Empat Tingkatan Manusia

Imam al Ghazali atau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i adalah ulama produktif. Tidak kurang 228 kitab telah ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu; tasawuf, fikih, teologi, logika, hingga filsafat.

Hingga beliau mendapat predikat Sang Hujjatul Islam (kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah). Beliau ulama yang sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam pada zamannya.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Menurut Imam Al-Ghazali manusia menjadi empat (4) golongan:

 الرجال أربعة، رجل يدري ويدري أنه يدري فذلك عالم فاتبعوه، ورجل يدري ولا يدري أنه يدري فذلك نائم فأيقظوه، ورجل لا يدري ويدري انهلا يدري فذلك مسترشد فأرشدوه، ورجل لا يدري ولا يدري أنه لا يدري فذلك جاهل فارفضوه

Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri, ‘seseorang yang berilmu, dan dia mengerti kalau dirinya berilmu.’

Orang ini bisa disebut ‘alim (berilmu). Golongan ini boleh dikuti. Apalagi bagi orang awam yang masih memerlukan pengetahuan, maka sudah selayaknya orang awam duduk bersama dengannya bakal menjadi pengobat hati.

Golongan ini adalah manusia yang paling baik. Manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia memahami kalau dirinya itu berilmu, maka ia akan menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Golongan ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat.

Golongan ini menyadari dirinya mengetahui dan mengamalkan ilmu pengetahuannya. Misalnya orang berilmu itu tahu bahwa “Islam” itu serumpun dengan “salm” yang berarti damai. Kemudian, dia berupaya untuk bersikap santun, merangkul semua pihak, dan menebarkan kasih kepada para penghuni bumi. Ketika dimusuhi dan dimaki pun, orang berilmu tersebut memaafkan pihak yang memusuhi dan memakinya. Orang berilmu semacam itulah yang termasuk ulama yang layak diikuti.

Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri, ‘seseorang yang berilmu, tapi dia tidak memahami kalau dirinya mengetahui.’

Golongan ini diumpamakan orang yang tengah tertidur. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Golongan ini sering di jumpai di sekeliling pergaulan manusia. Adakalanya ditemukan golongan yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak memahami kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan tak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di akhirat.

Golongan kedua ini bukan termasuk manusia ideal. Manusia kedua itu sebenarnya berilmu. Tapi dia tidak benar-benar menerapkan ilmunya dengan baik. Misalnya dia tahu bahwa “Allahu Akbar” berarti Allah Maha Besar. Seyogyanya dia sadar bahwa hanya Allah yang Maha Besar. Mengucapkan kalimat takbir “Allahu Akbar” selain Allah itu kecil. Sebagaimana pada saat shalat, sepatutnya pengucap  “Allahu Akbar” mengucapkan kata-kata baik, bertindak tertib, penuh kerendah hati (sebagaimana tercermin dalam rukuk dan sujud), berhati teduh, berpikiran jernih dan menebar damai. Mengeratkan hubungan dengan Allah (sebagaimana tampak pada gerakan dan ucapan salm di akhir shalat).

Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri, Seseorang yang tidak mengetahui (tidak berilmu), tapi dia memahami alias sadar diri kalau dirinya tidak berilmu.’

Golongan ini masih tergolong manusia baik. Sebab, manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar.

Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat.

Golongan ketiga ini, adalah manusia yang memang tidak tahu. Namun, dia menyadari bahwa dirinya tidak tahu, sehingga dia selalu belajar dan siap bertanya kepada siapapun yang layak untuk ditanya tentang ilmu dan informasi. Hasilnya, manusia yang tak berilmu semacam ini lambat laun menjadi manusia yang berilmu. Seumpama manusia berilmu bertemu dengan orang golongan ketiga ini, sepatutnya orang berilmu itu berkenan mengajarinya, karena orang golongan ketiga ini adalah pembelajar yang perlu diajari untuk perbaikan masa kini dan masa depan.

Baca: Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?

Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri, ‘seseorang yang Tidak memahami (tidak berilmu), dan dia paham kalau dirinya tak berilmu.’

Golongan keempat adalah manusia paling buruk. Dia adalah orang bodoh, tapi tidak menyadari kebodohannya. Seharusnya orang bodoh belajar pada orang yang ‘Alim. Tapi orang bodoh yang tidak menyadari dirinya bodoh adalah orang yang enggan belajar. Dia merasa puas dengan kondisi dirinya. Cenderung menolak untuk diajari, bahkan sering berlagak tahu, meski aslinya cuma tidak paham atau tak tahu. Golongan semacam itu adalah manusia bodoh yang tidak bisa diubah dan berubah menjadi baik.

Golongan ini tergolong manusia yang paling buruk. Manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa.

Golongan seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Paling susah dicari kebaikannya. Golongan seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat.

Untuk itu mari kita intropeksi diri masing-masing. Masuk golongan manakah kita berada?

