Sejarah Terbentuknya Muslimat NU

Muslimat Nahdlatul Ulama adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat sosial keagamaan dan merupakan salah satu Badan Otonom dari Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Didirikan pada tanggal 26 Rabiul Akhir bertepatan dengan tanggal 29 Maret 1946 di Purwokerto.

Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, 1938 menjadi momen awal gagasan mendirikan organisasi perempuan NU itu muncul. Dua tokoh, yakni Ny R Djuaesih dan Ny Siti Sarah tampil sebagai pembicara di forum tersebut mewakili jama’ah perempuan. Ny R Djuaesih secara tegas dan lantang menyampaikan urgensi kebangkitan perempuan dalam kancah organisasi sebagaimana kaum laki-laki. Beliau menjadi perempuan pertama yang naik mimbar dalam forum resmi organisasi NU.

Baca: Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Secara internal, di NU ketika itu juga belum tersedia ruang yang luas bagi jama’ah perempuan untuk bersuara dan berpartisipasi dalam penentuan kebijakan. Ide itu pun disambut dengan perdebatan sengit di kalangan peserta Muktamar. Setahun kemudian, tepatnya pada Muktamar NU ke-14 di Magelang, saat Ny Djuaesih mendapat tugas memimpin rapat khusus wanita oleh RH Muchtar (utusan NU Banyumas) yang waktu itu dihadiri perwakilan dari daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat, seperti Muntilan, Sukoharjo, Kroya, Wonosobo, Surakarta, Magelang, Parakan, Purworejo, dan Bandung. Forum menghasilkan rumusan pentingnya peranan wanita NU dalam organisasi NU, masyarakat, pendidikan, dan dakwah.

Akhirnya pada tanggal 29 Maret 1946, bertepatan tanggal 26 Rabiul Akhir 1365 H, keinginan jama’ah wanita NU untuk berorganisasi diterima secara bulat oleh para utusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto. Hasilnya, dibentuklah lembaga organik bidang wanita dengan nama Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM) yang kelak lebih populer disebut Muslimat NU. Pendirian lembaga ini dinilai relevan dengan kebutuhan sejarah. Pandangan ini hanya dimiliki sebagian kecil ulama NU, di antaranya KH Muhammad Dahlan, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Saifuddin Zuhri.

Atas dasar prestasi dan kiprahnya yang demikian, Muktamar NU ke-19 di Palembang pada tahun 1952, Muslimat NU memperoleh hak otonomi. Muktamirin sepakat memberikan keleluasaan bagi Muslimat NU dalam mengatur rumah tangganya sendiri serta memberikan kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya di medan pengabdian. Sejak menjadi badan otonom NU, Muslimat lebih bebas bergerak dalam memperjuangkan hak-hak wanita dan cita-cita nasional secara mandiri. Dalam perjalanannya, Muslimat NU bergabung bersama elemen perjuangan wanita lainnya, utamanya yang tergabung dalam Kongres Wanita Indonesia (Kowani), sebuah federasi organisasi wanita tingkat nasional. Di Kowani, Muslimat NU menduduki posisi penting.

Baca: Sejarah Pedukuhan Krapyak-Panggungharjo

Para ketua umum PP Muslimat NU dari masa ke masa yaitu :

  1. Ny. Chodijah Dahlan (1946-1947)
  2. Ny. Yasin (1947-1950)
  3. Ny. Hj. Mahmudah Mawardi (1950-1979)
  4. Hj. Asmah Syahruni (1979-1995)
  5. Hj. Aisyah Hamid Baidlawi (1995-2000)
  6. Hj. Khofifah Indar Parawansa (2000- sekarang)

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: muslimatnu.or.id

Picture by nu.or.id

Krapyak Kembali Berduka

Krapyak kembali berduka, sebelumnya sekitar awal bulan Januari 2021 tepatnya pada hari Senin, 4 Januari 2021 sore, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, KH. Muhammad Najib Abdul Qadir wafat.
Kemarin sore Indonesia kembali kehilangan seorang ulama kharismatik yakni KH. Atabik Ali, beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. KH. Atabik Ali meninggal dunia pada Sabtu (6/2/2021) sekitar pukul 13.00 WIB di usia 77 tahun. Beliau merupakan putra sulung Kiai besar Nahdatul Ulama KH.  Ali Maksum dengan Ibu Nyai Hasyimah yang mana Ibu Nyai Hasyimah merupakan putri dari KH. M. Munawwir dari sitri yang ke 2 yakni Ibu Nyai Hj. Suistiyah.

Waqiila… Suatu hari KH. Ali Maksum pernah dawuh kepada KH. Atabik Ali ketika masih muda.

“Awakmu wani ngumbah mobil kui?” tanya KH. Ali Maksum

“Nggeh…wantun” jawab KH. Atabik Ali

Ketika KH. Ali Maksum memerintahkan KH. Atabik Ali untuk mencucikan mobil tersebut, disamping mobil yang dimaksud terdapat banyak santri putri dan normalnya santri putra akan merasa malu ketika melaksanakan perintah dari KH. Ali Maksum. Namun sosok KH. Atabik Ali muda dengan penuh semangat untuk sendiko dawuh melaksanakan tugas dari ayahandanya, setelah selesai mencucikan mobil kemudian KH. Ali Maksum dawuh:

“Wah wani tenan awakmu, insyaallah sesuk bakale awakmu due pondok gede tur santrine akeh” dawuh KH. Ali Maksum.

Dan terbukti bahwa beliau dan keluarga KH. Ali Maksum mempunyai ribuan santri dengan sekolah formalnya. KH. Ali Maksum dikenal sebagai salah satu pelopor modernisasi Pesantren di Indonesia. Kemudian jejak Kiai Ali Maksum ini diikuti oleh putranya, yakni Kiai Atabik Ali dan para santrinya. Setelah wafatnya Kiai Ali Maksum pada tahun 1989, Kiai Atabik melanjutkan kepemimpinan pesantren dari ayahanda tercinta. Di tangan Kiai Atabik ini pesantren kemudian berkembang pesat dengan berbagai terobosan yang luar biasa. Kiai Atabik Ali juga pernah duduk dalam kepengurusan PBNU di masa Gus Dur, yakni sejak Muktamar Situbondo tahun 1984.

Baca: Ijazah Surah al-Fatihah Dari KH. M. Munawwir Oleh Gus Mus

Lokasi Pemakaman Keluarga Dongkelan, Bantul.

