjama’ah. Adapun mengenai syarat ” makmum harus mengetahui gerakan imam” tidak harus dilakukan dengan cara melihat secara langsung, tetapi bisa dengan cara mendengar suara imam, atau muballigh jama’ah.[1]

  • Imam atau makmum di luar masjid

Apabila salah satu antara imam dan makmum berada di luar masjid atau keduanya berada di luar masjid, maka disyaratakan “tidak adanya penghalang (حائل) antara keduanya” sebagaimana keterangan dalam redaksi maqro’ di atas (وإن صلى الإمام في المسجد  إلخ). Adapun definisi penghalang (حائل) dalam redaksi di atas dikatagorikan menjadi dua, yaitu:

Katagori pertama        : Penghalang yang dapat mencegah makmum untuk berjalan menuju posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah tanpa berbalik badan (izwirar) atau berjalan mundur (in’ithaf). Yang termasuk dalam katagori ini adalah jendela dan kaca.

Katagori kedua           : Penghalang yang dapat mencegah makmum untuk melihat imam atau makmum lain yang melihat imam.

Oleh sebab itu, apabila salah satu dari imam atau makmum berada di tempat selain masjid, atau keduanya berada di tempat selain masjid, untuk memenuhi syarat “tidak adanya penghalang (حائل)”, maka disyaratkan harus ada jalan menerus (manfadz) menuju posisi imam yang memungkinkan bagi makmum untuk berjalan lurus tanpa berbalik badan atau tanpa berjalan mundur  (بدون ازورار و انعطاف ) dengan cara berjalan yang lumrah (misalnya, bukan loncat) dan disyaratkan juga harus bisa melihat imam atau makmum lain yang melihat imam.

Catatan : Dalam kondisi berjama’ah di luar masjid, misalnya antara makmum A dan imam terdapat jalan menerus yang memungkinkan bagi makmum A untuk menuju ke posisi imam (berjalan lurus tanpa berbalik badan atau tanpa berjalan mundur untuk menuju posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah), tetapi makmum tidak bisa melihat imam atau makmum yang melihat imam, maka agar jama’ah makmum A bisa sah disyaratkan adanya makmum penghubung (الواقف/ الرابط) yang sekiranya si makmum pengubung tersebut bisa melihat imam atau makmum lain yang melihat imam dan juga terlihat oleh makmum A.[2]

Referensi :

[نووي الجاوي، نهاية الزين، ص ١٢٢]

(فَإِن كَانَا بِمَسْجِد) فالمدار على الْعلم بالانتقالات بطرِيق من الطّرق الْمُتَقَدّمَة وَحِينَئِذٍ (صَحَّ الِاقْتِدَاء) وَإِن بَعدت الْمسَافَة بَينهمَا وزادت على ثَلَاثمِائَة ذِرَاع وَلَا بُد من إِمْكَان الْوُصُول إِلَى الإِمَام وَلَو بازورار وانعطاف نعم لَا يضر الْبَاب المغلق وَلَا الْمَرْدُود من غير إغلاق بِالْأولَى وَالْبَاب المسمر يضر فِي الِابْتِدَاء دون الدَّوَام وَمثله مَا لَو كَانَ بسطح أَو دكة لَا مرقى لَهَا فَيضر ابْتِدَاء لَا دواما لِأَنَّهُ يغْتَفر فِي الدَّوَام مَا لَا يغْتَفر فِي الِابْتِدَاء فَلَو حَال بَينهمَا جِدَار لَا بَاب فِيهِ أَو شباك ضرّ لعدم إِمْكَان الْوُصُول وَلَو كَانَ أَحدهمَا بعلو كسطح الْمَسْجِد أَو منارته وَالْآخر بسفل كسردابه أَو بِئْر فِيهِ لَا يضر وَلَو حَال بَينهمَا نهر أَو طَرِيق قديم بِأَن سبقا وجود الْمَسْجِد بل أَو قارناه كَانَ كَمَا لَو كَانَ أَحدهمَا فِي مَسْجِد وَالْآخر فِي غَيره وَسَيَأْتِي حكمه بِخِلَاف مَا لَو كَانَ النَّهر طارئا بعد المسجدية فَلَا عِبْرَة بِهِ والمساجد المتلاصقة الَّتِي تفتح أَبْوَاب بَعْضهَا إِلَى بعض كمسجد وَاحِد

[الشربيني، محمد و الباجوري، الأقناع وبأسفله تقريرالأوحاد – ١/ص ١٥٧]

(قوله ولا حائل) المراد به ما يمنع مرورا وإن لم يمنع الرؤية كالشباك أو ما يمنع الرؤية وإن لم يمنع المرور كالباب المردود بخلاف الحائل الذي يشترط نفيه في المسجد فالمراد به ما يمنع الوصول إلى الإمام وإن لم يمنع الرؤية فيضر الشباك فإن لم يمنع الوصول لم يضر وإن منع الرؤية كالباب المردود أو المغلق ولذلك قال فيما تقدم سواء أغلقت أبوابها أم لا ولا يضر إلا التسمير في الابتداء أما في الدوام فلا يضر خلافا لما في الحاشية ومثل ذلك زوال سلم الدكة وأما غلق الباب في غير المسجد فيضر مطلقا وأما رده فيضر في الابتداء دون الأثناء فيكون قول الشارح نعم لو كان الباب مفتوحا وقت الإحرام فانغلق لم يضر ضعيفا على هذا ولذلك قال بعضهم المراد بالغلق الرد

[الكاف، التقريرات السديدة في المسائل المفيد = دار العلوم الإسلامية، 20٠/١]

وإذا كانا في المسجد فيزاد شرط وهو :

– أن لا يكون هناك حائل يمنع وصول المأموم إلى الإمام، أي: أن يمكن للمأموم الوصول إلى الإمام ولو بازورار و انعطاف، بأن يولي ظهره اللقبلة أثناءالمعتاد، فلا يضر ذلك . مروره بالمشي

وإذا كانا خارج المسجد، أو أحدهما بالمسجد والآخر خارج المسجد ،

فيزاد ثلاثه شروط :

الأول: أن لا يكون هناك حائل يمنع الرؤية ، أي : أن يرى المأموم الإمام أو يرى مأموما آخر يرى الإمام .

الثاني : أن يمكن الوصول للإمام بدون ازورار و انعطاف، فلو كان هناك حائل يمنع الوصول مطلقا، أو يمكن الوصول ولك  بازورار و انعطاف، فلا تصح الجماعة .

الثالث : أن لا يزيد ما بينهما على ثلاث مئة ذراع .

– وإذا كانا داخل المسجد: فلا تضر الزيادة على ٣٠٠ ذراع (مئة وخمسين مترا) تقريبا .

– وإذا كانا خارج المسجد: فتضر الزيادة على ۳۰۰ ذراع

 -وإذا كان أحدهما داخل المسجد والآخر خارجه، فتضر أيضا الزيادة على ۳۰۰ ذراع، وتحسب المسافه هنا من آخر المسجد، لا من آخر صف في المسجد

و مسائل من شروط الجماعة :

ا- الباب المغلق في المسجد لا يضر، وأما المستمر فیضر

۲ – إذا كان بينهما حائل يمنع المرور – کزجاج في المسجد فیضر وإن علم المأموم انتقالات إمامه .

٣- لا تشترط الرؤية داخل المسجد .

٤ – لا يضر تخلل الشارع بين الإمام والمأموم، وكذلك النهر الكبير ، ولا البحر بين سفينتين .

ه- وإذا كان المأموم في العلو والإمام في الأسفل أو العكس اشترطت الشروط الماضية لصحة الجماعة على المعتمد، وفي قول : يشترط محاذاة أحدهما للآخر بحيث إذا مشى الأسفل إلى جهة الأعلى مع فرض اعتدال قامته لأصاب برأسه قدمي الأعلى، هذا في غير المسجد، وأما في المسجد فلا يشترط ذلك على القولين

[البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين- ٢ /ص٣٢-٣٣]

(وقوله: اجتماعهما) حاصل الكلام على ما يتعلق بهذا الشرط، أن لاجتماعهما أربع حالات.

الحالة الأولى: أن يجتمعا في مسجد.

الحالة الثانية: أن يجتمعا في غيره، وهذه تحتها أربع صور، وذلك لأنهما إما أن يجتمعا في فضاء، أو في بناء، أو يكون الإمام في بناء والمأموم في فضاء، أو بالعكس.

الحالة الثالثة: أن يكون الإمام في المسجد، والمأموم خارجه.

الحالة الرابعة: بعكس هذه.

ففي الأولى يصح الاقتداء مطلقا وإن بعدت المسافة بينهما، وحالت أبنية واختلفت، كأن كان الإمام في سطح أو بئر، والمأموم في غير ذلك. لكن يشترط فيها أن تكون نافذة إلى المسجد نفوذا لا يمنع الاستطراق عادة، كأن كان في البئر مرقى يتوصل به إلى الإمام من غير مشقة. ولا يشترط هنا عدم الازورار والانعطاف، ولا يكفي الاستطراق من فرجة في أعلى البناء، لأن المدار على الاستطراق العادي. ولا يضر غلق أبوابها، ولو ضاع مفتاح الغلق، بخلاف التسمير، فيضر. وعلم أنه يضر الشباك الكائن في جدار المسجد، فلا تصح الصلاة من خلفه، لأنه يمنع الاستطراق عادة. وخالف الأسنوي فقال: لا يضر، لأن جدار المسجد منه. وهو ضعيف، لكن محل الضرر في الشباك، إذا لم يكن الجدار الذي هو فيه متصلا بباب المسجد، ويمكن الوصول منه إلى الإمام من غير ازورار وانعطاف. فإن كان كذلك فلا يضر. وقال ح ل: متى كان متصلا بما ذكر لا يضر، سواء وجد ازورار وانعطاف أو لا.

وفي الصورة الأولى من الحالة الثانية يشترط لصحة القدوة قرب المسافة بأن لا يزيد ما بينهما على ثلاثمائة ذراع.

وفي الصور الثلاث منها يشترط – زيادة على ذلك – عدم حائل يمنع مرورا أو رؤية أو وقوف واحد حذاء منفذ في الحائل إن وجد. ويشترط – في الواقف – أن يرى الإمام أو بعض من يقتدي به. وحكم هذا الوقف حكم الإمام بالنسبة لمن خلفه، فلا يحرمون قبله، ولا يسلمون قبله. وعند م ر: يشترط أن يكون ممن يصح الاقتداء به، فإن حال ما يمنع ذلك أو لم يقف واحد حذاء منفذ فيه بطلت القدوة.

وفي الحالة الثالثة والرابعة يشترط فيهما أيضا ما ذكر، من قرب المسافة، وعدم الحائل، أو وقوف واحد حذاء المنفذ.


[1] Penjelasan ini dapat dilihat dalam kitab Al-Iqna’ Fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’. Kutipan tentang definisi hail dalam masjid adalah sebagai berikut:

(قوله ولا حائل) المراد به ما يمنع مرورا وإن لم يمنع الرؤية كالشباك أو ما يمنع الرؤية وإن لم يمنع المرور كالباب المردود بخلاف الحائل الذي يشترط نفيه في المسجد فالمراد به ما يمنع الوصول إلى الإمام وإن لم يمنع الرؤية.