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by bincangsyariah.com

KH. Said Aqil Siradj: Indonesia Lebih Toleran dari Eropa

Ketua Umun PBNU KH Said Aqil Siroj menilai, Indonesia memiliki keterbukaan lebih ketimbang negara-negara di Amerika dan Eropa soal menghargai kemajemukan agama. Di Tanah Air, penganut agama tak hanya menikmati kebebasan tapi juga penghargaan atas setiap hari besar keagamaannya, misalnya dengan penetapan hari libur nasional.

“Kita bisa lihat, di Amerika dan Eropa tidak ada itu yang namanya libur Idhul Fitri untuk umat Islam. Di Prancis, pemakaian jilbab juga dilarang,” Ujar Kiai Said

Padahal di Indonesia, tambahnya, umat Budha dan Konghuchu yang meski pengikutnya tak seberapa, tetap merasakan keleluasaan merayakan hari agungnya. Menurutnya, hal ini dikarenakan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di Indonesia sangat mengormati perbedaan.

Kiai Said menyebut sikap keberislaman ini sebagai karakter Islam Nusantara sebagaimana yang dimiliki NU. Ia menegaskan bahwa Islam Nusantara tak melihat Islam sebagai doktrin aqidah dan syariah semata, melainkan juga tentang akhlak dan peradaban.

Baca: Syair-Syair Simbah KH. Muhammad Munawwir

Kiai Said menyampaikan Islam tak boleh lepas dari tanah air dan kebudayaan setempat. Karena itu, nasionalisme dan menghargai kearifan lokal bagi NU penting untuk menciptakan suasana keberagamaan yang damai.

Man laila lahul ardlun laisa lahut tarikh. Wa man laisa lahut tarikh laisa lahu dzakirah. Barangsiapa tak punya tanah air maka ia tak punya sejarah. Dan barangsiapa tidak memiliki sejarah maka dia tidak memiliki karakter,” ujar Kiai Said.

Menurut pandangannya, dalam konteks hidup bernegara, cinta Tanah Air harus menjadi prioritas melebihi kelompok termasuk Islam. Hal inilah, kata Kiai Said, yang tidak terdapat pada mayoritas Muslim di Timur Tengah sehingga dilanda konflik tak berkesudahan. “Islam saja tidak cukup, harus ada komitmen kebangsaan,” tuturnya.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: emka.web.id

Picture by matamaduranews.com

Ulama Sir Tanah Jawa

Cerita Kiai Badrun Di daerah Jawa Timur setiap bulan ke-Sembilan pada bulan purnama bertemulah para Ulama Khos mengadakan musyawarah, dalam musyawarah tersebut di ketahui bahwa di suatu daerah hiduplah seorang Ulama Sir, Ulama besar tetapi menyembunyikan diri, informasi yang di ketahui hanya Ulama besar tersebut bernama Kiai Almukarom Sabaruddin tinggal di tepi Gunung yang berapi di pulau Jawa, tidak ada keterangan lain Gunung Berapi yang mana karena gunung berapi begitu banyak di tanah Jawa ini.

Akhirnya para kiai Khos memutuskan untuk membagi tiga kelompok untuk mencari satu kelompok untuk wilayah Jawa bagian Timur, kelompok kedua untuk wilayah Jawa bagian Barat dan kelompok ketiga untuk wilajah Jawa bagian Tengah. Dan sepakat satu tahun kemudian pada bulan kesempilan dan tepat ketika purnama tiba kumpul kembali di tempat yang sama.

Baca: Sejarah Terbentuknya Muslimat NU

Setelah satu tahun mereka berkumpul kembali, ternyata mereka belum menemukan Ulama Sir yang dimaksud, sedikit petunjuk pun tidak, tapi mereka tambah yakin semakin sulit di cari semakin di yakini bahwa ulama Sir itu memang ada dan linuwih. Akhirnya mereka memutuskan untuk shalat istikhoroh minta petunjuk kepada Gusti. Setelah semua bersama melakukan shalat ada sedikit petunjuk tentang lokasi yang di mana Ulama Sir itu berada, petunjuknya adalah di daerah Jawa bagian Tengah di seputar gunung berapi tetapi sudah tidak aktif dan rumahnya di pinggir rumpun bambu.

Akhirnya mereka pergi bersama mencari gunung tersebut, di jelajahilah semua gunung yang tidak aktif di Jawa bagian Tengah, dari gunung Sindoro, gunung Sumbing, gunung Slamet, Gunung Lawu tetapi tidak ada petunjuk dan tiba-tiba salah seorang dari mereka teringat tentang Gunung Tidar dan di putuskanlah mendatangi daerah gunung tersebut. Di tanyailah orang-orang di sekitar gunung Tidar apakah ada Ulama besar yang bernama Kiai Almukarom Sabaruddin dengan ciri rumahnya di pinggir Rumpun Bambu. Tetapi semua orang mengatakan kalau di daerah Gunung Tidar tidak ada nama Ulama seperti itu, paling ada yang mirip dengan itu tetapi setahu penduduk di sekitar tidaklah seoarang Ulama apalagi mempunyai pondok dan murid. Para Ulama Khos minta penjelasan lebih lanjut tentang orang yang agak mirip dengan yang mereka cari, namanya adalah Mbah Sabar bukan Kiai Almukarom Sabaruddin dan hanya seorang pengembala itik, bukan pemimpin Pondok dan yang sama hanya rumahnya memang sama-sama di tepi rumpun bambu.