Kelahiran dan kematian datang silih berganti, besok atau lusa atau kapapun saja bisa datang begitu saja tanpa aba-aba. Semua akan kembali ke asal, disini tidak ada yang abadi semua akan kembali kepada Sang Maha Pencipta alam semesta. Suatu saat diantara kita akan pulang sendirian sama saat seperti kita datang pertama kali ke muka bumi.

Jika kita merasa sebagai salah satu santrinya berusahalah meniru akhlaknya, senantiasa patuh dengan dawuh-dawuh beliau, semoga kita semua diakui oleh beliau sebagai santrinya. Semoga guru kita semua, orang tua kita semua KH. Atabik Ali wafat dengan Husnul Khatimah, diterima semua amal ibadahnya dan ditempatkan bersama para kekasih Allah di surga, Amin.

Oleh: Tim Redaksi

Ijazah Surah al-Fatihah Dari KH. M. Munawwir Oleh Gus Mus

Setiap orang tentunya memiliki keinginan atau hajat yang berusaha untuk diraih. Sayangnya, tidak jarang mereka salah jalan dengan mendatangi dukun atau tukang ramal untuk dimintai pertolongan. Padahal, di dalam Islam diajarkan untuk berdoa, memohon kepada Allah, agar hajat atau keinginan tersebut bisa terwujud dengan membawa kebaikan.

Ijazah adalah sesuatu amalan yang diberikan mulai dari Nabi Muhammad kepada Sahabat, sahabat kepada tabi’in, tabi’in kepada tabi’it tabi’in sampai kepada para ulama, Kiai dan para guru kita semua. Ijazah juga merupakan salah satu bentuk perizinan dari para kiai kepada para santri untuk mengamalkan satu amalan yang bermanfaat yang berkenaan dengan masalah-masalah duniawi atau masalah-masalah ukhrowiyah. Dalam mengamalkan wirid yang diijazahkan oleh para Kiai ini akan memberikan atsar, manfaat, dan barokah yang luar biasa manakala dilaksanakan sesuai dengan petunjuk.

Berbagai aneka doa telah diajarkan, baik oleh Kanjeng Nabi Muhammad maupun para ulama. Salah satu diantara doa agar mudah dikabulkan hajatnya oleh Allah adalah bacaan Surah al-Fatihah. Namun bukan sembarang bacaan Suah al-Fatihah tentunya, tapi Surah al-Fatihah yang telah diamalkan oleh para Ulama dan terbukti berhasil. Tentu pembuktian hal tersebut tidak cukup asal pembuktian, melainkan pembuktian dari orang yang terpercaya, baik dari segi keilmuan maupun hal lainnya yang mendukung. Nah oleh karena itulah ijazah ini sangat penting. Ada banyak Ulama yang bisa membuktikan hal tersebut.

Baca: Wejangan Simbah KH. Muhammad Munawwir

Salah satunya adalah ijazah Surah al-Fatihah dari KH. M. Munawwir Krapyak, pendiri Pesantren Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Ijazah ini sering disampaikan oleh KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam beragam kesempatan. Gus Mus mendapatkan Ijazah Surah al-Fatihah tersebut ketika beliau mondok di Krapyak, dan beliau kemudian memberikan ijazah tersebut kepada masyarakat.

Berikut ijazah Suah al-Fatihah dari KH. M. Munawwir :

  • Membaca surah al-Fatihah dengan hati yang ikhlas dan yakin
  • Ketika sampai pada ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”, dibaca 11x sambil dalam hati memohon kepada Allah apa yang menjadi keinginan atau hajat
  • Lalu dilanjutkan pada ayat berikutnya sampai bacaan Fatihah selesai

Demikian terkait ijazah surah al-Fatihah dari KH. M. Munawwir, Krapyak.  Cukup mudah untuk diamalkan tentunya. Semoga dapat dipelajari dan diamalkan semoga kita mendapat keutamaan dari Surah al-Fatihah dan dikabulkan setiap apa yang menjadi hajat kita, keluarga dan semua yang mengamalkannya.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com, nu.or.id

Picture by nujateng.com

Pekan Ta’aruf: Modal Sosial Pesantren Dalam Menghadapi Pandemi

Malam kedua (02/02) santri baru Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L melanjutkan kegiatan Pekan Ta’aruf dengan tema ”Modal Sosial Pesantren Dalam Menghdapi Pandemi” dan masih dalam sesi materi ke 2, pada kesempatan ini disampaikan oleh Pak Beni Susanto, M.A, beliau merupakan salah satu alumni Komplek L. Kemudian dilanjut sesi ke-Al Munawwiran yang di isi oleh Ustadz Abdus Salam, M.A, beliau menyampaikan materi seputar sejarah lahirnya Pondok Pesantren Al Munawwir, khususnya mulai dari siapa pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir, Dzurriyahnya dan perkembangan Pondok Pesantren Al Munawwir. Dengan diselingi guyonan yang khas yang membuat tawa geli sehingga peserta tak bosan untuk selalu menyimak. Penyampainya pun sangat komprehensif dengan harapan para santri mengetahui seluk beluk sejarah tempat mereka singggah saat ini sebagai miniatur multikultural masyarakat.

Dilanjutkan pada hari ketiga yakni pada hari Rabu (03/02) diisi dengan perlombaan Cerdas Cermat Pesantren (CCP) yang diikuti oleh setiap kelompok Pekan Ta’aruf dan bertempat di Mushola Al Mubarok, perlombaan ini dimulai pada pukul 13.00 wib hingga pukul 16.30 wib. Pada malam harinya para peserta Pekan Ta’aruf masih diberikan materi tentang Living Qur’an yang disampaikan oleh Kiai Yunan Roni, M.Sc, beliau merupakan salah satu dewan asatidz di Madrasah Diniyyah Salafiyyah 4 Komplek L. Untuk sesi materi yang terakhir disampaikan oleh Bapak dr. Yaltafit Abror Jeem M.Sc, beliau menyampaikan tentang Pesantren dan Adaptasi Kebiasaan Baru.

Pagi hari pun tidak dibiarkan kosong begitu saja. Tentunya para panitia sebelumnya sudah menyusun acara dengan kegiatan yang positif, kegiatan Bakti Sosial menjadi agenda pagi hari oleh seluruh peserta Pekan Ta’aruf, dimana para peserta memberikan bahan pokok kepada warga desa di sekitar Komplek L, tentunya dengan menerapkan Prokol Kesehatan dan di dampingi oleh aparatur desa setempat. Disinilah para peserta diajarkan saling mengasihi sesama, memeberi kepada yang kekurangan, menjunjung  tinggi nilai solidaritas dan menunjukkan jiwa sosial yang tinggi.