Untuk lebih jelasnya, silakan lihat referensi yang dicantumkan di akhir pembahasan ini.

[2] Penjelasan tentang syarat megetahui gerakan shalat imam ini sebagaimana tertera dalam redaksi kitab Fathul Qarib sebagai berikut:

(عالم بصلاته) أي الإمام بمشاهدة المأموم له أو بمشاهدته بعض صف (أجزأه) أي كفاه ذلك في صحة الاقتداء به

Photo by bp.blogspot.com

Imam Berdiri Untuk Raka’at Kelima, Apa Yang Harus Dilakukan Oleh Makmum?

Deskripsi:

Ipung sedang salat Dhuhur berjama’ah. Dia mengikuti imam dari awal mulai takbiratul ihram. Pada raka’at keempat, ternyata tiba-tiba imam bukannya melakukan duduk tahiyyat (tasyahud) akhir, melainkan berdiri kembali. Karena yakin salatnya bersama imam sudah mencapai empat raka’at, Ipung dan juga beberapa jamaah yang lain membaca tasbih untuk mengingatkan imam. Akan tetapi, imam tidak menghiraukan dan tetap berdiri kemudian menambah satu raka’at hingga salam. Demikian juga beberapa jamaah yang lain juga ada yang mengikuti imam.

PERTANYAAN:

  1. Bagaimana yang sebaiknya dilakukan Ipung menyikapi kondisi demikian?
  2. Bagaimana hukum salat si imam dalam kasus tersebut?
  3. Bagaimana hukum salat si makmum yang mengikuti imam dalam kasus tersebut?

Jawaban:

Untuk jawaban pertanyaan dari deskripsi masalah di atas, akan diuraikan sebagai berikut:

  1. Pada dasarnya, makmum tidak diperbolehkan mengikuti imam apabila dia yakin bahwa imam berdiri untuk rakaat kelima walaupun karena imamnya lupa. Dalam kasus Ipung, karena dia meyakini bahwa imam berdiri untuk rakaat kelima, maka ada 2 (dua) hal yang bisa dilakukan Ipung:
  2. Menunggu imam (intidhar) dalam kondisi duduk hingga imam menyelesaikan rakaatnya dan Ipung salam bersama imam.
  3. Berniat keluar dari jamaah shalat (mufaroqoh), sehingga Ipung melanjutkan membaca tasyahud akhir kemudian salam sendiri (tanpa menunggu imam).

Antara intidhar dan mufaraqah, diutamakan melakukan mufaraqah jamaah.[1]

Akan tetapi, bila Ipung meyakini bahwa imam berdiri untuk rakaat kelima sebab disengaja, atau Ipung meyakini bahwa dengan kondisi tersebut, imam batal shalatnya, maka Ipung wajib berniat mufaraqah, sebab salah satu syarat shalat menjadi makmum adalah meyakini sahnya shalat imam.

  • Apabila imam tidak melakukan tasyahud akhir tetapi berdiri lagi menuju rakaat kelima karena lupa, kemudian imam teringat dengan kondisinya, maka yang harus dilakukan oleh imam adalah kembali duduk untuk tasyahud akhir. Di akhir shalat, imam disunnahkan melakukan sujud sahwi karena dia melakuka gerakan salat bukan pada tempatnya karena lupa. Hukum gerakan shalat dan hal-hal yang membatalkan shalat imam sama dengan orang yang shalat sendirian (munfarid). Sehingga, hukum shalat imam yang berdiri untuk rakaat kelima diperinci sebagai berikut:
  • Apabila imam sudah berdiri untuk menambah rakaat tetapi ia ragu tentang bilangan rakaat tersebut, apakah ia berdiri untuk rakaat keempat atau kelima, maka yang harus dipegang oleh imam adalah bilangan yang diyakini, yaitu rakaat ke-empat, sehingga yang harus dilakukan oleh imam adalah tetap berdiri untuk menyelesaikan rakaat tersebut, kemudian disunnahan melakukan sujud sahwi.
  • Apabila imam berdiri untuk rakaat kelima karena disengaja, maka shalatnya batal. Begitu pula apabila imam telah berdiri untuk menambah rakaat kelima karena lupa, kemudian dia teringat (yakin/’ilm) tetapi dia tidak kembali duduk untuk melakukan tasyahud akhir maka salatnya batal.
  • Untuk pembahasan tentang status shalat makmum yang mengikuti gerakan shalat imam tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
  • Apabila makmum tidak mengetahui jumlah bilangan rakaat imam, maka dengan mengikuti imam, shalatnya tetap sah.
  • Apabila makmum mengetahui bahwa imam melakukan gerakan rakaat kelima, kemudian dia mengikuti imam, maka shalatnya batal.
  • Makmum masbuq yang mengetahui bahwa imam berdiri untuk rakaat kelima juga tidak diperbolehkan mengikuti imam. Makmum masbuq ini boleh intidhar atau mufaraqah. Apabila dia memilih intidhar maka dia menunggu imam dalam keadaan duduk tasyahud, kemudian ketika imam sudah salam, dia berdiri untuk menambah rakaatnya yang kurang.  Ketika dia memilih untuk mufaraqah, maka dia berdiri untuk melanjutkan rakaatnya yang kurang tanpa terikat dengan gerakan imam. Yang lebih utama adalah mufaraqah.
  • Makmum masbuq yang tidak mengetahui jumlah bilangan rakaat imam, sehingga dia mengikuti imam untuk rakaat kelima, shalatnya tetap sah, dan baginya rakaat tersebut dihitung satu rakaat, meskipun bagi imam rakaat tersebut tidak dihitung.

Catatan: makmum diperbolehkan megingatkan imam (i’lam) yang lupa dengan mengucapkan tasbih (subhanallah) dengan niat dzikir atau dengan niat dzikir dan niat mengingatkan (i’lam) atau dengan memutlakkan niat.[2] Apabila makmum dalam mengucapkan tasbih hanya dengan niat mengingatkan imam, maka shalat makmum batal, sebab mengeluarkan kalam yang dapat membatalkan shalat.[3]

Bagi imam, pada dasarnya tidak diperbolehkan melakukan gerakan hanya berdasarkan persangkaan kuat (ghalabatudh dhann) atau sebab diingatkan (qaul/ucapan) atau gerakan (fi’l) orang lain, kecuali jika dengan ucapan (i’lam/qaul) atau gerakan (fi’l) tersebut menimbulkan perubahan dzann (persangkaan) menjadi keyakinan (yaqin/’ilm). Perincannya adalah sebagai berikut:

  1. Menurut qaul Imam Al-Mahalli dan diikuti oleh Syaikh Ibn Al-Qasim Al-Ghazi, imam tidak diperbolehkan melakukan gerakan sebab diingatkan (qaul/ucapan) atau gerakan (fi’l) orang lain meskipun diingatkan (i’lam) oleh makmum yang mencapai bilangan banyak (adadud tawaturi, yaitu jumlah orang yang aman dari dari kebohongan), seperti jamaah banyak orang dalam shalat jumat atau 40 orang.
  2. Menurut qaul Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Al-Khathib Asy-Syirbini, imam boleh melakukan gerakan dalam shalat sebab mengikuti ucapan (i’lam/qaul) dan gerakan (fi’l) orang lain atau makmum dengan syarat mereka mencapai bilangan tawatur (‘adadut tawatur). Qaul ini adalah qaul mu’tamad.
  3. Sedangkan menurut Imam Syihabuddin Ar-Ramli, imam hanya boleh mengikuti ucapan (i’lam/qaul) makmum yang telah mencapai bilangan tawatur, tidak boleh mengikuti gerakan mereka.[4]

Referensi:

بِخِلَافِ مَا لَوْ قَامَ الْإِمَامُ إلَى خَامِسَةٍ سَاهِيًا فَإِنَّهُ يَمْتَنِعُ عَلَى الْمَأْمُومِ مُتَابَعَتُهُ وَلَا اعْتِبَارَ بِاحْتِمَالِ كَوْنِهِ قَدْ تَرَكَ رُكْنًا مِنْ رَكْعَةٍ وَلَوْ كَانَ مَسْبُوقًا؛ لِأَنَّ قِيَامَهُ لِخَامِسَةٍ غَيْرُ مَعْهُودٍ، بِخِلَافِ سُجُودِهِ فَإِنَّهُ مَعْهُودٌ لِسَهْوِ إمَامِهِ، وَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ مُفَارَقَتِهِ؛ لِيُسَلِّمَ وَحْدَهُ وَانْتِظَارِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ لِيُسَلِّمَ مَعَهُ، وَمَا وَرَدَ مِنْ مُتَابَعَةِ الصَّحَابَةِ الْمَأْمُومِينَ لَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي قِيَامِهِ لِلْخَامِسَةِ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ مَحْمُولٌ عَلَى عَدَمِ تَحَقُّقِ زِيَادَتِهَا؛ لِأَنَّ الزَّمَنَ كَانَ زَمَنَ وَحْيٍ يَحْتَمِلُ زِيَادَةَ الصَّلَاةِ وَنُقْصَانَهَا، وَلِهَذَا قَالُوا أَزِيدَ فِي الصَّلَاةِ يَا رَسُولَ اللَّهِ.

]الرملي، شمس الدين، نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج، ٨٦/٢[

(وَلَوْ اقْتَدَى مَسْبُوقٌ بِمَنْ سَهَا بَعْدَ اقْتِدَائِهِ، وَكَذَا قَبْلَهُ فِي الْأَصَحِّ) وَسَجَدَ الْإِمَامُ (فَالصَّحِيحُ) فِي الصُّورَتَيْنِ (أَنَّهُ) أَيْ الْمَسْبُوقَ (يَسْجُدُ مَعَهُ) رِعَايَةً لِلْمُتَابَعَةِ (ثُمَّ) يَسْجُدُ أَيْضًا (فِي آخِرِ صَلَاتِهِ) لِأَنَّهُ مَحَلُّ السَّهْوِ الَّذِي لَحِقَهُ، وَمُقَابِلُ الصَّحِيحِ لَا يَسْجُدُ مَعَهُ نَظَرًا إلَى أَنَّ مَوْضِعَ السُّجُودِ آخِرَ الصَّلَاةِ، وَفِي قَوْلٍ فِي الْأُولَى، وَوَجْهٌ فِي الثَّانِيَةِ يَسْجُدُ مَعَهُ مُتَابَعَةً، وَلَا يَسْجُدُ فِي آخِرِ صَلَاةِ نَفْسِهِ وَهُوَ الْمَخْرَجُ السَّابِقُ، وَفِي وَجْهٍ فِي الثَّانِيَةِ هُوَ مُقَابِلُ الْأَصَحِّ أَنَّهُ لَا يَسْجُدُ مَعَهُ وَلَا فِي آخِرِ صَلَاةِ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَحْضُرْ السَّهْوَ، وَلَوْ قَامَ إمَامُهُ لِخَامِسَةٍ نَاسِيًا فَفَارَقَهُ بَعْدَ بُلُوغِ حَدِّ الرَّاكِعِينَ لَا قَبْلَهُ سَجَدَ لِلسَّهْوِ كَالْإِمَامِ، وَلَوْ كَانَ إمَامُهُ حَنَفِيًّا فَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَسْجُدَ لِلسَّهْوِ سَجَدَ الْمَأْمُومُ قَبْلَ سَلَامِهِ اعْتِبَارًا بِعَقِيدَتِهِ، وَلَا يَنْتَظِرُهُ لِيَسْجُدَ مَعَهُ؛ لِأَنَّهُ فَارَقَهُ بِسَلَامِهِ، وَقِيلَ: يَتْبَعُهُ فِي السُّجُودِ بَعْدَ السَّلَامِ، وَقِيلَ: لَا يُسَلِّمُ إذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ بَلْ يَصْبِرُ، فَإِذَا سَجَدَ سَجَدَ مَعَهُ. هَذَا إذَا كَانَ مُوَافِقًا، أَمَّا الْمَسْبُوقُ فَيُخْرِجُ نَفْسَهُ وَيُتِمُّ لِنَفْسِهِ وَيَسْجُدُ آخِرَ صَلَاتِهِ. وَظَاهِرُ هَذَا أَنَّهُ يَنْوِي الْمُفَارَقَةَ إذَا قَامَ لِيَأْتِيَ بِمَا عَلَيْهِ. وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إلَى نِيَّةِ مُفَارَقَةٍ لِقَوْلِهِمْ: وَتَنْقَضِي الْقُدْوَةُ بِسَلَامِ الْإِمَامِ (فَإِنْ لَمْ يَسْجُدْ الْإِمَامُ) فِي الصُّورَتَيْنِ (سَجَدَ) الْمَسْبُوقُ (آخِرَ صَلَاةِ نَفْسِهِ عَلَى النَّصِّ) وَمُقَابِلُهُ الْقَوْلُ الْمُخَرَّجُ السَّابِقُ.

