Prostesis Permanen
Dalam penjelasan prostesis permanen atau prostesis yang terdapat udzur (halangan) ketika melepasnya, terdapat penjelasan yang cukup rinci dikalangan para ulama salaf. Perincian tersebut dilihat dari cara mereka membedakan bahan dari prostesis itu sendiri. Ketika terbuat dari kulit atau daging manusia atau hewan maka menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami dapat disamakan dengan anggota tubuh asli dalam arti wajib dibasuh ketika melaksanakan wudhu. [Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawy al-Fiqhiyyah al-Kubra, al-Maktabah al-Islamiyyah, 1/60]
Namun, dengan teknologi yang ada sekarang ini, prostesis dikembangkan dengan penggunaan bahan sintetis yang menyerupai bentuk anggota tubuh manusia. Sehingga tidak dapat disamakan dengan prostesis yang tersebut dari bahan seperti yang disebutkan diatas. Pada pembahasan prostesis permanen yang tidak terbuat dari bahan daging dan kulit manusia atau hewan ini antara para ulama terdapat perbedaan pendapat. Imam Ibnu Hajar al-Haitami, salah satu ulama Syafi’iyyah menjelaskan.
فالذي يظهر أنه إن بني عليه اللحم أو الجلد وستره – وجب غسله وكذا لو بني على بعضه فيجب غسل ذلك البعض وهذا ظاهر أيضا وأما الظاهر الذي لم يبن عليه اللحم ولا الجلد فهو محل تردد النظر … إلى أن قال… فأولى أن لا يلحقوا البدل في مسألتنا بالأصلي في حقوق الله تعالى وعليه فلا يجب غسل ما لم ينبت عليه لحم ولا جلد من أنف النقد ولا أنملته
Maka termasuk sesuatu yang jelas bahwa jika tumbuh di atasnya (alat pengganti anggota tubuh) daging atau kulit dan menutupinya maka wajib untuk membasuhnya (ketika wudhu). Begitu pula jika tumbuh di atas sebagiannya maka wajib untuk membasuh sebagian tersebut dan ini termasuk sesuatu yang jelas pula. Adapun perkara yang jelas (alat) yang tidak tumbuh di atasnya daging tidak pula kulit maka dalam hal tersebut merupakan tempat yang perlu diperhatikan kembali …….. maka yang lebih utama adalah tidak menyamakan pengganti tersebut dalam masalah kita dengan (anggota) yang asli yang merupakan hak-hak Allah swt. dan pada perkara itu maka tidak wajib membasuhnya selama belum tumbuh di atasnya (alat) daging dan tidak pula kulit dari hidung emas dan tidak pula ujung jari emas. [Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawy al-Fiqhiyyah al-Kubra, al-Maktabah al-Islamiyyah, 1/60]
Maka ketika prostesis permanen atau yang terhalang untuk melepasnya yang terbuat dari bahan sintetis menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami tidak dapat disamakan dengan anggota tubuh asli. Sehingga tidak ada kewajiban untuk membasuh prostesis selama belum tumbuh daging/kulit di atas prostesisnya. Jika telah tumbuh daging/kulit diatasnya maka yang wajib dibasuh adalah daging/kulit tersebut.
Berbeda dengan ulama yang lain yang menyatakan wajib membasuh prostesis dengan tidak ada kriteria tumbuh daging/kulit diatasnya atau tidak.
فائدة: لو اتخذ له أنملة أو أنفا من ذهب أو فضة وجب عليه غسله من حدث أصغر أو أكبر، ومن نجاسة غير معفو عنها؛ لأنه وجب عليه غسل ما ظهر من الأصبع والأنف بالقطع، وقد تعذر للعذر فصارت الأنملة والأنف كالأصليين
Faidah: Jika seseorang menggunakan ujung jari atau hidung dari emas atau perak maka wajib baginya membasuhnya (ketika bersuci) dari hadas kecil atau besar, serta dari najis yang tidak ditolerir, karena sesungguhnya wajib baginya membasuh sesuatu yang tampak dari jari dan hidung yang terpotong, dan hal tersebut telah terhalang dengan suatu halangan (penggunaan alat pengganti) maka emas/perak tadi menjadi ujung jari dan hidung layaknya (anggota) tubuh yang asli [Al-Khotib As-Syirbiny, Mughni al-Muhtaj, Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1/219]
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Imam Al-Khotib As-Syirbiny menyatakan bahwa prostesis wajib dibasuh ketika bersuci. Imam Al-Bujairomy menambahkan ketika mensyarahi kitab Imam Al-Khotib
قوله: (أنملة أو أنفا) وكذا لو اتخذ رجلا أو يدا من خشب ق ل.
قوله: (وجب عليه غسله) أي إن التحم.
قوله: (كالأصليين) أي في وجوب غسلهما لا في نقض الوضوء بلمس ذلك
Perkatannya: “ujung jari atau hidung” begitu pula jika seseorang menggunakan kaki atau tangan dari kayu dikutip dari Imam al-Qulyubi
Perkataannya: “wajib baginya membasuhnya” maksudnya adalah sesuatu yang pasti
Perkatannya: “keduanya seperti (anggota) yang asli” maksudnya dalam kewajiban untuk membasuhnya bukan dalam perkara membatalkan wudhu dengan menyentuhnya. [Sulaiman al-Bujairomy, Hasyiyah al-Bujairomy ala al-Khotib, Dar al-Fikr, 1/242]
Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan prostesis ketika berfungsi untuk menggantikan anggota yang wajib dibasuh ketika wudhu maka terdapat pembagian akan kewajiban pembasuhannya. Ketika tidak permanen dan tidak ada halangan ketika melepasnya maka wajib untuk dilepas supaya bagian bekas anggota yang putus dapat terbasuh karena merupakan bagian luar (dhahir) badan. Batasan halangannya adalah ketika semisal pelepasan prostesis tidak menimbulkan penyakit, tambahnya rasa sakit, atau menghambat penyembuhan dan sebagainya.
Untuk prostesis permanen atau terdapat halangan untuk melepasnya, jika terbuat dari daging/kulit manusia/hewan maka wajib dibasuh ketika wudhu. Jika terbuat dari bahan lain maka menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami tidak wajib membasuhnya selama belum tumbuh daging/kulit diatasnya. Ketika sudah tumbuh daging/kulit diatasnya maka yang wajib dibasuh adalah daging/kulit tersebut. Ulama lain tidak mensyaratkan adanya daging/kulit yang tumbuh pada prostesis, akan tetapi wajib dibasuh prostesisnya.
Wallahu a’lam bishowab