Karomah Kiai As’ad Syamsul Arifin

Konon, ada santri yang ingin mondok ke Sukorejo karena  tertarik pada dawuh KH. R. As’ad Syamsul Arifin. Dawuh ini memang  populer di tengah masyarakat terutama  para santri senior. Dawuh yang sering disampaikan oleh Kiai As’ad adalah; “Santri saya yang mondok selama empat tahun  tidak pernah pulang sama sekali dan taat aturan pesantren, maka saya jamin pasti alim”.

Namun, dalam pikirannya, mana mungkin dia bisa alim hanya ditempuh empat tahun karena dia merangkap sekolah umum (SMA) di sore hari.

Akhirnya dia ingin berhenti sekolah umum ingin fokus Madrasah Diniyah dan kitab kuning karena kemungkinan yang dimaksud Kiai As’ad itu seperti santri dulu yang hanya fokus pada kitab saja. Namun, sayang orang tuanya tidak memberi izin untuk berhenti sekolah umum. 

Baca: Ulama Sir Tanah Jawa

Tentunya hal ini membuat tambah bingung walaupun tetap rajin mengaji kitab kuning. Akibatnya pikirannya bertambah ragu tak mungkin  bisa alim, apalagi di SMA banyak pelajaran yang harus dikuasainya. 

Pada suatu ketika ada pengurus pesantren memberi pengarahan kepada semua santri yang isinya di antaranya kalau ingin santri sukses disamping rajin dan mengikuti peraturan pesantren juga harus menyambung rohani ke Asta walaupun hanya baca al-Fatihah saja dengan syarat harus istiqamah. Pengarahan itu dia nyambung ke Asta dengan istiqamah walaupun sebentar.

Singkat cerita, setelah mondok  hampir genap empat tahun tidak pulang ke rumahnya dia bertanya dalam hatinya; “Saya sudah hampir genap empat tahun kok tidak ada tanda-tanda alim”.

Akhirnya genap empat tahun, persis hari Jum’at jam 9 pagi tidur qailulah di kamarnya bermimpi bertemu Nabi Khidir As bergamis hijau di pintu gerbang timur pesantren dan mencium tangannya.

Dalam mimpinya tangan Nabi Khidir As sangat halus sekali dan sulit dilupakan, lalu terbangun sudah jam 11 mau ke Jum’atan. Setelah dia merasa sejuk pikirannya seakan ada hijab yang terbuka dalam keilmuan setelah bermimpi tersebut.

Kemudian pada waktu isya’ dia ikut pengajian kitab Iqna’ di musholla putra, dia merasakan sekali bahwa kitab yang dibaca oleh kyai Fulan sangat mudah sekali tidak seperti sebelumnya, bahkan kitabnya tidak diberi makna.

Ternyata betul genap empat tahun dia merasa mudah dan ingat apa yang pernah dibacanya selama mondok di Sukorejo.

Baca: Mengenal Karya Mama Sempur Idhahul-Karathaniyyah: Tentang Kesesatan Wahabi

Hal ini jelas merupakan kebenaran yang riil yang mungkin sulit dinalar akal. Karena itu jelas bahwa dawuh KH. R. As’ad Syamsul Arifin bukan takhayul dan khurafat tetapi sebuah fakta riil yang disebut dengan kebenaran mistik atau epistemologi ‘irfani (ilhamy) yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat.  Kemapanan pesantren dan NU di Indonesia sebenarnya tidak lepas dari pengaruh epistemologi ‘irfani yang dibangun oleh kyai NU. Karena itu, ulama sufi mengatakan:

الالهام حجة شرعية

“Ilham adalah hujjah syar’iyah.”

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by santrinews.com

Kabar Yang Selalu Dibawa Oleh Para Nabi

Matahari kita masih sama, bulan kita sama, bumi kita sama dan kita masih manusia yang sama. Mempunyai harapan, mempunyai mimpi, mempunyai rasa khawatir juga mempunyai rasa takut. Bagaimana kalau dunia ini berakhir? Belum berbenah diri, belum sempat berbakti kepada orang tua, bangsa dan negara?

Rasa khawatir dan takut itu menurut perasaan saya singgah di batin ini setelah ada informasi bahwa dunia akan berakhir. Kalau saja informasi ini tidak pernah ada, saya yakin, jangankan sampai mampir, muncul ke permukaan pun tidak. Terserah bagaimana tafsirnya, yang jelas tak akan ada asap sebelum ada baranya. Bara itu saya pahami sebagai berita akhir dunia yang dibawa oleh para utusan Tuhan. Dari sabda Nabi Nuh As sampai Nabi Muhammad Saw, dalam rentang waktu puluhan ribu tahun lebih dan sebatas tahu saya jumlah Nabi itu tidak terbatas dan lebih banyak daripada Rasul, bahwa jumlah Rasul itu 313 yang 25 diantaranya dikisahkan dalam al-Qur’an.

Masing-masing dikirimkan ke tempat dan pada zaman tertentu, masing-masing menyampaikan tugas risalah kepada umat manusia dan menu risalah yang tak pernah ketinggalan ialah menyampaikan perihal akan datangnya Hari Kiamat. Manusia yang sudah mati dihidupkan kembali untuk diinterogasi, disortir lalu dipilah dan dipilih sesuai amalnya. Jika Nabi diberi kewajiban untuk menyampaikan ajarannya, maka bisa diartikan bahwa kabar Kiamat sudah disampaikan sebanyak 313 kali oleh para Rasul. Ada manusia yang percaya, ada juga yang tak percaya. Yang percaya karena ketakutan dan mengharap perlindungan, yak tak percaya enyah dan membangun argumen bahwa hari itu tak akan datang, hanya dongeng belaka.

Baca: Pandangan Medis Tentang Air

Dari Nabi Nuh As, kabar itu tak ada faktanya, orang yang mati tetap mati. Ya, sepanjang zaman itu, yang sudah menjadi tanah tak akan pernah kembali raga dan nyawanya. Justru yang terjadi adalah setelah generasi kemarin musnah, generasi-generasi sekarang tumbuh juga akan musnah pula. Dan besok adalah giliran generasi besok. Banjir Nabi Nuh As, hujan batu, tanah dibalik pada kaum Nabi Luth, topan-dingin pada kaum ‘Ad dan Tsamud dan bencana-bencana alam super besar yang tak pernah membinasakan umat-umat terdahulu, itu bukan Kiamat, namun lebih kepada cara naturalis-dialektis Allah menggantikan suatu generasi dengan generasi berikutnya. Selalu begitu sampai detik ini, entah esok.

