Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Panggung Krapyak tak bisa dilepaskan keberadaannya dari Kraton Yogyakarta, baik dalam tinjauan makro urban, maupun dalam tinjauan makrokosmos sebagai bentuk poros imajiner kota, bangunan ini selesai dibangun tahun 1788, merupakan  rangkaian bangunan paling akhir yang didirikan oleh raja yang berkuasa saat itu Sultan Hamengkubuwana I atau dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi. Bangunan Panggung Krapyak pada awalnya dimaksudkan sebagai tempat panggung tempat sultan dan keluarganya beristirahat dan mengawasi anggota keluarganya berburu rusa, Panggung Krapyak merupakan bangunan yang terdiri dari dua lantai, terbagi dalam 9 segmen dan mempunyai pintu ke 4 arah mata angin.

Struktur atau susunan kota Yogyakarta pada dasarnya terkait erat dengan keberadaan Kraton Yogya yang mulai eksis sejak adanya Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, mulai saat itu Sultan Hamengkubuwana I mendirikan kraton dengan berbagai macam sarana dan prasarana untuk mewadahi berbagai aktivitas kerajaan. Para Sultan penerusnya juga melakukan pengembangan sarana dan lingkungan sesuai konteks jamannya. Lingkungan binaan yang dibuat untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup dan mewadahi berbagai aktivitas, baik melakukan kegiatan sosial, budaya, usaha, dan tempat tinggal. Kelengkapan fisik, sarana, prasarana, estetik, etik, simbol dan filosofis-religius eksistensinya mempunyai koherensi dengan berbagai rancangan sebagaimana fungsi dan maknanya.

Pada zaman dahulu, daerah tempat Panggung Krapyak masih berupa hutan yang dinamakan Hutan Krapyak. Oleh karena itu, tempat ini digunakan sebagai sebuah tempat perburuan karena terletak di dekat hutan. Selain itu, bangunan ini digunakan sebagai tempat pertahanan dari binatang buas di Hutan Krapyak agar tidak sampai ke keraton.

Panggung Krapyak berbentuk menyerupai kotak ini memiliki ukuran luas 17,6 m x 15 m dan tinggi 10 m. Arsitektur bangunannya cukup unik. Setiap sisi bangunan memiliki sebuah pintu dan dua buah jendela. Pintu dan jendela ditutup dengan pagar besi yang tidak rapat sehingga bagian dalam bisa terlihat dari luar. Bagian bawah pintu dan jendela berbentuk persegi tetapi bagian atasnya melengkung, seperti rancangan pintu dan jendela di masjid. Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Pada lantai atas berupa ruangan terbuka yang cukup luas dan dibatasi pagar dengan ketinggian sedang.

Bentuk tata kota yang vertikal dari selatan ke utara melambangkan hubungan manusia kepada Sang Pencipta. Laut Selatan yang merupakan titik terendah dan Gunung Merapi yang lebih tinggi melambangkan sikap manusia yang semakin dekat dengan Sang Pencipta seiring berjalannya waktu.

Baca: LIBERALISASI PEMIKIRAN NU

Bagian garis dari Panggung Krapyak ke Tugu Pal Putih dari selatan ke utara merupakan perjalanan Sangkaning Dumadi yakni proses perjalanan manusia menuju eksistensi. Diawali dengan pertemuan antara wiji (benih) yang merupakan proses terjadinya manusia (dumadi) dilambangkan oleh Panggung Krapyak yang berupa bentuk yoni dan bentuk Tugu Pal Putih yang berupa bentuk lingga. Dari hal itu, maka lahirlah manusia yang tumbuh dan berkembang hingga menjadi dewasa.

Sementara itu, garis dari utara ke selatan bermakna perjalanan manusia kembali ke Sang Penguasa yakni Paraning Dumadi. Keraton yang berada di tengah melambangkan manusia yang telah mapan dan dewasa. Pada akhirnya manusia akan mati dan kekal di akhirat yang dilambangkan Lampu Kyai Wiji di Gedhong Prabayeksa Keraton yang tak pernah padam sejak zaman Sultan Hamengkubuwana I.

Sumber gambar: kebudayaan.kemdikbud.go.i

Penduduk di sekitar Panggung Krapyak dan para peneliti berasumsi bahwa dahulu pada abad ke-18 Masehi, bangunan ini dikelilingi oleh pagar berupa tembok. Sisa-sisa struktur tembok tersebut berada di sisi selatan dan barat Panggung Krapyak. sayangnya, struktur tersebut tidak dapat dilihat karena tertutup warung dan rumah warga. Selain struktur tembok, ditemukan juga sumur dan sisa-sisa kolam yang masih berasosiasi dengan Bangunan Panggung Krapyak ini.

