Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali. Menurut Imam Ghozali r.a, Tingkatan orang berpuasa ada 3, yaitu;

Pertama, Puasanya Orang Awam

“Puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menunaikan syahwat.”

Maksudnya, puasa umum atau puasa orang-orang awam adalah “sekedar” mengerjakan puasa menurut tata cara yang diatur dalam hukum syariat. Seseorang makan sahur dan berniat untuk puasa pada hari itu, lalu menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan badan dengan suami atau istrinya sejak dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Jika hal itu telah dikerjakan, maka secara hukum syariat ia telah melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan. Puasanya telah sah secara dzahir dari segi ilmu fikih.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Kedua yaitu, puasanya orang yang khusus

“Puasa khusus adalah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.”

Tingkatan puasa ini lebih tinggi dari tingkatan puasa sebelumnya. Selain menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan suami istri, tingkatan ini menuntut orang yang berpuasa untuk menahan seluruh anggota badannya dari dosa-dosa, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tingkatan ini menuntut baik dzahir maupun batin untuk senantiasa berhati-hati dan waspada.

Ia akan menahan matanya dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan telinganya dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan tangannya dari melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan kakinya dari melangkah menuju hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan seluruh anggota badannya yang lain ia jaga agar tidak terjatuh dalam tindakan maksiat.Tingkatan puasa ini adalah tingkatan orang-orang shalih.

Ketiga, Puasanya orang yang sangat khusus

“Puasa sangat khusus adalah berpuasanya hati dari keinginan-keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan hati dari segala tujuan selain Allah secara totalitas.”

Tingkatan ini adalah tingkatan puasa yang paling tinggi, sehingga paling berat dan paling sulit dicapai. Selain menahan diri dari makan, minum dan berhubungan, serta menahan seluruh anggota badan dari perbuatan maksiat, tingkatan ini menuntut hati dan pikiran orang yang puasa untuk selalu fokus pada akhirat, memikirkan hal-hal yang mulia dan memurnikan semua tujuan untuk Allah semata.

Puasanya hati dan pikiran, itulah hakekat dari puasa sangat khusus. Puasanya hati dan pikiran dianggap batal ketika ia memikirkan hal-hal selain Allah, hari akhirat dan berfikir tentang (keinginan-keinginan) dunia, kecuali perkara dunia yang membantu urusan akhirat. Inilah puasa para nabi, shiddiqin dan muqarrabin. (Imam Abu Hamid al-Ghozali, Ihya’ Ulumiddin, 1/234)

Betapa banyak orang berpuasa namun balasan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga semata. Dan betapa banyak orang melakukan shalat malam (tarawih dan witir) namun balasannya dari shalatnya hanyalah begadang menahan kantuk semata.

Baca: Keutamaan Shalat Berjamaah Shaf Paling Belakang

Demikian penjelasan Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali.  Semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam diatas, Aamiin ya Rabbal ‘Aalamiin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by darunnajah.com

Peristiwa Bersejarah Di Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban merupakan bulan yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim. Karena selain menjadi bulan yang dekat dengan Ramadhan dan sebagai bulan persiapan untuk menghadapi puasa di bulan Ramadhan, ada beberapa hal yang sering diperingati secara rutin setiap bulan Sya’ban, yaitu malam nisfu Sya’ban. Selain malam Nisfu Sya’ban ada juga beberapa peristiwa penting yang terjadi pada bulan Sya’ban.

Dalam kitab Ma Dza fi Sya’ban? karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki menyebutkan tiga peristiwa penting yang berimbas pada kehidupan beragama seorang Muslim.

Baca: Rahasia Dibalik Makna Malam Nisfu Sya’ban

Pertama, peralihan Kiblat Peralihan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram terjadi pada bulan Sya’ban. Menurut Al-Qurthubi ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 144 dalam kitab Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban.

Peralihan kiblat ini merupakan suatu hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW berdiri menghadap langit setiap hari menunggu wahyu turun perihal peralihan kiblat itu seperti Surat Al-Baqarah ayat 144 berikut. قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ Artinya, “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”

Kedua, penyerahan Rekapitulasi Keseluruhan Amal kepada Allah Salah satu hal yang menjadikan bulan Sya’ban utama adalah bahwa pada bulan ini semua amal kita diserahkan kepada Allah SWT. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki mengutip sebuah hadits riwayat An-Nasa’i yang meriwayatkan dialog Usamah bin Zaid dan Nabi Muhammad SAW. “Wahai Nabi, aku tidak melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” Kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Banyak manusia yang lalai di bulan Sya’ban. Pada bulan itu semua amal diserahkan kepada Allah SWT.