Di kunjungi rumah tersebut dan bertemulah dengan lelaki tua yang kurus dengan caping lebarnya yang sedang mengembalakan itiknya. Rombongan tersebut mengutarakan kedatangannya, tetapi orang tersebut menjawab:

“Maaf ya tuan-tuan mungkin anda salah alamat itu memang rumah saya tuan, tapi saya hanyalah seorang gembala itik bukan Ulama, coba cari yang lain saja, tuan salah alamat barangkali” demikian jawaban Mbah Sabar.

Tetapi para rombongan ulama Khos tetap yakin bahwa orang ini adalah orangnya. Akhirnya Pengembala itik itu menyilahkan masuk kerumahnya.

“Bila tuan –tuan ingin mengetahui hakekat ilmu sejati pergilah kemana saja yang bisa kau temukan tempat tempat paling sepi” ujar Mbah Sabar

Demikian wejangan pertama, kemudian tanpa panjang lebar para ulama Khos tersebut di bagi tiga kelompok menyebar. Kelompok pertama yakin di tepi pantai adalah tempat yang paling sepi, kelompok kedua pergi ke goa di lereng gunung dan kelompok ketiga pergi ke tengah hutan.

Baca: Sejarah Pedukuhan Krapyak-Panggungharjo

Setelah mereka sampai mereka berkumpul dan menyeritakan pengalaman dan argumentasi masing-masing. Tetapi sungguh terkejut bahwa semua argumentasinya di salahkan,

“Dalam dunia hakekat seorang Salik haruslah berpegangan pada tiga ujaran yaitu ojo rumongso biso, ojo rumongso weruh lan ojo rumongso ngerti, tempat yang sepi di dunia ini tidak ada kecuali hanya ada dalam diri tuan-tuan dan itu pun hanya bisa kalau tuan-tuan bisa berhenti, meneng”. Ujar Mbah Sabar

Demikian ujarnya ditengah suasana ramah tamah tersebut, tiba-tiba dari belakang ruang tamu terdengar seorang wanita membentak Mbah Sabar,

“Bapake! Malah duduk-duduk ngobrol ngoyo woro tidak ada gunanya, ayo cepat segare anggon Bebekmu, itu sudah pada teriak teriak kelaparan, aku kebrebegen ki”.

Para ulama Khos terkejut bukan kepalang tidak sopan perempuan itu pikirnya. Dan di tanyakanlah siapakah gerangan perempuan tersebut pada Mbah Sabar,

“Dialah guru saya”. Jawab Mbah Sabar

“Sekaranglah pulanglah tuan-tuan, anda sudah ketemu yang anda cari hanya beginilah gerangan yang anda sebut Kiai Almukarom Sabaruddin”. Jawab Mbah Sabar

Mereka sungkem cium tangan dan pamit.

Oleh: Tim Redaksi

Picture by alif.id

Jer Besuki Mawa Beya

“Gus ada ungkapan seperti ini ‘ad astra per aspera’– hanya dengan jerih payah kita bisa mencapai ke bintang, komentar kamu gimana gus?” ucap Supri

“Kamu sok-sokan pamer istilah latin Pri, supaya dikira pintar gitu?” jawab Agus

“Haha…lupakan saja mudos yang saya miliki gus, terangkan saja istilah tadi, bantu saya memahaminya” pinta Supri

“Pasti kalimat itu dipakai dalam konteks terbatas, kalau pakai logika keilmuan itu dusta dan sia-sia. Mau ngapain kita ke bintang? Bintang yang kita tahu seperti matahari, panas. Bagaimana kita bisa mencapainya? Mendekatinya saja bisa terbakar habis.” Jawab Agus

“Tapi kok banyak kalimat yang sejenis gus?” tanya Supri

“Karena kalimat itu memang sengaja digunakan untuk menipu diri supaya menjadi energi, maka tidak ada salahnya kita berbohong sedikit. Dalam bahasa jawanya kalimat ini menjadi ‘obah mamah ubet ngliwet- no pain no gain- no woman- kapokmu kapan!’ Ada juga dalam ungkapan lain, simbah-simbah tua jaman dulu sering bilang ‘jer besuki mawa beya’ keberhasilan, kesejateraan dan kesuksesan tidak mungkin akan terwujud tanpa adanya pengorbanan. Tentang usaha kita tidak ada perdebatan, pasti dari dulu ya begitu itu. Kecewa, sulit, berkeringat, berdarah, melelahkan, hancur, remuk-redam, bangkit lagi, hajar lagi, jalan lagi, jatuh lagi, berproses lagi. Tapi tentang keberhasilan? Tentang bintang? Tantang kemenangan?” jawab Agus

Baca: Uchiha Itachi Terinspirasi Dari Kitab Ulama Abad Ke-16

“Kenapa memangnya Gus?” tanya Supri

“Kita selama ini hanya memakai satu kacamata kuda dalam memandang hal ini. Bagi kita kalau miskin berarti tidak berhasil, kalau bodoh tidak suskses, kalau tidak terkenal berarti bukan bintang. Ealah dalah… kok yo mesake tenan cara berpikir koyo ngene ini. Sudah jatuh mati pula.” Jawab Agus