Pada hari Kamis malam Jum’at (04/02)  kegiatan demi kegitan telah dilakukan, kini sampailah pada puncak acara yaitu malam penutupan Pekan Ta’aruf. Rangkaian acara dimulai dengan pembacaan Maulid, kemudian dilanjutkan dengan penampilan juara MSQ oleh peserta Pekan Ta’aruf angkatan 2020. Malam penutupan Pekan Ta’aruf diisi dengan mauidzoh hasanah oleh Dr. Abdul Jalil, S.Th.I, M.S.I.  dengan materi bagaimana posisi santri saat ini, beliau mengibaratkan seorang santri itu seperti kedudukan i’rob dalam nahwu, yakni; na’at, bayan dan badal. Sebagai seorang santri ada tiga tingkatan yang harus dilewati, yang pertama santri itu sebagai na’at, yang mana na’at itu membutuhkan man’ut atau yang diikuti, seorang santri harus patuh terhadap pengasuh dan asatidz yang ada di pondok. Yang kedua santri menjadi bayan, sebagai penjelas ataupun beliau mengibaratkan bayan itu menjadi seorang ustadz atau tenaga pengajar. Kemudian yang ketiga seorang santri menjadi sorang badal, yang mana itu sebagai pengganti. Diibaratkan santri kelak ketika sudah boyong dari pondok bisa menjadi pengganti ataupun meneruskan perjuangannya di daerah masing-masing.

Baca: Tak Kenal Maka Ta’aruf

Acara ini tentunya tidak kalah denga acara di kampus, bahkan menurut salah satu santri baru sebagai peserta Pekan Ta’aruf, acara ini lebih mengasyikkan dan banyak hal yang bisa diambil dari setiap kegiatannya. Dia juga menambahkan, bahwa acara seperti ini jarang dilakukan di Pesantren lainya, sehingga dengan adanya acara ini para santri baru mudah berinteraksi dan mengenal kepada sesama santri baru maupun santri lama. Mereka para santri baru sudah tidak lagi canggung dalam bergaul. Harapan penulis Pekan Ta’aruf ini tidak hanya sampai ta’aruf (saling mengenal) antar sesama saja, akan tetapi juga menyampaikan kepada tafahum (saling memahami) meningkat ke ta’awun (saling membantu dalam kebaikan) dilanjutkan ke tasamuh (toleransi) dan diakhiri dengan takaful (saling menjamin rasa aman). Sehingga acara ini tidak hanya sebatas tontonan, tetapi juga tuntunan.

Oleh: Tim Redaksi

Kisah KH. Zainal Abidin Munawwir Selamat Dari Gempa

Di saat matahari bersiap terbit, memberikan kehangatan bagi seluruh umat manusia dan makhluk hidup di Bumi. Namun, tidak dengan apa yang terjadi pada 27 Mei 2006 di Yogyakarta.

Pada hari itu, sekitar pukul 05.53 atau pukul 05.55 WIB, gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang salah satu provinsi istimewa di bagian tengah Jawa, Indonesia. Kejadian itu terjadi kurang lebih pukul 05:55:03 wib selama 57 detik. Tidak sedikit korban jiwa yang berjatuhan dan ribuan bangunan rumah roboh hampir rata dengan tanah.

Banyak orang pada saat gempa terjadi masih tertidur ataupun masih terkantuk-kantuk, meski sebagian telah terbangun bersiap memulai aktivitas mereka. Goncangan yang begitu dahsyat seketika meluluhlantakkan bangunan, infrastruktur, hingga jaringan listrik dan telekomunikasi di seluruh wilayah Yogyakarta, Bantul, dan sekitarnya. Tercatat korban yang terdampak akibat bencana alam ini juga mencapai wilayah-wilayah seperti Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul, Klaten, dan Boyolali.

Salah satu daerah yang terkena dampak gempa adalah Krapyak yang mana daerah tersebut terdapat sebuah Pondok Pesantren al-Qur’an terbesar di Indonesia yakni Pondok Pesantren Al Munawwir. Pondok Pesantren Al Munawwir telah mencetak lulusan yang hebat di masing-masing daerah hingga ke luar negeri dan tidak sedikit santri yang lulus di sana banyak yang mendirikan pondok pesantren.

Baca: Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Ketika peristiwa gempa bumi mengguncang wilayah Yogyakarta dan sekitarnya ada sebuah kejadian yang di luar nalar manusia. Pada saat peristiwa gempa terjadi KH. Zainal Abidin Munawwir allahuyarham atau biasa akrab dengan Mbah Zainal, beliau merupakan salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir yang sedang beriktikaf di dalam masjid dan itu memang sudah menjadi kebiasaan beliau di pagi hari.

Masjid Al-Munawwir pada masa kepengasuhan KH. Ali Maksum-Dokumentasi oleh almunawwir.com 

Semua bangunan di komplek Pondok Pesantren ikut hancur termasuk masjid. Tiba-tiba muncul Mbah Zainal di balik reruntuhan masjid itu.

“Cung, iki ono opo kok podo ambruk kabeh? tanya Mbah Zainal kepada santri

“Ada gempa bumi ini tadi, mbah kyai” jawab santri

“Owh gempa to” jawab Mbah Zainal

Masjid Al Munawwir baru setelah pemugaran total pasca gempa 2006 pada masa kepengasuhan KH. Zainal Abidin Munawwir-Dokumentasi oleh ayomondok.net

Begitulah sosok Mbah Zainal, ulama ahli fiqh yang dikenal zuhud dan wira’i. Hanya kepatuhan kepada sang Khalik-lah yang menjadikan manusia yang tinggi derajatnya di hadapan Allah swt, karena semata-mata ibadah mereka hanya untuk Allah swt, bukan untuk yang lainnya. Lahul fatihah.

Semoga dari kisah Kiai Zainal Abidin Munawwir Selamat dari Gempa ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by santrijagad.org

Sejarah Pedukuhan Krapyak-Panggungharjo

Desa Panggungharjo merupakan gabungan dari tiga kelurahan yakni Kelurahan Cabeyan, Kelurahan Prancak dan Kelurahan Krapyak.

Keberadaan Desa Panggungharjo tidak bisa dipisahkan dari keberadaan “Panggung Krapyak” atau oleh masyarakat sekitar disebut sebagai “Kandang Menjangan”, yang berada di Pedukuhan Krapyak Kulon, Desa Panggungharjo.

Sebagaimana diketahui, bahwa Panggung Krapyak merupakan salah satu elemen dari ‘sumbu imajiner’ yang membelah Kota Yogyakarta, yaitu garis Gunung Merapi – Tugu Pal Putih – Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat – Panggung Krapyak dan Parangkusumo yang berada di pantai selatan.

