Musibah, Muhasabah, dan Mahabbah

Tak ada manusia yang tak membutuhkan rasa aman. Namun dalam realitas kehidupan, kesulitan, musibah, atau kondisi tak aman mustahil dihindari. Manusia memang hidup dalam serba-dua kemungkinan: siang dan malam, sehat dan sakit, hidup dan mati, aman dan taka man, dan sebagainya. 

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan, ayat tersebut bermakna bahwa pencipta segala yang berpasangan adalah satu, yakni Allah, maka sembahlah Allah (Syekh Jalaluddin, h. 377). Artinya, di balik keberpasangan setiap kondisi tersebut ada Dzat Tunggal yang perlu disadari. Allah subhanahu wata’ala adalah satu-satunya tempat bergantung, kembali, dan berserah diri.   Bersamaan dengan datangnya tahun baru, Indonesia mengalami berbagai musibah, mulai dari angin besar, banjir, tanah longsor, kecelakaan, dan lainnya. Yang perlu disikapi dari musibah ini adalah mengembalikan semuanya kepada Yang Maha Memiliki, Allah subahanhu wata’ala.

Baca: Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Bumi, langit, dan seisinya adalah milik Allah maka Allah berhak mau menjadikannya seperti apa. Bahkan seandainya seluruhnya diluluhlantakkan manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Namun demikian, manusia juga harus bermuhasabah (introspeksi), apakah musibah yang ia terima merupakan bentuk ujian, peringatan, atau yang lain. Sehingga, manusia lebih berhati-hati dalam menjaga amanah alam ini.

Imam Jalaludin dalam Tafsir Jalalain menjelaskan lafal بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ (karena perbuatan tangan manusia) dengan arti مِنَ الْمَعَاصِى, yang berarti “karena maksiat”.   Artinya bahwa kerusakan di bumi ataupun di langit timbul karena ulah manusia, persisnya sebab kemaksiatan yang mereka lakukan. Kemaksiatan di sini tentu bukan hanya berbentuk pelanggaran atas norma “halal-haram” yang biasa kita dengar, seperti minuman keras, berjudi, zina, atau sejenisnya. Selain berkenaan dengan urusan privat, kemaksiatan juga bisa berupa dosa yang berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan. Segala bentuk perbuatan merusak alam adalah kemaksiatan.

Karena dengan merusak alam secara tidak langsung telah mengurangi keseimbangan alam, sehingga akan menyebabkan masalah pada hari ini dan masa-masa yang akan datang.   Tanah longsor terjadi bisa jadi sebab adanya penebangan pohon secara brutal. Banjir dating karena dipicu perilaku buang sampah sembarangan, sungai-sungai menyempit karena bangunan pemukiman, area resapan air berkurang drastis akibat kian meluasnya aspal dan beton, dan lain sebagainya.

Segala musibah yang menimpa menjadi alat untuk berdzikir dan muhasabah diri, sehingga manusia dapat mengambil sisi positif terutama dalam meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala. Bukan sebaliknya: saling menghujat, saling menyalahkan antarsesama, rakyat dengan pemerintahnya, atasan dengan bawahannya, dan sebagainya. Namun benar-benar menjadikan musibah sebagai pembenahan terhadap diri dan lingkungan agar tercipta kehidupan yang lebih baik, aman, dan tenteram.  

Sebagaimana kisah Rabiah Al-Adawiyah yang selama hidupnya mengalami kesulitan demi kesulitan, dengan dasar iman maka diraihlah ahwal hubb atau kecintaan kepada Allah yang tiada tara. Hal ini membuktikan bahwa di setiap musibah atau kesulitan ada kebaikan yang Allah selipkan di dalamnya. Hanya orang-orang yang sadar dan sabarlah yang akan meraih kebaikan tersebut. Dengan bahasa lain, musibah pun bisa memicu mahabbah (rasa cinta).   Selain dari kebaikan-kebaikan yang bersifat relatif, kesabaran dalam menerima musibah adalah cara Allah menghapuskan dosa-dosa.

Yang ditekankan dalam konteks musibah adalah kesabaran menghadapinya. Memang, di kalangan ulama berbeda pendapat apakah kesabaran atau musibah itu sendiri yang menyebabkan terhapusnya dosa-dosa.   Menurut Syekh Izuddin bin Salam sebagaimana dijelaskan dalam kitab Irsyadul Ibad, sesungguhnya musibah yang menimpa orang mukmin tidak mengandung pahala, sebab musibah bukanlah atas usahanya. Akan tetapi, pahala itu terletak pada kesabaran atas musibah tersebut. Namun, dijelaskan berikutnya bahwa musibah adalah pelebur dosa sekalipun orang mukmin yang ditimpanya tidak sabar, sebab tidak ada syarat bagi pelebur dosa untuk diusahakan oleh seorang mukmin.  

Baca: Empat Tingkatan Manusia

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa apa pun bentuknya musibah adalah sebuah cobaan dari Allah untuk makhluknya yang di dalamnya mengandung maksud dan tujuan baik bagi yang menerimanya. Tinggal bagaimana menyikapinya: sabar atau justru ingkar.   Dengan demikian, musibah adalah sarana untuk mengingat sang pemberi musibah, upaya untuk meningkatkan kualitas keimanan, yang pada akhirnya menumbuhkan rasa cinta yang mendalam kepada Allah setelah merasakan kenikmatan di balik musibah yang menimpanya. Mahasuci Allah yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk makhluk-Nya.   Semoga kita semua senantiasa dijadikan orang-orang yang mampu menyikapi segala musibah sebagai sarana peningkatan iman dan takwa. Sehingga hilangnya musibah berbekas kebahagiaan baik untuk dunia maupun akhirat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nu.or.id

Empat Tingkatan Manusia

Imam al Ghazali atau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i adalah ulama produktif. Tidak kurang 228 kitab telah ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu; tasawuf, fikih, teologi, logika, hingga filsafat.

Hingga beliau mendapat predikat Sang Hujjatul Islam (kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah). Beliau ulama yang sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam pada zamannya.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Menurut Imam Al-Ghazali manusia menjadi empat (4) golongan:

 الرجال أربعة، رجل يدري ويدري أنه يدري فذلك عالم فاتبعوه، ورجل يدري ولا يدري أنه يدري فذلك نائم فأيقظوه، ورجل لا يدري ويدري انهلا يدري فذلك مسترشد فأرشدوه، ورجل لا يدري ولا يدري أنه لا يدري فذلك جاهل فارفضوه

Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri, ‘seseorang yang berilmu, dan dia mengerti kalau dirinya berilmu.’

Orang ini bisa disebut ‘alim (berilmu). Golongan ini boleh dikuti. Apalagi bagi orang awam yang masih memerlukan pengetahuan, maka sudah selayaknya orang awam duduk bersama dengannya bakal menjadi pengobat hati.

Golongan ini adalah manusia yang paling baik. Manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia memahami kalau dirinya itu berilmu, maka ia akan menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Golongan ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat.

Golongan ini menyadari dirinya mengetahui dan mengamalkan ilmu pengetahuannya. Misalnya orang berilmu itu tahu bahwa “Islam” itu serumpun dengan “salm” yang berarti damai. Kemudian, dia berupaya untuk bersikap santun, merangkul semua pihak, dan menebarkan kasih kepada para penghuni bumi. Ketika dimusuhi dan dimaki pun, orang berilmu tersebut memaafkan pihak yang memusuhi dan memakinya. Orang berilmu semacam itulah yang termasuk ulama yang layak diikuti.

Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri, ‘seseorang yang berilmu, tapi dia tidak memahami kalau dirinya mengetahui.’

Golongan ini diumpamakan orang yang tengah tertidur. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Golongan ini sering di jumpai di sekeliling pergaulan manusia. Adakalanya ditemukan golongan yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak memahami kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan tak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di akhirat.

Golongan kedua ini bukan termasuk manusia ideal. Manusia kedua itu sebenarnya berilmu. Tapi dia tidak benar-benar menerapkan ilmunya dengan baik. Misalnya dia tahu bahwa “Allahu Akbar” berarti Allah Maha Besar. Seyogyanya dia sadar bahwa hanya Allah yang Maha Besar. Mengucapkan kalimat takbir “Allahu Akbar” selain Allah itu kecil. Sebagaimana pada saat shalat, sepatutnya pengucap  “Allahu Akbar” mengucapkan kata-kata baik, bertindak tertib, penuh kerendah hati (sebagaimana tercermin dalam rukuk dan sujud), berhati teduh, berpikiran jernih dan menebar damai. Mengeratkan hubungan dengan Allah (sebagaimana tampak pada gerakan dan ucapan salm di akhir shalat).

Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri, Seseorang yang tidak mengetahui (tidak berilmu), tapi dia memahami alias sadar diri kalau dirinya tidak berilmu.’

Golongan ini masih tergolong manusia baik. Sebab, manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar.

Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat.

Golongan ketiga ini, adalah manusia yang memang tidak tahu. Namun, dia menyadari bahwa dirinya tidak tahu, sehingga dia selalu belajar dan siap bertanya kepada siapapun yang layak untuk ditanya tentang ilmu dan informasi. Hasilnya, manusia yang tak berilmu semacam ini lambat laun menjadi manusia yang berilmu. Seumpama manusia berilmu bertemu dengan orang golongan ketiga ini, sepatutnya orang berilmu itu berkenan mengajarinya, karena orang golongan ketiga ini adalah pembelajar yang perlu diajari untuk perbaikan masa kini dan masa depan.

Baca: Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?

Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri, ‘seseorang yang Tidak memahami (tidak berilmu), dan dia paham kalau dirinya tak berilmu.’

Golongan keempat adalah manusia paling buruk. Dia adalah orang bodoh, tapi tidak menyadari kebodohannya. Seharusnya orang bodoh belajar pada orang yang ‘Alim. Tapi orang bodoh yang tidak menyadari dirinya bodoh adalah orang yang enggan belajar. Dia merasa puas dengan kondisi dirinya. Cenderung menolak untuk diajari, bahkan sering berlagak tahu, meski aslinya cuma tidak paham atau tak tahu. Golongan semacam itu adalah manusia bodoh yang tidak bisa diubah dan berubah menjadi baik.

Golongan ini tergolong manusia yang paling buruk. Manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa.

Golongan seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Paling susah dicari kebaikannya. Golongan seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat.

Untuk itu mari kita intropeksi diri masing-masing. Masuk golongan manakah kita berada?

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by bincangsyariah.com

Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali. Menurut Imam Ghozali r.a, Tingkatan orang berpuasa ada 3, yaitu;

Pertama, Puasanya Orang Awam

“Puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menunaikan syahwat.”

Maksudnya, puasa umum atau puasa orang-orang awam adalah “sekedar” mengerjakan puasa menurut tata cara yang diatur dalam hukum syariat. Seseorang makan sahur dan berniat untuk puasa pada hari itu, lalu menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan badan dengan suami atau istrinya sejak dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Jika hal itu telah dikerjakan, maka secara hukum syariat ia telah melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan. Puasanya telah sah secara dzahir dari segi ilmu fikih.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Kedua yaitu, puasanya orang yang khusus

“Puasa khusus adalah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.”

Tingkatan puasa ini lebih tinggi dari tingkatan puasa sebelumnya. Selain menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan suami istri, tingkatan ini menuntut orang yang berpuasa untuk menahan seluruh anggota badannya dari dosa-dosa, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tingkatan ini menuntut baik dzahir maupun batin untuk senantiasa berhati-hati dan waspada.

Ia akan menahan matanya dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan telinganya dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan tangannya dari melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan kakinya dari melangkah menuju hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan seluruh anggota badannya yang lain ia jaga agar tidak terjatuh dalam tindakan maksiat.Tingkatan puasa ini adalah tingkatan orang-orang shalih.

Ketiga, Puasanya orang yang sangat khusus

“Puasa sangat khusus adalah berpuasanya hati dari keinginan-keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan hati dari segala tujuan selain Allah secara totalitas.”

Tingkatan ini adalah tingkatan puasa yang paling tinggi, sehingga paling berat dan paling sulit dicapai. Selain menahan diri dari makan, minum dan berhubungan, serta menahan seluruh anggota badan dari perbuatan maksiat, tingkatan ini menuntut hati dan pikiran orang yang puasa untuk selalu fokus pada akhirat, memikirkan hal-hal yang mulia dan memurnikan semua tujuan untuk Allah semata.

Puasanya hati dan pikiran, itulah hakekat dari puasa sangat khusus. Puasanya hati dan pikiran dianggap batal ketika ia memikirkan hal-hal selain Allah, hari akhirat dan berfikir tentang (keinginan-keinginan) dunia, kecuali perkara dunia yang membantu urusan akhirat. Inilah puasa para nabi, shiddiqin dan muqarrabin. (Imam Abu Hamid al-Ghozali, Ihya’ Ulumiddin, 1/234)

Betapa banyak orang berpuasa namun balasan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga semata. Dan betapa banyak orang melakukan shalat malam (tarawih dan witir) namun balasannya dari shalatnya hanyalah begadang menahan kantuk semata.

Baca: Keutamaan Shalat Berjamaah Shaf Paling Belakang

Demikian penjelasan Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali.  Semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam diatas, Aamiin ya Rabbal ‘Aalamiin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by darunnajah.com

Jodohku Masih Dipegang

Pagi itu Supri masih seperti hari-hari biasanya. Berselimut sarung, siap-siap tidur di pojok mushala setelah shalat subuh berjamaah.  

Pak Jumadi pun menghampiri pemuda yang sudah berumur namun masih jomblo dan belum punya pekerjaan tetap itu.

Pak Jumadi: “Pri, mau tidur lagi ya?”

Supri: “Iya pak, masih ngantuk.” (sambil menarik lipatan karpet yang selalu ia jadikan bantal)

Pak Jumadi: “Mbok ya beraktifitas sana. Kerja biar kaya, banyak duit dapet istri cantik.”

Supri: “Sebenarnya aku tinggal ambil saja rezeki sama jodohku, pak. Tapi masih dipegang yang lain.”

Pak Jumadi: “Dipegang siapa, Pri?”

Supri: “Dipegang Tuhan, Pak. Jodoh dan rezeki kan di tangan Tuhan. Nggak enak mau ngambilnya. Nunggu diserahkan saja.”

Oleh: Tim Redaksi
Sumber & Picture: nu.or.id

Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Apa sebenarnya cita-cita dan harapan seorang muslim yang giat di bulan Ramadhan? Jawabannya tergambar dalam doa yang sering dipanjatkannya di sepanjang malam bulan Ramadhan. Tentu saja doa-doa itu banyak sekali. Penulis membatasi pada “Doa Kamilin” saja yang biasa dibaca usai Shalat Tarawih. 