]الخطيب الشربيني، مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ٤٣٨/١[

)فرع) لو قام إمامه لزيادة، كخامسة، ولو سهوا، لم يجز له متابعته، ولو مسبوقا أو شاكا في ركعة، بل يفارقه، ويسلم، أو ينتظره-على المعتمد. (قوله: لو قام إمامه لزيادة) أي على صلاته. (قوله: كخامسة) تمثيل للزيادة. (قوله: ولو سهوا) أي ولو قام حال كونه ساهيا بأن صلاته قد كملت. )قوله: لم يجز له متابعته) أي لم يجز للمأموم أن يتابعه في الركعة الزائدة، فإن تابعه بطلت صلاته لتلاعبه، ومحله إن كان المأموم عالما بالزيادة، فإن كان جاهلا بها وتابعه فيها لم تبطل صلاته، وحسبت له تلك الركعة إذا كان مسبوقا لعذره، وإن لم تحسب للإمام. (قوله: ولو مسبوقا أو شاكا) غاية في عدم جواز المتابعة له، أي ولو كان المأموم مسبوقا أو شاكا في ركعة، فإنه لا تجوز له المتابعة. (قوله: بل يفارقه) أي ينوي المفارقة. (وقوله: ويسلم) أي بعد أن يتشهد. ومحل هذا إذا لم يكن مسبوقا. أو شاكا في الركعة ركعة، فإن كان كذلك: قام بعد نيته المفارقة للإتيان بما عليه، كما هو ظاهر. (قوله: أو ينتظره) أي أو ينتظر الإمام في التشهد. (قوله: على المعتمد) متعلق بينتظر. ومقابله يقول: لا يجوز له الانتظار، كما نص عليه ابن حجر في فتاويه. وعبارتها بعد كلام :قال الزركشي كالأسنوي نقلا عن المجموع في الجنائز: ولا يجوز له انتظاره، بل يسلم، فإنه في انتظاره مقيم على متابعته فيما يعتقده مخطئا فيه. والمعتمد خلاف ما قاله الخ اه.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، 50 – 51/٢[


[1] (قَوْلُهُ: وَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ مُفَارَقَتِهِ لِيُسَلِّمَ وَحْدَهُ) وَهِيَ أَوْلَى قِيَاسًا عَلَى مَا مَرَّ فِيمَا لَوْ عَادَ الْإِمَامُ لِلْقُعُودِ بَعْدَ انْتِصَابِهِ.

[الرملي، شمس الدين ,نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ,2/86]

[2] Menurut qaul mu’tamad, memutlakkan niat dalam mengingatkan imam tetap membatalkan shalat.

[3] Penjelasan mengenai ini diambil dari kitab Tausyikh ‘ala Ibn Qasim Al-Ghazi sebagai berikut:(و) الرابع (إذا نابه أي أصابه شيء في الصلاة سبح) فالذي نابه في الصلاة إما مباح كإذنه لمريد دخول استأذن فيه أو مندوب کتنبيه إمامه إذا سها، أو واجب كإنذاره أعمى خشي وقوعه في محذور (فيقول) حينئذ (سبحان الله يقصد الذكر فقط أو) بقصده (مع الإعلام) أي الإفهام، ولا بد من قرن قصد الذكر بجميع اللفظ لأنه أضيق من کناية الطلاق، فإن خلا حرفه عن القصد بطلت صلاته (أو) يقول ذلك بغیر صد شيء بأن (أطلق) فإنه (لم تبطل صلاته) والمعتمد أن الإطلاق يبطل الصلاة (أو) يقصد (الإعلام فقط بطلت) ما لم يكن عامية وإلا فلا تبطل كما في المبلغ فمحل التفصيل في العالم.

[محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 104/1]

[4] Rincian mengenai hukum ini ada dalam kitab Tausyikh ‘ala Ibn Qasim karya Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani sebagai berikut:

            (ولا ينفعه غلبة الظن أنه صلى أربعا) في المثال الأول (ولا يعمل بقول غيره له أنه صلى أربعا) ولا بفعل غيره إلا إذا بلغوا عدد التواتر, وهو عدد يؤمن تواقفهم على الكذب كالجمع الكثير في يوم الجمعة أو نحوه, فيرجع لقولهم وفعلهم على المعتمد عند ابن حجر والخطيب, فلو صلى معهم عمل بفعلهم ويوافقهم في السلام. وأما عند الرملي فيعمل بالقول دون الفعل. قال ابن قاسم: هذا إن لم يحصل به اليقين, إذ لا معنى للفرق بينهما مع حصول اليقين. وقال المحلي: ولا يرجع في فعل الركعة إلى ظنه, ولا إلى قول غيره وإن كان جمعا كثيرا إه. والشارح تابع ولذا قال: (ولو بلغ ذلك القائل عدد التواتر).

[محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 112/1]

Photo by tanyajawabfikih.com

Lupa Tasyahud Awal Saat Shalat

Apabila mushalli lupa melakukan tasyahud awal, kemudian mushalli ingat pada saat i’tidal/berdiri tegak (qiyam), maka yang harus dilakukannya adalah meneruskan membaca al-fatihah kemudian meneruskan rakaat dan dilarang kembali untuk duduk tasyahud awal. Mushalli disunnahkan melakukan sujud sahwi sebab meninggalkan sunnah ab’adl shalat, yaitu tasyahud awal. Apabila dia kembali untuk melakukan tasyahud awal, jika hal tersebut dilakukan secara sengaja dan dia mengetahui bahwa kembalinya untuk tasyahud adalah haram, maka shalatnya batal. Jika mushalli tidak mengetahui hukum kembali untuk tasyahud awal (jahil bi tahrimihi)[1] atau dia lupa bahwa dia dalam keadaan shalat, maka ketika dia kembali untuk tasyahud, shalatnya tidak batal.

Jika mushalli telah meninggalkan tasyahud awal dan dia sudah berdiri tegak kemudian dia kembali duduk untuk melakukan tasyahud karena lupa atau tidak mengetahui keharamannya, kemudian dia teringat atau ada seseorang yang mengajarinya sehingga ia tahu hukum keharamannya, maka mushalli segera berdiri untuk meneruskan rakaat shalatnya. Dalam kedua kondisi di atas (lupa dalam keadaan shalat atau tidak mengetahui hukum keharamannya), mushalli disunnahkan melakukan sujud sahwi, sebab dia telah melakukan gerakan yang dapat membatalkan shalat jika disengaja.

Referensi:

…أو جهل تحريمه فيها, وقد قرب عهده بالإسلام أو نشأ في موضع بعيد عن العلماء.

]محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 106/1[

(مستويا) أي بعد وصوله إلى محل تجزیء فيه القراءة (لا يعود إليه) أي التشهد الأول کالمصلي قاعدا إذا نسي التشهد الأول، وشرع في القراءة لا يعود إليه إلا إذا سبق لسانه إليها، لأن سبق اللسان غير معتد به (فإن عاد إليه) أي التشهد الأول بعد انتصابه (عامد) مع علمه بأنه في الصلاة (عالما بتحريمه) أي العود (بطلت صلاته) لأنه زاد قعودا عامدا عالما وهو مغير لهيئة الصلاة (او) عاد لمحل التشهد (ناسيا أنه في الصلاة أو) عاد (جاهلا) بتحريم العود ولو غير معذور (فلا تبطل صلاته) لعذره بالنسيان أو الجهل (ويلزمه القيام عند تذكره إن كان ناسيا أو عند علمه إذا كان جاهلا، كأن قال له شخص: إن عودك هذا حرام عليك, فيلزمه القيام فورا (وإن كان) أي المصلي (مأموما عاد) إلى الأبعاض بعد تلبسه بالركن (وجوبا لمتابعة إمامه) لأن المتابعة آكد من التلبس بالركن، فإن لم يعد عامدا عالما، بطلت صلاته إذا لم ينو المفارقة، فإن نواها لم تبطل (لكنه يسجد للسهو عنها في صورة عدم العود) لترك التشهد والجلوس في موضعهما.

[محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 111/1]


[1] Ketidaktahuan seseorang tentang keharaman sesuatu yang dapat membatakan shalat ada kalanya karena udzur dan tidak karena udzur. Contoh ketiaktahuan karena udzur adalah ketika seseorang baru memeluk agama Islam atau dia tumbuh dalam lingkungan yang jauh dari ulama. Seseorang yang kembali duduk tasyahud awal setelah berdiri tegak (i’tidal/qiyaman musawiyan) karena tidak mengetahui hukum keharamannya, baik karena udzur atau tidak, shalatnya tidak batal. Lihat:

…أو جهل تحريمه فيها, وقد قرب عهده بالإسلام أو نشأ في موضع بعيد عن العلماء.

[محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 111/1]

(ناسيا أنه في الصلاة أو) عاد (جاهلا) بتحريم العود ولو غير معذور (فلا تبطل صلاته) لعذره بالنسيان أو الجهل.

[محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 111/1]

Photo by dara.co.id

Hukum Menelan Dahak Saat Shalat

Deskripsi:

Bulan Oktober umumnya adalah musim pancaroba yang menandai bergantinya musim; dari musim kemarau menuju musim penghujan. Musim pancaroba biasanya dikaitkan dengan berbagai jenis penyakit, salah satu yang sering terjadi adalah penyakit batuk. Karena sedang batuk, ketika sedang shalat di masjid, Ainun tidak sengaja menelan dahaknya.

Pertanyaan:

Bagaimana hukum tertelannya dahak saat sedang shalat? Apabila harus dimuntahkan, bagaimana caranya?

Jawaban:

Dahak (lendir sebab batuk) dalam bahasa arab disebut dengan nukhamah; yaitu lendir yang keluar dari dada menuju bagian luar dari mulut. Selain itu, dalam bahasa Arab, istilah nukhamah juga digunakan untuk menyebut lendir yang turun dari bagian kepala menuju rongga mulut atau ingus.