Baca: Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Kawasan Panggung Krapyak berjakar sekitar 2 kilo meter dari alun-alun selatan yogyakarta, berada di sekitarnya adalah Jalan Jogokaryan, Jalan mangukuyudan serta Jalan Tirtodipuran. Sosial ekonomi penduduk sekitar kawasan Krapyak didominasi oleh Industri Jasa Guest House, Kafe, serta rumah pondokan. Mata pencaharian penduduknya disamping dari produk jasa diatas, juga dari sektor informal (warung makan, toko kelontong) juga dikenal sebagai pusat industri batik (tulis/ cetak) melengkapi kawasan Jalan Prawirotaman yang sudah terlebih dahulu dikenal khalayak.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id, id.wikipedia.org, dosen.univpancasila.ac.id

Picture by correcto.id

Mbah Munawwir Sekatenan

Kata Sekaten sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, “Syahadatain” yang memiliki makna persaksian (syahadat). Bagi masyarakat Muslim, syahadat dianggap penting sebab merupakan proses pengakuan terhadap keesaan Tuhan dan risalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian, kata itu mengalami perluasan makna dengan “Suhatain” yang bermakna menghentikan atau menghindari dua perkara, perbuatan buruk dan menyeleweng. Makna ini kemudian berkembang lagi menjadi “Sakhatain” yang bermakna menghilangkan makna dua watak, hewan dan setan. Selain itu, ada juga “Sakhotain” yang berarti menanamkan dua perkara, yaitu memelihara budi suci dan budi luhur. Setelah itu ada juga kata “Sekati” yang bermakna orang hidup harus bisa menimbang yang baik dan buruk. Dan yang terakhir “Sekat”, adalah pembatas, untuk tidak berbuat jahat dan mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan. Akhirnya, makna Sekaten tak hanya sebatas hiburan dan prosesi upacara semata, melainkan mengandung makna kehidupan seperti penjelasan di atas yang harus bisa diterapkan oleh setiap insan individu.


Awal mula dan maksud perayaan Sekaten dapat ditarik sejak mulainya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, yaitu zaman Kesultanan Demak Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa saat itu menyukai gamelan, pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad di halaman Masjid Agung Demak dimainkanlah gamelan, sehingga warga masyarakat berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan gamelan dan sekaligus khutbah-khutbah mengenai keislaman. Tradisi arak-arakan semacam sekaten telah dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak, sebagai pelanjut dari “wahyu” kerajaan, mencoba meneruskan tradisi tersebut atas saran dari Wali Songo.

Di Sekaten Keraton Yogyakarta, Mbah Munawwir seringkali secara eksklusif diundang oleh Sultan HB IX untuk mengikuti peringatan Maulid Nabi saw. Karena beliau punya hubungan genealogis dengan Keraton yang sangat kental. Dimulai sejak era Kakek beliau, KH. Hasan Bashari yang menjadi Ajudan Raja Jawa di Perang Jawa yakni Pangeran Diponegoro, sampai pada Mbah Munawwir meminang Nyai R. A. Mursyidah, istri pertama beliau dari Kraton Yogyakarta. Karena kedetakan tersebut, dalam beberapa kesempatan Mbah Munawwir tatkala mendapat undangan dari Keraton seringkali ditawari untuk dijemput Pasukan Kavaleri dari Keraton. Namun, beliau dengan baik-baik tidak segera menerima tawaran tersebut.

Kersane ingsun kale santri-santri mawon, sareng-sareng mlampah ndugi Krapyak, kebetulan santri-santri saya juga pengen saya ajak”, beliau dawuh demikian dengan niat tidak menolak tawaran tersebut.

Mbah Munawwir memang sering mengajak santri-santrinya ketika ada undangan di Keraton, dan undangan yang lainnya. Santri yang diajak pun tidaklah sama antara undangan satu dengan yang lain. Dalam urusan ini beliau bisa dibilang menggilir para santrinya. Tidak jarang pula, banyak para santri yang mengharapkan ajakan beliau.

Hingga pada suatu ketika, sebelum berangkat, para santri yang masuk dalam daftar ajakan Mbah Munawwir, kumpul di depan Ndalem beliau.

“Loh, njenengan toh Gus”

“Loh kok njenengan kang?”

“Loh awakmu toh Dul”

”Loh Cak, samean  toh, bukane wingi samean meh nyilih duek nang aku yo?”

Mereka para santri yang diajak ke Keraton untuk mengikuti Barjanjen, saling bertanya satu sama lain. 

“Loh Gus, punten, tasek dereng saget nyauri utang kulo”

“Gapopo Cak, santai ae, penting do iso mangan”

“Bukane njenengan wingi bade nyambut duek teng kulo nggeh Gus?”

“Iyo kang, tapi gak sido wes”

“Ngge ngapunten nggeh Gus, kulo nggeh dereng kiriman”

Entah itu kebetulan atau bagaimana, mayoritas santri yang diajak Mbah Munawwir adalah mereka yang terlilit hutang atau bahkan tidak memiliki uang sama sekali dan mereka menyadari hal itu.

Mungkin Simbah mengetahui keresahan kita, kang, Cak, Dul”.

Nggeh Gus”.

Setoran gak nambah-nambah, deresan yo keteteran. Sehingga beliau mendistribusikan kesejahteraan kepada kita, beliau mempraktekkan kaidah kadal faqru an yakuna kufron”.

“Hehehe”. Semua tertawa mendengar hal itu.

Pun mikir aneh-aneh Gus. Penting Syukur sik, pun dijak Mbah Yai”.

Tak berselang lama, Mbah Munawwir keluar dari rumahnya. Para santri yang berdialog tadi, terperangah melihat ketampanan Mbah Munawwir yang memakai pakaian dinas Keraton berupa model Jas Laken dengan kerah model berdiri serta dengan rangkapan sutera lengkap dengan ornamen kancing bersepuh emas tentu dengan memakai blankon. Sehingga nampak lebih gagah, elegan dan terhormat. Menghoramati Nabi dan Raja.

Ayo Le, berangkat”. Lamunan mereka hilang dengan suara ajakan Mbah Munawwir.  

Lahumul Fatihah untuk KH. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad

Oleh: Taufik Ilham

Sumber: almunawwir.com, id.wikipedia.org, regional.kompas.com

Picture by blog.titipku.com