Nama “Kamilin” diambil dari salah satu kalimat awal dalam doa tersebut. Doa itu lumayan panjang hingga satu halaman. Ada sekitar 24 permintaan dan harapan yang dipanjatkan dalam doa tersebut. Kita hanya mengambil 5 kalimat doa saja untuk diuraikan secara singkat dan padat. 

Dalam kitab Mutiara Ramadhan yang disusun oleh Abuya KH Abdurrahman Nawi, doa tersebut berbunyi: 

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. 

Artinya: “Ya Allah, jadikalah kami golongan yang sempurna dengan (di dalam) iman, yang mampu menunaikan berbagai kewajiban, memelihara shalat, melaksanakan zakat dan hanya mencari (ridha) di sisi Engkau.” Hadlirin yang berbahagia, Ada 5 (lima) harapan dan cita-cita dalam doa tersebut. 

Harapan pertama yaitu kesempurnaan iman (اَلْكَامِلِيْنَ بِالْإِيْمَانِ). Bagaimanakah kesempurnaan itu didapat. Baginda RasulullahSaw bersabda:

 اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ 

Artinya: Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang berlaku baik kepada istrinya. (HR Turmudzi) Dalam kitab Mauidhatul Mu’minin karya Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dikatakan bahwa empat pokok akhlak yang mulia adalah: keberanian, keadilan, kebijaksanaan, dan menjaga kehormatan. 

Harapan kedua, yaitu dapat menunaikan segala kewajiban (وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ) . Maknanya, mampu bertakwa kepada Allah, menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi larangannya. Kemampuan itu dinamakan taufiq yang diciptakan Allah. Apa itu taufiq? Dalam kitab Syarah An-Nawâwi alâ Muslim I/73, taufiq adalah   خَلْقُ قُدْرَةِ الطَّاعَةِ Artinya: “Diciptakannya kemampuan untuk taat kepada Allah.  Berdasarkan QS al-Baqarah ayat 183, kemampuan itu dapat diraih dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Allah menjanjikan kita dapat bertakwa dengan ungkapan “la’allakum tattaqun” yang artinya, pasti kalian menjadi orang yang bertakwa jika kalian melaksanakan kewajiban puasa di bulana Ramadhan. 

Baca: Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Orang Yang Berpengaruh di Sekitar Kita

Harapan ketiga, yaitu shalat yang terpelihara (وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ). Bagaimanakah caranya agar shalat kita terpelihara?. Pertama-tama harus kita pahami bahwa Allah tidak hanya memerintahkan shalat tapi memelihara dan menegakkan shalat.  Allah SWT berfirman:   

أَقِمِ الصّلَاةَ لِذِكْرِيْ 

Artinya: “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (Allah).” 

(QS Thaha: 14) 

حَافِظٌوْا عَلىَ الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وقُوْمُوْا للهِ قَانِتِيْنَ  

Artinya: “Peliharalah shalat 5 waktu dan shalat wustha (Ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS al-Baqarah: 238) 

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ يُرَاؤُوْنَ وَيَمْنَعُوْنَ اْلمَاعُوْنَ 

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

(QS al-Ma‘un: 4-6) Kita tidak diperintahkan shalat saja. Tapi menegakkan, mendirikan, dan memelihara shalat kita. Shalat kita harus lurus, tegak, dan terpelihara. Niatnya lurus. Caranya lurus. Hatinya khusyu’. Maka hasilnya pun juga insyaallah lurus dan benar. Yaitu tercegah dari perbuatan keji dan mungkar.   

Harapan keempat, menjadi golongan penunai zakat (وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ).  Harapan ini adalah harapan yang sangat penting diwujudkan bagi pegiat Ramadhan. Sebab zakat tidak hanya zakat mal saja. Tapi juga zakat fitrah. Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan pada saat bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda:  

 فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةٌ لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ 

Artinya: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih orang yang berpuasa dari ucapan yang tidak berfaidah dan jelek.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah) 

Baca: Hisab Dunia Meringankan Hisab Akhirat

Harapan kelima, mencari tempat yang mulia dan keridhaan di sisi Allah (وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ).  Harapan ini menjadi harapan penyempurna bagi seluruh harapan pegiat Ramadhan. Artinya, semua amal ibadah kita harus ditujukan semata-mata hanya karena mengharap ridha Allah (ikhlas).  Al-Imam Al-Haddad berkata dalam kitabnya an-Nashâ’ihud Dîniyyah:  

مَعْنىَ الْإِخْلاَصِ أَنْ يَكُوْنَ قَصْدُ اْلإِنْسَانِ فِيْ جَمِيْعِ طَاعَاتِهِ وَأَعْمَالِهِ مُجَرَّدَ التَّقَرُّبِ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ وَإِرَادَةِ قُرْبِهِ وَرِضَاهُ, دُوْنَ غَرْضٍ أَخَرَ مِنْمُرَاءَاةِ النَّاسِ وَطَلَبِ مَحْمَدَةٍ مِنْهُمْ أَوْ طَمَعٍ  

“Pengertian ikhlas adalah seseorang di dalam seluruh ketaatan dan perbuatannya ditujukan semata-mata karena berusaha mendekat kepada Allah dan menginginkan kedekatan dan keridhaannya. Tidak ada maksud yang lain seperti ingin pamer, dipuji atau mengharap sesuatu dari makhluk (tamak).” 

Semoga Allah mengabulkan semua harapan dan doa tersebut. Amîn ya rabbal ‘alamin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: islam.nu.or.id

Picture by indonesiainside.id

Do’a Tolak Sihir Atau Jin

Membaca adzan 1 kali di telinga orang yang sakit sambil memegang benjolan yang ada pada pangkal lengan atau persendian, diteruskan dengan membaca ayat:

وَ قُلْ جَاءَالْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا, وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُالظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا

Do’a ini diriwayatkan oleh KH. R. Abdullah Afandi Munawwir

Sumber: Almunawwiriyyah; Wirid Dan Do’a Sesepuh Krapyak

Tasawuf, Perilaku Manusia, dan Kritik Sosial

Oleh: Chanif Ainun Naim

Dalam suatu kesempatan, Kiai Said Aqil Siradj panjang lebar menjelaskan perihal psikoanalisa metafisik.Mengenai teori kebutuhan dasar insani (basic human needs) itu disebut juga sebagai teori motivasi. Menurut Maslow pada diri manusia ada sejumlah kebutuhan dasar, kebutuhan yang asasi, yang mau tidak mau harus dipenuhi.Kebutuhan itu bersifat intuitif, ada dengan sendirinya, seperti juga ada pada hewan, walau tentu tidak sama kandungannya. Oleh karena ada kebutuhan yang harus dipenuhi tersebut, maka manusia terdorong (termotivasi) untuk mencari jalan (upaya) memenuhi kebutuhan tersebut. Jika kebutuhannya itu terpenuhi, maka manusia akan merasa “puas” (satisfied), dan sebaliknya, menjadi unsatisfied. Sehingga, kebutuhan itu yang mendorong munculnya motivasi untuk melakukan sesuatu.