“Berarti bisa dong kemenangan muncul dalam bentuk kekalahan?” lanjut Supri

“Kenapa tidak? Kemenangan bisa saja muncul dari kekalahan, kesuksesan bisa kita peroleh dari kebangkrutan, kehidupan dari kematian, kesenangan dari kepahitan, kelapangan dari kesempitan. Walau saya yakin ini sulit dan tak mudah dilakuakan, tapi paling tidak kita tahu cara berpikir yang model seperti ini, wes lumayan Pri.” Jawab Agus

Oleh: Taufik Ilham

Picture by upload.wikimedia.org

Mbah Munawwir Sekatenan

Kata Sekaten sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, “Syahadatain” yang memiliki makna persaksian (syahadat). Bagi masyarakat Muslim, syahadat dianggap penting sebab merupakan proses pengakuan terhadap keesaan Tuhan dan risalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian, kata itu mengalami perluasan makna dengan “Suhatain” yang bermakna menghentikan atau menghindari dua perkara, perbuatan buruk dan menyeleweng. Makna ini kemudian berkembang lagi menjadi “Sakhatain” yang bermakna menghilangkan makna dua watak, hewan dan setan. Selain itu, ada juga “Sakhotain” yang berarti menanamkan dua perkara, yaitu memelihara budi suci dan budi luhur. Setelah itu ada juga kata “Sekati” yang bermakna orang hidup harus bisa menimbang yang baik dan buruk. Dan yang terakhir “Sekat”, adalah pembatas, untuk tidak berbuat jahat dan mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan. Akhirnya, makna Sekaten tak hanya sebatas hiburan dan prosesi upacara semata, melainkan mengandung makna kehidupan seperti penjelasan di atas yang harus bisa diterapkan oleh setiap insan individu.


Awal mula dan maksud perayaan Sekaten dapat ditarik sejak mulainya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, yaitu zaman Kesultanan Demak Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa saat itu menyukai gamelan, pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad di halaman Masjid Agung Demak dimainkanlah gamelan, sehingga warga masyarakat berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan gamelan dan sekaligus khutbah-khutbah mengenai keislaman. Tradisi arak-arakan semacam sekaten telah dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak, sebagai pelanjut dari “wahyu” kerajaan, mencoba meneruskan tradisi tersebut atas saran dari Wali Songo.

Di Sekaten Keraton Yogyakarta, Mbah Munawwir seringkali secara eksklusif diundang oleh Sultan HB IX untuk mengikuti peringatan Maulid Nabi saw. Karena beliau punya hubungan genealogis dengan Keraton yang sangat kental. Dimulai sejak era Kakek beliau, KH. Hasan Bashari yang menjadi Ajudan Raja Jawa di Perang Jawa yakni Pangeran Diponegoro, sampai pada Mbah Munawwir meminang Nyai R. A. Mursyidah, istri pertama beliau dari Kraton Yogyakarta. Karena kedetakan tersebut, dalam beberapa kesempatan Mbah Munawwir tatkala mendapat undangan dari Keraton seringkali ditawari untuk dijemput Pasukan Kavaleri dari Keraton. Namun, beliau dengan baik-baik tidak segera menerima tawaran tersebut.

Kersane ingsun kale santri-santri mawon, sareng-sareng mlampah ndugi Krapyak, kebetulan santri-santri saya juga pengen saya ajak”, beliau dawuh demikian dengan niat tidak menolak tawaran tersebut.

Mbah Munawwir memang sering mengajak santri-santrinya ketika ada undangan di Keraton, dan undangan yang lainnya. Santri yang diajak pun tidaklah sama antara undangan satu dengan yang lain. Dalam urusan ini beliau bisa dibilang menggilir para santrinya. Tidak jarang pula, banyak para santri yang mengharapkan ajakan beliau.

Hingga pada suatu ketika, sebelum berangkat, para santri yang masuk dalam daftar ajakan Mbah Munawwir, kumpul di depan Ndalem beliau.

“Loh, njenengan toh Gus”

“Loh kok njenengan kang?”

“Loh awakmu toh Dul”

”Loh Cak, samean  toh, bukane wingi samean meh nyilih duek nang aku yo?”

Mereka para santri yang diajak ke Keraton untuk mengikuti Barjanjen, saling bertanya satu sama lain. 

“Loh Gus, punten, tasek dereng saget nyauri utang kulo”

“Gapopo Cak, santai ae, penting do iso mangan”

“Bukane njenengan wingi bade nyambut duek teng kulo nggeh Gus?”

“Iyo kang, tapi gak sido wes”

“Ngge ngapunten nggeh Gus, kulo nggeh dereng kiriman”

Entah itu kebetulan atau bagaimana, mayoritas santri yang diajak Mbah Munawwir adalah mereka yang terlilit hutang atau bahkan tidak memiliki uang sama sekali dan mereka menyadari hal itu.