Dan aku suka ketika amalku diserahkan kepada Allah, aku dalam keadaan puasa.” Penyerahan amal yang dimaksud dalam hal ini adalah penyerahan seluruh rekapitulasi amal kita secara penuh. Walaupun, menurut Sayyid Muhammad Alawi, ada beberapa waktu tertentu yang menjadi waktu penyerahan amal kepada Allah selain bulan Sya’ban, yaitu setiap siang, malam, setiap pekan. Ada juga beberapa amal yang diserahkan langsung kepada Allah tanpa menunggu waktu-waktu tersebut, yaitu catatan amal shalat lima waktu.

Ketiga, penurunan Ayat tentang Anjuran Shalawat untuk Rasulullah SAW Pada bulan Sya’ban juga diturunkan ayat anjuran untuk bershalawat untuk Nabi Muhammad SAW, yaitu Surat Al-Ahzab ayat 56.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Artinya, “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” Ibnu Abi Shai Al-Yamani mengatakan, bulan Sya’ban adalah bulan shalawat.

Baca: Isra’ Mi’raj, Sains Dan Shalat

Karena pada bulan itulah ayat tentang anjuran shalawat diturunkan. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Imam Syihabuddin Al-Qasthalani dalam Al-Mawahib-nya, serta Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mengatakan bahwa ayat itu turun pada bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriyah.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: www.nu.or.id

Picture by islamicfinder.org

Analogi Bulan Sya’ban

Apakah anda masih ingat perasaan ketika akan menerima raport sekolah? Mungkin itu saat SD, SMP, atau SMA. Masih terasa juga bagaimana segala emosi bercampur aduk tak menentu dalam pikiran. Akankah aku lulus? Akankah nilaiku bagus? Akankah aku naik kelas? berbagai pertanyaan klasik ini mungkin akan  menghiasi pikiran kita.

Hari penerimaan raport adalah hari mendebarkan. Secara mudahnya, masa depan kita bisa sedikit terlihat dari sana. Angka-angka maupun huruf-huruf yang menentukan rute perjalanan kita melanjutkan ke jenjang berikutnya, atau harus mengulang pelajaran agar mendapatkan nilai di atas batas tuntas. Maka ketika segala daya dan upaya di kerahkan, nasib juga sudah ada yang menentukan. Setelah pekan-pekan ujian dilewati, tidak heranlah ketika menjelang hari penerimaan raport, kita meningkatkan kuantitas ibadah kita. Sholat dhuha, tahajud, shadaqah, dan berbagai ibadah nafilah menghiasi hari-hari demi mendapat ridha dari Allah SWT.

Baca: Rahasia Dibalik Makna Malam Nisfu Sya’ban

Hari penerimaan raport juga hari yang dinanti-nanti. Karena setelah penerimaan raport, kita akan mendapatkan pekan-pekan liburan. Bisa dikatakan, kita belajar selama satu semester untuk menunggu waktu liburan tiba. Hal tersebut memang tak salah jika dijadikan strategi agar tidak bosan jika harus belajar sepanjang waktu.

Dari fenomena diatas penulis mencoba menganalogikan bulan Sya’ban, bulan diangkatnya amal-amal manusia selama setahun. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Rasulullah SAW: “Bulan Sya’ban itu bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan yang diangkat oleh Tuhan segala amal-amal. Aku ingin diangkat amalku ketika aku sedang berpuasa.” (HR. An-Nasa’i).

Rasulullah mencontohkan untuk meningkatkan intensitas ibadah pada bulan Sya’ban. Hal ini tidak lain agar Allah memandang baik segala amal-amal ibadah. Tindakan ini sering disebut juga sebagai recency effect, yakni memaksimalkan saat-saat terakhir agar menimbulkan kesan positif sehingga kesan-kesan negatif sebelumnya dapat tertutupi dengan kesan positif diakhir.  Recency effect inilah yang berusaha kita tiru dengan harapan bagusnya amal ibadah didetik-detik akhir pengangkatan catatan amal agar mampu memberi good impression (kesan yang baik) terhadap amal sebelumnya.

Karena sesungguhnya sifat dari pencatatan amal ibadah kita adalah tidak jelas (uncertainty), entah diterima atau tidak. Sifat uncertainty tersebut justru harus menjadi tambahan motivasi kita untuk beribadah lebih baik. Sama halnya ketika kita misalnya berada pada sebuah daerah yang asing, kondisi kita saat itu adalah uncertain (tidak jelas). Kondisi uncertain sama dengan kita berada di luar zona nyaman (comfort zone). Kondisi tersebut mendorong kita untuk melakukan sesuatu guna memperjelas kondisi kita dengan bertanya pada orang, pada polisi, dan sebagainya. Ketidak jelasan diterima atau tidaknya amal ibadah kita hendaknya juga mendorong kita lebih meningkatkan intensitas ibadah pada detik-detik pengangkatan catatan amal tersebut ke hadirat Allah.