Sedangkan berdasarkan bukti sejarah, Desa Panggungharjo sendiri dibentuk berdasarkan maklumat nomor 7, 14, 15, 16, 17 dan 18 monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan di kala itu. Dari maklumat tersebut, kemudian ditetapkan tanggal hari jadi Desa Panggungharjo yang jatuh pada 24 Desember tahun 1946. Setelah adanya maklumat tersebut, kemudian dikuatkan kembali dengan Maklumat Nomor 5 Tahun 1948 Pemerintah Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia Yogyakarta tentang Hal Perubahan Daerah-daerah Kalurahan dan Nama-namanya.

Dalam salah satu isian maklumat tersebut menyatakan bahwa dilakukan penggabungan dari tiga kalurahan, yaitu Kalurahan Cabeyan, Prancak dan Krapyak menjadi kalurahan baru yang disebut Kalurahan Panggungharjo.

Sumber foto: www.panggungharjo.desa.id

Berdasarkan fakta dan bukti sejarah, akar budaya di Desa Panggungharjo tumbuh dan berkembang berhubungan erat dan dipengaruhi oleh komunitas dan intervensi budaya yang berkembang pada masanya, yaitu :

  1. Pada abad ke 9-10 Desa Panggungharjo adalah merupakan kawasan agraris, hal ini dibuktikan dengan adanya Situs Yoni Karang Gede di Pedukuhan Ngireng-Ireng. Sehingga dari budaya agraris ini muncul budaya seperti: Gejok Lesung, Thek-thek/Kothek-an, Upacara Merti Dusun, Upacara Wiwitan, Tingkep Tandur, dan budaya-budaya lain yang sifatnya adalah merupakan pengormatan kepada alam yang telah menumbuhkan makanan sehingga bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia.
  2. Pada abad ke 16 di wilayah Krapyak Kulon dan Glugo adalah merupakan kawasan wisata berburu (Pangeran Sedo Krapyak – 1613), sedangkan pada Abad ke-17 kawasan ini merupakan sebagai tempat olahraga memanah kijang/menjangan dan sebagai tempat pertahanan (Sultan HB I – Panggung Krapyak 1760). Budaya yang dibawa dari intervensi keberadaan Keraton Mataram sebagai pusat budaya sehingga menumbuhkan budaya adiluhung seperti: Panembromo, Karawitan, Mocopat, Wayang, Ketoprak, Kerajinan Tatah Sungging, Kerajinan Blangkon, Kerajinan Tenun Lurik, Batik, Industri Gamelan, Tari-tarian Klasik, dan lain-lain.
  3. Pada tahun 1911 di wilayah Krapyak Kulon didirikan Pondok Pesantren Al Munawwir, sehingga berkembang budaya seperti : Sholawatan, Dzibaan, Qosidah, Hadroh, Rodad, Marawis, dan juga budaya-budaya yang melekat pada kegiatan peribadatan seperti: Syuran (peringatan 1 Muharram), Mauludan (peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW), Rejeban (peringatan Isro’ Mi’roj), Ruwahan/Nyadran (mengirim doa untuk leluhur menjelang Bulan Ramadhan), Selikuran (Nuzulul Qur’an), dan lain-lain.
  4. Sekitar tahun 1900-1930 berkembanglah budaya yang tumbuh dan berkembang karena adanya kebutuhan bersosialisasi dimasyarakat, sehingga berkembanglah bermacam-macam dolanan anak seperti: Egrang, Gobak Sodor, Benthik, Neker-an, Umbul, Ulur/layangan, Wil-wo, dan lain-lain. Bahkan di kampung Pandes berkembang sebuah komunitas “Kampung Dolanan” yang memproduksi permainan anak tempo doeloe, seperti: Othok-Othok, Kitiran, Angkrek, Keseran, Wayang Kertas, dan lain-lain
  5. Pada Tahun 1980 di desa Panggungharjo yang merupakan wilayah sub-urban mulai berkembang Budaya Modern Perkotaan dan banyak mempengaruhi Generasi Muda, sehingga berkembanglah kesenian Band, Drumband, Karnaval Takbiran, Tari-tarian Modern, Campur Sari, Outbond, Playstation/Game Rental, dan lain-lain.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: panggungharjo.desa.id

Tak Kenal Maka Ta’ruf

Memasuki tahun ajaran baru para panitia Penerimaan Santri Baru Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L disibukkan dengan tamu wajah-wajah baru, yakni calon santri dan penduduk baru pondok. Mereka sibuk mengurusi penerimaan, pendataan dan lain sebagainya. Tidak hanya itu saja, setelah Penerimaan Santri Baru  selesai, Pengurus Pondok Komplek L terutama santri baru akan disibukkan dengan berbagai kegiatan, salah satunya Pekan Ta’aruf. Suatu kegiatan yang memang diwajibkan bagi setiap santri baru yang masuk di Pondok Al Munawwir komplek L.

”Modal Sosial Pesantren Dalam Menghadapi Pandemi”, itulah tema besar dalam acara Pekan Ta’aruf pondok pesantren Al Munawwir Komplek L tahun ajaran 2020/2021. Tema ini diusung dengan keadaan sosial di masa sekarang yang mana seluruh elemen masyarakat sedang berjuang menghadapi pandemi, memang sangat sesuai untuk konteks dewasa ini.

Baca: Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

Malam selasa, 01 Februari 2021 acara ini resmi dibuka oleh bapak RT setempat. Gemuruh sorak peserta Pekan Ta’aruf lengakp dengan kostum putih dan atribut warna warni. Dilanjutkan dengan materi yang dibawakan oleh Pak Zainal Arifin salah satu dewan asatidz di Madrasah Diniyyah Salafiyyah 4 dan alumni Komplek L dengan sub tema “Kepesantrenan dan Kebangsaan”, sekedar informasi bahwa Beliau adalah lulusan Universitas di Amerika juga Australia. Peserta sangat antusias mendengar pemaparan beliau walaupun ada beberapa santri yang tak kuat menahan kantuk. Dalam materi malam pertama ini  diharapkan para peserta dapat memahami apa yang disampaikan yakni sebagai landasan para santri tentang kepesantrenan dan peranannya.