Mungkin Simbah mengetahui keresahan kita, kang, Cak, Dul”.

Nggeh Gus”.

Setoran gak nambah-nambah, deresan yo keteteran. Sehingga beliau mendistribusikan kesejahteraan kepada kita, beliau mempraktekkan kaidah kadal faqru an yakuna kufron”.

“Hehehe”. Semua tertawa mendengar hal itu.

Pun mikir aneh-aneh Gus. Penting Syukur sik, pun dijak Mbah Yai”.

Tak berselang lama, Mbah Munawwir keluar dari rumahnya. Para santri yang berdialog tadi, terperangah melihat ketampanan Mbah Munawwir yang memakai pakaian dinas Keraton berupa model Jas Laken dengan kerah model berdiri serta dengan rangkapan sutera lengkap dengan ornamen kancing bersepuh emas tentu dengan memakai blankon. Sehingga nampak lebih gagah, elegan dan terhormat. Menghoramati Nabi dan Raja.

Ayo Le, berangkat”. Lamunan mereka hilang dengan suara ajakan Mbah Munawwir.  

Lahumul Fatihah untuk KH. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad

Oleh: Taufik Ilham

Sumber: almunawwir.com, id.wikipedia.org, regional.kompas.com

Picture by blog.titipku.com

Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

Satu minggu menjelang memperingati Haul KH. M Munawwir bin Abdullah Rosyad yang ke-82 kita akan terlebih dahulu memperingati haulnya almaghfurlah KH. Ahmad Warson Munawwir. Beliau adalah sosok dibalik kemasyhuran kamus legendaris Al-Munawwir, beliau juga merupakan pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Q. Beliau wafat pada hari Kamis Pahing, 7 Jumadil Akhir 1434 H/ 18 April 2013 M tepat 3 hari sebelum peringatan Haul KH. M Munawwir yang ke-74.

Almaghfurlah KH. Ahmad Warson Munawwir merupakan putra ke-10 dari 11 bersaudara dari istri ke-2 KH. M Munawwir yakni Ny Hj. Khodijah (Sukis). Beliau lahir pada hari Jum’at pon 22 Sya’ban 1353 tahun wawu atau 30 November 1934 M. Nama beliau yakni Warson terinspirasi dari kata warsy yang terdiri dari tiga huruf hijaiyah yakni wawu, raa dan syin. Kata ini diambil dari salah seorang ulama ahli qira’ah yaitu Imam Warsy’. Pada saat umur 8 tahun almaghfurlah KH. Ahmad Warson sudah ditinggalkan oleh ayahanda-nya KH. M Munawwir pada tahun 1942, maka posisi pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir dipegang oleh tiga orang sekaligus yakni KH. R. Abdullah Affandi (putra tertua), KH. R. Abdul Qodir dan KH. Ali Maksum.

Dalam deretan nama murid pertama KH. Ali Maksum terdapat nama Ahmad Warson Munawwir yang mana dalam asuhan KH. Ali Maksum, Kyai Warson benar-benar digembleng. Beliau dituntut oleh KH. Ali untuk menghapal bait-bait alfiyah, terkadang dalam proses mengapal tersebut kaki beliau diikat oleh Kyai Ali agar bisa duduk tenang ketika diperdengarkan bait-bait alfiyah. Bahkan jika beliau tidak kunjung menghapalkan bait-bait alfiyah maka akan dihukum oleh Kyai Ali, beliau sering dilempar dengan benda, disabet, dicubit bahkan dipukul. Dengan model pendidikan yang sangat disiplin yang dilakukan oleh Kyai Ali tidak mengherankan jika murid-murid pertama Kyai Ali menjadi orang-orang yang memiliki keilmuan tinggi termasuk Kyai Warson. Pada saat usia 13 tahun Kyai Warson dipercaya oleh Kyai Ali untuk mengajarkan bait-bait alfiyah kepada para santri yang notabene usianya di atas beliau, karena amanat dari sang guru beliau tetap mengajar dengan tekun.

Baca: Gus Baha Di Majlis Tahlil 7 Hari Wafatnya Romo Yai Najib

Ketika berusia 26 tahun (1970 M) beliau mempersunting Nyai Husnul Khotimah dari Kutoarjo, semenjak berumah tangga beliau memulai bisnisnya dalam dunia usaha. Beliau pernah merintis usaha jual beli mobil dan motor, selain itu beliau juga pernah memiliki percetakan di Gading sebelah utara Krapyak dengan nama Percetakan Anugerah. Beliau juga pernah beternak burung puyuh yang jumlahnya mencapai ribuan, pernah juga beliau bersama sang kakak KH. Zainal Abidin Munawwir memiliki usaha toko kelontong di sebuah kios yang kini menjadi mushola timur Komplek Q.

Pada saat usia 47 tahun yakni pada tahun 1981 M beliau berpindah dari rumah ibundanya Ny. Hj Khodijah (Sukis) di komplek pusat Pondok Pesantren Al Munawwir ke rumah barunya yang terletak di sebelah utara komplek pusat. Bangunannya terletak diantara Komplek Nurussalam dan Komplek L yang merupakan bagian dari Pondok Pesantren Al Munawwir. Ketika beliau sudah pindah dari rumah ibundanya, kegiatan mengajar tidak lagi difokuskan di komplek pesantren pusat, beliau memusatkan perhatiannya untuk mengajar di rumahnya sendiri yang kemudian hari semakin berkembang dan menjadi komplek pesantren sendiri hingga sekarang.

