Kesehatan Gigi mempengaruhi Kesunahan Bersiwak? lalu Bagaimana jika Media Bersiwak bukan seperti media umumnya?

Ilustrasi amalan bersiwak. Sumber: Sehatq.com

Dinamika Kesunahan Siwak

Selain menggunakan sikat dan pasta gigi, pada umumnya masyarakat juga menggunakan siwak untuk membersihkan gigi dan menghilangkan bau mulut dalam kehidupan sehari-hari. Siwak, menurut para ahli kesehatan, memiliki beragam manfaat dalam membersihkan dan menjaga kesehatan gigi dan mulut, seperti mencegah gigi berlubang, menyegarkan nafas, maupun menghilangkan bau mulut. Dengan itu, bersiwak sendiri dapat dikatakan sebagai upaya untuk membersihkan dan menjaga kesehatan diri.

Bahkan Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan untuk bersiwak dan merupakan salah satu kegiatan yang disukai oleh beliau. Sebagaimana sabda beliau, yang artinya: “Seandainya tidak memberatkan kepada umatku, niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak bersamaan dengan setiap kali shalat.”

Berdasarkan sabda beliau tersebut banyak diantara umat muslim membiasakan diri dengan bersiwak dengan berbagai motif. Ada beberapa yang mengikuti kesunahan bersiwak karena semata-mata cinta pada Baginda Nabi Muhammad saw. Ada pula yang bersiwak karena alasan kesehatan maupun agar bau mulutnya tidak mengganggu orang-orang disekitarnya.

Bagi beberapa orang, meskipun merutinkan diri untuk bersiwak mereka juga masih diberi ujian dengan sakit gigi yang mungkin disebabkan oleh hal lain di luar kebiasaan bersiwak. Selain itu, bertambahnya usia gigi juga menyebabkan lama-kelamaan gigi akan tanggal satu-persatu. Juga ada yang mengambil hakikat dari bersiwak yaitu membersihkan gigi sehingga menganggap membersihkan gigi dengan sesuatu seperti tusuk gigi adalah hal yang sama dengan bersiwak.

Dari penggambaran tersebut muncul beberapa pertanyaan, yaitu: apakah orang yang sedang sakit gigi tetap disunahkan untuk bersiwak? apakah orang yang ompong tetap disunahkan untuk bersiwak dan bagaimana caranya? dan apakah tusuk gigi bisa dikategorikan bersiwak?

Bersiwak Bagi Orang yang Sedang Sakit Gigi

Berdasarkan tinjauan fikih, orang yang sedang sakit gigi tetap disunahkann bersiwak, karena hukum dari bersiwak disunahkan dalam setiap keadaan selama orang tersebut tidak menggunakan siwak milik orang lain tanpa izin. Bahkan diwajibkan ketika dalam keadaan sakit gigi tersebut menyebabkan bau mulut. Hal ini sebagaimana yang disebutkan Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab I’anah Ath-Thalibin:

وتعتريه أحكام أربعة: الوجوب فيما إذا توقف عليه زوال النجاسة، أو ريح كريه في نحو جمعة، والحرمة فيما إذا استعمل سواك غيره بغير إذنه ولم يعلم رضاه، والكراهة للصائم بعد الزوال، وفيما إذا استعمله طولا في غير اللسان، والندب في كل حال.

Bersiwak terbagi menjadi empat hukum (yaitu): Wajib apabila terdapat kewajiban baginya untuk menghilangkan najis atau bau yang tidak disukai ketika melaksanakan ibadah Jumat dan sebagainya. Haram apabila menggunakan siwak orang lain dengan tanpa seizinnya dan tidak diketahui kerelaannya. Makruh bagi orang yang puasa ketika setelah tergelincirnya matahari dan ketika (alat siwak) sudah lama digunakan untuk selain mulut. Dan hukum Sunah dalam setiap keadaan [Syekh Abu Bakr Syatha, Ianah at-Thalibin, Dar al-Fikr, 1/56]

Lebih lanjut, orang yang sakit gigi juga tetap dianjurkan dan disunahkan bersiwak, selama dalam penggunaan siwak untuk membersihkan gigi atau bagian-bagian dalam mulut tidak menyebabkan dharar (bahaya). Sehingga, jika seseorang sedang sakit gigi dan pada kebiasaannya jika digunakan untuk bersiwak akan menyebabkan pendarahan, maka tindakan tersebut tidak diperbolehkan. dalam kitab Hasyiyata al-Qalyubi wa ‘umairoh disebutkan:

قوله: (السواك) أي الاستياك لأنه يطلق لغة على آلة الدلك ولو بغير سواك، وعلى استعمال الآلة ولو في غير الفم. والمراد هنا استعمالها في الفم، ولذلك عرفوه بأنه استعمال آلة مخصوصة في أجزاء الفم، وأصله الندب، ولا يخرج عنه مطلقا من حيث ذاته، وقد يخرج عنه لعارض من حيث وصفه فيحرم لنحو ضرر أو عدم إذن في سواك غيره، ويكره كما يأتي، ويجب لنحو إزالة نجاسة توقفت عليه

Perkataannya (Siwak) maksudnya adalah bersiwak, karena istilah siwak dikatakan secara bahasa (adalah penyebutan)  dari alat untuk membersihkan gigi meskipun dengan selain siwak dan mencakup penggunaan semua alat meskipun (penggunaannya) pada selain mulut. Dan yang dimaksud di sini adalah penggunaannya (alat) pada mulut, oleh karena itu para ulama memberikan pengertian siwak bahwa sesungguhnya siwak adalah menggunakan alat khusus pada bagian-bagian mulut. Hukum asal penggunaannya adalah sunnah dan tidak keluar dari hukum tersebut dari sisi dzat-nya secara mutlak. Dan terkadang keluar darinya (sunnah) karena sesuatu yang melenceng (keluar) dari sisi sifatnya. Maka haram apabila terdapat semisal bahaya atau tidak adanya izin (penggunaan) pada siwak orang lain, dimakruhkan seperti yang akan dijelaskan, dan wajib ketika semisal untuk menghilangkan najis yang terdapat di dalam mulut. [Al-Qalyubi dan Umairoh, Hasyiyata al-Qalyubi wa Umairoh, Dar al-Fikr, 1/57]

Sehingga orang yang sedang sakit gigi dapat bersiwak dengan berbagai ketentuan tergantung dari keadaan sakit giginya. Pertama, jika seseorang mengetahui bahwa menggunakan siwak menyebabkan pendarahan di mulut, maka disarankan untuk menggunakan siwak dengan lembut sebagai upaya untuk menghindari pendarahan. Kedua, jika penggunaan siwak dengan lembut tidak mencegah pendarahan, maka lebih baik tidak menggunakan siwak jika seseorang khawatir mulutnya menjadi najis.

Ada perbedaan pendapat di antara ulama mengenai penggunaan siwak jika ada cukup waktu dan seseorang memiliki air untuk membersihkan mulutnya serta mereka tidak khawatir kehilangan keutamaan takbirotul ihram dan sebagainya dari menggunakan siwak. Beberapa ulama mengizinkan penggunaan siwak dalam kondisi ini, sementara yang lain melarangnya. Namun, beberapa ulama secara tegas menyatakan larangan menggunakan siwak jika seseorang mengetahui bahwa pemakaiannya akan menyebabkan pendarahan di mulut, dan mereka tidak memiliki air untuk membilasnya, dan waktu shalatnya terbatas. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Abdul Hamid as-Syarwani:

‌ولو ‌عرف من عادته إدماء السواك لفمه استاك بلطف وإلا تركه

(قوله: وإلا) أي، وإن لم ينفع اللطف في دفع الإدماء عبارته في شرح بافضل، ويظهر أنه لو خشي تنجس فمه لم يندب لها اهـ.

Apabila diketahui pada kebiasaannya penggunaan siwak dapat melukai mulutnya maka dia (disunahkan) bersiwak dengan lembut apabila tidak maka tidak perlu bersiwak
Perkataan mushonnif “apabila tidak” maksudnya adalah apabila bersiwak dengan lembut tidak berguna untuk mencegah pendarahan ungkapan ini lebih utama. Dan jelas bahwa apabila seseorang takut mulutnya najis maka tidak disunahkan (bersiwak) baginya

وكتب عليه الكردي ما نصه وفي الإيعاب نحو ما هنا ثم قال ويحتمل خلافه إن اتسع الوقت وعنده ماء يطهر فمه ولم يخش فوات فضيلة التحرم ونحوه ثم رأيت بعضهم صرح بحرمته إذا علم من عادته أنه إذا استاك دمى فمه وليس عنده ماء يغسله به وضاق وقت الصلاة اهـ اهـ

Imam al-Kurdi menulisnya pada apa yang telah dia nyatakan dan dalam kitab al-I’ab seperti apa yang ada di sini. Kemudian dia berkata dan mungkin saja dia tidak setuju apabila terdapat luangnya waktu dan orang (yang bersiwak) memiliki air untuk membersihkan mulutnya dan dia tidak takut kehilangan waktu keutamaan takbiratul ihram dan sebagainya. [Ibn Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj wa Hawasy as-Syarwani wa al-‘Abadi, Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1/219]

Dari penjabaran ulama tersebut, maka penting bagi individu untuk memahami kondisi kesehatan ketika menggunakan siwak. Jika ada masalah kesehatan, konsultasikan dengan ahli kesehatan atau dokter yang adil.