Setelah sesi pertama tentang “Kepesantrenan Dan Kebangsaan” selesai, dilanjutkan dengan kegiatan perkenalan pengurus Pondok Pesantren Pusat yang mana pada kesempatan kali ini diwakili oleh Gus Munadi yang tak lain ialah sebagai Lurah Pondok Pusat dan didampingi oleh Kang Wahid. Pada sesi perkenalan Pengurus Pondok Pusat ini diharapkan para santri baru bisa mengetahui tentang struktur kepengurusan setiap komplek yang ada di Al Munawwir juga diharapkan para santri baru bisa mengetahui atau paling tidak bisa kenal dengan salah satu personil Pengurus Pondok Pusat Al Munawwir.

Dilanjut dengan kegiatan selanjutnya yakni perkenalan Pengurus Pondok Komplek L, pada kesempatan kali ini dipimpin oleh Rizal Fathurrahman yang bertindak sebagai Lurah Pondok Komplek L periode 2020/2022. Pada sesi ini diperkenalkan para pengurus Pondok Komplek L berikut dengan divisi dan tugasnya, diharapkan pada sesi ini santri baru bisa mengetahui dan mengenali para pengurus pondok yang mana para pengurus ini kedepannya yang akan mengurusi kegiatan mereka di Komplek L.

Setelah melewati beberapa sesi dari rangkaian pembukaan acara di malam pertama santri baru pun melakukan apel malam guna melengkapi persyaratan yang sudah disampaikan oleh Panitia Pekan Ta’aruf satu minggu sebelumnyapada saat Technical Meeting, setelah melakukan apel malam santri baru dipersilahkan untuk istirahat. Malam itu terasa sangat hidup karena semua peserta juga diwajibkan melakukan shalat malam, tentunya ini bertujuan untuk membiasakan hal baik pada santri baru agar terlaksana tidak hanya pada saat Pekan Ta’aruf saja.

Baca: Penyangga Langit Krapyak Tersisa Satu

Setelah melakukan agenda kegiatan shalat malam berjama’ah santri baru pun melakukan shalat subuh berjamaah dan dilanjutkan dengan kegiatan deresan al-Qur’an bersama di Mushola al-Mubarok Komplek L, rangkaian kegiatan untuk malam pertama pun berakhir pada pagi hari. Adapun kegiatan selanjutnya yakni Lomba Adzan dan Muabaqoh Syarhil Qur’an yang akan dilaksanakan pukul 13.00 wib. Lomba ini bertujuan untuk menjaring minat dan bakat santri baru yang memiliki minat ataupun bakat dalam bidang tertentu.

Oleh: Tim Redaksi

Ternyata Ada Makmum Masbuq Hakiki dan Masbuq Hukmi

Qiroatul al-fatihah (membaca al-fatihah) adalah salah satu rukun salat yang wajib dikerjakan oleh setiap musholli. Qiroatul al-fatihah hanya bisa gugur pada rakaat makmum masbuq. Adapun makmum masbuq, maka seluruh qiroatul al-fatihah atau sebagiannya kemungkinan bisa gugur dan ditanggung imam. Sedangkan al-fatihah bagi makmum muwafiq (kebalikan makmum masbuq) harus dibaca secara keseluruhan setiap raka’atnya. Untuk mengetahui status makmum dalam suatu raka’at salat, apakah masbuq atau muwafiq maka perlu dijelaskan definisi dari makmum masbuq dan muwafiq. Berikut ini penjelasan dari keduanya:

Makmum masbuq adalah makmum yang ketika bersama imam tidak menjumpai durasi waktu yang mencukupi bacaan al-fatihah dengan kecepatan bacaan sedang (al-wastil al-mu’tadil). Sedangkan Makmum mufwafiq adalah kebalikan dari makmum masbuq, yaitu makmum yang ketika bersama imam menjumpai durasi waktu yang mencukupi bacaan al-fatihah dengan kecepatan sedang (al-wastil al-mu’tadil). Fokus dari kedua definisi di atas adalah batasan durasi waktu. Yang dimaksud dari durasi waktu tersebut adalah durasi waktu yang dihitung mulai awal ketika makmum sudah berdiri tegak bersama berdirinya imam sampai imam akan ruku’, bukan waktu ketika imam membaca al-fatihah ataupun waktu ketika makum membaca al-fatihah.

Adapun makmum masbuq adakalanya masbuq haqiqi seperti makmum mendapati imam telah ruku’ dan adakalnya masbuq hukmiy, seperti makmum yang terlambat berdiri menuju raka’at berikutnya karena kesulitan untuk berdiri dari sujud ketika terdesak oleh banyaknya jama’ah.[1] Maka dalam keadaan tersebut, bacaan al-fatihah bagi makmum bisa gugur keseluruhan atau sebagian dan bacaannya ditanggung oleh imam, dengan syarat si imam merupakan ahlun li at-tahammul.[2] Berdasarkan definisi di atas maka makmum masbuq tidak hanya terjadi pada raka’at pertama saja, akan tetapi makmum masbuq juga bisa terjadi pada setiap raka’at.

Referensi:

[نووي الجاوي، نهاية الزين، صفحة ٥٩]