Selain mendirikan pesantren khusus putri di lingkungan Pondok Pesantren Al Munawwir beliau juga berhasil menyusun kamus bahasa Arab-Indonesia yang sangat populer di kalangan pesantren, tidak hanya menjadi rujukan santri di Indonesia melainkan juga di mancanegara, kamus itu dikenal dengan nama Kamus Al Munawwir. Kamus Al Munawwir ditulis dalam bimbingan Kyai Ali, selama penulisan kamus beliau menggunakan metode setoran dalam memeriksakan naskah kamus beliau kepada Kyai Ali. Beliau membawa naskah tersebut kepada Kyai Ali untuk diperiksa sambil memijiti Kyai Ali, begitu seterusnya hingga kamus tersebut selesai dikerjakan.

Kyai Warson tidak hanya berdiam diri di lingkungan pondok pesantren saja, tetapi beliau juga aktif dalam kancah perpolitikan nasional. Pernah juga menjadi seorang pengusaha, menjadi pemimpin redaksi koran Harian Duta Masyarakat, penuli kamus, penggagas berdirinya SMK Al Munawwir serta Stikes Alma Ata. Selama hidup beliau Kyai Warson hanya berguru kepada Kyai Ali maksum saja, beliau tidak pernah mondok di pesantren lain. Meskipun demikian beliau mampu menulis mahakarya kamus Arab-Indonesia Al Munawwir yang sangat fenomenal.

Baca: Sang Murobbi Dipangkuan Ilahi

Karena sudah lama menekuni proses penyusunan kamus yang dilakukan oleh beliau sambil duduk, beliau kemudian terkena penyakit ambeien. Menurut dokter hal itu disebabkan karena terlalus sering dan lama duduk, pada tahun 2012 setelah beliau jatuh saat tidur mulai mengalami sakit dan menghentikan kegiatan beliau di luar. Beberapa hari sebelum wafat Kyai Warson bercerita yang dikisahkan oleh Bu Nyai Husnul bahwa beliau bermimpi dengan Kyai Ali, dalam mimpinya Kyai Ali mengajak beliau ikut dengan Kyai Ali. Sebagai wujud ta’dzim kepada gurunya beliau mengiyakan ajakan kyai ali untuk ikut.

Oleh: Taufik Ilham

Sumber: digilib.uin-suka.ac.id

Majalah Al Munawwir Edisi VI/2014, Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak

Picture by belajarsemua.github.io

Kisah Humor 3 Santri Melamar Anak Kyai

Pada suatu malam ada tiga orang santri yang datang sowan ke rumah seorang Kyai. Mereka mempunyai hajat yang sama, yaitu hendak melamar anak gadis Pak Kyai.

”Siapa namamu?” tanya Pak Yai kepada kang santri pertama.

“Anas, Yai.” jawab kang santri pertama

“Namamu bagus itu. Maksud kedatangan?” tanya Pak Yai

“Mau melamar putri njenengan, Yai” jawab kang santri pertama

“Oh iya? Kalau gitu saya tes dulu ya…coba kamu baca surat an-Nas sesuai dengan namamu.” perintah Pak Yai

“Baik, Yai….” jawab kang santri pertama

Lalu dia membaca surat an-Nas dengan lancar. Pak Yai manggut-manggut.

Baca: Kisah Supri Sebelum Boyong

“Kamu…siapa namamu?” Pak Yai menatap kang santri kedua

” Thoriq, Yai.” jawab kang santri kedua

“Hmm…nama yang bagus. Sekarang tesnya sama ya, kamu baca surat at-Thoriq.”

“Baik Yai…” jawab kang santri kedua

Lalu kang santri kedua itu pun membaca surat at-Thoriq dengan lancar. Pak Yai manggut-manggut sambil menatap kang santri ketiga yang tampak pucat.

“Nah, kamu! Siapa namamu?” tanya Pak Yai

Kang santri ketiga berkeringat dingin, dengan gemetar dia menjawab:

“Imron Yai…tapi biasa dipanggil Qulhu.” jawab kang santri ketiga

“Hah?!!” Pak Yai terkejut

Oleh: Taufik Ilham

Picture by mojok.co

Gus Dur Dan Remang Remang

Gus Dur adalah penggemar berat musik klasik, tapi ada cerita yg menarik tentang beliau dengan musik kesukaannya. Pada tahun 2003 Gus Dur pernah diwawancarai oleh Radio Inggris, BBC World Service, ketika ditanya lagu apa yang menjadi favoritnya, Gus Dur spontan menjawab lagu Me And Bobby McGee. Wartawan langsung terkejut dan bertanya apakah Gus Dur tahu profil penyanyi lagu tersebut dan makna dari lagu itu.