Pada diskusi itu, Kiai Said, mengutip pendapat Al Ghazali, menyebut bahwa kebutuhan dasar (need) manusia, yang mengilhami seseorang melakukan suatu tindakan, muncul dari intuisi (khawatir). Penjelasan Kiai Said, ada empat jenis intuisi yang membisikkan hati. Bisikan pertama dinamakan khatir (bisikan hati), datang dari Allah SWT, yang dipenuhi dengan kebaikan. Kedua, bisikan hati yang biasa diterima oleh manusia, dinamakan hawa nafsu. Nafsu apapun, menginginkan apapun, bahkan menginginkan surga atau pahala sekalipun muncul dari jenis kedua ini. Ketiga, bisikan daripada Malaikat Mulhin, bisikan yang membawa kebaikan, ia adalah penasihat kita, yang boleh dipanggil juga (irsyad). Dalam bahasa lain, bisa juga disebut ilmu laduni, ‘ilm al yaqin, haqq al-yaqin. Bisikan keesmpat adalah dari syaitan yang dinamakan waswasah (khathir al-nafs) merupakan keburukan yang menghalangi kebaikan dan menyesatkan.

Baca Juga: Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Nah, bertasawuf dengan jalan yang dipilih oleh Al Ghazali adalah dengan melakukan penjarakan (distansi) dengan dunia materi yang disebutnya sebagai sesuatu yang berdaya ‘menghancurkan’ hati (muhlikah). Ditengah dunia modern yang sangat destruktif, yang ditandai dengan eksploitasi, baik kepada manusia maupun alam, konsumerisme dan irrasionalnya rasionalitas modern, agama harus mampu menjadi jembatan dalam kritik sosial. Sehingga, tasawwuf (meminjam istilah di buku Kiai Said) dengan sifat dasarnya untuk melakukan penjarakan dengan dunia sebagai kritik sosial sangatlah relevan. Dengan memahami dan menganalisis setiap tindakan manusia, mulai lingkup terkecil muncul dari bisikan (intuisi, khathir) sebagaimana dijelaskan sebelumnya serta pemahaman bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur kekuatan (quwwah) yang berpotensi pada timbulnya tindakan melukai, menyerang (agresi) kepada orang lain, atau potensi kekuatan (quwwah) konsumtif seperti yang dijelaskan oleh Ghazali, kiranya, bagi saya, hal itu sudah cukup untuk menolak segala bentuk tindakan yang merugikan, seperti terorisme, eksploitasi alam atau pula konsumsi tiada henti dan segala bentuk perilaku impulsif. Itu semua dalam gerak yang padu akan mampu mendukung upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan, dimulai dari lingkup-lingkup terkecil sekalipun.

Merujuk pada kosmologi Syed Hosen Nasr dalam perspektif environmental theology, bahwa kesadaran akan alam semesta adalah kesadaran akan lingkungan (environtment) dan kesadaran akan diri kita sendiri (mikrokosmos). Artinya, bila kita memiliki kesadaran itu, maka kita tidak akan merusak alam semesta dan lingkungan, karena tidak mungkin kita merusak diri kita sendiri. Jalan menuju kepada proses kesadaran itu adalah dengan pendidikan, karena pendidikan mengajari manusia untuk mengenal Sang Pencipta (Rabbah) dan diri mereka sendiri (nafsah) dalam gerak dimensi vertikal, dan mengenal lingkungan sekitar (dimensi horizontal). []

Sumber Gambar: https://www.mimbar-rakyat.com/detail/alam-semesta-adalah-guru-yang-bijak/

Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?

Siapa yang tak kenal Abu Yazid al-Busthami. Beliau adalah seorang Syekh atau pemimpin kaum Sufi. Namun siapa sangka beliau pernah mendapat ilmu yang sangat berharga dari seekor anjing di tepi jalan.

Kisah Abu Yazid al-Busthomi dan seekor anjing adalah satu dari banyak kisah hikmah yang menyadarkan kita tentang hakikat penyucian hati. Abu Yazid merupakan seorang ulama Sufi abad ketiga Hijriyah berkebangsaan Persia. Beliau lahir Tahun 188 H (804 M) bernama kecil Tayfur.

Saat remaja Abu Yazid telah mendalami al-Qur’an dan Hadis Nabi, kemudian mempelajari ilmu fiqih Madzhab Hanafi sebelum akhirnya menempuh jalan Tasawuf. Sebagai Sufi, maqom (kedudukan) makrifat beliau tidak diragukan lagi. Pernah terbesit di hatinya untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan sifat ketidakpeduliaan terhadap makanan dan perempuan, kemudian hatinya berkata:

“Pantaskah aku meminta kepada Allah sesuatu yang tidak pernah diminta oleh Rasulullah SAW?”

Bahkan karena ketinggian ilmunya, beliau menghukum dirinya sendiri jika melanggar.

Baca: Kisah Juraij Dan Seorang Pelacur

Suatu hari Abu Yazid seperti yang biasa beliau lakukan, di malam yang hening itu Abu Yazid mengadakan pengembaraan seorang diri. Di tengah perjalanan, beliau mendapati seekor anjing berjalan ke arahnya dengan tanpa hirau. Ketika anjing ini sudah begitu dekat, dengan spontan Abu Yazid mengangkat gamisnya, khawatir bajunya tersentuh anjing yang najis tersebut.

Tak seperti anjing pada umumnya, mendapati respon sang Sufi ini ia menghentikan langkahnya sembari menatap dalam-dalam pada Abu Yazid. Yang lebih mengejutkan, binatang ini dianugerahi kemampuan untuk berkata-kata. Dengan masih menatap sang Sufi, anjing ini berbicara: 

“Tubuhku kering dan tidak akan menyebabkan najis padamu. Kalau pun engkau merasa terkena najis, engkau cukup membasuh 7 kali dengan air dan tanah, maka najis di tubuhmu itu akan hilang. Tapi jika engkau mengangkat jubahmu kerana menganggap dirimu lebih mulia, lalu menganggapku anjing yang hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tidak akan bersih walaupun engkau membasuhnya dengan 7 samudera lautan”.

Mendengar itu, Abu Yazid tersentak dan meminta maaf kepada anjing tersebut. Sebagai tanda permohonan maafnya yang tulus, Abu Yazid lantas mengajak anjing itu untuk bersahabat dan jalan bersama. Namun anjing itu menolaknya.

“Engkau tidak patut berjalan denganku. Karena mereka yang memuliakanmu akan mencemooh dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tahu mengapa mereka menganggapku hina, padahal aku berserah diri pada Sang Pencipta wujud ini. Lihatlah aku tidak menyimpan dan membawa sebuah tulang pun, sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum,” kata anjing itu pergi meninggalkan Abu Yazid.

Abu Yazid hanya bisa terdiam sembari merenung. Tak terasa air mata menitik, dan dari lubuk hati terdalam ia berkata:

“Ya Allah, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-Mu pun aku tak pantas. Lalu bagaimana aku merasa pantas berjalan dengan-Mu? Ampunilah aku wahai Tuhanku,  dan sucikan najis yang ada dalam hatiku”.