Tidak Lazim, Begini Hukum Penggunaan Bejana dan Alat Makan Berlapis Emas dan Perak

Ilustrasi alat makan dan minum dari emas dan perak. Sumber: Umma.id

Hukum Penggunaan Bejana Emas dan Perak

Penggunaan emas dan perak sebagai alat makan agaknya dapat ditemui di hotel-hotel highclass. Hal ini terjadi dikarenakan pihak hotel ingin menyajikan makanannya dengan mewah guna menjaga kepuasan pelanggannya. Walapun tidak semua hotel demikan, penggunaan alat makan seperti silverware misalnya, sudah menjadi hal yang umum. Penggunaan silverware pada alat makan hotel ini terbuat dari logam yang berlapis stainless atau perak. Tidak berhenti di situ, adakalanya pihak hotel menggunakan alat-alat makan yang dilapisi emas. Ditambah lagi, tidak hanya alat makan, penggunaan lapisan emas atau perak ini terkadang berlaku juga pada alat-alat kamar mandi. Baik WC, bak mandi, shower, dan lain sebagainya.

Dari gambaran tersebut, pemakaian emas atau perak pada alat makan dan alat mandi terutama bak mandi menjadi suatu masalah tersendiri. Masalah ini muncul karena adanya hukum larangan melapisi emas atau perak pada alat makan, dan bejana air yang digunakan untuk bersuci. Lantas bagaimana hukum orang yang makan dari alat makan yang dilapisi emas atau perak? Dan apa hukum orang yang bersuci menggunakan bejana yang dilapisi emas atau perak tersebut?

Makanan dan Minuman yang Disajikan Menggunakan Alat Makan yang Berlapis Emas

Makanan atau minuman yang disajikan menggunakan alat makan berlapis emas tidak berubah hukumnya, selagi makanan itu halal maka tidak ada masalah. Namun, yang dilarang adalah penggunaannya (isti’mal-nya). Syeikh Syihabuddin Ar-Romli mengatakan dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj :

نعم الطهارة منه صحيحة والمأكول ونحوه حلال؛ لأن التحريم للاستعمال لا لخصوص ما ذكر.

Benar, sah bersuci menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak, dan makanan yang dimakan atau semacamnya tetap dihukumi halal. Karena yang diharamkan adalah penggunaannya, bukan selainnya yang tidak disebutkan” (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Juz 1, Hal :102).

Hukum makan menggunakan alat-alat makan yang dilapisi emas ini adalah makruh tahrim, tergantung seberapa banyak kadar emas yang terkandung dalam alat-alat makan tersebut. Apabila kandungan emasnya sedikit maka diperbolehkan, dan apabila kandungan emasnya banyak maka haram makan menggunakan alat tersebut kecuali adanya darurat. Kandungan emas dapat diukur dengan memanaskan wadah tersebut. Apabila ada setelah dipanaskan ada bagian yang terpisah maka kadar emas tersebut banyak, apabila tidak maka sebaliknya. Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj :

فيحل استعمال مموه من ذلك بذهب لا يحصل منه شيء بالعرض على النار سم عبارة البجيرمي وحاصل مسألة التمويه أن فعله حرام مطلقا حتى في حلي النساء، وأما استعمال ‌المموه فإن كان لا يتحلل منه شيء بالعرض على النار حل مطلقا

Diperbolehkan menggunakan bejana yang dilapisi emas yang ketika emas itu dipanaskan tidak ada bagian yang terpisah menurut Imam Bujarami. Adapun kesimpulannya adalah perbuatan melapisi emas dihukumi haram secara mutlak bahkan pada perhiasan wanita. Adapun menggunakan wadah yang berlapis emas dihukumi halal secara mutlak selagi tidak ada sesuatu yang terpisah dari wadah tersebut ketika dipanaskan menggunakan api”. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, juz 1, hal :122)

Penggunaan alat makan yang dilapisi emas diperbolehkan karena memang tidak adanya peralatan lain yang tidak dilapisi emas. Jika ada, maka haram menggunakan alat-alat makan berlapis emas untuk makan dan minum.

Mengungkap Kontroversi dalam Thrifting Online dengan Kerancuan Komposisi Barang

Ilustrasi kegiatan Thrifting Sepatu. Sumber: Harianhaluan.com

Bagaimana Hukum Menggunakan Pakaian yang Terbuat dari Bahan yang Najis?