Gus Dur ternyata mengetahui profil penyayi lagu favoritnya itu yang tak lain adalah Janis Joplin yang meninggal karena overdosis, sementara lirik lagu itu menceritakan tentang seorang perempuan hippies yang mengikuti perjalanan bersama seorang masinis kereta selama 3 hari melintasi Amerika dan melakukan hubungan tanpa ikatan perkawinan.

Baca: Jangan Berdebat Dengan Orang Bodoh

Lagu lain yang disukai juga oleh Gus Dur adalah sebuah lagu tarling berjudul Remang Remang yang dinyanyikan oleh Dian Sastra, Gus Dur mendengar lagu ini pertama kali di radio dalam sebuah perjalanan, ketika lagu itu belum selesai sudah dipotong iklan oleh penyiarnya lalu Gus Dur menyuruh ajudannya untuk menelpon radio tersebut dan memintanya untuk memutar ulang lagu Remang Remang tersebut. Lagu ini bercerita tentang para perempuan yang karena faktor-faktor tertentu harus rela berkerja di dunia malam.

“Cerita dari kedua lirik lagu tersebut jelas-jelas melanggar ajaran agama, tapi bagi saya yang penting nadanya enak” ujar Gus Dur

Gus Dur dikenal sebagai orang yg memandang suatu persoalan secara proporsional dan jujur. Gus Dur menyukai musik menikmati nadanya tanpa terganggu oleh latar belakang penyanyi dan makna dari lirik lagu-lagu tersebut, beliau juga mengetahui jika artinya tidak sesuai dengan norma tertentu. Gus Dur mengahargai keberagaman, plural, kemajemukan, musik dan seni.

Oleh: Taufik Ilham

Sumber: Buku Kisah-kisah Jenaka dan Pesan-pesan Keberagaman

(Keterangan foto)

Gus Dur di sebuah toko kaset di Jakarta pada tahun 1987 toko kaset Duta Suara di Jl Sabang.

Keutamaan Shalat Berjamaah Shaf Paling Belakang

Kanjeng Nabi Muhammad SAW banyak menjelaskan tentang pentingnya shalat di shaf paling depan, juga fadhilah-fadhilah shaf paling depan. Karena hal tersebut untuk menambah keyakinan dan memacu semangat seorang hamba dalam berlomba-lomba melakukan kebajikan. Apabila seorang hamba mengetahui keutamaan shalat di shaf paling depan pasti mereka rela untuk berebut undian mendapatkannya. Tapi ada seorang sahabat yang memilih berada di bagian shaf paling belakang padahal ia bisa saja menempati shaf paling depan, ia pun mengerti seberapa besar keutamaan dan pahala yang terkandung di dalamnya.

Suatu ketika sahabat Sa’id bin Amir hendak melaksanakan shalat berjamaah, namun terlebih dahulu menemui Abi Darda’ untuk berangkat bersama-sama. Setelah iqomat dikumandangkan para sahabat mulai berebut shaf dibagian paling depan, namun Abi Darda’ tidak bergerak sama sekali justru malah melangkahkan kakinya ke belakang di bagian shaf paling akhir. Melihat hal tersebut Sa’id Bin Amir terkejut dan ketika shalat sudah selesai dilaksanakan sahabat Sa’id Bin Amir memberanikan diri untuk bertanya kepada Abi Darda’.

Baca: Definisi Makan al-Shalat (Tempat Shalat)

“Bukankah engkau sudah mengetahui akan shaf yang paling utama adalah shaf yang pertama wahai Abu Darda’?” tanya sahabat Sa’id

“Ya, saya mengetahuinya. Akan tetapi perlu kamu ketahui bahwa umat ini adalah umat yang paling dikasihi dan lebih dilihat oleh Allah dari pada umat-umat yang lain. Ketika shalat Allah akan melihatnya dan akan mengampuni orang itu beserta orang-orang yang berada di belakangnya dan alasan saya berada di shaf paling belakang karena saya berharap Allah mengampuni dosa saya lantaran orang-orang yang berada di depan saya.”

Yang perlu menjadi catatan bahwasanya ada beberapa catatan yang sangat mendasar mengenai motif perbuatan sahabat ketika menempati shaf paling akhir dengan fenomena yang sering terjadi dengan kita yakni dengan sengaja menempati shaf paling belakang. Pertama terkait niat, para sahabat mempunyai niat yang baik dan berdasar. Mereka tidak asal-asalan ketika melakukan hal tersebut, berbeda dengan sebagian dari kita yang sengaja memilih shaf paling belakang dengan tujuan supaya bisa langsung dengan mudah pergi ketika meninggalkan masjid ketika shalat selesai. Yang kedua yaitu meskipun menempati shaf akhir para sahabat telah datang di tempat jamaah jauh sebelum iqomat dikumandangkan, berbeda dengan kita yang kebanyakan (tidak semuanya) malah baru datang ketika shalat sudah berjalan bahkan ada yang menunggu hingga lafadz Amin dikumandangkan oleh jamaah.