Sepanjang zaman itu kabar Kiamat tidak ada buktinya, sampai pada zaman Nabi Isa As, Tuhan menyatakan kemungkinan terjadinya lewat mukjizat Nabi Isa As. Bisa merubah tanah liat menjadi burung bernyawa juga bisa terbang, bisa menyembuhkan mata yang buta sejak lahir, bisa menormalkan kulit seseorang yang terjangkit sopak (penyakit kulit). Dan terakhir ini yang inti bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Secara akal-akalan jika ciptaan saja mampu menghidupkan orang yang sudah mati tentu pencipta lebih mampu, pastinya. Jikalau Nabi Isa As yang hanya ciptaan saja bisa, apalagi Tuhan yang bukan hanya Pencipta tapi juga Maha. “Kiamat itu soal kecil, sekejap mata atau bahkan lebih cepat lagi” kata-Nya dalam salah satu surah di al-Qur’an.

Manusia yang hidup di waktu itu dan menyaksikan bagaimana Nabi Isa As menghidupkan orang yang sudah mati mungkin langsung percaya, tetapi manusia yang lain yang tidak menyaksikan sendiri, yang hanya mendengar-dengar tidak percaya dan bertanya-tanya apakah cerita tentang Nabi Isa As itu ada faktanya? Atau jangan-jangan cuma cerita belaka? Sebab kabar tetaplah kabar hingga ada faktanya, maka hadirlah kisah 7 orang yang tidur dalam goa selama 300 tahun bersama seekor anjing. Kisah yang dipanggungkan sebagai bukti bahwa Tuhan mampu menghidupkan orang mati, tidur selama 300 tahun itu sama dengan mati. Lalu kemudian Tuhan membangunkan mereka dalam kondisi fisik yang utuh tidak kurang suatu apa pun, sungguh sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

“Itu ceritanya, mana buktinya? Mana faktanya?” kata nasib manusia yang haus akan bukti pun harus jelas, harus nyata, harus konkret, tidak boleh abstrak! Memang informasi yang sudah saya sampaikan diperoleh dari al-Qur’an, namun tetap merupakan kabar yang menuntut bukti, bukankah begitu? Hanya saja saya mengandaikan sebaliknya: bagaimana jika saya percaya sekali pun tidak ada bukti dan tidak ada faktanya? Apakah rasa percaya saya itu naif karena tidak berdasar? Bukankah ayat yang saya kutip pun masih bergantung kepada bagaimana saya memahaminya? Bukankah dari itu saya bisa salah paham?

Bukankah kesalahpahaman itu justru bisa mementahkan rasa percaya saya sendiri yang tidak berdasarkan bukti itu terhadap kabar diatas? Misalnya, ketika saya memahami kabar akan datangnya hari Kiamat sebagai cara Tuhan menakut-nakuti orang. Wah, ini sungguh konyol! Saya jelas saja tidak mau dianak-kecilkan oleh-Nya. Apa motivasi Dia menakut-nakuti saya? Hal inilah yang mungkin ditolak oleh Abu Jahal dan orang-orang yang sepaham.

Baca: Santri Dan Polisi

“Loh sudah puluhan tahun saya hidup tapi tidak ada Kiamat, sudah sejak dulu kabar itu tapi kenyataannya tidak ada. Nenek moyangku tetap di alam baka, sampai detik ini. Engkau jangan menakut-nakuti orang tua macam aku” kira-kira begitulah sanggah Abu Jahal kepada Nabi Muhammad Saw.

“Aku tidak punya kuasa atas Kiamat, semua sudah ada waktunya, setiap umat ada ajalnya. Mungkin sudah hampir tiba, kalian juga ada waktunya, tidak maju tidak mundur. Seujung rambut pun tidak, waktu tepatnya hanya Allah yang Maha Tahu. Aku kan cuman menyampaikan, cuman mengingatkan” jawab Nabi Muhammad Saw atas perintahnya.

1.400 tahun lebih sejak kabar itu dikabarkan oleh Nabi Muhammad Saw, seorang Nabi yang bukan hanya sebagai manusia paling dekat dengan Allah Swt tapi juga sebagai Tuan seluruh Rasul saja masih meyatakan ‘mungkin’ bukan ‘hari ini, tanggal sekian dan tahun sekian’.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku Islam Musiman

Picture by pinterest.com

Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh

Diantara tanda-tanda orang yang shaleh dan baik menurut Allah (bila tidak demikian berarti orang yang celaka) adalah;

Pertama, apabila mendengar kata “neraka” disebut, maka hatinya bergetar ketakutan dan berdoa jangan sampai dirinya terkena api neraka. Jangan sampai jadi orang yang hanya gara-gara mendengar “macan” saja tidak berani berbohong, tapi sebaliknya, apabila yang disebut adalah nama Allah malah berani berbohong. Jangan sampai tidak takut dengan neraka. Orang yang terkena api neraka apabila sudah gosong maka badannya akan diperbaharui dan kembali seperti semula. Badan yang terkena api neraka, ya badan yang sekarang dipakai ini.

Api neraka itu tidak seperti api dunia, sebab apinya selalu bertambah derajat dan tingkat kepanasannya. Demikian juga yang namanya neraka itu tempatnya kecil, tidak luas. Keadaan di sana orang bertumpuk-tumpuk, berdesak-desakan, susah untuk bernafas dan tidak leluasa untuk sekedar berpindah tempat. Api neraka membakar atas perintah Allah. Jadi tidak ada peluang untuk meminta tolong kepada siapapun, sebab yang menyuruh adalah Allah. Beda dengan api dunia, orang masih berkemungkinan meminta tolong kepada orang lain atau boleh jadi api yang membakar tidak bermuatan panas, sebab yang memerintahkan bukan Allah, sebagaimana apa yang terjadi kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Karena yang memerintahkan api untuk membakar bukan Allah, maka apinya malah jadi dingin.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Yang kedua, tanda orang shaleh adalah sebagaimana dipertegas oleh sabda Nabi Muhammad SAW:

إذا أرادالله بعبد خيرا فقهه في الدين

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seseorang, maka Dia akan menjadikannya mengerti agama.”