Dahak yang keluar dari anggota dalam tubuh menuju bagian dhahir mulut[1], atau ingus yang turun dari bagian kepala mushalli menuju bagian dhahir mulut, apabila keduanya tertelan, maka hal tersebut dapat membatalkan shalat; kecuali jika mushalli lupa bahwa dia dalam keadaan shalat atau tidak tahu bahwa hal tersebut dapat membatalkan shalat dan dahak yang tertelan sedikit. Jika banyak, meskipun mushalli lupa atau tidak tahu keharamannya, hal tersebut dapat membatalkan shalat.

Adapun dahak yang tertahan di dalam tenggorakan yang tidak mungkin dikeluarkan kecuali dengan deham, maka hukum dehamnya mushalli tersebut tidak membatalkan shalat, meskipun hal itu menyebabkan keluarnya dua huruf. Hukum deham untuk mengeluarkan dahak yang menempel pada makhraj kha/kho’ tersebut adalah sunnah sebab dilakukan untuk menjaga kemaslahatan shalat. Namun, makruh hukumnya menahan dahak tersebut di dalam mulut, sebab dikhawatirkan akan tertelan kembali yang menyebabkan batalnya shalat.[2]

Apabila dahak tersebut sudah sampai pada makhraj huruf kha’/kha’, atau sudah masuk pada bagian dhahir mulut, sedangkan mushali tidak mampu mengeluarkannya, jika tertelan, hal tersebut tidak membatalkan shalat. Begitu pula jika dahak tersebut belum tertahan (istiqrar) di batas anggota luar mulut, dengan gambaran bahwa dahak hanya sampai makhraj kha’/kho’ tanpa tertahan (istiqrar) di makhraj tersebut tetapi langsung tertelan kembali, maka hal ini juga tidak membatalkan shalat.

Kemudian, dahak atau ingus yang sudah berada di bagian dhahir mulut harus diludahkan[3] ketika dahak tersebut bercampur dengan najis. Sebab, jika ditahan di mulut, maka hal tersebut sama dengan membawa najis di tubuh. Sedangkan bagian mulut yang terkena dahak bercampur najis yang sudah diludahkan tersebut dihukumi ma’fu.

Ketika mushalli mengeluarkan dahak lalu ingin meludahkannya[4], sedangkan ia berada di dalam masjid, maka cara meludahkannya adalah diludahkan di pakaian sebelah kiri. Jika di sebelah kiri mushalli terdapat orang lain, maka mushalli meludahkannya ke arah kanan atau meludah ke dalam wadah yang mushalli bawa di tangan.[5]

[الرملي، شمس الدين، نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج، ٤١/٢]

وَعِبَارَةُ الْإِمْدَادِ وَالزَّرْكَشِيِّ جَوَازُهُ: أَيْ وَبَحَثَ الزَّرْكَشِيُّ جَوَازَ التَّنَحْنُحِ لِلصَّائِمِ لِإِخْرَاجِ نُخَامَةٍ تُبْطِلُ صَوْمَهُ، وَالْأَقْرَبُ جَوَازُهُ لِغَيْرِ الصَّائِمِ أَيْضًا لِإِخْرَاجِ نُخَامَةٍ تُبْطِلُ صَلَاتَهُ بِأَنْ نَزَلَتْ لِحَدِّ الظَّاهِرِ وَلَمْ يُمْكِنْهُ إخْرَاجُهَا إلَّا بِهِ انْتَهَتْ. وَالْوُجُوبُ فِي كَلَامِ الشَّارِحِ بِالنِّسْبَةِ لِلنَّفْلِ مَعْنَاهُ الْوُجُوبُ لِأَجْلِ الصِّحَّةِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ.

]الرملي، شمس الدين ,نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ,2/41[

وَلَوْ نَزَلَتْ نُخَامَةٌ مِنْ دِمَاغِهِ إلَى ظَاهِرِ الْفَمِ، وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَابْتَلَعَهَا بَطَلَتْ، فَلَوْ تَشَعَّبَتْ فِي حَلْقِهِ وَلَمْ يُمْكِنْهُ إخْرَاجُهَا إلَّا بِالتَّنَحْنُحِ وَظُهُورِ حَرْفَيْنِ وَمَتَى تَرَكَهَا نَزَلَتْ إلَى بَاطِنِهِ، وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَتَنَحْنَحَ وَيُخْرِجَهَا، وَإِنْ ظَهَرَ حَرْفَانِ قَالَهُ فِي رِسَالَةِ النُّورِ.

]الرملي، شمس الدين، نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج، ٥٢/٢[

(وتبطل بقليل الأكل) أي المأكول عرفا ، ولا يتقيد بنحو السمسمة : أي بوصوله إلى جوفه ، وإن كان مكرها عليه لشدة منافاته لها مع ندرته ، ومثله لو وصل مفطر جوفه كباطن أذن ، وإن قل ، أما المضغ نفسه فلا تبطل بقليله كبقية الأفعال ( قلت : إلا أن يكون ناسيا ) للصلاة ( أو جاهلا ) تحريمه وعذر معه فلا تبطل بقليله قطعا ( والله أعلم ) وكذا لو جرى ريقه بباقي طعام بين أسنانه وعجز عن تمييزه ومجه كما في الصوم ، أو نزلت نخامة ولم يمكنه إمساكها ، بخلاف كثيره عرفا ولو ناسيا أو جاهلا ، وإنما لم يفطر به عند المصنف ؛ لأن الصلاة ذات أفعال منظومة ، والكثير يقطع نظمها ، والصوم كف ولتلبس المصلي بهيئة يبعد معها النسيان بخلاف الصوم ،

]نووي الجاوي، نهاية الزين، صفحة ١٨٧[

(لَا بقلع نخامة) وَلَو نزلت من دماغه أَو خرجت من جَوْفه ووصلت إِلَى حد الظَّاهِر وَجب قلعهَا ومجها ويعفى عَمَّا أَصَابَته لَو كَانَت نَجِسَة, فَإِن تَركهَا مَعَ الْقُدْرَة على ذَلِك فَرَجَعت إِلَى حد الْبَاطِن أفطر لتَقْصِيره, وَلَو كَانَ فِي فرض صَلَاة وَلم يقدر على مجها إِلَّا بِظُهُور حرفين فَأكْثر لم تبطل صلَاته بل يتَعَيَّن ذَلِك مُرَاعَاة لمصلحتها كالتنحنح لتعذر الْقِرَاءَة الْوَاجِبَة, وحد الظَّاهِر هُوَ مخرج الْخَاء الْمُعْجَمَة عِنْد الرَّافِعِيّ والحاء الْمُهْملَة عِنْد النَّوَوِيّ وَهُوَ الْمُعْتَمد, فَإِن لم تصل إِلَى حد الظَّاهِر الْمَذْكُور بِأَن كَانَت دَاخِلا عَمَّا ذكر أَو حصلت فِي حد الظَّاهِر وَلم يقدر على قلعهَا ومجها لم يضر.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢٥٧/٢[

)قوله: لا بقلع نخامة) معطوف على استقاءة، أي لا يفطر بقلع نخامة – أي إخراجها. قال البجيرمي، هو مستثنى من الاستقاءة – كما قاله ح ل. والقلع: إخراجها من محلها الأصلي، والمج إخراجها من الفم. والنخامة – بالميم – وتقال بالعين – وهي الفضلة الغليظة تنزل من الدماغ، أو تصعد من الباطن، فلا تضر، ولو نجسة. اه. (قوله: من الباطن) هو مخرج الهمزة والهاء. والظاهر: مخرج الحاء المهملة، أو الخاء المعجمة – كما سيأتي. (قوله: أو الدماغ) عطف على الباطن، – من عطف الخاص على العام – أي ولا بقلعها من الدماغ.

(قوله: فلا يفطر به) أي بقلعها المذكور، وهذا على الأصح، ومقابله يفطر به، كالاستقاءة. (قوله: إن لفظها) أي رماها. فاللفظ مراد به معناه اللغوي، وهو الطرح والرمي. (قوله: لتكرر الحاجة إليه) أي إلى قلع النخامة، وهو علة لعدم فطره بذلك، ومع ذلك يندب له القضاء – مراعاة للخلاف – كما في التحفة. (قوله: أما لو ابتلعها الخ) مفهوم قوله إن لفظها. (وقوله: مع القدرة على لفظها) فإن لم يقدر عليه – بأن نزلت من الدماغ إلى الباطن – فلا يفطر به كما ستعرفه. (قوله: بعد وصولها) أي استقرارها في الظاهر، فإن لم يستقر فيه – بل وصلت إلى الباطن من غير استقرار فيه – فلا يفطر.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢٥٨/٢[

(قوله: وهو) أي حد الظاهر, (قوله: مخرج الحاء المهملة) أي على المعتمد. قال في النهاية: ثم داخل الفم والأنف إلى منتهى الغلصمة والخيشوم، له حكم الظاهر بالنسبة للافطار باستخراج القئ إليه، أو ابتلاع النخامة منه، ولعدم الإفطار بالنسبة لدخول شئ فيه وإن أمسكه وبالنسبة للنجاسة فإذا تنجس وجب غسله، وله حكم الباطن بالنسبة للريق. فإذا ابتلعه لا يفطر، وبالنسبة للجنابة فلا يجب غسله، وفارقت النجاسة – حيث وجب غسلها منه – بأنها أفحش وأندر، فضيق فيها ما لم يضيق في الجنابة.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢٢٣/١[

(قوله: وبصق في صلاته إلخ) أي وكره بصق إلخ، وهو بالصاد والسين والزاي. ومحل الكراهة إذا كان في غير المسجد، أما فيه فيحرم. فإذا كان فيه وأراد أن يبصق فليكن في ثوب، وليكن عن يساره. وعبارة النهاية: ومحل ما تقرر في غير المسجد، فإن كان فيه بصق في ثوبه في الجانب الأيسر وحك بعضه ببعض، ولا يبصق فيه فإنه حرام. كما صرح به في المجموع والتحقيق لخبر: البصاق في المسجد خطيئة، وكفارتها دفنها. ويجب الإنكار على فاعله. ويحصل الغرض ولو بدفنها في ترابه أو رمله، بخلاف المبلط فدلكها فيه ليس بدفن بل زيادة في تقديره. ويسن تطييب محله. وإنما لم تجب إزالته منه – مع كون البصاق محرما فيه – للاختلاف في تحريمه. اه. وقوله: ويحصل الغرض أي وهو كفارتها. اه ع ش.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢٢٤/١[

ولو كان على يساره فقط إنسان بصق عن يمينه إذا لم يمكنه ما ذكر، كما هو ظاهر. سواء من بالمسجد وغيره، لان البصاق إنما يحرم فيه إن بقي جرمه لا إن استهلك في نحو ماء مضمضة وأصاب جزءا من أجزائه دون هوائه، سواء من به وخارجه، إذ الملحظ التقدير وهو منتف فيه.

وقوله: ويبصق لا إلى اليمين ولا إلى اليسار أي بل تحت قدمه، أو في منديل بيده.

]القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢١٤/١[

(رَاجِعٌ إلَى التَّنَحْنُحِ) أَيْ لِأَنَّ غَيْرَهُ مِمَّا ذُكِرَ مَعَهُ، لَا تَتَوَقَّفُ الْقِرَاءَةُ عَلَيْهِ، وَلَا يَتَقَيَّدُ الْعُذْرُ فِي هَذَا بِقِلَّةٍ، وَلَا بِكَثْرَةٍ بَلْ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ، وَإِنْ كَثُرَتْ حُرُوفُهُ، وَيُعْذَرُ فِي التَّنَحْنُحِ أَيْضًا لِإِخْرَاجِ نُخَامَةٍ خِيفَ مِنْهَا، بُطْلَانُ صَوْمِهِ أَوْ صَلَاتِهِ كَأَنْ حَصَلَتْ فِي حَدِّ الظَّاهِرِ.

]القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢١٨/١[

(تَنْبِيهٌ ) لَوْ نَزَلَتْ نُخَامَةٌ مِنْ رَأْسِهِ وَتَعَارَضَ بَلْعُهَا مَعَ ظُهُورِ حَرْفَيْنِ فَأَكْثَرَ فِي قَطْعِهَا ، فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ يَقْطَعُهَا وَيُغْتَفَرُ ظُهُورُ مَا ذُكِرَ .

]القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٧٠/٢[

قَوْلُهُ : (نُخَامَةً ) بِالْمِيمِ وَتُقَالُ بِالْعَيْنِ وَهِيَ الْفَضْلَةُ الْغَلِيظَةُ تَنْزِلُ مِنْ الدِّمَاغِ أَوْ تَصْعَدُ مِنْ الْبَاطِنِ, فَلَا تَضُرُّ وَلَوْ نَجِسَةً وَخَرَجَ بِاقْتَطَعَ مَا لَوْ حَصَلَتْ بِنَفْسِهَا أَوْ بِنَحْوِ سُعَالٍ فَلَفَظَهَا فَلَا يُفْطِرُ جَزْمًا وَبِلَفْظِهَا مَا لَوْ ابْتَلَعَهَا بَعْدَ وُصُولِهَا لِلظَّاهِرِ فَيُفْطِرُ جَزْمًا ، وَمِثْلُ لَفْظِهَا مَا لَوْ بَقِيَتْ فِي فَمِهِ . قَوْلُهُ : (حَدِّ الظَّاهِرِ مِنْ الْفَمِ) وَهُوَ مَخْرَجُ الْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ عِنْدَ النَّوَوِيِّ وَاعْتَمَدُوهُ وَهُوَ مُشْكِلٌ لِأَنَّهَا مِنْ وَسَطِ الْحَلْقِ أَوْ الْخَاءِ الْمُعْجَمَةِ عِنْدَ الرَّافِعِيِّ قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ : وَدَاخِلُ الْفَمِ وَالْأَنْفِ إلَى مُنْتَهَى الْخَيْشُومِ لَهُ حُكْمُ الظَّاهِرِ فِي الْإِفْطَارِ بِوُصُولِ الْقَيْءِ إلَيْهِ وَابْتِلَاعُ النُّخَامَةِ مِنْهُ وَعَدَمُ الْإِفْطَارِ بِوُصُولِ عَيْنٍ إلَيْهِ وَإِنْ أَمْسَكَهَا فِيهِ وَوُجُوبُ غَسْلِهِ مِنْ نَجَاسَةٍ وَلَهُ حُكْمُ الْبَاطِنِ فِي عَدَمِ الْإِفْطَارِ بِابْتِلَاعِ الرِّيقِ مِنْهُ، وَعَدَمُ وُجُوبِ غَسْلِهِ لِنَحْوِ جُنُبٍ . وَفَرَّقَ السَّنْبَاطِيُّ بِأَنَّ أَمْرَ النَّجَاسَةِ أَغْلَظُ فَضَيَّقَ فِيهِ بِخِلَافِ الْجَنَابَةِ انْتَهَى فَرَاجِعْهُ وَتَأَمَّلْهُ . قَوْلُهُ : ( وَلْيَمُجَّهَا ) وَلَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُ وَلَوْ فَرْضًا بِالنُّطْقِ بِحُرُوفٍ تَوَقَّفَ إخْرَاجُهَا عَلَيْهَا وَإِنْ كَثُرَتْ كَمَا فِي تَعَذُّرِ الْقِرَاءَةِ الْوَاجِبَةِ.


[1] Menurut Imam Rafi’i, batasan bagian dhahir mulut adalah makhraj huruf kha’ (خ). Sedangkan menurut imam Nawawi, batasan bagian dhahir itu sampai pada makhraj ha’(ح). Sehingga, mulai dari makhraj huruf hamzah atau ha’, rongga dada dan seterusnya dihukumi anggota bathin. Adapun bagian dalam rongga mulut, bagian dalam hidung hingga pangkal sinus dihukumi anggota luar tubuh. Hal tersebut berdasarkan pada bahwa muntahan perut dapat membatalkan shalat jika sampai bagian tersebut. Begitu pula dengan menelan dahak/ingus yang sudah berada di anggota tubuh tersebut, serta tidak batalnya puasa ketika ada benda yang masuk ke dalam bagian tubuh tersebut.

[2] Hukum deham (tanahnuh) untuk mengeluarkan dahak ini adalah boleh (jawaz). Dalam redaksi kitab Nihayah Al-Muhtaj, juz 1 hlm. 41, mushannif menyebutkan kata “wujub” dalam menghukumi deham itu sebenarnya bukan menunjukkan kewajiban yang konsekuensi jika ditinggalkan adalah haram. Tetapi, yang dimaksud adalah jawaz atau sunnah sebab bertujuan untuk kemaslahatan shalat. Dengan demikian, sesuai dengan kaidah fikih, bila deham untuk kemaslahatan shalat dihukumi sunnah, maka meninggalkannya dihukumi makruh, sehingga hukum menahan dahak di rongga mulut juga makruh, atau tidak harus meludahkan dahak yang keluar melewati batas dzahir.

[3] Dalam pembahasan ini, terdapat dua istilah tindakan yang penting untuk diketahui, yaitu mengeluarkan (qal’) dan meludahkan (majj). Qal’ adalah mengeluarkan dahak yang tertahan di makhraj kha’/kho ke rongga mulut, sedangkan majj adalah meludahkan dahak keluar dari mulut.

[4] Hukum meludah ketika shalat adalah makruh ketika tidak di dalam masjid. Sedangkan meludah di dalam masjid hukumnya haram, sebab hal tersebut termasuk mengotori masjid.

[5] Cara meludahkan dahak yang paling baik dilakukan oleh mushalli adalah dengan meniru apa yang dilakukan oleh Almaghfurlah KH. Zainal Abidin Munawwir. Belisu seringkali membawa wadah kecil di saku beliau sebagai jalan keluar jika sewaktu-waktu harus meludah ketika shalat.

Photo by correcto.id

Memberi Isyarat Dengan Gerakan Mata Dalam Shalat

Pertanyaan :

Pada redaksi “al-kalam”, bagaimana jika dalam shalat melakukan isyarah (seperti anggota mata) dengan sengaja, apakah termasuk hal yang membatalkan shalat sebagaimana berbicara dengan sengaja itu membatalkan shalat?

Jawaban:

Salah satu hal yang membatalkan shalat adalah al-kalam (الكلام) disengaja yang patut digunakan bercakap-cakap oleh manusia baik dilakukan sebab tujuan kemaslahatan shalat ataupun tidak. Maksud dari al-kalam dalam redaksi tersebut adalah ucapan/melafalkan (النطق) yang mengandung dua huruf walaupun tidak memberi pemahaman atau satu huruf yang memahamkan walaupun tidak dengan lisan, misalnya dengan tangan atau kaki.

Sedangkan melakukan isyarat misalnya isyarat dengan mata, walaupun memberi pemahaman bukan merupakan kalam selama tidak terucapkan dua huruf atau satu huruf yang memahamkan, sehingga tidak bisa membatalkan shalat dengan syarat tidak dilakukan untuk guyonan. Sebaliknya, apabila isyarat tersebut dilakukan untuk guyonan maka dapat membatalkan shalat walaupun cuma satu gerakan isyarat yang tidak memeberi pemahaman.

[الباجوري ,حاشية الباجوري على ابن قاسم =دار العلم,1/174 ]       

والمراد به : النطق ولو بحرفين وإن لم يفهما، أو حرف مفهم ؛ نحو: (ق) من الوقاية ، و(ع ) من الوعي ، بخلاف حرف غیر مفهم ، ما لم يكن قاصدة الإتيان بكلام مبطل ، وإلا بطلت صلاته ؛ لأنه نوى المبطل وشرع فيه. والحرف الممدود مع مدته حرفان ، فتبطل بهما الصلاة ، سواء كانت مَدّته ألفا أو ياء أو واوا ولو كان الناطق بذلك مكرها ؛ لندرة الإكراه فيها   الخ ………… وخرج بالكلام : الصوت الغفل ؛ أي : الخالي عن الحروف ؛ كأن نهق نهيق الحمير ، أو صهل صهيل الخيل ، أو حاکی شيئا من الطيور ، ولم يظهر من ذالك حرفان ، ولا حرف مفهم ؛ فلا تبطل به صلاته ما لم يقصد به اللعب ، وكذا لو أشار الأخرس بشفتيه ولو إشارة مفهمة للفطن أو غيره .

[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢١٣/١]

قَوْلُهُ: (بِالنُّطْقِ) أَيْ التَّلَفُّظِ. قَالَ شَيْخُنَا: وَلَوْ بِغَيْرِ اللِّسَانِ كَالْيَدِ وَالرِّجْلِ وَالْأَنْفِ، إنْ سَمِعَ نَفْسَهُ، وَلَوْ كَانَ حَدِيدَ السَّمْعِ، أَوْ كَانَ بِحَيْثُ يُسْمَعُ لَوْ كَانَ مُعْتَدِلَهُ. قَوْلُهُ: (مِنْ غَيْرِ الْقُرْآنِ إلَخْ) دَخَلَ فِي الْغَيْرِ مَنْسُوخُ التِّلَاوَةِ وَالتَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ وَالْأَحَادِيثُ، وَلَوْ قُدْسِيَّةً، وَلَوْ قَالَ قَالَ اللَّهُ، أَوْ قَالَ النَّبِيُّ، أَوْ قَافٌ أَوْ صَادٌ، بَطَلَتْ مَا لَمْ يَقْصِدْ أَنَّهُ مِنْ الْقُرْآنِ، وَخَرَجَ بِالنُّطْقِ الْإِشَارَةُ وَلَوْ مِنْ أَخْرَسَ أَوْ بِاللِّسَانِ، وَإِنْ قَصَدَ بِهَا الْإِفْهَامَ كَمَا يَأْتِي، وَيُنْدَبُ لِلْمُصَلِّي رَدُّ السَّلَامِ بِهَا، كَمَا يَجُوزُ رَدُّهُ وَالتَّشْمِيتُ بِغَيْرِ الْخِطَابِ نَحْوُ عَلَيْهِ السَّلَامِ وَرَحْمَةُ اللَّهِ كَمَا سَيَأْتِي.

Photo by pexels.com

Batasan-Batasan Gerakan Yang Membatalkan Shalat

Pertanyaan :

Bagaimana batasan dari “al-‘amal al-katsir” (gerakan banyak) yang membatalkan shalat dan batasan “al-‘amal al-qolil” (gerakan sedikit) yang tidak membatalkan shalat pada redaksi  والعمل الكثير المتوالي الخ… ، أما العمل القليل فلا تبطل الصلاة به?