Baca: Anggota Sujud Dalam Shalat

Dapat disimpulkan bahwa telat ketika shalat jamaah tanpa adanya udzur syar’i merupakan tindakan yang kurang pantas karena sudah hilang kesempatan mendapatkan fadhilah ataupun keutamaan menempati shaf bagian pertama yang sangat dianjurkan oleh Kanjeng Nabi. Namun apabila terpaksa harus terlambat ketika shalat berjamaah dan harus menempati shaf bagian belakang karena udzur syar’i maka alangkah baiknya jika meniru niat para sahabat. Paling tidak dengan niat baik kita bisa mendapatkan fadhilah dan pahala yang besar dengan keterbatasan kita. Abu Nashr Bisyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan bahwasanya “Yang Dikehendaki dalam shalat adalah dekatnya hati bukan dekatnya jasad”.

Oleh: Taufik Ilham

Picture by kalem.id

Gus Baha Di Majlis Tahlil 7 Hari Wafatnya Romo Yai Najib

Pada Ahad (10/01) sekitar pukul 20:30 waktu setempat Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak menggelar Majlis Tahlil 7 hari wafatnya Syaikhuna KH. R Najib Abdul Qodir, Majlis Tahlil ini digelar di gedung Aula G Pondok dan dihadiri oleh jamaah yang memadati lingkungan Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak. Dalam acara Majlis Tahlil ini dihadiri juga oleh Gus Baha yang memberikan Mauidhoh Hasanah kepada para jamaah.

Gus Baha bercerita bahwasanya dulu ayah beliau Kyai Nursalim itu akrab dengan Romo Yai Najib, ayahanda beliau merupakan seniornya Romo Yai Najib. Saya (Gus Baha) dengan Krapyak mempunyai hubungan kekeluargaan karena dulu Mbah Munawwir itu ngaji dengan Mbah Sholeh Darat sedangkan Mbah Sholeh Darat pernah ngaji dengan buyut saya yakni Asnawi Sepuh, jadi duriyatan min ba’duha jadi semua saling menghormati. Keluarga Mbah Munawwir itu membawa Al Qur’an, membawa Al Qur’an itu tidak harus hapal, ada yang hidmah membina orang berbagai macam jadi tidak harus menghapalkan Al Quran. Dulu juga dalam dunia Gus ada Gus Miek (Hamim Tohari Djazuli) pokoknya ada banyak Gus yang membina orang berbagai macam yang terpenting yaitu mempunyai mental membina masyarakat.

Baca: Lima Hal Yang Akan Dihadapi Di Akhirat

Sebagai seorang santri hendaknya kita ketika sudah boyong kelak bisa membina masyarakat karena jika kita tidak mau memimpin dengan madzhab ahlu sunnah wal jamaah dan menghindarinya artinya kita sudah membiarkan umat dipimpin oleh kelompok lain dan bisa saja dipimpin oleh orang yang mubtadiah, orang yang kafiroh, orang yang mudillah bisa juga orang yang mukhtariah. Jadi jangan sampai membiarkan umatnya kanjeng nabi dipimpin oleh orang-orang yang tidak ahli sunnah wal jamaah.

Karena diluar sana untuk senang itu harus menunggu punya uang dan punya pangkat dulu, tapi para santri ketika khataman Al Qur’an mayoran saja sudah senang sudah bisa senang khatam meskipun khatamnya itu tidak karuan yang penting khatam asalkan tidak dites saja. Karena senang terhadap kebaikan merupakan sebuah perlawanan terhadap kemungkaran, orang harus senang dengan kebaikan karena itu bentuk perlawanan terhadap senang harus lewat maksiat. Dalam kitan kasyifatus saja ada sebuah redaksi mengatakan bahwa cara melawan setan diantaranya kita harus menikmati sesuatu yang tidak haram, misalnya para santri Krapyak tinggalnya di kota itu berat karena di kota itu apa saja ada tapi para santri itu senang ketika bisa setoran tidak keliru saja sudah senangnya luar biasa atau ketika setoran keliru pas Kyainya ngantuk itu senang, senangnya karena keliru sedikit tidak ketahuan oleh kyainya.

Baca: Obituari untuk KH R. M. Najib Abdul Qodir, Sang Pembawa Al-Qur’an

Contoh yang lainnya yaitu ketika bayar iuran khataman 3 juta kemudian ngomong sama orang tuanya bayar 5 juta, senang meskipun membohongi orang tuanya, itu didukung oleh agama yang terpenting tidak haram. Kenapa membohongi orang tua halal karena orang tuanya ridho, jadi halalnya itu terlambat  membohongi orang tua itu haram tapi ketika orang tuanya ridho jadi halal. Kalau misal orangtuanya tidak ridho itu ya kebangetan orang tua macam apa.

Jadi dalam beragama itu membutuhkan orang yang adnal halat supaya orang bisa tahu batas minimal suatu perkara, para santri juga harus bisa mengerti ukuran baik itu bisa mengambil sikap adnal halat (sikap paling rendah) karena agama ini butuh nilai minimal, jadi jangan membayangkan dunia itu ideal bisa-bisa kita menjadi khawarij karena khawarij itu membayangkan dunia itu ideal sampai nabi saja digugat oleh mereka.

Oleh: Taufik Ilham