Baca: Keutamaan Dan Amalan Bulan Sya’ban

Semuanya telah disusun dan dijadwal dengan sedemikian teratur oleh Allah SWT. Karena pada akhirnya, sama seperti ketika di sekolah dulu. Setelah menunggu terima raport, sekolah memberi hadiah kita berupa liburan sepekan atau dua pekan. Dan Allah SWT Maha Adil, kita juga diberi hadiah berupa bulan Ramadhan yang di dalamnya terdapat banyak ladang pelipat ganda amal.

Marhaban Yaa Syahra Ramadhan, Yaa Syahra Shiyaa.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by assets.pikiran-rakyat.com

Rahasia Dibalik Makna Malam Nisfu Sya’ban

Dalam sebuah riwayat, Aisyah ra menuturkan bahwa pada suatu malam nishfu Sya’ban, tiba-tiba Rasulullah Saw yang sedang tidur bersamanya melepaskan selimutnya dengan perlahan-lahan.

Aisyah ra khawatir Rasulullah Saw pergi menemui salah satu istrinya yang lain. Lantas, Aisyah ra pun bangun mencarinya. Namun, tiba-tiba kakinya bersentuhan dengan kaki Rasulullah Saw yang ternyata sedang sujud.

Aisyah ra teringat ucapan beliau saat itu yang lagi berdo’a :

سجد لك سوادي و خيالي و آمن لك فؤادي، وأبوء لك بالنعم، وأعترف بالذنوب العظيمة، ظلمت نفسي فاغفرلي، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بعفوك من عقوبتك، و أعوذ برحمتك من نقمتك، و أعوذ برضاك من سختك، و أعوذ بك منك، لا أخصي ثناء عليك، أنت كما أثنيت على نفسك

Artinya: “Telah bersujud kepada-Mu bayangan dan pikiranku, telah beriman kepada-Mu sanubariku. Aku mengakui seluruh nikmat yang Engkau karuniakan, aku mengakui seluruh dosa-dosaku pada-Mu; Aku telah berbuat dzalim pada diriku, maka ampunillah diriku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. Aku berlindung dengan rahmat-Mu dari siksa-Mu, aku berlindung pada ridha-Mu dari amarah-Mu, Aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak punya daya untuk menghitung pujian untuk-Mu. Dan, Engkau adalah sebagaimana Engkau puji diri-Mu.”

Baca: Karomah Kiai As’ad Syamsul Arifin

Lalu, Rasulullah Saw melanjutkan shalatnya baik dengan berdiri atau pun dengan duduk sampai datang waktu shubuh. Pada pagi harinya, kaki beliau terlihat bengkak-bengkak. Lalu, Aisyah ra meraba kaki beliau dan berkata:

“Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya engkau telah menyiksa dirimu, ya Rasulullah Saw? Bukankah Allah Swt telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang? Bukankah Allah Swt telah menjaminmu?”

Rasulullah Saw menjawab: “Benar Wahai Aisyah! Bukankah sepantasnya aku menjadi hamba yang bersyukur atas semua itu? Tahukah kamu dengan apa yang terjadi malam ini?”

Aisyah ra menjawab: “Ada apakah ya Rasulullah Saw?

Lalu, Rasulullah saw menjelaskan:

“Pada malam ini, semua bayi yang akan lahir tahun ini dicatat, semua orang yang akan meninggal tahun ini dicatat, amal mereka diangkat, dan pada malam ini juga rezeki mereka diturunkan.” (Keterangan dalam kitab Fadha’il al-Auqat).

“Tidak hanya itu, pada malam ini pula Rahmat Allah Swt turun ke bumi. Allah Swt akan mengampuni segala sesuatu kecuali dosa musyrik dan orang yang di dalam hatinya tersimpan kebencian.” (HR. Al-Baihaqi). Imam Abdurrohman asy-Syafi’i dalam kitab A’mal al-Qubra: Nuzhah al-Majalis wa Muntakhab al-Nafaa’is.

Dalam riwayat lain Rasulullah saw juga menegaskan:

“Sesungguhnya pada malam nishfu Sya’ban itu Rahmat Allah Swt turun ke langit dunia dan kemudian mengampuni dosa manusia yang jumlahnya lebih banyak dari bulu domba Bani Kalb”. (HR. At-Tirmidzi: 3/116 dan Ibnu Majah: 1/444).

Kemudian Rasulullah Saw mengangkat kepalanya seraya berdo’a:

اللهم هبلي قلبا تقيا نقيا من الشر، بريا لا كافرا ولا شقيا

Artinya: “Ya Tuhanku, berilah Aku hati yang taqwa dan bersih dari segala kejahatan, hati yang suci, tidak kafir, dan tidak pula sengsara.” (Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki dalam kitabnya Madza fii Sya’ban, hlm. 63-67).