(و) رَابِعهَا (قِرَاءَة فَاتِحَة كل رَكْعَة) فِي قِيَامهَا أَو بدله (إِلَّا رَكْعَة مَسْبُوق) بهَا حَقِيقَة كَأَن وجد الإِمَام رَاكِعا أَو حكما كَأَن زحم عَن السُّجُود فَتسقط الْفَاتِحَة أَو بَعْضهَا عَن الْقَادِر عَلَيْهَا فِي رَكْعَة مَسْبُوق وَهُوَ من لم يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة بِالنِّسْبَةِ للوسط المعتدل لَا بِالنِّسْبَةِ لقرَاءَته وَلَا لقِرَاءَة إِمَامه فَإِنَّهُ إِذا جَاءَ وَوجد الإِمَام رَاكِعا أحرم وَركع خَلفه ويتحمل عَنهُ إِمَامه الْفَاتِحَة كلهَا بِشَرْط أَن يكون أَهلا للتحمل بِأَن لَا يكون مُحدثا وَلَا فِي رَكْعَة زَائِدَة وَلَا فِي الرُّكُوع الثَّانِي من صَلَاة الْكُسُوف ,نعم إِن اطْمَأَن يَقِينا قبل رفع الإِمَام عَن أقل الرُّكُوع أدْرك الرُّكُوع وَإِن لم يطمئن أَو شكّ فِي ذَلِك فَاتَتْهُ الرَّكْعَة فيتداركها بعد سَلام إِمَامه وَإِذا جَاءَ قبل رُكُوع الإِمَام وَأحرم خَلفه وَلم يشْتَغل بِسنة كدعاء افْتِتَاح قَرَأَ مَا أمكنه من الْفَاتِحَة وَإِذا ركع إِمَامه ركع مَعَه ويتحمل عَنهُ الإِمَام بَاقِي الْفَاتِحَة إِن كَانَ أَهلا للتحمل كَمَا مر فَإِن لم يرْكَع مَعَ إِمَامه فَاتَتْهُ الرَّكْعَة فيوافق الإِمَام فِيمَا هُوَ فِيهِ وَلَا يجْرِي على نظم صَلَاة نَفسه وَلَا تبطل صلَاته إِلَّا إِذا تخلف عَن الإِمَام بركنين فعليين بِلَا عذر هَذَا إِن لم ينْو الْمُفَارقَة وَإِلَّا صَار مُنْفَردا فَيجْرِي على نظم صَلَاة نَفسه فَإِن اشْتغل بِسنة فَإِن كَانَ يظنّ أَنه يدْرك الإِمَام فِي الرُّكُوع وَأَن الِاشْتِغَال بِالسنةِ لَا يُؤَخِّرهُ عَن ذَلِك فَتبين خلاف ظَنّه وَجب عَلَيْهِ أَن يتَخَلَّف حَتَّى يَأْتِي من الْفَاتِحَة بِقدر مَا أَتَى بِهِ من السّنة فَإِذا فرغ من ذَلِك وَأدْركَ الإِمَام فِي الرُّكُوع وَاطْمَأَنَّ مَعَه يَقِينا أدْرك الرَّكْعَة وَإِلَّا فَاتَتْهُ ويتدراكها بعد سَلام إِمَامه وَإِذا رفع الإِمَام من الرُّكُوع قبل أَن يكمل الْمَأْمُوم مَا عَلَيْهِ فَاتَتْهُ الرَّكْعَة أَيْضا فَلَا يجْرِي على نظم صَلَاة نَفسه بل يُوَافق الإِمَام فِيمَا هُوَ فِيهِ بعد تَكْمِيل مَا عَلَيْهِ مَا لم يسْبق بركنين فعليين فَلَو أَرَادَ الإِمَام الْهَوِي للسُّجُود قبل أَن يكمل الْمَأْمُوم مَا عَلَيْهِ وَجب عَلَيْهِ نِيَّة الْمُفَارقَة وَإِلَّا بطلت صلَاته وَإِن كَانَ الْمَسْبُوق يظنّ أَنه لَا يدْرك الإِمَام فِي الرُّكُوع لَو اشْتغل بِالسنةِ وَمَعَ ذَلِك اشْتغل بهَا كدعاء الِافْتِتَاح فَإِنَّهُ يجب عَلَيْهِ التَّخَلُّف كَمَا مر لَكِن تجب عَلَيْهِ نِيَّة الْمُفَارقَة قبل رفع الإِمَام من الرُّكُوع وَإِلَّا حرم عَلَيْهِ وَلَا تبطل صلَاته إِلَّا إِذا تخلف بركنين فعليين بِلَا نِيَّة مُفَارقَة وَلَو اقْتدى بِإِمَام رَاكِع فَرَكَعَ وَاطْمَأَنَّ مَعَه فِي رُكُوعه وَلما أتم الرَّكْعَة وَقَامَ وجد إِمَامًا غَيره رَاكِعا فَنوى مُفَارقَة هَذَا واقتدى بِالْآخرِ وَركع وَاطْمَأَنَّ مَعَه وَهَكَذَا إِلَى آخر صلَاته جَازَ وعَلى هَذَا فَيمكن سُقُوط الْفَاتِحَة عَنهُ فِي جَمِيع الرَّكْعَات وَلَو اقْتدى بِإِمَام سريع الْقِرَاءَة على خلاف الْعَادة وَالْمَأْمُوم معتدلها وَكَانَ فِي قيام كل رَكْعَة لَا يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة من الْوسط المعتدل فَهُوَ مَسْبُوق فِي كل رَكْعَة 

[نووي الجاوي، نهاية الزين، ص ١٢٦]

(و) أما الْمَسْبُوق وَهُوَ ضد الْمُوَافق فَإِذا ركع الإِمَام قطع الْفَاتِحَة ليركع مَعَه وَسقط عَنهُ بقيتها فَإِن قَرَأَ الْفَاتِحَة ففاته الرُّكُوع مَعَ الإِمَام بِأَن لم يطمئن قبل ارْتِفَاع الإِمَام عَن أَقَله لغت ركعته إِذْ لم يدْرك مَعَ الإِمَام ركوعها فيوافقه فِيمَا هُوَ فِيهِ بعد فَلَو ركع عَامِدًا عَالما بِالتَّحْرِيمِ بطلت صلَاته وَحِينَئِذٍ كَانَ تخلفه بعد قِرَاءَة مَا أدْركهُ من الْفَاتِحَة لإتمامها بِلَا عذر وَكَانَ تخلفه بِلَا عذر بِأَن كَانَ عَامِدًا عَالما فَيكون مَكْرُوها بل تبطل صلَاته على وَجه ضَعِيف وَتبطل على الْمَذْهَب إِن سبقه الإِمَام بِتمَام ركنين فعليين هَذَا كُله إِن لم يشْتَغل الْمَسْبُوق بِسنة فَأَما (لَو اشْتغل مَسْبُوق بِسنة) كالتعوذ والافتتاح أَو سكت أَو اسْتمع قِرَاءَة الإِمَام أَو غَيره (قَرَأَ) وجوبا من الْفَاتِحَة بعد رُكُوع الإِمَام (قدرهَا) أَي قدر حُرُوف السّنة فِي ظَنّه فَيجب أَن يعد أَو يحْتَاط وَيصرف قدر الزَّمن الَّذِي سكته إِلَى قِرَاءَة مَا يَسعهُ من الْفَاتِحَة لتَقْصِيره بعدوله عَن فرض إِلَى غَيره (وَعذر) أَي من تخلف لسنة فَمَتَى ركع قبل وَفَاء مَا لزمَه عَامِدًا عَالما بطلت صلَاته وَإِلَّا لم يعْتد بِمَا فعله فَيَأْتِي بِرَكْعَة بعد سَلام إِمَامه وَمَتى ركع إِمَامه وَهُوَ متخلف لما لزمَه وَقَامَ من رُكُوعه فَاتَتْهُ الرَّكْعَة وَوَجَب مُوَافقَة الإِمَام فِي هويه للسُّجُود فَلَا يرْكَع وَإِلَّا بطلت صلَاته إِن علم وتعمد وَالْمرَاد بِكَوْنِهِ مَعْذُورًا أَنه لَا كَرَاهَة وَلَا بطلَان بتخلفه قطعا وَأَنه مُلْزم بِالْقِرَاءَةِ فَيكون مَحل بطلَان صلَاته بهوي الإِمَام للسُّجُود إِذا لم يُفَارِقهُ فِي غير هَذِه الصُّورَة لَكِن تفوته الرَّكْعَة وَلَيْسَ معنى كَونه مُتَخَلِّفًا بِعُذْر أَنه يعْطى حكم الْمَعْذُور من كل وَجه أما من تخلف لغير سنة كمن أَتَى بتسبيح بعد تحرم فَهُوَ مقصر فَإِذا فَاتَهُ الرُّكُوع فَاتَتْهُ الرَّكْعَة اتِّفَاقًا