Baca: Kisah Seorang Wali : Doa Yang Sia-sia Karena Seorang Istri

Abu Yazid wafat pada tahun 261 Hijriyah (875 Masehi), ada yang menyebut tahun 264 Hijriyah (878 M). Makam beliau terletak di pusat Kota Bistami (Bashtom) yang banyak diziarahi oleh umat Islam. Sebuah kubah didirikan di atas makamnya atas perintah Sultan Mongol bernama Muhammad Khudabanda, seorang sultan yang berguru kepada Syeikh Syaraf al-Din (keturunan Abu Yazid), pada tahun 713 H (1313 M)

Makam ulama besar sufi abad ketiga Hijriyah, Abu Yazid al-Busthomi, di Kota Bashtom Iran. Foto oleh belajarbahasa.github.io

Oleh: Tim Redaksi

Picture by jernih.co

Mengenal Kitab Hasyiyah Al-Bajuri

Secara genalogis, “Hasyiyah Al-Bajuri” sebenarnya berasal dari Matan Abu Syuja’ yang telah saya buatkan catatannya dalam artikel berjudul “Mengenal Matan Abu Syuja’”. Matan Abu Syuja’ yan terkenal dikalangan Asy-Syafi’iyyah ini memiliki syarah yang juga sangat terkenal dan banyak dipelajari di masyarakat yang bernama “Fathu Al-Qorib’ karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi (w.918 H). Nah, “Fathu Al-Qorib” inilah yang dibuatkan Hasyiyah oleh Al-Bajuri sehingga karyanya kemudian terkenal dengan nama Hasyiyah Al-Bajuri.

Pengarang kitab ini bernama Ibrohim Al-Bajuri atau secara singkat bisa disebut Al-Bajuri. Nama lengkap beliau; Burhanuddin Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri Al-Manufi Beliau lahir pada tahun 1197 H. Di usia 14 tahun beliau sudah masuk ke Al-Azhar dan belajar di sana. Dengan ketekunannya dalam belajar dan ber-mulazamah dengan sejumlah syaikh, akhirnya sampai ke derajat Syaikhul Azhar Asy-Syarif di zamannya. Beliau sempat mengalami masa penjajahan Prancis di Mesir yang dipimpin oleh Napoleon. Di antara murid Al-Bajuri yang terkenal adalah Ath-Thohthowi.

Adapun motivasi penulisan hasyiyah ini, hal itu ditulis Al-Bajuri dalam muqaddimah kitabnya. Al-Bajuri melihat Matan Abu Syuja’ adalah mukhtashor yang penuh berkah dan banyak dimanfaatkan. Demikian pula syarahnya yang bernama “Fathu Al-Qorib”. Termasuk pula hasyiyah “Fathu Al-Qorib” yang bernama “Hasyiyah Al-Birmawi”. Hanya saja, beliau melihat dalam “Hasyiyah Al-Birmawi banyak ungkapan-ungkapan yang tidak mudah dipahami untuk pelajar pemula. Oleh karena itu, setelah melihat problem ini, beliau didorong berkali-kali oleh kolega dan ulama sezamannya un membuat hasyiyah dengan bahasa yang enak dan mudah dicerna oleh para pemula dan beliaupun tergerak untuk melakukannya. Karena itu lahirlah “Hasyiyah Al-Bajuri”.

Hasyiyah Al-Bajuri populer di masyarakat karena bahasanya enak, indah dan mudah dicerna. Kemudahan bahasa ini menjadi salah satu ciri yang menonjol dari kitab ini sekaligus menjadi keistimewaan jika dibandingkan dengan hasyiyahhasyiyah yang lain. Keistimewaan lain “Hasyiyah Al-Bajuri” adalah menjelaskan semua istilah dalam berbagai bidang ilmu sehingga akan sangat memudahkan pembacanya untuk memahami isinya. Jika ada ‘illat sebuah kata, maka Al-Bajuri akan menjelaskan wazan-nya, proses i’lal-nya, proses ibdal-nya, proses pembentukan jamak-nya, asal mufrod-nya, bentuk mudzakkar-nya, dan bentuk muannats-nya. Jik ungkapan yang salah dalam “Fathu Al-Qorib”, maka beliau mengoreksinya. Jika ada ungkapan yang kurang jelas maka beliau memperjelasnya. Jadi, “Hasyiyah Al-Bajuri” itu detail, padat isi, dan luas jangkauannya.

Keistimewaan yang lain, meskipun kitab ini dinamai hasyiyah, tapi secara fakta justru malah lebih dekat ke syarah. Syarah lebih mudah “ditelan” oleh pemula daripada hasyiyah. Oleh karena itu Bajuri tidak mensyaratkan pengkajinya harus mencapai level “expert” dalam mazhab Asy-Syafi’i untuk memahaminya.

Sudah dikenal sejak zaman dulu bahwa pelajar pemula akan dianggap menyia-nyiakan waktu jika langsung mencoba menelaah hasyiyah. Hal itu karena ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam memang diperuntukkan untuk pengkaji fikih level tinggi. Bagi pemula, seharusnya mereka mempelajari matan/muktashar dan menghafalnya bukan langusng mengkaji hasyiyah. Ahmad bin Ha Al-‘Atthos (w.1334 H) berkata:

من قرأ الحواشي ما حوى شي

“Barangsiapa (di kalangan pemula) mengkaji hasyiyah, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa.”

Hasyiyah hanya akan bermanfaat bagi orang yang level keilmuannya sudah tingkat lanjut/advanced, karena hal-hal yang umumnya sudah diketahui oleh pelajar tingkat lanjut tidak akan diterangkan pengarang hasyiyah. Pengarang hasyiyah hanya akan menerangkan hal-hal yang paling sulit sehingga tetap bermanfaat bagi pelajar tingkat lanjut itu. Tapi “Hasyiyah Al-Bajuri” ini beda. Karena pendekatan menulisnya lebih ke arah syarah, pelajar pemula yang merangkak menuju level menengah insya Allah bisa memanfaatkannya.

Baca Juga: Guy Debord Menjelaskan Problem The Society of the Spectacle, Tasawuf Menjawabnya

Adapun metode penulisannya, Al-Bajuri dalam menerangkan ungkapan dalam “Fathu Al-Qorib”, beliau memberikan “quyud” (batasan-batasan) dan “amtsilah” (contoh-contoh) agar maksudnya mudah ditangkap. Untuk kata-kata dan ungkapan tertentu kadang-kadnag Al-Bajuri membahas juga aspek i’rab dan nahwunya. Jika ada pembahasan furu’ fikih, maka Al-Bajuri akan menjelaskan kaidah ushul yang mendasarinya, termasuk aspek nahwu, dan al-asybah wa al-nazhoir-nya. Jika dibahas nahwu, maka Al-Bajuri akan menyertakan syawahid (dalil kebahasaan) yang relevan dengan pembahasan nahwu tersebut. Jadi kitab ini sungguh kaya cita rasa. Orang akan merasakan pembahasan fikih, ushul fikih, bahasa, dan “rasa-rasa” yang lainnya.

Adapun referensi yang dipakai Al-Bajuri untuk menulis hasyiyah ini, hal itu meliputi karya-karya Asy-Syafi’i, nukilan-nukilan dari ashabul wujuh, syarahsyarah, mukhtashar Al-Muzani, kitab-kita Al-Ghazali, kitab-kitab Syaikhan (Imam Al-Rafi’i dan Imam Al-Nawawi), kitab-kitab Ibnu Ar-Rif’ah, syarahsyarah Minhaj Ath-Thalibin, dan kitab-kitab Zakariyya Al-Anshori dan syarahsyarahnya. Beliau juga banyak mengambil rujukan syarah matan Abu Syuja’, Al-Iqna’ karya Al-Khothib Asy-Syirbini, “Fathu Al-Ghoffar” karya Ibnu Qosim Al-‘Abbadi, hasyiyahhasyiyah “Fathu Al-Qorib” seperti “Hasyiyah Al-Qalyubi”, “HasyiyahHasyiyah Athiyyah Al-Ujhuri”, “Hasyiyah Al-Bulbaisi” dan lain-lain. Dengan referensi sebanyak ini wajar jika mutu “Hasyiyah Al-Bajuri” masuk dalam jajaran kitab syarah dan hasyiyah level tinggi.