Akhirnya, dengan kesadaran diri, Rasulullah Saw yang jelas-jelas diampuni dosanya dan sudah dijamin masuk surga saja masih shalat sampai kakinya bengkak-bengkak. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah sudah melakukan hal demikian yang dilakukan oleh Rasulullah Saw atau paling tidak mengikuti sedikit saja dari perbuatan Rasulullah Saw selama ini?

Baca: KH. Ali Maksum: Amaliah Mengirim Hadiah Pahala Untuk Mayit

Oleh karena itu, marilah pada malam Nishfu Sya’ban yang penuh barokah (al-Lailah al-Mubarokah), malam pembagian rezeki dan penentuan takdir (Lailah al-Qismah), malam penghapusan dosa (Lailah at-Takfir), malam dikabulkan do’a (Lailah al-Ijabah), malam kehidupan dan hari raya malaikat (Lailah al-Hayah wa ‘Ied al-Malaikah), malam syafaat (Lailah asy-Syafaa’ah), malam pembebasan (Lailah al-Baroah wa Lailah ash-Shakki), malam hadiah (Lailah al-Jaizah), malam ampunan dan pembebasan dari api neraka (Lailah al-Ghufran wa al-Itq min an-Niiran) ini kita manfaatkan untuk memperbanyak shalat sunnah, dzikir, istighfar, dan do’a untuk keselamatan dunia akhirat, terutama sekali mohon segera dilepaskan dari ujian pandemi Covid-19. Semoga kita bisa menggapai keberkahan bulan Sya’ban ini dan Allah swt memberi kesempatan umur untuk beribadah pada bulan Ramadhan.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by hidayatullah.com

Keutamaan Dan Amalan Bulan Sya’ban

Bulan Sya‘ban merupakan bulan yang di dalamnya terdapat berbagai peristiwa bersejarah, yakni peristiwa pengalihan arah kiblat dari Masjidil Aqsha di Palestina ke Ka‘bah di Arab Saudi dengan penurunan Surat Al-Baqarah ayat 144, Surat Al-Ahzab ayat 56 yang menganjurkan pembacaan shalawat, diangkatnya amal-amal manusia menuju ke hadirat Allah SWT, dan berbagai peristiwa lainnya. Menilisik dari segi linguistik, Al-Imam ‘Abdurraḥmān As-Shafury dalam literatur kitab momumentalnya Nuzhatul Majalis wa Muntakhabun Nafa’is mengatakan bahwa kata Sya’ban (شَعْبَانَ) merupakan singkatan dari huruf shyin yang berarti kemuliaan (الشَّرَفُ). Huruf ‘ain yang berarti derajat dan kedudukan yang tinggi yang terhormat (العُلُوُّ). Huruf ba’ yang berarti kebaikan (البِرُّ). Huruf alif yang berarti kasih sayang (الأُلْفَة). Huruf nun yang berarti cahaya (النُّوْرُ).

Baca: Alif Lam Mim, Mencoba Mengungkit Rahasia Tuhan

Bila ditinjau dari segi amaliyah, termaktub beberapa hal yang lazim dilaksanakan pada malam Nisfu Sya’ban, yaitu membaca Surat Yasin sebanyak 3 kali yang dilanjutkan dengan berdoa. Tradisi demikian selain sudah berkembang di Nusantara ini juga menjadi amaliyah tahunan yang dilaksanakan secara rutin terutama oleh masyarakat NU. Rasulullah SAW menyatakan dalam sebuah hadits sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Dailami, Imam ‘Asakir, dan Al-Baihaqy berikut.

‎خَمْسُ لَيَالٍ لَا تُرَدُّ فِيْهِنَّ الدَّعْوَةُ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبَ وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَلَيْلَةُ الجُمْعَةِ وَلَيْلَتَيِ العِيْدَيْنِ

 Artinya, “Ada 5 malam di mana doa tidak tertolak pada malam-malam tersebut, yaitu malam pertama bulan Rajab, malam Nisfu Sya‘ban, malam Jumat, malam Idul Fitri, dan malam Idul Adha.”

مَنْ أَحْيىَ لَيْلَةَ العِيْدَيْنِ وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ القُلُوْبُ

Artinya, “Siapa saja yang menghidupkan dua malam hari raya dan malam Nisfu Sya‘ban, niscaya tidaklah akan mati hatinya pada hari di mana pada hari itu semua hati menjadi mati.”

Informasi tersebut tentu bisa mengindikasikan bahwa melaksanakan ibadah pada malam Nisfu Sya‘ban merupakan suatu anjuran dari syariat Rasulullah SAW. Oleh karena itu, siapapun yang tidak sepakat dengan amaliyah untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban, tentu tidak sepatutnya memberikan kecaman yang tidak berdasar karena sikap demikian selain dapat menganggu kerukunan antarmasyarakat juga dapat mengganggu pelaksanaan ibadah bagi orang yang bersedia mengerjakannya.