Hadits ini mengharuskan seseorang untuk mengerti betul ajaran agama islam. Kalau belum tahu ya harus belajar berbagai hal mengenai islam, baik itu yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah, maupun berhubungan dengan sesama manusia. Maka bagi karyawan yang bekerja dia harus tahu perkara-perkara muamalah dan tata cara islam yang terkait dengan pekerjaannya. Bagi orang yang berkecimpungan di bidang pemerintahan maka dia harus tahu bagaimana mengatur tata cara pemerintahan yang baik menurut ajaran Allah. Kalau orang hanya kerja sekedar kerja dan tidak tahu hal-hal yang dilarang oleh Allah terkait pekerjaannya, maka itu bukan orang yang shaleh.

Yang ketiga adalah sebagaimana disebut dalam surah al-A’raf (7) ayat 201:

إنّ الّذين اتّقواإذامسّهم طائف من الشّيطان تذكّروافإذاهم مبصرون

“Sesungguhnya orang-orang bertaqwa apabila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”

Baca: Bernostalgia Bersama KH. Ahsin Sakho’

Jadi tanda orang yang shaleh adalah apabila melakukan maksiat, kemudian sadar dan ingat kepada Allah, maka ia akan langsung bertaubat. Kalau tidak langsung bertaubat, berarti itu tandanya orang jelek dan tidak shaleh. Apalagi bila orang yang melakukan maksiat malah bangga atau gembira, seperti penjual barang-barang perniagaan yang haram atau pedagang wiski yang kaya, lalu dia merasa bahagia dengan usaha dan kekayaannya, maka kalau sudah seperti itu ya celaka.

Sumber: Majalah Al Munawwir, Khutbah Jum’ah Almarhum KH. Zainal Abidin Munawwir (20 Syawal 1433 H./7 September 2012 M.)

Santri Dan Polisi

Seorang santri ditugaskan oleh Kyainya untuk menjemputnya di Desa sebelah yang sedang melakukan pengajian rutin. Sudah menjadi hal lumrah bahwa di daerah pedesaan tak ada polisi, jadi santri itu tidak memakai helm untuk menjemput Pak Kyai.

Motor pun berangkat menuju tempat Sang Kyai berada, ditengah perjalanan ada beberapa motor yang berhenti. Santri itu mendekatinya dan ternyata itu adalah operasi dari polisi, santri tadi tidak bisa kembali karena sudah terlanjur tertangkap.

Polisi: Mana helm mu?

Santri: Eee, gak bawa pak.

Polisi: Kenapa gak bawa?

Santri: Kan biasanya gak ada polisi disini pak.

Polisi: Tunjukkan STNK mu!

Santri: Luu, lupa kebawa pak.

Polisi: Oh begitu, Kamu saya tilang!

Santri: Tapi pak, ini motor Kyai saya pak (dengan wajah memelas).

Mendengar kata Kyai dan melihat bocah sarungan itu, polisi berfikir bahwa itu adalah santri dari Pak Kyai.

Baca: Pandangan Medis Tentang Air

Polisi: Oke, kamu tidak saya tilang, tapi berdamai.

Santri: Saya gak punya uang banyak pak.

Polisi: Lalu, berapa yang kamu punya?

Santri: 30 Ribu pak.

Polisi: Kalau begitu belikan rokok Dji Samsu 1 bungkus di toko itu (sambil menunjukkan sebuah toko).

Santri: Beneran pak? tanya sang santri

Polisi: Iya, buruan sebelum berubah pikiran.

Santri mulai melangkahkan kakinya  ke toko yang di tunjukkan oleh pak polisi, namun siapa sangka, santri tersebut sedang mengakali pak polisi.

Santri: Buuu…beli rokok.

Penjual: Rokok apa nduk?

Santri: Dji samsu 3 bungkus bu.

Penjual lalu mengambilkan rokok yang diinginkan oleh sang santri.

Penjual: Ini nduk.

Santri: Uangnya di pak polisi itu ya bu (sambil menunjukkan pak polisi).

Penjual: Yang bener nduk?

Awalnya penjual ragu apa yang di ucapkan oleh sang santri.

Santri: Paaaaak…(berteriak), rokok ini kan? 

Pak polisi mengangkat jempolnya pertanda setuju.

Penjual: Oh, iya nduk, kebetulan bapak itu sering ngopi disini.

Akhirnya penjual itu percaya ucapan santri tadi.

Santri: Ini pak rokoknya (menyerahkan rokok).

Polisi: Kok banyak bener, tadi kan saya minta 1 bungkus

(polisi terheran-heran).

Santri: Iya pak, saya ingat tadi ada uang yang keselip di kantong,  jadi bisa nambahin, ndak papa pak itu buat samean.

Polisi: Oh iya, makasih.

Polisi bahagia melihat rokok yang begitu banyak itu.

Santri itu akhirnya diizinkan untuk pergi, dalam hatinya santri bahagia penuh kemenangan, sekali-kali jahilin orang kan ndak papa ya, begitu pikir santri. Setelah selesai dalam tugasnya, pak polisi itu berdiam sejenak melepas lelah dan memesan kopi di toko tadi.

Baca: Antara WC dan Semedi

Tiba saatnya melakukan pembayaran.

Polisi: Berapa semuanya bu?

Penjual: 60 ribu

Polisi: Haaaaah? Apa saya tidak salah dengar, saya hanya mesan kopi saja bu.

Penjual: Loh, tadi kan kamu juga beli rokok.

Polisi: Rokok yang mana?

Penjual: Itu (sambil menunjuk ke arah rokok 3 pak itu).

Polisi: Sialan tuh anak, awas ketemu lagi.

Itulah kisah lucu santri ditilang polisi, kisah ini hanya sebagai hiburan belaka, tak ada maksud untuk menjelekkan kedua belah pihak, dan perlu di ingat adegan di atas jangan di tiru.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bincangsantri.blogspot.com

Picture by walpaperlist.com

Do’a Yang Tidak Bisa Tertukar

Di Mostar Bonsia, pernah ada seorang Alim-Arif Mustafa Ejubović (1651 – 16 Juli 1707), dikenal lebih luas dengan Hadratussyekh Yuyo. Dalam masyarakat Islam sampai hari ini ada beberapa hikayah yang diceritakan mengenai sosoknya. Antara lain ada satu cerita yang cukup mengerikan.