Dalam menulis hasyiyah, Al-Bajuri juga menjelaskan mana pendapat mu’tamad (dapat dijadikan pegangan), mana yang bukan mu’tamad, mana yang rajih (unggul), dan mana yang marjuh (diunggulkan). Dalam kitab ini, Al-Bajuri juga menyebut ikhtilaf (perbedaan pendapat) antara Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Ramli. Seringkali beliau menguatkan pendapat Ar-Romli. Hal ini wajar, karena Al-Bajuri dan banyak pada ulama Mesir dan bahkan menjadi Syaikh Al-Azhar di negeri tersebut, sementara kita tahu mayoritas tumpuan ulama-ulama Mesir adalah kitab-kitab Ar-Ramli, terutama kitab “Nihayatu Al-Muhtaj”. Al-Kurdi dalam Al-“Fawaid Al-Madaniyyah” menyebutkan, bahwa ulama-ulama Mesir telah “diikat perjanjian” bahwa mereka hanya akan mengambil ijtihad dan fatwa Ar-Ramli saja. Hanya saja, Al-Bajuri kadang-kadang menguatkan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami pada persoalan-persoalan yang beliau pandang cocok dengan masanya. Tapi, yang seperti ini jumlahnya sedikit dan terbatas.

Di antara urgensi kitab ini, Al-Bajuri banyak membahas isu-isu yang sering terjadi dan kasus-kasus aktual seperti hukum melihat (wanita/aurat), hukum dokter lelaki mengobati pasien wanita ajnabiyah, hukum menunda kehamilan, hukum vasektomi/tubektomi, masalah riba dan lain-lain. Al-Bajuri wafat pada hari kamis, 28 Dzul Qo’dah tahun 1276/1277 H.

 رحم الله الباجوري رحمة واسعة

اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Dimuat ulang dari: https://irtaqi.net/2018/03/02/mengenal-kitab-hasyiyah-al-bajuri/

Guy Debord Menjelaskan Problem The Society of the Spectacle, Tasawuf Menjawabnya

Oleh: Chanif Ainun Naim

“The more he identifies with the dominant images of need, the less he understands his own life and his own desires. The spectacle’s estrangement from the acting subject is expressed by the fact that the individual’s gestures are no longer his own; they are the gestures of someone else who represents them to him.”

― Guy Debord, The Society of the Spectacle ―

            Jika kita belajar tasawuf, dalam tasawuf itu ada aspek teoretis (nadzari) ada juga aspek praksis (‘amali). Aspek teoretis pastinya mencakup bagaimana cara pandang tasawuf terhadap dunia (world view), begitu juga dalam filsafat sosial. Filsafat Sosial sebagai sebuah teori filsafat pun memiliki cara pandang tersendiri dalam menjelaskan dunia. Tulisan kali ini akan mencoba melihat cara pandang teori sosial yang diinisiasi oleh Guy Debord tentang kehidupan yang disebutnya sebagai the society of the spectacle serta cara tasawuf bersikap terhadap dunia yang berupa kesenangan yang menipu daya belaka (mata’ al-ghurur).

            Kita mulai dari apa itu masyarakat spectacle atau masyarakat tontonan (society of spectacle). Guy Debord, salah satu pemikir Marxis (Marxist theorist) dari Perancis, melihat bahwa abad ke-20 adalah abad dimana alienasi (keterasingan) manusia mencapai puncaknya, atau abad dimana komodifikasi sebagai inti dari kapitalisme telah mencapai titik kulminasi. Lalu sebenarnya apa sih alienasi itu? Nah, dalam tradisi Marxian, alienasi adalah kondisi dimana manusia terasing sebagai akibat dari jerat sistem kapitalisme. Situasi ini membuat manusia tidak lagi mengenali dirinya sendiri, pekerjaannya, hasil kerjanya dan tidak mengenali sesamanya. Empat keterasingan itu adalah:

  1. Terasing dari dirinya sendiri. Sebenarnya, manusia bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (dlaruriyyat) sebatas agar ia dapat menyambung kehidupan. Jadi, tidak ada itu, istilah menumpuk kekayaan (al-takatsu fi al-mal). Tapi, oleh kapitalisme, manusia lalu bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja, tetapi dia bekerja hingga melebihi batas jam kerjanya itu karena tertunduk dan dipaksa oleh kecenderungan untuk al-takatsuru fi al-mal itu atau menumpuk surplus value-nya itu. Sehingga menghasilkan apa? Manusia menjadi bukan dirinya (alienation). Manusia menjadi semacam skrup bagi mesin besar itu agar tetap berjalan. Lalu apa akibatnya? Menjadi workaholic, lalu stress dan pantaslah tema mental illness sekarang menggaung.
  2. Akibatnya adalah, bahwa karena manusia bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya semata, maka manusia terasing dari aktivitasnya, dimana aktivitasnya justru ‘ditujukan untuk melawan dirinya sendiri’, seolah-olah aktivitas itu ‘bukan miliknya’. Dia bekerja bukan untuk membuat karya tetapi dia bekerja karena terpaksa.
  3. Sehingga, hasil karyanya bukan lagi karyanya. Manusia terasing dari sesuatu yang menjadi hasil kerjanya, dan tidak bisa menikmati hasilnya itu.
  4. Dalam sistem itu, manusia menjadi tidak mengenal dengan sesama manusia. Karena apa? Karena manusia dan hubungan dia dengan manusia lain di lingkungan dia bekerja hanya sebatas sebagai sesama orang yang asing, bukan sesama manusia yang utuh.

            Karena terjadi proses alienasi itu, maka inilah yang disebut sebagai suaru proses dehumanisasi, kata Marx, dimana secara perlahan, manusia diajak untuk menjadi orang lain, menjauh dari mengenali dirinya. Kesadaran (consciousness)  terjadi ketika manusia tau apa yang terjadi padanya, apa yang seharusnya dan apa yang harus dilakukan. Atau dinamakan dengan sadar kelas. Tapi tenang saja, itu dulu sekali. Itu terjadi di masa lalu, masa fordisme. Kalau sekarang, masa paskafordisme? Lebih ancur-ancuran.

Dunia Hanyalah Sandiwara: The Society of the Spectacle

            Ada apa setelahnya? Lebih lanjut, masyarakat spectacle atau masyarakat tontonan adalah kondisi di mana seluruh manusia telah diokupasi, telah dikuasai sepenuhnya oleh komoditas. Masyarakat tontonan adalah puncak ilusi dari sebuah komunitas, dimana orang dianggap utuh jika telah melakukan ‘pemenuhan total’ dengan mengonsumsi barang-barang yang telah dikomodifikasi. Debord mendeskripsikan istilah tontonan sebagai ‘refleksi visual dari rezim ekonomi pasar’. Ketika kebutuhan ekonomi digantikan oleh kebutuhan ‘pembangunan’ yang tak terbatas, maka kepuasan manusia atas kebutuhan dasarnya (dlaruriyyat) digantikan oleh pemenuhan kebutuhan semu nan tiada henti. Jika dulunya orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan primernya, kini, dalam masyarakat yang dipenuhi komoditas, dipertontonkan dalam bentuk visual. Aktivitas konsumsi pun telah menjadi “kewajiban” baru.