Jawab :

Dalam redaksi tersebut dapat dijelaskan bahwa gerakan di dalam shalat yang berkaitan dengan batal tidaknya shalat terbagi menjadi dua macam, yaitu gerakan banyak (الفعل الكثير) dan gerakan sedikit (الفعل القليل). Berikut ini adalah penjabarannya:

  1. Gerakan banyak (الفعل الكثير)

Gerakan banyak (الفعل الكثير) adalah gerakan sebanyak tiga kali atau lebih. Gerakan banyak dapat membatalkan shalat baik dikerjakan karena sengaja, lupa, atau tidak tahu (hukum keharamannya)[1] apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Gerakan tersebut sebanyak tiga kali atau lebih, baik dilakukan oleh anggota tubuh sejenis ataupun anggota tubuh yang berbeda.
  2. Gerakan tersebut dikerjakan berturut-turut (nuli-nuli).

Gerakan dianggap berturut-turut dihitung dengan kebiasaan pada umumnya (‘urf). Sebagian ulama memperkirakan dua gerakan dianggap berturut-turut apabila antara gerakan pertama dan kedua atau gerakan kedua dan ketiga memiliki jeda kira-kira sepanjang surat Al-Ikhas atau al-baqiyatu as-sholihat, atau satu rakaat yang ringan.

  • Gerakan tersebut dilakukan oleh anggota tubuh utama (ثقيل)

Yang termasuk anggota tubuh utama antara lain adalah kaki, tangan, kepala, telapak tangan, paha, bahu, dan lainnya. Dikecualikan dari anggota tubuh utama adalah anggota tubuh ringan (خفيف) yang meliputi bibir, telinga, lidah, penis, pelupuk mata, jari-jari tangan/kaki, dan hidung. Oleh sebab itu apabila seseorang melakukan gerakan anggota tubuh yang ringan lebih dari tiga gerakan secara berturut-turut maka tidak membatalkan shalat walaupun disengaja selama tidak diniatkan untuk guyonan (main-main).

  • Gerakan tersebut yakin telah dilakukan. Oleh sebab itu apabila seseorang ragu apakah telah melakukan gerakan tiga kali berturut dengan anggota tubuh utama atau tidak, maka shalatnya tidak batal.
  • Gerakan tersebut bukan merupakan gerakan yang sejenis dari gerakan rukun shalat ( (ركن فعلي.

Apabila seseorang melakukan gerakan sejenis rukun shalat bukan pada tempatnya secara sengaja, misalnya melakukan rukuk secara sengaja yang bukan pada waktunya rukuk, maka hal tersebut dapat membatalkan shalat meskipun dilakukan hanya satu kali.

  • Gerakan tersebut bukan gerakan refleks (بغير اختياره), gerakan dalam keadaan perang (شدة الخوف), gerakan karena tidak bisa menahan gatal, gerakan karena kaget, atau gerakan saat shalat sunnah saat perjalanan (نفل السفر). Oleh sebab itu dalam keadaan-keadaan tersebut gerkan banyak tidak membatalkan shalat selama tidak melampaui batas atau tidak untuk guyonan.
  • Gerakan Sedikit (الفعل القليل)

Gerakan yang bisa dikategorikan sebagai gerakan sedikit (الفعل القليل) adalah sebagai berikut:

  1. Gerakan dari anggota tubuh utama yg kurang dari tiga kali walaupun  dilakukan berturut-turut.
  2. Gerakan tubuh utama yang dilakukan tiga kali atau lebih tetapi tidak berturut-turut.

Gerakan sedikit tersebut tidak membatalkan shalat walaupun dikerjakan dengan sengaja apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Bukan diniatkan untuk guyonan (main-main)

Oleh sebab itu apabila melakukan gerakan karena guyonan walaupun dilakukan satu kali maka dapat membatalkan shalat.

  • Bukan gerakan fahisyah (keterlaluan)

Contoh dari gerakan fahisyah adalah melompat, berjoged dan lain-lain. Oleh sebab itu apabila seseorang melakukan gerakan fahisyah meskipun dilakukan satu kali maka dapat membatalkan shalat.

  • Bukan diniatkan untuk melakukan tiga gerakan.

Oleh sebab itu apabila seseorang meniatkan melakukan tiga kali gerakan maka pada saat melakukan gerakan yang pertama sudah bisa dianggap  membatalkan shalat.

Catatan: Dalam hal melangkahkan kaki dalam shalat, satu langkah kaki dihitung satu gerakan, lalu langkah kaki yang lain dihitung gerakan kedua. Sedangkan menggerakkan tangan dengan mengangkat tangan hingga mengembalikan tangan dihitung satu gerakan selama mengangkat dan mengembalikan tangan tersebut masih dapat dianggap berturut-turut (mutawaliyah), meskipun dalam mengembalikan tangan tersebut berada di tempat yang berbeda. Tetapi tidak demikian dengan mengangkat kaki. Apabila mengangkat kaki lalu meletakkannya kembali di tempat yang berbeda, maka hal tersebut dihitung dua gerakan. Jika setelah diangkat lalu diletakkan di tempat yang sama, hal tersebut dihitung satu gerakan.

Referensi:

[السيد احمد بن عمر الشاطرى ,نيل الرجاء بشرح سفينة النجاء،= دار المنهاج/  ٢٠٣-٢٠٤ [

 )وثلاث حركات متواليات ولو سهوا ) المعنى : أن الصلاة تبطل أيضا بالعمل الكثير ولو من الناسي والجاهل المعذور ، وهوثلاثة أفعال فأكثر متابعة عرفا ؛ بحيث لا يعدّ الفعل الثاني منقطعة عن الأول ، ولا الثالث منقطعة عن الثاني ، ولا فرق بين أن يكون بعضو واحد أو بأكثر ، لكن بشرط أن يكون ثقيلا ؛ كاليد و الرجل والرأس واللحيين ، فلا يضر بالخفيف كالأصابع وحدها والأجفان والشفة ولو مرارة متعددة متوالية وخرج بـ ( الكثير ) القليل ، وهو ما قل عن الأفعال الثلاثة وإن تتابع ، أو كان ثلاثة فأكثر ولم يتابع . هذا كله ما لم يقصد اللعب ، ولم يكن ضروريا لا يقدر على تركه ؛ كحكة الجرب ، وإلا ضر في الأولى مطلقا ولو قليلا بعضو خفيف ، ولم يضر في الثانية مطلقا.

[نووي الجاوي، نهاية الزين، صفحة 89-٩٠]

(و) الثَّالِث ب (فعل كثير) عرفا إِذا كانَ كثيرا يَقِينا ثقيلا (وَلَاء) بِغَيْر عذر وَلَا فرق فِي الْفِعْل الْمُبْطل بَين عمده وسهوه فَيبْطل مُطلقًا (وَلَو سَهوا) سَوَاء كَانَ من جنس وَاحِد (كثلاث خطوَات) أَو ضربات مُتَوَالِيَة أَو من أَجنَاس كخطوة وضربة وخلع نعل وَيفهم مِمَّا تقدم أَن ضَابِط الْكَثْرَة الْعرف فَمَا يعده النَّاس كثيرا يضر مثل ثَلَاث خطوَات وَإِن كَانَت بِقدر خطْوَة وَاحِدَة وَالْمُعْتَمد أَن الخطوة نقل الْقدَم إِلَى أَي جِهَة كَانَت فَإِن نقلت الْأُخْرَى عدت ثَانِيَة سَوَاء سَاوَى بهَا الأولى أم قدمهَا عَلَيْهَا أم أَخّرهَا عَنْهَا وَذَهَاب الرجل وعودها يعد مرَّتَيْنِ مُطلقًا بِخِلَاف ذهَاب الْيَد وعودها على الِاتِّصَال فَإِنَّهُ يعد مرّة وَاحِدَة وكَذَا رَفعهَا ثمَّ وَضعهَا وَلَو فِي غير موضعهَا وَأما رفع الرجل فَإِنَّهُ يعد مرّة ووضعها يعد مرّة ثَانِيَة إِن وَضعهَا فِي غير موضعهَا وَالْفرق بَين الْيَد وَالرجل أَن الرجل عَادَتهَا السّكُون بِخِلَاف الْيَد وَلَو نوى الْفِعْل الْكثير وَشرع فِيهِ بطلت صلَاته لِأَنَّهُ قصد الْمُبْطل وَشرع فِيهِ

[البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢٤٨/١]

(قوله: بفعل كثير) أي وتبطل الصلاة بصدور فعل كثير منه. وقوله: يقينا منصوب بإسقاط الخافض، أو على الحال. وهو قيد في الكثرة المقتضية للبطلان. أي أن كثرة الفعل لا بد أن تكون يقينية وإلا فلا بطلان. والحاصل ذكر للفعل المبطل ستة شروط: أن يكون كثيرا، وأن تكون كثرته بيقين، وأن يكون من غير جنس أفعالها، وأن يصدر من العالم بالتحريم، وأن يكون ولاء، وأن لا يكون في شدة الخوف ونفل السفر.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢48/1[

(قوله: إن صدر) أي ذلك الفعل الكثير. وقوله: ممن علم تحريمه أي من مصل علم تحريم الفعل الكثير في الصلاة. وقوله: أو جهله هو مفهوم العلم. وقوله: ولم يعذر أي في جهله، بأن يكون بين أظهر العلماء وبعيد عهد بالاسلام. وهو قيد في الجهل، وخرج به المعذور فلا يبطل فعله الكثير.

[الكاف، التقريرات السديدة في المسائل المفيد = دار المراث النبوي،1/263-264]

الثاني : الفعل الكثير.

وهو ثلاث حركات ولو سهوا، بشرط أن تكون متوالية.[2] ضابط التوالي: بحيث تنسب الحركة الثانية إلى الحركة الأولى، والحركة الثالثة إلى الثانية ، وتكون غير متوالية بحيث لا تنسب ، ويكون ذلك بالعرف، وقدره بعضهم بأن يفصل بينهم بقدر سورة ( قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ)، أو بقدر : «الباقيات الصالحات» .

و مسائل في الفعل الكثير في الصلاة :

 (1) الخطوة من الرجل تعتبر حركة واحدة، فإن قلت معها الرجل الأخرى فتعتبر حرکتین[3] وذهاب اليد ورجوعها، أو وضعها ورفعها، يعتبر حركة واحدة إذا كان متصلة، أي : بدون توقف.

(۲) الحركة الواحدة أو الحركتان : لا تبطل الصلاة وإن تعمدها، إلا في ثلاث حالات فتبطل الصلاة، وهي :

ا- إذا كانت بقصد اللعب

۲- إذا كانت فاحشة أو ضربة مفرطة .

٣ – إذا نوى أن يتحرك ثلاث حركات، فبمجرد أن يشرع بالحركة الأولى بطلت صلاته؛ لأنه شرع في مبطل

(۳) الحركة الكثيرة المتوالية: تبطل الصلاة إلا في أربع حالات فلا تبطل، وهي:

١ – إذا كانت الحركة بالأعضاء الخفيفة، وهي مجموعة في قول بعضهم

فشفــــة، والأذن، واللســــان         وذكــر، والجفــن، والبنــــان

تحريكهن إن تــوالي وكثـــر        بغیرعذرفي الصلاة – لا يضر

۲- إذا كانت بغير اختياره، کشدة برد.