Kisahnya begini, biasanya di halaman atau samping masjid selalu ada tersedia keranda untuk dipakai ketika ada kebutuhan mengantarkan mayat ke pemakaman. Sering para pemuda untuk membuktikan keberanian mereka buat kenakalan dengan memainkan keranda itu.

Biasanya ada salah satu anak akan berbaring di dalamnya ditutup dengan kain hijau dan teman-temanya mengangkat dan membawanya mengelilingi masjid. Ini merupakan sebuah kenakalan yang biasa untuk para remaja atau kaum muda.

 
Baca: Menolak Lamaran Seorang Perempuan

Namun satu ketika Hadratussyekh Yuyo (yang dikenal sebagai wali keramat) melihat kelakuan iseng para remaja  itu mendapatkan ide “Menjahili”. Mereka kemudian menaruh salah satu dari teman mereka di keranda dengan tutup kain hijau dan dibawa di atas bahu. Ketika itu Syekh Yuyo tengah lewat depan masjid, di sana para remaja itu memintanya untuk menshalatkan jenazah yang mereka bawa.

Dan Syekh Yuyo pun setuju, namun ketika berdiri di depan keranda sebagai imam shalat jenazah, beliau terlebih dahulu menghadap kepada para remaja yang berada dibelakangnya yang menjadi ma’mum dan telah membentuk shaf untuk shalat jenazah. Syekh Yuyo kemudian bertanya kepada para remaja itu. 

”Yang mau kalian shalatkan yang hidup atau yang mati?’’  tanya Syekh Yuyo

“Iya untuk yang mati, masa ada shalat jenazah untuk yang hidup?” Jawab para remaja

Tak cukup bertanya sekali, beliau bertanya sampai sebanyak tiga kali. Uniknya setiap kali mereka di tanya jawabnya masing masing dibilang untuk yang mati. 

Beliau bertanya kepada anak-anak remaja:

”Kalian kenal almarhum sebagai orang baik?” Tanya Syekh Yuyo

“Betul, orang baik.” Para remaja menjawab 

“Semoga semua dosanya diampuni oleh Allah SWT, semoga Husnul Khatimah.” Berkata Syekh Yuyo 

”Aamiiiiin” para remaja mengamini

Lalu Hadratussyekh Yuyo berkata kembali: 

“Baik kalau begitu kita akan men-shalatkan jenazah untuk seorang laki-laki yang dewasa’’ ujar Syekh Yuyo

Setelah itu beliau mulai mengimami shalat jenazah tersebut.

Para remaja yang di belakang menahan tawa karena berhasil “Menjahili” seorang Ulama yang disegani seluruh masyarakaat. Benar saja, setelah selesai shalat dan ucap salam ke bahu kiri, pecahlah tawa para remaja dengan tawa terbahak-bahak. Mereka merasa berhasil menipu dan mengerjai  seorang Hadratussyekh. Namun Syekh Yuyo tak tahu itu, selesai shalat beliau langsung meninggalkan lokasi. 


Baca: Sejarah Terbentuknya Muslimat NU

Setelah itu, tentu saja para remaja  merayakan keberhasilan penipuan tersebut. Mereka kemudian memanggil teman mereka yang tadi pura-pura menjadi mayat.

Celakanya, meski mereka panggil namun dia tidak menyahut atau bangun. Dia tetap tak bergerak, di bawah kain hijau itu tidak terdengar suara apapun. Ketika mereka membuka kain hijau mereka lihat teman mereka sudah kaku, sudah mati.

Makam Mustafe Ejubovića Šejh Juje-seorang sarjana dan ilmuwan terkemuka dalam sejarah budaya kota Mostar. Dokumentasi oleh muftijstvo-mostarsko.ba

Mereka baru sadar bahwa doa seorang Syekh (Guru/Ulama, Sufi atau di Jawa disebut Wali) tak bisa dianggap main-main sebab tindakan dan lidah mereka memang terjaga, dari main-main ternyata bisa menjadi kenyataan.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: republika.co.id

Picture by modos.ba

Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?

Siapa yang tak kenal Abu Yazid al-Busthami. Beliau adalah seorang Syekh atau pemimpin kaum Sufi. Namun siapa sangka beliau pernah mendapat ilmu yang sangat berharga dari seekor anjing di tepi jalan.

Kisah Abu Yazid al-Busthomi dan seekor anjing adalah satu dari banyak kisah hikmah yang menyadarkan kita tentang hakikat penyucian hati. Abu Yazid merupakan seorang ulama Sufi abad ketiga Hijriyah berkebangsaan Persia. Beliau lahir Tahun 188 H (804 M) bernama kecil Tayfur.

Saat remaja Abu Yazid telah mendalami al-Qur’an dan Hadis Nabi, kemudian mempelajari ilmu fiqih Madzhab Hanafi sebelum akhirnya menempuh jalan Tasawuf. Sebagai Sufi, maqom (kedudukan) makrifat beliau tidak diragukan lagi. Pernah terbesit di hatinya untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan sifat ketidakpeduliaan terhadap makanan dan perempuan, kemudian hatinya berkata:

“Pantaskah aku meminta kepada Allah sesuatu yang tidak pernah diminta oleh Rasulullah SAW?”

Bahkan karena ketinggian ilmunya, beliau menghukum dirinya sendiri jika melanggar.

Baca: Kisah Juraij Dan Seorang Pelacur

Suatu hari Abu Yazid seperti yang biasa beliau lakukan, di malam yang hening itu Abu Yazid mengadakan pengembaraan seorang diri. Di tengah perjalanan, beliau mendapati seekor anjing berjalan ke arahnya dengan tanpa hirau. Ketika anjing ini sudah begitu dekat, dengan spontan Abu Yazid mengangkat gamisnya, khawatir bajunya tersentuh anjing yang najis tersebut.

Tak seperti anjing pada umumnya, mendapati respon sang Sufi ini ia menghentikan langkahnya sembari menatap dalam-dalam pada Abu Yazid. Yang lebih mengejutkan, binatang ini dianugerahi kemampuan untuk berkata-kata. Dengan masih menatap sang Sufi, anjing ini berbicara: 

“Tubuhku kering dan tidak akan menyebabkan najis padamu. Kalau pun engkau merasa terkena najis, engkau cukup membasuh 7 kali dengan air dan tanah, maka najis di tubuhmu itu akan hilang. Tapi jika engkau mengangkat jubahmu kerana menganggap dirimu lebih mulia, lalu menganggapku anjing yang hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tidak akan bersih walaupun engkau membasuhnya dengan 7 samudera lautan”.