“… just as early industrial capitalism moved the focus of existence from being to having, post-industrial culture has moved that focus from having to appearing”

“Kapitalisme industri awal memindahkan fokus keberadaan dari keberadaan menjadi memiliki, budaya pasca-industri telah memindahkan fokus itu dari memiliki menjadi untuk tampil.”

(Guy Debord, The Society of the Spectacle, 2002)

            Artinya apa? Artinya adalah bahwa segala yang nampak oleh kita di realitas kita yang utamanya diperlihatkan oleh media, baik media massa maupun media sosial dan bahkan hubungan antar sesama manusia adalah menunjukkan bahwa manusia secara keseluruhan telah sepenuhnya dikuasai oleh logika pasar yang telah menguasai berbagai hubungan sosial, seperti terjadi dalam realitas kita sekarang ini. Manusia melihat berita, manusia melihat iklan, manusia melihat realitas sekitarnya yang dilihat hanyalah sebentuk tampilan atas konsumsi-konsumsi benda-benda. Lalu mereka seakan digerakkan untuk mengonsumsinya juga. Mereka lalu mengumpulkan uang, bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi lebih dari itu, manusia secara logika telah tertuntut mengkonsumsi segalanya, mengkonsumsi apapun yang dia lihat setalah menginternalisasinya. Penyesuaian dengan kondisi yang demikian menghasilkan manusia sebagai komoditas. Artinya apa? Komoditas bukan lagi hasil produksi, tetapi kehendak untuk konsumtif pun dikomodifikasi. Menuruti semuanya, menyebabkan dehumanisasi secara mental dan fisik pada konsumen.

            Mbulet, ya? Gampangnya begini, deh, saya beri contoh: dalam bidang teknologi, ada yang namanya gadget, contoh saja handphone. Ada sebuah merk yang rutin mengeluarkan produk terbaru, dipertontonkan lewat iklan di televisi, reklame di jalanan, feed influencer Instagram, tweet selebtweet, tetangga komplek membelinya, teman tongkrongan membelinya, lalu orang-orang membicarakannya, di kolom komentar, di tongkrongan, di grup WhatsApp keluarga, bahkan di momen-momen makan malam bersama keluarga, dan sebab orang-orang terhipnotis bahwa produk itu mengerek nilai tertentu jika dipertontonkan, maka kamu pun tergerak untuk memilikinya. Kamu lalu bekerja, dari pagi sampai pagi lagi, bekerja sekuat tenaga, sampai mengabaikan keluargamu, lembur sampai mengabaikan dulu tongkrongan di lingkunganmu, makan pun kalau ingat, kesehatanmu nomor sekian, asam lambungmu yang akut itu kamu jadikan kekasih, kalau bisa setiap hari hadir itu asam lambung, hanya supaya kamu bisa membeli handphone itu. Itu, tuh, apa yang kamu kejar, Dik?

“Where the real world changes into simple images, the simple images become real beings and effective motivations of hypnotic behavior.”

“Saat dunia nyata berubah menjadi gambar sederhana, gambar sederhana menjadi makhluk nyata dan motivasi efektif untuk perilaku hipnosis.”

(Guy Debord, The Society of the Spectacle, 2002)

Jadi rasionalisasinya begini, melalui rentetan komoditas yang mulai mewakili kehidupan mereka, penonton dihadapkan pada contoh-contoh ideal (untuk meng-‘ada’ sebagai manusia) yang mereka perjuangkan untuk dicapai dan dikonsumsi tanpa henti. Penonton dimanipulasi sedemikian rupa sehingga apa yang terlihat menjadi lebih penting dan menarik. Kini, orang harus memakai produk-produk tertetu untuk meningkatkan ketampanannya, kecantikannya, dan status sosialnya di tongkrongannya. Jika kamu juga demikian, maka Debord mengejekmu begini: “Young people everywhere have been allowed to choose between love and a garbage disposal unit. Everywhere they have chosen the garbage disposal unit”. Kamu diizinkan untuk memilih antara cinta dan sampah, tapi kamu kok malah memilih sampah.

            Orang melihat influencer memakai produk kecantikan, lalu ia mencobanya. Orang melihat temannya memakai produk paling baru, lalu dia merasa ingin mengenakannya juga. Jadi dia bekerja keras mengabaikan kesehatannya semata untuk menjadi konsumtif, termotivasi mengenakan apapun yang dianggap trendi, semata agar tidak dilihat ketinggalan jaman. Inilah masyarakat spectacle, yang secara total menhunjam dalam ke dalam sendi-sendiri kehidupan. Kita seakan menjadi anak hilang, mencari-cari tanpa tahu apa yang dicari, mengejar sesuatu yang memang tidak ada habisnya, sebab ia semu, “like lost children we live our unfinished adventures”.

          Hari ini seseorang bekerja bukan karena ingin mengaktualisasi diri, tetapi sekadar mencari upah yang digunakan untuk memenuhi hasratnya membeli komoditas. Dengan menjadi workaholic, para pekerja berharap bisa menjadi kaya dan lebih kaya lagi. Meskipun, secara paradoksal, mereka bekerja hingga lembur untuk bisa menikmati “liburan”. “Behind the masks of total choice, different forms of the same alienation confront each other.” “Di balik topeng pilihan total, berbagai bentuk keterasingan yang sama saling berhadapan”. Proses tontonan menuntut penggunaan citra perantara yang tidak hanya mempromosikan barang untuk dijual, tetapi juga memasarkan fantasi tambahan. Fantasi inilah yang telah mengubah tubuh-tubuh penonton menjadi sekadar mesin hasrat nan konsumtif.

            Dunia yang kita diami ini tidak ada tujuannnya sama sekali, Kata Debord, “Goals are nothing, development is everything. The spectacle aims at nothing other than itself”. Di waktu luang, pekerja memiliki peran baru nan mulia sebagai konsumen; sekadar ATM berjalan yang kehidupan pribadinya disuguhi ‘opium’ berupa fesyen, gawai, kendara, kuliner hingga properti. Kata Debord, “orang yang mempersonifikasikan sistem memang terkenal karena tidak seperti yang terlihat; mereka telah mencapai kebesaran dengan merangkul tingkat realitas yang lebih rendah daripada tingkat kehidupan individu yang paling tidak penting ―dan semua orang mengetahuinya”.

          “In our society now, we prefer to see ourselves living than living.” Dalam masyarakat kita sekarang, kita lebih suka melihat diri kita sendiri hidup daripada hidup. Lalu, bagaimana agar hidup kembali hidup? Agar bisa menghidupi kehidupan? Agar kembali utuh menjadi manusia? Menjadi diri sendiri? Kesadaran itu adalah dengan nulayani keumuman itu sendiri. Siapa yang ikut arus, niscaya dia akan hanyut dalam kepalsuan yang niscaya.