٣ – إذا كان مبتلئ بجرب ولم يقدر على الصبر عن الحك.

٤ – إذا كانت في صلاة شدة الخوف.


[1] Orang yang tidak tahu hukum  (جاهل بتحريم الحكم) terbagi menjadi dua, yaitu tidak tahu bukan karena udzur dan tidak tahu karena udzur. Untuk  orang yang tidak tahu hukum keharaman bergerak banyak dalam shalat bukan karena ada udzur, maka gerakan tersebut tetap membatalkan shalat. Misalnya tidak tahu bukan karena ada udzur adalah ketidaktahuan seseorang karena tidak mau belajar. Sedangkan dalam redaksi kitab I’anah Ath-Thalibin juz 1 hlm. 248 dijelaskan bahwa orang yang tidak tahu hukum keharaman bergerak banyak dalam shalat selama karena ada udzur atas ketidaktahuannya, maka hal tersebut tidak membatalkan shalat. Misalnya tidak tahu karena ada udzur adalah ketidaktahuan seseorang karena baru masuk islam atau seseorang yang jauh dari ulama.

[2]وبشرط أن تكون من غير جنس الصلاة، وأن تصدر من العالم بالتحريم، وأن لا تكون في صلاة شدة الخوف ولا في نقل السفر.

[3] وهو معتمد ابن حجر في «التحفة، والرملي، وسواء أنقلها إلى محاذاة الأخرى أم أقرب منها أم أبعد.

Photo by konfirmasitimes.com

Shalat Dalam Kendaraan (2)

Jawaban Pertanyaan 3 :

Bagaimana hukum jama’ dan qoshor untuk salat Ardian saat perjalanan di dalam kereta? Dan bagaimana hukum qoshor untuk salat i’adah-nya?

Katagori Salat Qoshor

Salat Qoshor adalah meringkas salat maktubah  yang berjumlah empar rakaat menjadi dua rokaat pada saat perjalanan mencapai jarak dua marhalah. Maksud salat maktubah adalah semua salat yang pada dasarnya adalah salat lima waktu. Termasuk didalam katagori salat  maktubah adalah salat lihurmatil waqti bagi faqidut-thohurain (tidak menemukan air atau debu). Karena pada dasarnya semua salat  fardhu lihurmatil waqti adalah salat lima waktu. Dalam hal ini, termasuk juga salat  lihurmatil waqti Dhuhur atau Ashar dari kasus Ardian karena pada prinsipnya juga disamakan  .(قياس) dengan masalah  faqidut-thohurain . Oleh sebab itu Ardian diperbolehkan mengqoshor salat lihurmatil waqti ketika di dalam kereta selama syarat-syarat  yang lainnya bisa terpenuhi.

Termasuk juga dalam katagori salat maktubah adalah salat yang wajib diulang  bukan karena batalnya salat yang pertama (الْمُعَادَةَ لِغَيْرِ إفْسَادٍ). Misalnya adalah salat ‘iadah yang wajib dilakukan karena salat yang pertama  merupakan salat lihurmatil waqti. Dalam hal ini salat pertama hukumnya tidak batal walaumpun misalnya ada syarat-syarat sah salat yang tidak terpenuhi karena adanya ‘udzur tertentu.  Oleh sebab itu, dalam kasus Ardian,  salat ‘iadah yang wajib dia kerjakan termasuk katagori salat yang boleh diqoshor walaupun salat yang pertama (lihurmatil waqti ) dikerjakan secara sempurna empat rokaat.  Dan tentunya juga harus memenuhi semua syarat-syarat  qoshor salat.

Bagaimana hukum jama’ untuk salat Ardian saat perjalanan di dalam kereta?”

Katagori salat jama’

Dalam kasus Ardian, salat yang pertma adalah salat lihurmatil waqti yang wajib diulangi. Meskipun diulangi salat yang pertama tetap dihukumi sah secara syara’. Diketahui bahwa salah satu syarat jama’ taqdim adalah harus adanya keyakinan (يقين ) atau persangkaan (ظن)  bahwa salat yang pertama adalah salat yang sah secara syara’ (bukan salat yang batal). Oleh sebab itu dalam hal ini diperbolehkan bagi Ardian untuk menjama’ taqdim salat Dhuhur dan Ashar tentunya dengan tetap harus memenuhi syarat-syarat jama’ taqdim lainnya. Sedangkan untuk jama’ takhir tidak harus adanya syarat keyakinan (يقين ) atau persangkaan (ظن)  bahwa salat yang pertama adalah salat yang sah secara syara’. Oleh itu dalam hal ini diperbolehkan bagi Ardian untuk menjama’ ta’khir salat Dhuhur dan Ashar dan tentunya dengan tetap harus memenuhi syarat-syarat jama’ taqdim lainnya.

Referensi:

Qoshor

[5] (بَابُ) كَيْفِيَّةِ (صَلَاةِ الْمُسَافِرِ) مِنْ حَيْثُ الْقَصْرِ وَالْجَمْعِ مَعَ كَيْفِيَّةِ الصَّلَاةِ بِنَحْوِ الْمَطَرِ. (إنَّمَا تُقْصَرُ رُبَاعِيَّةٌ مَكْتُوبَةٌ) هِيَ مِنْ زِيَادَتِي بِشُرُوطِهِ الْآتِيَةِ فَلَا تُقْصَرُ صُبْحٌ، وَمَغْرِبٌ، وَمَنْذُورَةٌ، وَنَافِلَةٌ وَلَا فَائِتَةُ حَضَرٍ لِأَنَّهُ قَدْ تَعَيَّنَ فِعْلُهَا أَرْبَعًا فَلَمْ يَجُزْ نَقْصُهَا كَمَا فِي الْحَضَرِ وَلَا مَشْكُوكٌ فِي أَنَّهَا فَائِتَةُ سَفَرٍ أَوْ حَضَرٍ احْتِيَاطًا؛ وَلِأَنَّ الْأَصْلَ الْإِتْمَامُ وَلَا فَائِتَةُ سَفَرُ غَيْرِ قَصْرٍ وَلَوْ فِي سَفَرٍ آخَرَ وَلَا فَائِتَةُ سَفَرِ قَصْرٍ فِي حَضَرٍ أَوْ سَفَرٍ غَيْرِ قَصْرٍ لِأَنَّهُ لَيْسَ مَحَلَّ قَصْرٍ.

(قَوْلُهُ: مَكْتُوبَةٌ) أَيْ: أَصَالَةً أَيْ: وَإِنْ وَقَعَتْ نَفْلًا فَيَدْخُلُ فِيهِ الصَّلَاةُ الْمُعَادَةُ فَلَهُ قَصْرُهَا حَيْثُ قَصَرَ أَصْلَهَا. اهـ. ز ي وس ل وح ل وع ش وَخَالَفَ ق ل عَلَى الْجَلَالِ وَنَصُّ عِبَارَتِهِ قَوْلُهُ: مَكْتُوبَةٌ وَلَوْ بِحَسَبِ الْأَصْلِ فَشَمِلَ صَلَاةَ الصَّبِيِّ وَصَلَاةَ فَاقِدِ الطَّهُورَيْنِ فَلَهُ الْقَصْرُ كَغَيْرِهِ وَشَمِلَ الْمُعَادَةَ لِغَيْرِ إفْسَادٍ وَإِنْ كَانَ أَتَمَّ أَصْلَهَا كَمَا اعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا وَإِلَّا بِأَنْ كَانَتْ لِلْإِفْسَادِ لَمْ يَجُزْ قَصْرُهَا كَمَا لَوْ شَرَعَ فِيهَا تَامَّةً ثُمَّ أَفْسَدَهَا اهـ (قَوْلُهُ: مُؤَدَّاةٌ) دَخَلَ فِيهَا مَا لَوْ سَافَرَ وَقَدْ بَقِيَ مِنْ الْوَقْتِ مَا يَسَعُ رَكْعَةً فَإِنَّهُ يَقْصُرُهَا سَوَاءٌ شَرَعَ فِيهَا فِي الْوَقْتِ وَهُوَ ظَاهِرٌ لِكَوْنِهَا مُؤَدَّاةً أَمْ صَلَّاهَا بَعْدَ خُرُوجِ الْوَقْتِ لِأَنَّهَا فَائِتَةُ سَفَرٍ كَمَا أَشَارَ إلَيْهِ م ر وَصَرَّحَ بِهِ ز ي اهـ إطْفِيحِيٌّ وَعِبَارَةُ الْبِرْمَاوِيِّ قَوْلُهُ: مُؤَدَّاةٌ أَيْ: يَقِينًا وَلَوْ أَدَاءً مَجَازِيًّا بِأَنْ شَرَعَ فِيهَا بَعْدَ شُرُوعِهِ فِي السَّفَرِ وَأَدْرَكَ مِنْهَا رَكْعَةً فِي الْوَقْتِ وَهَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ

[البجيرمي ,حاشية البجيرمي على شرح المنهج = التجريد لنفع العبيد ,1/349]

 [6] بَابُ صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَيْ كَيْفِيَّتِهَا مِنْ حَيْثُ الْقَصْرُ وَالْجَمْعُ الْمُخْتَصِّ هُوَ بِجَوَازِهِمَا. وَخَتَمَ بِجَوَازِ الْجَمْعِ بِالْمَطَرِ لِلْمُقِيمِ. (إنَّمَا تُقْصَرُ رُبَاعِيَّةٌ) مِنْ الْخَمْسِ فَلَا قَصْرَ فِي الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ (مُؤَدَّاةٌ فِي السَّفَرِ الطَّوِيلِ الْمُبَاحِ) أَيْ الْجَائِزِ طَاعَةً كَانَ كَالسَّفَرِ لِلْحَجِّ وَزِيَارَةِ قَبْرِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَوْ غَيْرَهَا كَسَفَرِ التِّجَارَةِ (لَا فَائِتَةُ الْحَضَرِ) أَيْ لَا تُقْصَرُ إذَا قُضِيَتْ فِي السَّفَرِ (وَلَوْ قَضَى فَائِتَةَ السَّفَرِ) أَيْ أَرَادَ قَضَاءَهَا. (فَالْأَظْهَرُ قَصْرُهُ فِي السَّفَرِ دُونَ الْحَضَرِ) لِأَنَّهُ لَيْسَ مَحَلَّ قَصْرٍ، وَالثَّانِي: يَقْصُرُ فِيهِمَا، وَالثَّالِثُ: يُتِمُّ فِيهِمَا اعْتِبَارًا لِلْأَدَاءِ فِي الْقَصْرِ. وَهَذَا هُوَ الْمُوَافِقُ لِلْحَصْرِ فِي الْمُؤَدَّاةِ دُونَ مَا قَبْلَهُ، فَالْمُرَادُ مِنْ نَفْيِ الْحَصْرِ لِلْقَصْرِ فِي الْمَقْضِيَّةِ مَا ذَكَرَ فِيهَا مِنْ التَّفْصِيلِ عَلَى الرَّاجِحِ فَيَضُمُّ مِنْهُ إلَى الْمُؤَدَّاةِ مَقْضِيَّةَ فَائِتَةِ السَّفَرِ فِيهِ، وَلَوْ شَكَّ فِي أَنَّ الْفَائِتَةَ فَائِتَةُ حَضَرٍ أَوْ سَفَرٍ أَتَمَّ فِيهِ احْتِيَاطًا