Mendengar itu, Abu Yazid tersentak dan meminta maaf kepada anjing tersebut. Sebagai tanda permohonan maafnya yang tulus, Abu Yazid lantas mengajak anjing itu untuk bersahabat dan jalan bersama. Namun anjing itu menolaknya.

“Engkau tidak patut berjalan denganku. Karena mereka yang memuliakanmu akan mencemooh dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tahu mengapa mereka menganggapku hina, padahal aku berserah diri pada Sang Pencipta wujud ini. Lihatlah aku tidak menyimpan dan membawa sebuah tulang pun, sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum,” kata anjing itu pergi meninggalkan Abu Yazid.

Abu Yazid hanya bisa terdiam sembari merenung. Tak terasa air mata menitik, dan dari lubuk hati terdalam ia berkata:

“Ya Allah, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-Mu pun aku tak pantas. Lalu bagaimana aku merasa pantas berjalan dengan-Mu? Ampunilah aku wahai Tuhanku,  dan sucikan najis yang ada dalam hatiku”.

Baca: Kisah Seorang Wali : Doa Yang Sia-sia Karena Seorang Istri

Abu Yazid wafat pada tahun 261 Hijriyah (875 Masehi), ada yang menyebut tahun 264 Hijriyah (878 M). Makam beliau terletak di pusat Kota Bistami (Bashtom) yang banyak diziarahi oleh umat Islam. Sebuah kubah didirikan di atas makamnya atas perintah Sultan Mongol bernama Muhammad Khudabanda, seorang sultan yang berguru kepada Syeikh Syaraf al-Din (keturunan Abu Yazid), pada tahun 713 H (1313 M)

Makam ulama besar sufi abad ketiga Hijriyah, Abu Yazid al-Busthomi, di Kota Bashtom Iran. Foto oleh belajarbahasa.github.io

Oleh: Tim Redaksi

Picture by jernih.co

Mengenal Kitab Hasyiyah Al-Bajuri

Secara genalogis, “Hasyiyah Al-Bajuri” sebenarnya berasal dari Matan Abu Syuja’ yang telah saya buatkan catatannya dalam artikel berjudul “Mengenal Matan Abu Syuja’”. Matan Abu Syuja’ yan terkenal dikalangan Asy-Syafi’iyyah ini memiliki syarah yang juga sangat terkenal dan banyak dipelajari di masyarakat yang bernama “Fathu Al-Qorib’ karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi (w.918 H). Nah, “Fathu Al-Qorib” inilah yang dibuatkan Hasyiyah oleh Al-Bajuri sehingga karyanya kemudian terkenal dengan nama Hasyiyah Al-Bajuri.

Pengarang kitab ini bernama Ibrohim Al-Bajuri atau secara singkat bisa disebut Al-Bajuri. Nama lengkap beliau; Burhanuddin Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri Al-Manufi Beliau lahir pada tahun 1197 H. Di usia 14 tahun beliau sudah masuk ke Al-Azhar dan belajar di sana. Dengan ketekunannya dalam belajar dan ber-mulazamah dengan sejumlah syaikh, akhirnya sampai ke derajat Syaikhul Azhar Asy-Syarif di zamannya. Beliau sempat mengalami masa penjajahan Prancis di Mesir yang dipimpin oleh Napoleon. Di antara murid Al-Bajuri yang terkenal adalah Ath-Thohthowi.

Adapun motivasi penulisan hasyiyah ini, hal itu ditulis Al-Bajuri dalam muqaddimah kitabnya. Al-Bajuri melihat Matan Abu Syuja’ adalah mukhtashor yang penuh berkah dan banyak dimanfaatkan. Demikian pula syarahnya yang bernama “Fathu Al-Qorib”. Termasuk pula hasyiyah “Fathu Al-Qorib” yang bernama “Hasyiyah Al-Birmawi”. Hanya saja, beliau melihat dalam “Hasyiyah Al-Birmawi banyak ungkapan-ungkapan yang tidak mudah dipahami untuk pelajar pemula. Oleh karena itu, setelah melihat problem ini, beliau didorong berkali-kali oleh kolega dan ulama sezamannya un membuat hasyiyah dengan bahasa yang enak dan mudah dicerna oleh para pemula dan beliaupun tergerak untuk melakukannya. Karena itu lahirlah “Hasyiyah Al-Bajuri”.

Hasyiyah Al-Bajuri populer di masyarakat karena bahasanya enak, indah dan mudah dicerna. Kemudahan bahasa ini menjadi salah satu ciri yang menonjol dari kitab ini sekaligus menjadi keistimewaan jika dibandingkan dengan hasyiyahhasyiyah yang lain. Keistimewaan lain “Hasyiyah Al-Bajuri” adalah menjelaskan semua istilah dalam berbagai bidang ilmu sehingga akan sangat memudahkan pembacanya untuk memahami isinya. Jika ada ‘illat sebuah kata, maka Al-Bajuri akan menjelaskan wazan-nya, proses i’lal-nya, proses ibdal-nya, proses pembentukan jamak-nya, asal mufrod-nya, bentuk mudzakkar-nya, dan bentuk muannats-nya. Jik ungkapan yang salah dalam “Fathu Al-Qorib”, maka beliau mengoreksinya. Jika ada ungkapan yang kurang jelas maka beliau memperjelasnya. Jadi, “Hasyiyah Al-Bajuri” itu detail, padat isi, dan luas jangkauannya.

Keistimewaan yang lain, meskipun kitab ini dinamai hasyiyah, tapi secara fakta justru malah lebih dekat ke syarah. Syarah lebih mudah “ditelan” oleh pemula daripada hasyiyah. Oleh karena itu Bajuri tidak mensyaratkan pengkajinya harus mencapai level “expert” dalam mazhab Asy-Syafi’i untuk memahaminya.

Sudah dikenal sejak zaman dulu bahwa pelajar pemula akan dianggap menyia-nyiakan waktu jika langsung mencoba menelaah hasyiyah. Hal itu karena ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam memang diperuntukkan untuk pengkaji fikih level tinggi. Bagi pemula, seharusnya mereka mempelajari matan/muktashar dan menghafalnya bukan langusng mengkaji hasyiyah. Ahmad bin Ha Al-‘Atthos (w.1334 H) berkata:

من قرأ الحواشي ما حوى شي

“Barangsiapa (di kalangan pemula) mengkaji hasyiyah, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa.”