[1] Lihat penjelasannya dalam Kitab Nihayatuz Zain, hlm. 59. Kutipan referensinya sebagai berikut:

(و) رَابِعهَا (قِرَاءَة فَاتِحَة كل رَكْعَة) فِي قِيَامهَا أَو بدله (إِلَّا رَكْعَة مَسْبُوق) بهَا حَقِيقَة كَأَن وجد الإِمَام رَاكِعا أَو حكما كَأَن زحم عَن السُّجُود فَتسقط الْفَاتِحَة أَو بَعْضهَا عَن الْقَادِر عَلَيْهَا فِي رَكْعَة مَسْبُوق وَهُوَ من لم يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة بِالنِّسْبَةِ للوسط المعتدل لَا بِالنِّسْبَةِ لقرَاءَته وَلَا لقِرَاءَة إِمَامه

[2]  Bukan merupakan imam yang berhadats, bukan pada raka’at tambahan, atau bukan pada ruku’ kedua dari salat gerhana.

Gambar dari: PDM JOGJA – Mentari Broadcasting, Oct 4, 2015

Antara WC dan Semedi

Frasa ‘mau ke belakang’ dan frasa ‘mau buang hajat’ adalah frasa yang dinilai sopan untuk mengatakan ‘mau bab’. Tidak tahu secara pasti mengapa kata ‘belakang’ bisa merepresentasikan maksud hati pergi ke WC, selain dugaan sementara bahwa itu karena jalan keluar air besar berada di belakang.

Hajat ditafsirkan oleh KBBI sebagai: 1) maksud, keinginan, kehendak; 2) kebutuhan atau keperluan; 3) selamatan; dan 4) kotoran atau tinja. Artinya, ‘kotoran’ atau ‘tinja’ sebagai arti kata hajat adalah opsi makna terakhir. Dengan kata lain, kata tersebut jarang digunakan. Karena aslinya dari bahasa Arab, kata hajat (al-hajah) yang diasalkan kepada kata al-hawju berarti as-salamah (keselamatan). Oleh orang Jawa dirumuskan dalam kegiatan selametan yang seringkali di Indonesiakan dengan ‘hajatan’. Sama dengan arti ketiga kata hajat dalam KBBI di atas. Korelasi keduanya jelas, orientasi buang hajat dan selametan satu: selamat dalam hidup.

Selamat dalam hidup? Ya. Mengeluarkan kotoran berarti mengeluarkan penyakit dan meraih keselamatan; dan orientasi orang tua membuat selametan untuk anaknya ialah berharap keselamatan untuk anaknya. Pemaknaan ini dilihat dari aspek leksikal. Sedangkan dari aspek pemakaian kata, kata hajat menurut dua literatur Arab. Pertama, dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfadz at-Taqrib karya Muhammad ibn Qasim al-Ghazziy. Kedua, dalam kitab al-Hikam karya Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Karim ibn ‘Atha’illah as-Sakandariy, kumpulan kata-kata mutiara sugistik yang dikomentari oleh ibn ‘Ibad an-Nafaziy ar-Ranadiy.

Baca: Uchiha Itachi Terinspirasi Dari Kitab Ulama Abad Ke-16

Fiqih-secara sederhana dapat kita sebut sebagai serangkaian tata cara mengatur jasmani kita, sedangkan Tasawwuf juga secara sederhana dapat kita kategorikan sebagai serangkaian tata cara menata rohani kita. Jika kita memahami orientasi masing-masing dari dua disiplin ini, kita dapat menghindar dari persepsi umum yang menyatakan dua ilmu yang bersebrangan. Kata hajat dalam literatur pertama digunakan untuk merepsentasikan makna ‘bab’, dan dalam literatur kedua digunakan untuk mewakili makna ‘hakikat kehambaan’. Hal ini mengindikasikan bahwa bab dan hakikat kehambaan bersatu dalam dua sudut pandang yang berbeda.

Dalam literatur pertama disebutkan “demi tata krama, seorang qadli al-hajjat dianjur menghindari kencing dan bab di air diam dan dibawah pohon berbuah.” Di sini kata hajat merangkum dua kebutuhan esensial; kebutuhan untuk kencing dan kebutuhan untuk bab. Ya, kencing dan bab dengan segala sistemnya. Sementara itu dalam literatur kedua disebutkan “janganlah engkau adukan kepada selain Nya suatu hajat yang mana dialah pembuatnya untukmu. Sebab bagaimana mungkin selain Nya akan menuntaskan suatu hajat yang Dia sendirilah peletaknya?! Siapapun yang tiada mampu menuntaskan hajatnya sendiri, maka bagaimana mungkin ia akan menuntaskan hajat (orang) lain?!”

Ketika hajat datang kepada kita, di manakah tempat yang tepat untuk kita mengadu? Kalau hajat itu berupa kencing dan bab jelas kita akan pilih wc kalau ada tempat yang sepi atau kita anggap sepi dimana hanya aku dan hajat ku. Dahulu tempat semacam itu di Arab disebut al-Khala secara leksikal al-khala berarti tempat sepi. Jika hajat itu bersifat rohani kita punya tempat bernama al-khalwat yangs ering dipahami sebagai tempat aktifitas menyendiri tempat dimana hanya ada aku dan hajat ku. Di perbendaharaan Jawa kita punya semedi suatu aktifitas kontemplatif yang melibatkan hati, pikiran dan integritas keduanya guna menuntaskan hajat. Dalam aktifitas ini kita dipanggil Allah dengan qadliyal hajat, seperti halnya literatur pertama memanggil orang yang hendak bab dan atau kencing dengan qadli hajah.