Maraknya thrifting atau jual beli barang bekas dengan tujuan untuk dipakai kembali nampaknya menjadi kegiatan yang cukup diminati oleh masyarakat Indonesia saat ini. Kegiatan thrifting ini selain membuka jalan usaha bagi pelaku bisnis juga memberikan alternatif bagi konsumen untuk mendapatkan barang bekas yang branded yang terbilang masih bagus. Kendati demikian, maraknya thrifting ini banyak barang bekas seperti pakaian yang terbuat dari bahan yang beragam. Ada pakaian yang memang terbuat dari kulit hewan yang suci dan ada yang terbuat dari kulit hewan yang najis.

Dari gambaran tersebut, kesucian pakaian yang dibeli kemudian digunakan kian dipertanyakan. Karena kesucian dari pakaian ini tentu akan berpengaruh kepada orang yang beribadah. Sholat misalnya, dalam syarat sah shalat. Di antara pertanyaan yang muncul dan akan dibahas adalah bagaimana hukum kesucian pakaian tersebut jika tidak diketahui asalnya? dan apa hukum penggunaan pakaian yang di dalamnya terkandung bahan yang najis?

Kesucian Pakaian yang Tidak Diketahui Bahannya.

Ulama Syafi’iyah perihal kesucian pakaian bagi orang yang tidak tahu asal-usul dari bahan apa pakaian yang ia gunakan, apakah berasal dari kulit hewan yang suci atau berasal dari kulit hewan yang najis, memiliki perbedaan pendapat (khilafiyyah). Perbedaan ini didasarkan dengan apa kulit hewan yang belum diketahui asal-usulnya itu di-qiyas-kan.

Pertama, jika kulit hewan disamakan dengan daging, maka kulit hewan tersebut dihukumi najis. Kulit hewan dihukumi najis karena adanya keraguan terhadap asal-usul dari hewan apa kulit tersebut. Jika tidak diragukan asal-usulnya, maka kulit dan daging dihukumi suci tergantung bagaimana cara penyembelihannya. Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj mengatakan :

والشعر المشكوك في انتتافه من مأكول بأن الأصل في الشعر الطهارة وفي اللحم عدم التذكية اهـ. ومن المعلوم أن الجلد كاللحم؛ لأن طهارة كل منهما وحل تناوله متوقف على التذكية فعند الشك فيها الأصل عدمه فتبين ما في كلام الشارح.

Bulu hewan yang boleh dimakan yang diragukan pencabutan bulunya hukum asalnya adalah suci. Sedangkan daging hukumnya seperti daging dari hewan yang tidak disembelih. Dan dapat diketahui bahwa kulit dihukumi seperti daging. Karena keduanya dapat menjadi suci dan halal dimakan tergantung pada penyembelihannya. Apabila diragukan penyembelihannya maka hukumnya sesuai asalnya yaitu tidak adanya penyembelihan. Sehingga perkataaan pen-syarah telah menjadi jelas”. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz 1, Hal : 308).

Kemudian yang kedua, jika kulit hewan belum diketahui asal-usulnya maka terdapat dua pendapat yakni dilarang dan dibolehkan. Adapun jika kulit hewan disamakan dengan bulu maka salah satu dari khilafiyah mengatakan dibolehkan, sehingga dapat dihukumi suci. Imam Mawardi dalam kitab al-Hawi al Kabir mengatakan :

وَإِنْ شَكَّ فَلَمْ يَعْلَمْ أَمِنْ شَعْرِ مَأْكُولٍ أَوْ غَيْرِ مَأْكُولٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي أُصُولِ الْأَشْيَاءِ هَلْ هِيَ عَلَى الْحَظْرِ أَوْ عَلَى الْإِبَاحَةِ : إِنَّ الْأَشْيَاءَ فِي أُصُولِهَا عَلَى الْحَظْرِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ نَجِسًا ، وَإِنْ قِيلَ . إِنَّهَا عَلَى الْإِبَاحَةِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ طَاهِرًا

Apabila ragu dan tidak diketahui apakah bulu hewan itu berasal dari hewan yang boleh dimakan atau tidak maka terdapat dua pendapat menurut golongan kita (Syafiiyyah) dalam asalnya segala sesuatu, apakah termasuk dalam sesuatu yang dilarang atau diperbolehkan. Jika hukum asal dari sesuatu itu larangan maka bulu tersebut dihukumi najis, dan jika dikatakan hukum asal dari segala sesuatu itu boleh maka bulu tersebut dihukumi suci”. (Kitab al-Hawi al-Kabir, Juz 1, Hal :102)