Hasyiyah hanya akan bermanfaat bagi orang yang level keilmuannya sudah tingkat lanjut/advanced, karena hal-hal yang umumnya sudah diketahui oleh pelajar tingkat lanjut tidak akan diterangkan pengarang hasyiyah. Pengarang hasyiyah hanya akan menerangkan hal-hal yang paling sulit sehingga tetap bermanfaat bagi pelajar tingkat lanjut itu. Tapi “Hasyiyah Al-Bajuri” ini beda. Karena pendekatan menulisnya lebih ke arah syarah, pelajar pemula yang merangkak menuju level menengah insya Allah bisa memanfaatkannya.

Baca Juga: Guy Debord Menjelaskan Problem The Society of the Spectacle, Tasawuf Menjawabnya

Adapun metode penulisannya, Al-Bajuri dalam menerangkan ungkapan dalam “Fathu Al-Qorib”, beliau memberikan “quyud” (batasan-batasan) dan “amtsilah” (contoh-contoh) agar maksudnya mudah ditangkap. Untuk kata-kata dan ungkapan tertentu kadang-kadnag Al-Bajuri membahas juga aspek i’rab dan nahwunya. Jika ada pembahasan furu’ fikih, maka Al-Bajuri akan menjelaskan kaidah ushul yang mendasarinya, termasuk aspek nahwu, dan al-asybah wa al-nazhoir-nya. Jika dibahas nahwu, maka Al-Bajuri akan menyertakan syawahid (dalil kebahasaan) yang relevan dengan pembahasan nahwu tersebut. Jadi kitab ini sungguh kaya cita rasa. Orang akan merasakan pembahasan fikih, ushul fikih, bahasa, dan “rasa-rasa” yang lainnya.

Adapun referensi yang dipakai Al-Bajuri untuk menulis hasyiyah ini, hal itu meliputi karya-karya Asy-Syafi’i, nukilan-nukilan dari ashabul wujuh, syarahsyarah, mukhtashar Al-Muzani, kitab-kita Al-Ghazali, kitab-kitab Syaikhan (Imam Al-Rafi’i dan Imam Al-Nawawi), kitab-kitab Ibnu Ar-Rif’ah, syarahsyarah Minhaj Ath-Thalibin, dan kitab-kitab Zakariyya Al-Anshori dan syarahsyarahnya. Beliau juga banyak mengambil rujukan syarah matan Abu Syuja’, Al-Iqna’ karya Al-Khothib Asy-Syirbini, “Fathu Al-Ghoffar” karya Ibnu Qosim Al-‘Abbadi, hasyiyahhasyiyah “Fathu Al-Qorib” seperti “Hasyiyah Al-Qalyubi”, “HasyiyahHasyiyah Athiyyah Al-Ujhuri”, “Hasyiyah Al-Bulbaisi” dan lain-lain. Dengan referensi sebanyak ini wajar jika mutu “Hasyiyah Al-Bajuri” masuk dalam jajaran kitab syarah dan hasyiyah level tinggi.

Dalam menulis hasyiyah, Al-Bajuri juga menjelaskan mana pendapat mu’tamad (dapat dijadikan pegangan), mana yang bukan mu’tamad, mana yang rajih (unggul), dan mana yang marjuh (diunggulkan). Dalam kitab ini, Al-Bajuri juga menyebut ikhtilaf (perbedaan pendapat) antara Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Ramli. Seringkali beliau menguatkan pendapat Ar-Romli. Hal ini wajar, karena Al-Bajuri dan banyak pada ulama Mesir dan bahkan menjadi Syaikh Al-Azhar di negeri tersebut, sementara kita tahu mayoritas tumpuan ulama-ulama Mesir adalah kitab-kitab Ar-Ramli, terutama kitab “Nihayatu Al-Muhtaj”. Al-Kurdi dalam Al-“Fawaid Al-Madaniyyah” menyebutkan, bahwa ulama-ulama Mesir telah “diikat perjanjian” bahwa mereka hanya akan mengambil ijtihad dan fatwa Ar-Ramli saja. Hanya saja, Al-Bajuri kadang-kadang menguatkan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami pada persoalan-persoalan yang beliau pandang cocok dengan masanya. Tapi, yang seperti ini jumlahnya sedikit dan terbatas.

Di antara urgensi kitab ini, Al-Bajuri banyak membahas isu-isu yang sering terjadi dan kasus-kasus aktual seperti hukum melihat (wanita/aurat), hukum dokter lelaki mengobati pasien wanita ajnabiyah, hukum menunda kehamilan, hukum vasektomi/tubektomi, masalah riba dan lain-lain. Al-Bajuri wafat pada hari kamis, 28 Dzul Qo’dah tahun 1276/1277 H.

 رحم الله الباجوري رحمة واسعة

اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Dimuat ulang dari: https://irtaqi.net/2018/03/02/mengenal-kitab-hasyiyah-al-bajuri/

Pandangan Medis Tentang Air

Salah satu referensi tentang ilmu kesehatan Islam, disebutkan bahwa air memiliki suhu panas yang tidak ideal bagi bersarang dan berkembang biaknya kuman-kuman penyebab penyakit. Sebaliknya, air menghalangi perkembangannya, bahkan merusak dan membunuh kuman-kuman tersebut.

Air memiliki unsur yang disebut specific heat (panas khusus) dan latent heat (panas tersembunyi). Unsur pertama membuat air dapat dibuat ukuran panas. Dalam temperatur yang sama, air dapat menyalurkan panas 30 kali lebih besar dari pada merkuri (air raksa) dalam kuantitas yang sama (masing-masing sekitar ½ kg) dengan kenaikan temperatur yang sama kurang lebih 1̊ C. Sebaliknya, air dingin dapat menyerap panas dari tubuh sebanyak 30 kali lebih besar dibanding dengan merkuri dalam temperatur dan kualitas yang sama. Oleh karena itu, air dingin sangat cepat mendinginkan kulit, mendinginkan otot, dan melancarkan peredaran darah.

Unsur kedua latent heat (panas tersembunyi) akan bertambah ketika air direbus. Walaupun air itu menjadi es, latent heat ini tetap ada didalamnya. Sehingga, walaupun temperatur air itu tidak berubah, es itu tetap meleleh juga. Ini sangat menolong menurunkan temperatur atau suhu badan kalau dikompres dengan es. Karena, dengan melelehnya es dan menguapnya air, itu akan menyerap panas dalam tubuh.