Baca: Biografi KH. Faqih Abdul Jabbar Maskumambang

Upaya menata stabilitas hati dan pikiran merupakan sikap yang sangat bijak untuk dapat diimplementasikan. Kita dianjurkan untuk memelihara persaudaraan sesama Muslim. Di sisi lain penting untuk diperhatikan juga bahwa amaliah menghidupkan malam Nisfu Sya‘ban merupakan persoalan furu’iyyah yang tetap membuka ruang perbedaan tapi tetap dalam semangat yang saling toleran. Pelaksanaaan amaliyah ini berfungsi untuk mempertebal keimanan hamba terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, tidak sepatutnya untuk diarahkan pada dimensi sakralitas hukum. Sakralitas hukum terhadap persoalan keimanan juga bisa berimplikasi pada munculnya gesekan-gesekan. Selama semua amaliyah memiliki dasar dan pijakan ilmu pengetahuan tentu tidak perlu untuk dipertentangkan.

Perbedaan merupakan suatu keniscayaan (sunnatullah), tapi menyikapi perselisihan dengan hal yang tidak bijak tentu semakin menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai luhur keislamannya. Islam adalah agama yang fleksibel terkait perkara prinsip dasar (ushuliyyah) bergerak secara eksklusif, sedangkan terkait perkara cabang (furu’iyyah) bergerak secara inklusif. Urusan-urusan yang termasuk unity of diversity (al-ijtimā’ fil ikhtilāf) merupakan bentuk keluasan dari ajaran Islam itu sendiri.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: islam.nu.or.id

Picture by maklumatnews.com

Biografi KH. Faqih Abdul Jabbar Maskumambang

KH. Faqih Abdul Jabbar atau yang kerap disapa dengang panggilan KH. Faqih Maskumambang lahir pada tahun 1282 H atau bertepatan pada tahun 1866 M, di desa Maskumambang, wilayah Sedayu, Gresik di Jawa Timur. KH. Faqih Maskumambang wafat pada tahun 1353 H/1937 M dan dimakamkan di Maskumambang.

Penerus KH. Faqih Maskumambang adalah KH. Ammar bin Faqih Maskumambang (lahir 1902 dan wafat 1965), yang melanjutkan tonggak kepemimpinan Pesantren Maskumambang sepeninggal KH. Faqih. KH. Ammar bin Faqih juga menulis beberapa karangan kitab, di antaranya adalah “al-Rudud wa al-Nawadir” yang mengkaji permasalahan hukum dua shalat Jum’at, juga kitab “al-Nur al-Mubin”, “al-Hujjah al-Balighah”, “Tahdih Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” dan lain-lain.

Baca: Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

KH. Faqih Abdul Jabbar memulai pendidikkannya dengan belajar langsung kepada ayahnya. Beliau belajar membaca al-Qur’an dengan qira’at Nafi’ dan selainnya, juga belajar fikih kepadanya dan membaca kitab al-Minhaj (Minhaj al-Thalibin karya al-Nawawi).

Setelah selesai belajar kepada sang ayah, kemudian beliau melanjutkan pendidikannya dengan belajar ilmu nahwu dan bahasa Arab kepada Syekh Kholil Bangkalan. Setelah selesai belajar kepada Syekh Kholil Bangkalan, pada tahun 1298 H/1880 M, KH. Faqih Maskumambang pergi haji dan bermukim di Makkah untuk thalabul ilmi.

Di Makkah beliau belajar kepada Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Sayyid Umar bin Muhammad Syatha dan anaknya Ahmad. Beliau juga menjumpai beberapa murid Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan belajar dari mereka. Beliau belajar fikih dan nahwu kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Makki, murid dari Muhammad ‘Abid al-Sindi dan Abdullah bin Hasan al-Dimyathi. Beliau mengaji Shahih Tirmidzi di beberapa majlis, seperti majlis Syekh Sa’id bin Muhammad Ba-Bashil yang saat itu menjabat sebagai mufti madzhab Syafi’i. Beliau juga mengaji Shahih Bukhari dari Sayyid Husain bin Muhammad al-Habsyi al-‘Alawi. Beliau mengambil riwayat dari Abid bin Husain bin Ibrahim al-Maliki, Jamal bin al-Amir al-Maliki, Sa’id bin Muhammad al-Yamani, Mahfuzh bin Abdullah al-Tarmasi, dan Abdul Hayy bin Abdul Kabir al-Kattani.

Selain belajar kepada ulama besar Makkah, KH. Faqih Maskumambang juga mengambil kredensi intelektual (ijazah) dan sanad keilmuan dari ulama-ulama besar dunia Islam yang datang ke Makkah untuk berhaji, seperti Syekh Syu’aib bin Ali al-Rabathi, Syekh Muhammad Ja’far al-Kattani, Syekh Abdullah Shudfan al-Hanbali al-Dimasyqi, Syekh Abdul Aziz bin Ahmad al-Banati al-Fasi, dan lain sebagainya.