Percaya atau tidak kata al-khala’ dan al-khalwat ternyata satu akar kata, sama-sama berasal dari huruf Kha’-lam-wawu. Wc (al-khala’) dan semedi (al-khalwat) terhubung secara morfologis. Mungkin ini kebetulan saja, tapi suatu kebetulan adalah bahasa lain keterbatasan wawasan dan pengetahuan teknologi manusia. Dan yang mengherankan ialah bahwa penghubung paling elementer dua hal itu adalah hajat. Ia menghubungkan secara tak kasat mata wilayah yang begitu jorok dengan wilayah yang begitu indah. Maka tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa hajat merupakan jaringan tanpa kabel tercanggih yang dapat menghubungkan yang najis dan yang suci.

Baca: Opini Tentang Perempuan

Dari hajat lahir al-khala’, al-khalwat dan baru kemudian agama. Setiap orang punya hajat nya masing-masing, hanya saja yang perlu dipertimbangkan ialah dimana ia akan menuntaskannya. Sebab wc dan semedi berbeda secara operasional namun sama secara substansial yaitu wc tempat buangan kotoran jasmani sementara semedi tempat buangan kotoran rohani.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku Islam Musiman

Picture by i.ytimg.com

Berkat Tawasul Hajat Terkabul

Istilah tabarruk (تبرك) telah dikenal dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tabarruk merupakan upaya untuk memperoleh barokah atau dalam istilah Jawa biasa disebut dengan “ngalap barokah”. Terdapat berbagai macam bentuk dan cara untuk mendapatkan barokah, salah satunya ialah tabarrukan dengan berziarah kubur. Ziarah kubur ini merupakan salah satu amaliyah khas NU yang telah menjadi budaya dengan mengunjungi makam para auliya, ulama atau orang-orang Sholih.

Hal ini dimaksudkan tak lain untuk melantunkan doa, bukan berarti berdo’a kepada kuburan, akan tetapi melalui orang-orang yang telah mendahului. Apabila kita mengirimkan bacaan do’a Tahlil ataupun Surah Yasin maka ahli kubur tersebut akan membalas dengan di doakan kepada Allah, dimohonkan kepada Allah dan balasannya jauh lebih banyak dari yang kita kirimkan.

Jadi apabila kita membaca Surah Yasin yang akan kembali kepada kita itu minimal berkahnya sebesar Surah Yasin, apabila mengkhatamkan al-Qur’an maka berkahnya sebesar al-Qur’an. Itu minimal, maksimalnya tidak terbatas dari sisi Allah, itulah berkahnya orang yang berziarah ke makam para auliya, ulama ataupun orang-orang Sholih.

Tidak ada yang namanya beribadah ke kuburan, tapi kalau berziarah kemudian bertawasul “Ya Allah semoga berkah saya berziarah ke walimu ini atau ke orang sholih ini semoga engkau berikan kepadaku (menyebutkan hajat)”  tidak masalah seperti itu, meminta kepada Allah. Perbuatan tersebut sama dengan melakukan tawasul dengan amal sholehnya, sama seperti yang terjadi oleh tiga orang yang terjebak di dalam gua.

Baca: Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Al-Zuhri meriwayatkan dari Salim dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah Saw bercerita:

Pada suatu hari tiga orang dari umat terdahulu melakukan perjalanan dan kemudian menepi di dekat sebuah gua di sebuah lereng gunung. Lalu, ketiganya masuk ke dalam gua tersebut, tiba-tiba batu dari atas bukit gua yang mereka diami jatuh hingga menutup mulut gua. Batu besar itu tak mampu mereka angkat meskipun telah bersusah payah dengan sekuat tenaga. Lalu mereka berkesimpulan bahwa satu-satunya yang bisa menyelamatkan mereka adalah dengan berdoa kepada Allah Swt melalui amal-amal saleh yang pernah mereka kerjakan selama hidupnya.

Salah seorang di antara mereka berkata:

“Aku memiliki dua orang tua yang lanjut usia, sebelumnya aku tidak pernah membuatkan mereka minuman. Suatu hari, mereka tertidur di bawah sebatang pohon, aku tidak memindahkan mereka. Aku memerah susu sebagai minuman sore hari untuk keduanya, aku membawakannya untuk mereka, tetapi mereka tetap tidur. Aku tidak berniat membangunkan mereka juga tidak mendahului meminumnya. Sambil berdiri dengan menenteng gelas di tangan, aku tunggui mereka hingga terjaga sampai fajar merekah. Selanjutnya mereka bangun, dan meminumnya.Ya Allah, apabila aku lakukan semua itu karena mencari ridha-Mu, maka keluarkan kami dari hadangan batu besar ini.”

Kemudian batu itu bergeser sedikit sehingga terbuka celah kecil, namun mereka belum bisa keluar dari gua.

Orang kedua berkata:

“Aku memiliki sepupu perempuan yang sangat mencintaiku. Kemudian ia merayuku, tetapi aku menolak, hingga aku menyakiti dirinya selama beberapa tahun. Akhirnya ia menemuiku dan aku berikan harta yang banyak agar dia mau meninggalkanku. Waktu itu ia berkata; “Tidak mungkin kamu bisa melepaskan cincin ini, kecuali dengan cara yang benar.” Lalu aku meninggalkannya bersama hartanya. Ya Allah, apabila aku lakukan hal itu karena mencari ridha-Mu, maka bebaskan kami dari pintu gua ini.”

Baca: Kisah Juraij Dan Seorang Pelacur

Bergeserlah batu besar itu, tetapi mereka belum juga bisa keluar dari sana.

Orang ketiga berkata:

“Ya Allah, aku telah mempekerjakan orang. Aku beri mereka upah, dan hanya ada satu orang yang belum kuberi karena ia meninggalkan pekerjaannya, kemudian pergi. Aku membungakan upahnya hingga menjadi kekayaan yang berlipat-lipat. Pada suatu saat, ia mendatangiku dan berkata;

“Hai ‘Abdullah, saya mau minta upah.”

Aku menjawab; “Seperti apa yang kamu lihat, semua upahmu berupa unta, kambing, dan budak.”

Dia berkata: “Hai’Abdullah, engkau mengolok-olok saya?”

Aku menjawab: “Aku tidak mengolok-olokmu, ambillah semua upahmu dan gunakan untuk makan.”

“Ya Allah, apabila hamba melakukan semua itu karena mencari ridha-Mu, maka lepaskan kami dari padang pasir ini.”

Akhirnya terbukalah batu itu dari gua. Mereka keluar dan berjalan bersama-sama.

Semoga dengan memperbanyak ziarah kubur kita dapat mengambil pelajaran dan menambah keimanan dalam mempersiapkan kehidupan kelak di akhirat.

Amiin yaa rabbal ‘alamiin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: tebuireng.online, Buku Jami’ Karamat al-Aulia’, Chanel Youtube Nu Online

Picture by jalansirah.com