Baca: Antara WC dan Semedi

Studi ilmiah mengungkapkan bahwa tetesan air yang jatuh ke kepala dan wajah dapat menghilangkan rasa pusing dan kegelisahan jiwa. Karena itu, para dokter menyarankan agar orang yang terkena insomnia (sulit tidur) agar mandi dengan air hangat. Para ahli meyakini bahwa air memiliki kekuatan magis karena pangaruhnya terhadap otot, syaraf, dan suasana kejiwaan seseorang. Oleh karena itu, banyak orang yang senang bernyanyi ketika mandi karena pada saat itu dia merasa santai, rileks, dan bahagia.

Seorang ahli, Izzenberg, melakukan penelitian ilmiah yang menghasilkan kesimpulan bahwa tetesan air yang jatuh ke wajah dan bagian tubuh lainnya sudah mencukupi dan tidak memerlukan alat lain untuk melancarkan sirkulasi darah dan memijit-mijit otot. Apa yang dikatakan Izzenberg ini bisa menjadi landasan kuat bahwa mandi maupun wudlu dengan air bersih dapat menghilangkan rasa marah, tersinggung, dan rasa gelisah yang menimpa seseorang.

Hal ini menjadi pembenaran ilmiah bagi hadis yang memerintahkan wudlu ketika sedang marah. Nabi Muhammad bersabda:

Sesungguhnya, marah itu dari setan. Dan sesungguhnya, ia tercipta dari api. Dan api hanya bisa dipadamkan dengan air. Maka, jika kalian marah berwudlulah.” (H.R. Abu Dawud No. 4.786)

Dewasa ini, air juga dimanfaatkan untuk terapi pengobatan (hidroterapi). Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa air sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia, baik untuk tubuh bagian dalam ataupun bagian luar. Miller menyebutkan bahwa sentuhan air pada kulit memberikan rangsangan pada titik-titik refleksi dan akupuntur yang dapat menimbulkan efek layaknya pemijatan.

Oleh karena itu, dalam melakukan terapi air, dapat digunakan air panas maupun dingin, tergantung waktu dan kondisi tubuh. Untuk manusia normal, waktu pagi dan siang hari, melakukan hidroterapi dengan air dingin lebih memberikan manfaat. Sedang, untuk malam hari atau orang yang kurus, sebaiknya menggunakan air panas. Hidroterapi semacam ini bila dilakukan dua atau tiga kali sehari akan berfaedah untuk menjaga kesehatan tubuh kita.

Baca: Opini Tentang Perempuan

Di antara faedah yang mungkin diperoleh lagi adalah lancarnya aliran darah tubuh manusia. Kelancaran aliran darah akan memperbaiki nafsu makan, mendatangkan perasaan bugar dan sehat, yang sangat berguna bagi badan kita untuk melawan penyakit. Ternyata membasuh badan dengan berwudlu memiliki dampak yang luar biasa terutama bagi kesehatan baik jasmani maupun rohani, lantas nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?

Oleh: Opik Taopikurrohman

Sumber: Dikutip dari Kearifan Syariat

Picture by kabarnusa.com

Keutamaan Bulan Rajab

Bulan Rajab diambil dari kata rojaba, (ارجبوعن القتال  بمعنى كفوا عنه), kemudian juga rojaba mempunyai makna ‘adhim (agung), hal ini karena bangsa Arab mengagungkan bulan ini dengan tidak berperang pada bulan ini.

Selain itu, ternyata bulan Rajab ini juga mempunyai dua julukan, yaitu al-Aṣab (pencurahan) dan al-Asham (tuli). Disebut al-Ashab karena pada bulan itu rahmat turun tumpah ruah kepada umat nabi Muhammad. Sedangkan disebut al-Aṣam karena pada bulan itu tidak terdengar suara peperangan dan suara bergeseknya pedang.

Baca: Wirid Segala Hajat

Dalam Kitab Lathaifut Thaharah wa Asrarus Sholat karya Mbah Sholeh Darat halaman 83-88 dituliskan bab khusus tentang “Bab Fadlilah Rajab”. Kitab yang ditulis dengan pegon dan diterbitkan oleh Thoha Putra Semarang ini sangat detail menjelaskan keutamaan Rajab merujuk pada hadits Nabi. KH. Sholeh menjelaskan:

“Nabi bersabda: ‘Barang siapa yang mengucapkan kalimat سبحان الحي القيوم sebanyak 100 kali tiap hari pada sepuluh hari awal Rajab,  mengucap سبحان الاحد الصمد sebanyak 100 kali tiap hari pada sepuluh hari kedua, dan mengucap سبحان الرؤف sebanyak 100 kali tiap hari pada sepuluh hari ketiga, maka tidak ada orang yang bisa menghitung pahalanya”.

Hadits ini memberikan pengertian tentang bacaan atau wirid yang perlu didawamkan untuk dibaca setiap hari di bulan Rajab. Dan pahala yang didapatkan sangat banyak sekali, sehingga tidak bisa dihitung. Kemudian Nabi menegaskan bahwa siapa saja yang menjalankan puasa sehari di bulan Rajab karena Allah tanpa niat lainnya, maka akan selalu mendapatkan ridla agung Allah dan dijanjikan tempat surga Firdaus.


Sedangkan pahala puasa Rajab dua hari akan mendapatkan kelipatan dua kali hitungan semua gunung di dunia. Puasa tiga hari mendapat pahala penghalang neraka. Puasa empat hari mendapat pahala diselamatkan dari segala bala’ yang menimpa semacam junun, judzam dan barash serta diselamatkan dari fitnah Dajjal. Sedangkan pahala puasa selama lima hari akan selamat dari siksa kubur. Pahala puasa enam hari adalah jaminan wajahnya bersinar saat keluar dari qubur sebagaimana sinar rembulan tanggal empat belas.
Adapun puasa tujuh hari adalah ditutupnya tujuh pintu neraka. Untuk pahala puasa delapan hari adalah dibukakan delapan pintu surga. Pahala puasa sembilan hari adalah akan bangun dari qubur dengan memanggil kalimat لا اله الا الله dan langsung masuk surga. Dan pahala sepuluh hari berpuasa adalah jalan mulus menuju shiratal mustaqim.