Informasi berharga lainnya yang dikemukakan oleh Habib Salim bin Jindan dalam “Raudhah al-Wildan” adalah keberadaan kitab tsabat dan sanad milik KH. Faqih Maskumambang, berjudul “Ghayah al-Amani fi Asanid al-Syekh Faqih bin ‘Abd al-Jabbar al-Maskumbani”. Habib Salim bin Jindan mengatakan jika dirinya mendapatkan kitab tersebut dari KH. Faqih Maskumambang di Surabaya.

Sepulangnya dari Makkah, KH. Faqih Maskumambang kemudian menetap di Maskumambang, Gresik, Jawa Timur dan membuka pesantren di sana. Beliau juga terhitung sebagai kawan dekat KH. Hasyim Asy’ari Jombang yang mana bersama-sama turut serta membidani kelahiran Nahdlatoel Oelama (NU) di Surabaya pada tahun 1926.

Kedekatan hubungan ini pun kian bertambah erat ketika salah satu keponakan KH. Faqih, yaitu KH. Ma’shum Ali (pengarang kitab ilmu shorof “al-Amtsilah al-Tashrifiyyah” yang terkenal), dinikahkan dengan putri pertama KH. Hasyim Asy’ari, yaitu Nyai Khoiriyyah Hasyim. Keponakan KH. Faqih yang lain, yang juga adik KH. Ma’shum Ali, yaitu KH. Adlan Ali, juga terhitung sebagai salah satu tokoh NU masa-masa awal.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

KH. Faqih Maskumambang tercatat memiliki beberapa karangan yang ditulis dalam bahasa Arab, di antaranya adalah “al-Manzhumah al-Daliyyah li Ma’rifah al-Syuhur al-Qamariyyah” dalam bidang ilmu falak, juga kitab “al-Nushush al-Islamiyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah” yang mengkritik dan menolak ideologi kaum puritan Wahhabisme dari Nejd.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by nahdlatululama.id

Jodohku Masih Dipegang

Pagi itu Supri masih seperti hari-hari biasanya. Berselimut sarung, siap-siap tidur di pojok mushala setelah shalat subuh berjamaah.  

Pak Jumadi pun menghampiri pemuda yang sudah berumur namun masih jomblo dan belum punya pekerjaan tetap itu.

Pak Jumadi: “Pri, mau tidur lagi ya?”

Supri: “Iya pak, masih ngantuk.” (sambil menarik lipatan karpet yang selalu ia jadikan bantal)

Pak Jumadi: “Mbok ya beraktifitas sana. Kerja biar kaya, banyak duit dapet istri cantik.”

Supri: “Sebenarnya aku tinggal ambil saja rezeki sama jodohku, pak. Tapi masih dipegang yang lain.”

Pak Jumadi: “Dipegang siapa, Pri?”

Supri: “Dipegang Tuhan, Pak. Jodoh dan rezeki kan di tangan Tuhan. Nggak enak mau ngambilnya. Nunggu diserahkan saja.”

Oleh: Tim Redaksi
Sumber & Picture: nu.or.id

KH. Ali Maksum: Amaliah Mengirim Hadiah Pahala Untuk Mayit

Menghadiahkan pahala bacaan, shodaqah dan amal sholeh merupakan salah satu dari sekian furu’ khilafiyah yang seharusnya tidak mendorong terjadinya fitnah, pertengkaran, perdebatan dan sikap antipati kepada orang yang melakukannya dan yang menentangnya. Kedua belah pihak yang saling berbeda pendapat sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh sesama saudara muslimnya. Karena masing-masing pihak tentu memiliki alasan dan argumentasi sendiri yang membenarkan amaliahnya.

Ibnu Taimiyah mengatakan : “Mayit dapat mengambil manfaat dari pahala bacaan ayat al-Qur’an orang lain yang dihadiahkan kepadanya, sebagaimana ia juga dapat mengambil manfaat dari pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan sejenisnya.

Ibnul Qayyim mengatakan didalam kitab Ar-Ruh : “Sebaik-baik pahala yang dihadiahkan kepada mayit adalah pahala shadaqah, istighfar, mendoakan kebaikan untuk mayit, dan ibadah haji atas namanya. Adapun pahala bacaan ayat al-Qur`an yang dihadiahkan secara sukarela oleh pembacanya kepada si mayit, dan bukan karena dibayar, hal semacam ini pun sampai kepada si mayit, sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji kepadanya”.

Ibnul Qayyim mengatakan lagi di bagian lain dari kitabnya, bahwa yang lebih utama ketika melakukannya (membaca al-Qur’an) adalah hendaknya diniati agar pahalanya diberikan Allah kepada si mayit. Dalam hal ini, tidak disyaratkan untuk melafalkan niatnya.