قَوْلُهُ: (مِنْ الْخَمْسِ) وَلَوْ بِحَسْبِ الْأَصْلِ فَشَمِلَ صَلَاةَ الصَّبِيِّ وَصَلَاةَ فَاقِدِ الطَّهُورَيْنِ فَلَهُ الْقَصْرُ كَغَيْرِهِ، وَشَمِلَ الْمُعَادَةَ وُجُوبًا لِغَيْرِ إفْسَادٍ وَإِنْ كَانَ أَتَمَّ أَصْلَهَا عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَشَمِلَ الْمُعَادَةَ نَدْبًا لَكِنْ إنْ قَصَرَ أَصْلَهَا كَمَا اعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا وَإِلَّا لَمْ يَجُزْ قَصْرُهَا. كَمَا لَوْ شَرَعَ فِيهَا تَامَّةً ثُمَّ أَفْسَدَهَا وَخَرَجَ النَّافِلَةُ وَلَوْ مُطْلَقَةً وَالْمَنْذُورَةُ. قَوْلُهُ: (مُؤَدَّاةٌ) أَيْ يَقِينًا كَمَا يَأْتِي وَلَوْ مَجَازًا بِأَنْ شَرَعَ فِيهَا بَعْدَ شُرُوعِهِ فِي السَّفَرِ وَأَدْرَكَ مِنْهَا رَكْعَةً فِي الْوَقْتِ كَمَا يُصَرِّحُ بِهِ شَرْحُ شَيْخِنَا الرَّمْلِيِّ وَغَيْرِهِ، وَقَوْلُ شَيْخِنَا الزِّيَادِيِّ تَبَعًا لِوَالِدِ شَيْخِنَا الرَّمْلِيِّ أَنَّهُ يَكْفِي إدْرَاكُ زَمَنٍ يَسَعُ رَكْعَةً مِنْ الْوَقْتِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِي السَّفَرِ، مُرَادُهُمَا أَنَّهُ يَجُوزُ قَصْرُهَا لِكَوْنِهَا فَائِتَةَ سَفَرٍ خِلَافًا لِلْعَلَّامَةِ الْخَطِيبِ مِنْ مَنْعِ قَصْرِهَا لِأَنَّهَا عِنْدَهُ فَائِتَةُ حَضَرٍ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ: إنَّهَا عِنْدَهُمَا مُؤَدَّاةٌ بِذَلِكَ الزَّمَنِ لِئَلَّا يَلْزَمَ عَدَمُ صِحَّةِ وَصْفِ الصَّلَاةِ بِالْقَضَاءِ وَلِمَا مَرَّ مِنْ الِاتِّفَاقِ عَلَى الْقَضَاءِ فِيمَا لَوْ لَمْ يُوقِعْ مِنْهَا رَكْعَةً فِي الْوَقْتِ وَإِنْ كَانَ شُرُوعُهُ فِي وَقْتٍ يَسَعُهَا فَأَكْثَرَ فَتَأَمَّلْ. قَوْلُهُ: (أَيْ الْجَائِزِ) فَالْمُرَادُ بِالْمُبَاحِ غَيْرُ الْحَرَامِ. قَوْلُهُ: (طَاعَةً) شَمِلَ الْوَاجِبَ وَالْمَنْدُوبَ وَيَصِحُّ أَنْ يَكُونَ سَفَرُ الْحَجِّ مِثَالًا لَهُمَا لِوُجُوبِهِ فِي حَالَةٍ وَنَدْبِهِ فِي أُخْرَى. قَوْلُهُ: (أَوْ غَيْرِهَا) مُبَاحًا أَوْ مَكْرُوهًا وَيَصِحُّ كَوْنُ سَفَرِ التِّجَارَةِ مِثَالًا لَهُمَا لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ مَكْرُوهًا كَالتِّجَارَةِ فِي أَكْفَانِ

[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢٩٤-٢٩٤/1]

Jama’

[7] (قوله وشروط جمع التقديم ثلاثة) ……… ويزاد ايضا صحة الاولى يقينا أو ظنا ولو مع لزوم الاعادة فيجمع فاقد الطهورين والمتيمم ولو بمحل يغلب فيه وجود الماء على المعتمد لوجود الشرط كما قاله الرملي وابن حجر خلافا للزركشي وان اعنمده ابن قاسم في بعض كتابته واستقر به الشبر امسلى ولا تجمع المتحيرة جمع تقديم لانتفاء صحة الاولى يقينا او ظنا فيها اذ يحتمل أنها واقعة في الحيض وكذلك من صلى الجمعة مع كونها لاتغني عن الظهر فلا يجمع معها العصر جمع تقديم كما مر.

[الباجوري ,حاشية الباجوري على ابن قاسم =دار العلم,1/207 ]               

 [8] وقوله: (تقديما) أي في وقت الأولى لغير المتحيرة، لأن شرطه ظن صحة الأولى كما يأتي وهو منتف فيها. وألحق بها كل من تلزمه الإعادة. وفيه نظر ظاهر، لأن الأولى مع ذلك صحيحة فلا مانع. وكالظهر الجمعة في هذا يمتنع على المتحيرة أن تجمع بينها و بين العصر جمع تقديم اه تحفة بزيادة،  وقوله: (وتأخيرا) أي في وقت الثانية ولو للمتحيرة، فيجوز جمعها جمع تأخير. قال ع ش: والفرق بين الجمعين: أنه يشترط الجمع التقديم ظن صحة الأولى وهو منتف في المتحيرة، بخلاف التأخير، فإنه لا يشترط ظنه ذلك فجاز و إن أمكن وقوع الأولى مع التأخير في زمن الحيض، مع احتمال أن تقع في الطهر لو فعلتها في وقتها.ه. ويستثنى الجمعة، فلا يجوز جمعها تأخيرا، لأنها لا يتأتى تأخرها عن وقتها.

[محمد شاط ,حاشية اعانة الطالبين على فتح المعين = دار الكتب الاسلامية,2/182 ]

) [9] قَوْلُهُ: وَيُسْتَثْنَى مِنْهُ) أَيْ: مِنْ كَوْنِ تَرْكِ الْجَمْعِ أَفْضَلَ مِنْ حَيْثُ هُوَ لَا بِقَيْدِ كَوْنِهِ تَقْدِيمًا، أَوْ تَأْخِيرًا كَمَا قَرَّرَهُ شَيْخُنَا (قَوْلُهُ: الْحَاجُّ بِعَرَفَةَ) أَيْ: فَإِنَّهُ يَجْمَعُ تَقْدِيمًا كَمَا يُسْتَثْنَى مِنْ النَّازِلِ وَقْتَ الْأُولَى الْحَاجُّ بِمُزْدَلِفَةَ فَإِنَّهُ يَجْمَعُ تَأْخِيرًا فِيهَا فَيُؤَخِّرُ الْمَغْرِبَ وَحِينَئِذٍ يُقَالُ: لَنَا نَازِلٌ وَقْتَ الْأُولَى، وَالتَّأْخِيرُ فِي حَقِّهِ أَفْضَلُ أَيْ: وَذَلِكَ إذَا أَرَادَ الذَّهَابَ لِمُزْدَلِفَةَ وَإِنَّمَا اسْتَثْنَى هَذَيْنِ لِلِاتِّفَاقِ عَلَى جَوَازِ الْجَمْعِ فِيهِمَا. (قَوْلُهُ: أَوْ خَلَا عَنْ حَدَثِهِ الدَّائِمِ) كَأَنْ كَانَ بِهِ سَلَسُ بَوْلٍ يَأْتِي لَهُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ أَوَّلِ وَقْتِ الظُّهْرِ إلَى آخِرِهِ ثُمَّ يَنْقَطِعُ فَيَجْمَعُ الظُّهْرَ مَعَ الْعَصْرِ جَمْعَ تَأْخِيرٍ، أَوْ يَأْتِي لَهُ مِنْ أَوَّلِ وَقْتِ الْعَصْرِ إلَى آخِرِهِ ثُمَّ يَنْقَطِعُ فَيَجْمَعُ الْعَصْرَ مَعَ الظُّهْرِ تَقْدِيمًا. وَقَوْلُهُ: وَكَشَفَ عَوْرَتَهُ بِأَنْ كَانَ فَاقِدًا لِلسَّاتِرِ وَقْتَ الظُّهْرِ، وَيَعْلَمُ أَنَّهُ يَجِدُهُ وَقْتَ الْعَصْرِ، أَوْ كَانَ وَاجِدًا لِلسَّاتِرِ وَقْتَ الظُّهْرِ وَيَعْلَمُ أَنَّهُ يَفْقِدُ مِنْهُ وَقْتَ الْعَصْرِ كَأَنْ كَانَ مُسْتَعِيرًا لَهُ، أَوْ مُسْتَأْجِرًا فَالْأَفْضَلُ لَهُ الْجَمْعُ فِي الْوَقْتِ الَّذِي يَجِدُهُ فِيهِ، أَوْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَجِدُهُ فِيهِ كَمَا قَرَّرَهُ شَيْخُنَا، وَالضَّابِطُ أَنَّ كُلَّ كَمَالٍ اقْتَرَنَ بِهِ أَحَدُ الْجَمْعَيْنِ، وَخَلَا عَنْهُ الْآخَرُ كَانَ الْمُقْتَرِنُ بِهِ أَفْضَلَ بِخِلَافِ الْقَصْرِ فِي نَظِيرِ مَا ذُكِرَ كَأَنْ كَانَ يَنْقَطِعُ عَنْهُ الْبَوْلُ أَوَّلَ الْوَقْتِ مَثَلًا قَدْرَ رَكْعَتَيْنِ، أَوْ اسْتَعَارَ ثَوْبًا يُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ فَقَطْ فَإِنَّهُ يَجِبُ لِلِاتِّفَاقِ عَلَيْهِ

[البجيرمي، حاشية البجيرمي على شرح المنهج = التجريد لنفع العبيد، ٣٦٦/١]

Catatan.:

Dalam kasus Ardian ketika di dalam kereta terdapat tempat khusus salat dan dia bisa menyempurnakan semua syarat dan rukun-rukun salat secara sempurna, maka:

  • Apabila Ardian telah melakukan salat dhuhur lihurmatil waqti misalnya pada pukul 13.00 WIB, kemudian ternyata pada pukul 13.30 WIB kereta mengalami transit lama (missal 15 menit) maka sebaiknya dia segera melakukan salat jama’ taqdim dhuhur dan ashar ketika itu juga.
  • Apabila Ardian telah melakukan salat dhuhur lihurmatil waqti misalnya pada pukul 13.00 WIB, kemudian pada pukul  13.30 WIB dia tahu bahwa nanti jam 16.00WIB kereta akan transit lama (misal 15 menit)  sehingga dia mampu untuk melakukan jama’ ta’khir maka dalam hal ini sebaiknya dia niat jama’ takhir ketika itu juga.
  • Salat dalam kedua keadaan tersebut dihukumi sah karena salat di atas kendaraan yang sedang berhenti (diam) ketika syarat dan rukun-rukunnya bisa terpenuhi maka dihukumi sah.

Photo by bimbinganislam.com