Baca: Wejangan Simbah KH. Muhammad Munawwir

Mbah Sholeh Darat juga menjelaskan tentang sebuah malam mulia di dalam bulan Rajab yang disebut sebagai lailatu raghaib (ليلة رغائب). Keterangan mengenai itu diambil dari hadits:

 “Janganlah Anda sekalian lupakan bahwa dalam awal Jum’at di bulan Rajab, maka malamnya disebut lailatu raghaib ketika berada pada sepertiga malam. Saat itu para Malaikat tujuh langit dan tujuh bumi berkumpul jadi satu, di kanan kiri Ka’bah dengan disaksikan oleh Allah. Saat melihat peristiwa itu, Allah menyampaikan bahwa apa yang diminta Malaikat akan dikabulkan. Dan Malaikat meminta pada Allah untuk memaafkan hambanya yang berpuasa Rajab. Dan Allah tegas menjawab telah memaafkan semua hamba-Nya itu”.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nu.or.id

Picture by muslimahnews.com

Menolak Lamaran Seorang Perempuan

Abu Nashr as-Sijzi adalah ulama ahli Hadis dan Imam para Muhadis pada zamannya, biografinya ditulis oleh al-Hafidh ad-Dzahabi dalam Tadzkiratul Huffaz.

Abu Nash as-Sijzi ulama yang hafal ribuan Hadis dan seorang imam, alim dalam Hadis. Adalah Ubaidillah bin Said bin Hatim bin Ahmad al-Waili al-Bakri, penduduk Tanah Haram dan Mesir pengarang kitab Ibanatul Kubra fi Masalatil Qur’an, sebuah kitab penuh makna yang menunjukan ketokohannya dan pertemuannya dengan para Ulama besar.

Beliau belajar dari Ahmad bin Firas al-Abqasi, Abu Abdillah al-Hakim, Abu Ahmad al-Fardhi, Hamzah al-Muhallabi, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Bakar al-Hazzani, Abu Umar bin Mahdi, Ali Bin Abdurrahim as-Susi, Abul Husain Ahmad bin Muhammad al-Mujbir, Abu Muhammad bin an-Nahas, Abu Abdirrahman as-Sulami, Abdusshamad bin Zuhair bin Abi Jaradah al-Halabi- Sahabat Ibnu ‘Arabi dan tabaqat.

Perjalanannya dimulai setelah 400 H. Beliau belajar di Khurasan, Hijaz, Syam, Irak dan mesir. Diceritakan muridnya adalah Abu Ishaq al-Habbal, Sahal bin Bisyr al-Isyfirayini, Abu Ma’syar Al-Muqri’ at-Thabrani, Ismail bin al-Hasan al-Balawi, Ahmad bin Abdul Qadir al-Yusfi, Jakfar bin Yahya al-Hakkak, Jakfar bin Ahmad As-Saraj dan lainnya. Beliau adalah perawi Hadis al-musalsal bil awaliyah.

Baca: Berkat Tawasul Hajat Terkabul

Dalam kitab Shafhah min Shabril Ulama karya Abdul Fattah Abu Guddah, dijelaskan bahwasanya suatu hari al-Hafizh Abu Ishaq al-Jabbal sedang bersama Abu Nashr as-Sijzi, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Al-Hafizh Abu Ishaq al-Jabbal kemudian membukakan pintu tersebut, yang ternyata adalah seorang perempuan yang ingin bertamu.

Perempuan tersebut kemudian mengeluarkan kantong yang berisi uang seribu dinar. Dia meletakkannya di depan Abu Nashr as-Sijzi, perempuan tersebut kemudian berkata:

 “Belanjakanlah uang ini sebagaimana yang engkau inginkan.

Abu Nashr as-Sijzi yang melihat tingkah sang perempuan lalu bertanya,

“Apa maksudnya?” tanya Abu Nashr as-Sijzi

Sang perempuan dengan cepat menjawab:

“Engkau nikahi aku. Aku sebenarnya tidak butuh menikah, namun aku ingin melayanimu.”

Mendengar maksud perempuan tersebut, Abu Nashr as-Sijzi menolak dan meminta kepada sang perempuan untuk mengambil hartanya dan segera pergi dari hadapannya.

Dan ketika sang perempuan tersebut sudah pergi, Abu Nashr as-Sijzi berkata:

“Aku pergi dari Sijistan dengan niat mencari ilmu. Jika aku menikah, maka sebutan ini akan lepas dariku. Dan aku tidak akan mendapatkan pahala mencari ilmu sedikitpun.”

Demi belajar dan fokus mencari ilmu, Abu Nashr as-Sijzi rela menolak lamaran seorang perempuan yang ingin menikah dengannya. Padahal biaya untuk pernikahan tersebut disediakan oleh sang perempuan, namun Abu Nashr as-Sijzi lebih memilih untuk menolaknya karena ingin fokus untuk thalabul ilmi.

Apa yang dilakukan oleh Abu Nashr as-Sijzi tentu saja mempunyai alasan, kenapa lebih memilih menolak ajakan menikah dari seorang perempuan yang melamar dirinya. Padahal perempuan itu kaya dan mempunyai tujuan mulia yaitu untuk mengabdi dan melayaninya. Karena seorang pencari ilmu jika ingin benar-benar fokus, memang harus memiliki pilihan dan prioritas serta pengorbanan. Salah satunya adalah mengorbankan perasaan dan cinta dari seseorang  untuk pergi dari kehidupan seorang pencari ilmu.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya al-Jami’ Akhlaqir Rawi wa Adabus Sami’ bahwasanya:

“Dianjurkan bagi seorang penuntut ilmu untuk membujang sebisa mungkin (tidak menikah sementara waktu selama masa belajar), agar dalam mencari ilmu ia tidak disibukkan dengan hak-hak keluarga yang ia penuhi dan disibukkan dengan mencari penghidupan.

Baca: Tak Kenal Maka Ta’ruf

Memang keputusan untuk menikah dan membina rumah tangga dikhawatirkan bisa mengganggu proses mencari ilmu. Akan tetapi, jika bisa saling mendukung satu sama lain untuk fokus mencari ilmu dan saling melengkapi dalam belajar, serta berkontribusi untuk tenangnya hati dan pikiran. Kenapa tidak? Menikahlah!

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku Para Ulama Jomblo: Kisah Cendekiawan Muslim yang Memilih Membujang, alif.id

Picture by googleusercontent.com