Baca: Karomah Kiai As’ad Syamsul Arifin

Kedua pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim tersebut pernah dinukil oleh Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, mantan seorang mufti Mesir. Kemudian beliau menyatakan: Menurut pendapat ulama madzhab hanafi, bahwa orang yang melakukan amal ibadah, baik yang berbentuk shadaqah, bacaan ayat al-Qur`an, maupun amal sholeh lainnya, ia boleh menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan kiriman pahala tersebut sampai kepadanya.

Didalam kitab Fathul Qadir diriwayatkan sebuah hadis dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah saw, beliau bersabda,bahwasanya: Siapa saja yang melewati lokasi pekuburan dan membaca Qul huwallohu ahad (surat al-Ikhlash) sebelas kali, lantas pahala bacaannya dihadiahkan kepada para mayit, maka ia diberi pahala sejumlah mayit itu”.

Ulama syafi’iyah sepakat, bahwa pahala shadaqah dapat sampai kepada mayyit. Namun tentang pahala bacaan ayat al-Qur`an, menurut pendapat yang terpilih – sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab Syarah al-Minhaj – juga sampai kepada si mayit. Sebaiknya kita kokoh berpegang pada pendapat yang terpilih ini, karena ini merupakan suatu doa.

Di kalangan ulama madzhabmalikipada umumnya tidak ada perselisihan pendapat dalam hal sampainya pahala shadaqah kepada mayit. Yang mereka diperselisihkan ialah tentang bolehnya menghadiahkan pahala bacaan(al-Qur’an dan kalimat thoyyibah lainnya) kepada si mayit. Namun pada prinsipnya, madzhab malikimemakruhkan hal itu.

Sedangkan para ulama mutakhirin membolehkan pengiriman hadiah pahala bacaan, sebagaimana yang tercermin dalam amaliyah (tradisi) yang sudah berjalan selama berabad-abad di tengah masyarakat, dan pahala yang dikirimkannya pun dapat sampai kepada si mayit. Ibnu Farhun menukil suatu pendapat yang menyatakan bahwa sampainya pahala bacaan kepada mayit merupakan pendapat yang terunggul.

Didalam kitab Al-Majmu` yang ditulis oleh imam An-Nawawi disebutkan, bahwa al-Qadhi Abu ath-Thayyib pernah ditanya soal mengkhatamkan al-Qur`an di makam. Jawabnya, bahwa orang yang membaca akan mendapatkan pahala, sementara mayit (yang ada di makam itu) bagaikan orang-orang yang hadir menyimak, dimana mereka berharap memperoleh rahmat dan keberkahan dari bacaan al-Qur’an tersebut. Atas dasar ini, maka membaca al-Qur’an di makam adalah mustahab (sunnah). Selain itu, doa yang dibaca setelah membaca al-Qur`an lebih mudah dikabulkan dan bermanfaat bagi si mayit.

Imam An-Nawawi didalam kitab Al-Adzkar menukil pendapat dari sekelompok ashabus-syafi’iy, bahwa pahala bacaan(al-Qur’an dan kalimat thoyyibah lainnya) dapat sampai kepada si mayit, sama seperti pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama lainnya.

Baca: Syair-Syair Simbah KH. Muhammad Munawwir

Didalam kitab al-Mizan al-Kubra yang ditulis oleh Imam Al-Sya’rani dijelaskan, bahwa perselisihan pendapat tentang sampai atau tidaknya pahala bacaanmemang cukup terkenal. Masing-masing kelompok memiliki dalil sendiri-sendiri. Namun menurut madzhab Ahlissunnah, seseorang hendaklah menghadiahkan pahala amal sholehnya kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. (Lihat Al-Mizan al-Kubra pada akhir pembahasan tentang Jenazah).

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Kitab Hujjah Ahlissunnah Wal Jama’ah

Picture by nu.or.id

Berkah Memijit Mbah Ma’shum Lasem

Sambil memijiti Mbah Ma’shum (Kiai Ma’shum Lasem), sang santri melepaskan pandangannya ke berbagai sudut kamar. Lama dia memandangi apa saja yang nampak di matanya. Dibiarkannya Mbah Ma’shum tidur dalam pijitannya.

Sampai pada satu kesimpulan, yang hanya bisa diungkapkannya dalam hati; jika memang Mbah Ma’shum kiai besar, kenapa tidak ada kitab-kitab yang berjilid-jilid di ndalem atau di kamarnya? Kenapa juga Mbah Ma’shum tidak pernah atau tidak sering terlihat pakai serban yang melilit-lilit kepalanya? Bahkan, kenapa pula Mbah Ma’shum tidak pernah terlihat berdzikir dalam waktu yang lama.