Bertasawuf untuk Menjelaskan dan Mencari Jalan Keluar

          Jika melihat uraian di atas seakan-akan hidup kemudian menjadi sangat tidak bermakna, hidup menjadi seperti tidak ada artinya, bahwa untuk menjadi manusia yang utuh, hal sudah sangat jauh dari gapaian. Bila tidak jeli, sseorang akan jatuh dalam ceruk keputusasaan, pesimis terhhadap kehidupan dan menganggap bahwa tidak ada makna sama sekali dari hidup ini. Tetapi, di sinilah gerak tasawuf menemukan jalannya, sebab inti dari tasawuf adalah sebuah perjalanan untuk mengenali diri sendiri, “man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah”; siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya. Pengenalan diri adalah sebuah proses hati, sebuah pergumulan tiada henti tentang hati. Realitas memang tidak akan pernah bisa diubah, tetapi kita bisa mengubah cara pandang kita terhadap realitas dan cara pandang dimulai dari hati, sebab hati adalah posisi inti dari sebuah kesadaran, perasaan, keinginan dan bahkan kebahagiaan; sebuah kesadaran kosmik, kesadaran tentang manusia, alam semesta dan Tuhannya. Dengan demikian, maka mafhum jika tasawuf sebagai ilmu itu progresif degan wataknya yang dinamis.

          Tidak menherankan pula bahwa tasawuf itu adalah sebuah proses kegairahan spiritual (al-tsaurah al-ruhaniyyah). Tasawuf secara umum berbeda dengan akhlak atau etika. Etika bisa dilakukan tanpa adanya landasan ilmu ketuhanan tertentu, tetapi tasawuf sebagai sebuah teori, dia memiliki aspek teoretis (nadzari) dan aspek praksisnya (‘amali). Aspek teoretis dari tasawuf berkaitan dengan pemahaman tentang wujud, yakni tentang Tuhan, manusia dan alam semesta. Sedangkan aspek praksis tasawuf berkaitan dengan tata cara hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam dan dengan Tuhan sebagai hasil dari pemahaman tertentu dari teori tasawuf. Antara tasawuf sebagai teori dan praktif, keduanya harus berjalan beriringan untuk mencapai kesempurnaan sebagai manusia (insan al-kamil). Metode yang digunakan adalah pembersihan jiwa (tazkiyat al-nafs) dengan serangkaian mujadadah al-nafs dan riyadlah al-nafs. Keseluruhan proses untuk menuju kesempurnaan sebagai manusia ini disebut dengan suluk, sebuah perjalanan menuju Allah.

          Dalam suluk tersebut, seseorang harus meniti maqamat (kedudukan seorang pejalan spiritual; salik di hadapan Allah) tertentu. Setiap salik dalam prosesnya juga akan mengalami ahwal tertentu (suasanan atau keadaan yang menyelimuti kalbu). Perjalanan yang ditempuh oleh salik dalam prosesnya menuju Allah ini akan melalui tiga pos (marhalah) sebagai maqam tertentu, dengan mujahadah dan riyadlah tertentu serta dengan ahwal tertentu. Ketiga marhalah tersebut adalah: takhalli, tahalli dan tajalli. Secara singkat, ketiga marhalah itu dijelaskan sebagai berikut:

  1. Takhalli: artinya adalah mengosongkan. Mengosongkan apa? Mengosongkan hati. Dari apa? Dari keinginan-keinginan, motivasi-motivasi dan segala hal yang tidak karena Allah. Dalam marhalah ini, ada tiga hal yang harus dilalui, yaitu taubat (dari segala dosa), wara’ (menjaga diri dari melakukan dosa), ‘iffah (menjaga diri dari segala macam pengharapan kepada orang lain), zuhud (menghindari ketergantungan, pengharapan dan kecintaan pada selain Allah). Jika seorang salik telah melewati pos ini, maka dia akan berjalan menuju pos selanjutnya, yaitu;
  2. Tahalli: artinya adalah menghiasi. Menghiasi apa? Menghiasi dan mengisi hati. Dengan apa? Dengan sifat-sifat yang baik, dimulai dengan sabar (dari melakukan maksiat, dalam menjalani ketaatan dan dalam menghadapi ujian hidup), tawakkal (menjalankan segala sesuatu semata dengan motivasi karena Allah, dan bergantung hanya kepada Allah dalam proses perjalanan hidup), ridla (menerima segala hal yang terjadi dalam hidup atau qana’ah; nrimo ing pandum, dan menyadari bahwa segala yang terjadi dalam hidup adalah semata kehendak Allah), dan syukur (menyukuri segala yang diberikan Allah dalam hidup). Jika salik telah melewati kedua pos di atas, maka dia akan menginjak pada perjalanan selanjutnya, yaitu;
  3. Tajalli: artinya penjelmaan, manivestasi. Dengan apa? Para sufi mengartikannya dengan al-takhallaq bi akhlaqillah, berperilaku dengan “perilaku” Allah. Artinya bagaimana? Ada dua kondisi yang akan dialami oleh salik, yaitu thuma’ninah (tidak gelisah) dalam menjalani hidup, mahabbah (dipenuhi cinta). Sehingga, Allah adalah Dzat yang rahman al-dunya wa al-akhirah; maha pengasih bagi seluruh makhluk di dunia dan di akhirat. Dengan berperilaku dengan perilaku Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka seseorang akan mempraktikkan kasih sayang kepada seluruh makhluk Allah.

            Para sufi berbeda-beda dalam mendefinisikan serta mengklasifikasi maqamat apa saja yang harus dilalui, ahwal apa saja yang akan dialami serta dengan metode bagaimana. Sebab ini adalah ilmu tentang kondisi hati (al-‘ilm bi ahwal al-qalb), maka sangat sulit menjelaskannya secara sitematis. Sehingga, pelan-pelan dilalui saja berdasarkan kata kuncinya dengan permenungan yang panjang.

            Aduh, kok sepertinya sulit, ya? Dan apa korelasinya dengan the society of spectacle? Bila judulnya cara tasawuf menjawab problem sosial itu, dimana letaknya? Bukankah bekerja adalah juga sebuah keharusan? Bila kondisi sudah demikian, lalu harus bagaimana? Bertapa di puncak gunung? Lha wong puncak gunung saja jadi komoditas? Mau apa lagi yang bisa dilakukan?

            Kata kuncinya adalah di ―meminjam istilah Aa Gym―manajemen qalbu. Motivasi, interest, keinginan, harapan, atau khawathir, munculnya dari hati. Orang harus bergerak, bekerja, berkrasi, sebab itu adalah perintah Tuhan kepada manusia; wa qul: i’malu fasayarallahu ‘amalakum wa rasuluhu wa al-mu’minun, dan katakanlah, “bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin”. Tapi niatkan itu semua karena Allah. Sehingga hasilnya seberapapun, itu adalah pemberian Allah yang baik untukmu, lalu kamu akan dijauhkan dari perasaan susah, gelisah, menggerutu, dan marah serta menyalahkan pihak tertentu, seraya tetap mengamalkan apa yang harus dilakukan oleh salik di atas. Dengan mendasarkan segalanya semata karena Allah, maka melihat kegaduhan apapun di masyarakat, kamu tidak lantas kaget, gagap dan bahkan latah. Sehingga dengan demikian, kebahagiaan dan kesedihan, nikmat dan musibah, sempit dan lapang, pujian dan cacian, penghormatan dan penghinaan, sanjungan dan pengucilan, semuanya adalah sama. Lalu, semoga Allah menganugerahkan perasaan ridla pada segala ketentuannya, qana’ah atas pemberian-Nya, sabar atas ujian-Nya, dan thuma’ninah dalam hidup dan pada akhirnya, dianugerahi untuk mengenal-Nya; man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. Pahamilah, renungkanlah, dan jalanilah, Nif, Chanif Ainun Naim! Ini wejangan untukmu []

Sumber Gambar: https://medium.com/@matanshapiro/cryptogenesis-the-society-of-the-spectacle-in-the-cryptocurrency-ecosystem-f258c92a5da8