Tapi, itu ungkapan atau pertanyaan yang hanya ada di dalam hati sang santri. Walau sudah tahun ketiga khidmah kepada Mbah Ma’shum, dia menyadari, sang santri tidak patut mempertanyakan hal itu kepada Sang Kiai. Bahkan sekalipun di dalam hati.

Saat benak dan pikiran sang santri masih kemana-mana, Mbah Ma’shum menggeliat dan langsung memberikan dawuh;

“Ri…, semua kitab-kitabku itu dibawa Ali (Ali Ma’shum Krapyak, Yogja). Jadi kiai itu tidak harus pakai serban, juga tidak harus berdzikir lama. Saya punya toriqoh tersendiri, yaitu hubbul fuqoro’ wal masàkìn”. Dan dawuh-dawuh seterusnya.

Baca: KH. M. Munawwir Dan Sajadah

Sang Santri pun terperanjat sebab ungkapan hatinya dijawab langsung oleh beliau. Walaupun sudah 3 tahun tinggal di Al-Hidayat Lasem, Sang Santri belum mengetahui konsep Al-‘Arif Billàh. Konsep itu, seperti yang sang santri ceritakan kepada saya 10 tahun lalu, dipelajari setelah momen itu dan momen memijit selanjutnya selama 4 tahun–total sang santri khidmah dan tinggal selama 7 tahun.

Selama di Al-Hidayat Lasem itu sang santri bertemu dan bersahabat dengan abah saya, 50 tahun lalu. Kemudian sang santri tadi mendirikan Pondok Pesantren Al-Hidayat di desa Gerning, Kec Tegineneng, (nama diambil sebagai Tabarrukan Mbah Ma’shum Lasem) di Pesawaran, Lampung.

KH. Abrori Akwan, nama santri itu, mengabdikan diri kepada umat hingga wafat. Kini pesantren itu dilanjutkan oleh putranya, KH. Ma’shum Abrori bersaudara.

Semua sudah tiada.

لهم الفاتحة

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by laduni.id

KH. M. Munawwir Dan Sajadah

Para Kiai pesantren itu khas, juga unik. Para Kiai itu istiqomah dalam ngaji, sangat sabar dalam mendidik santri. Sehari-sehari para kiai tak pernah sepi dari ngaji, sekaligus tidak pernah putus dalam ibadahnya. Ibadah wajib dan sunnah menjadi satu kesatuan, tak pernah dipisahkan.

Termasuk Kiai Munawwir Krapyak. Sehari-sehari, Kiai Munawwir setia dengan sajadahnya. Bukan untuk “gaya”, melainkan wujud istiqomahnya dalam belajar. Dalam sajadah itu pula, Kiai Munawwir begitu khidmat dalam mengajari santri-santrinya terhadap al-Qur’an. Tidak pernah geser dari sajadah, karena itulah khittah perjuangan yang dipilihnya.

Pada suatu saat, ada santri yang diperintah istri Kiai Munawwir untuk meminta uang belanja. Kiai Munawwir sendiri dalam kesehariannya tidak pernah membawa dompet, tidak juga mengantongi uang saku. Keseharian Kiai Munawwir adalah keseharian bersama al-Qur’an. Tetapi ketika santri utusan Ibu Nyai meminta uang belanja, Kiai Munawwir merogoh sajadahnya untuk mengambil uang.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Santri itu heran, bingung, sekaligus penuh tanda tanya. Kenapa bisa begitu? Karena keseharian Kiai Munawwir itu mengajar ngaji, tak pernah surut. Waktunya habis di serambi Masjid bersama para santri. Uang belanja dari sajadah Kiai Munawwir adalah karomah beliau. Itulah kekasih Allah yang selalu mendapatkan kemudahan atas berbagai persoalan yang dijalaninya.

Sajadah Kiai Munawwir dan santri utusan Ibu Nyai hanyalah sekilas dari kisah penuh inspirasi. Kiai Munawwir dikenal sangat ketat dalam ngaji al-Quran. Bahkan untuk mengaji surat al-Fatihah, seorang santri bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan ada yang setahun lebih. Bukan waktu yang menjadi ukuran, karena ngaji itu mengutamakan kualitas ilmu. Jadi, santri itu harus benar-benar menguasai bacaan dalam al-Qur’an. Apalagi surat al-Fatihah yang menjadi rukun dalam sholat.

Sajadah dan al-Qur’an begitu melekat dalam diri Kiai Munawwir. Dari sini pula, Kiai Munawwir melahirkan banyak santri yang menjadi ulama besar pada masanya. Kiai Munawwir belajarnya juga tidak sebentar, karena pernah ngaji di Makkah-Madinah selama 21 tahun. Kiai Munawwir juga mendapatkan ijazah sanad qiroah sab’ah (tuju cara membaca al-Qur’an) yang sanadnya bersambung di urutan ke-35 kepada Nabi Muhammad SAW.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by wallpaperflare.com