Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #1

Garis Keturunan Dan Orang Tua

Secara genealogis, KH. Ali Maksum mewarisi jalur ulama besar dari pesisir utara pulau jawa, tepatnya di daerah Lasem Jawatengah. Dari pihak ayah, Kyai Ali bin KH. Maksum bersambung dengan Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri): KH. Ali bin Maksum bin Ahmad bin Abdul Karim bin Zaid bin Syaikh Jarum (Ajrumi) bin Sayid Muzaed bin Sunan Senongko bin Sultan Mahmud Minangkabau bin Alif Khalifatullah fil Alam bin Syaikh Abdurrahim Minangkabau bin Syaikh Abdurrahman Minangkabau bin Radeng Ainul Yaqin Sunan Giri.

Tentang KH. Maksum Ahmad (abah KH. Ali Maksum), beliau merupakan salah seorang ulama kaliber di masanya yang turut mendirikan organisasi NU bersama KH. Hasyim Asy’ari dan para ulama lainnya. Kyai Maksum Lahir di desa Soditan Lasem pd sekitaran tahun 1870 M. Dalam sebuah keterangan Kyai Maksum pd waktu kecilnya bernama Muhammadun. Berbeda dengan abah beliau, kyai Ahmad yg masih ada garis keturunan dengan Sunan Giri, informasi tentang ibunda Kyai Maksum yang bernama ibunyai Qasimah tdk banyak diketahui. Ada yg mengatakan bahwa Ibunda Kyai Maksum wafat pada usia muda. Oleh sebab itulah Kyai Maksum ketika balita pernah menuusu  kepada Ibunyai Zainab Zaid Soditan dan jg pernah menyusu kepada Ibundanya KH. Muhammad Shidiq Jember, Ibunyai Aminah.

Diantara guru-guru Kyai Maksum ialah Kyai Nawawi di daerah Melonggo Jepara, Kyai Abdullah Kajen, Kyai Abdussalam Kajen, Kyai Siraj Kajen, Kyai Maksum Damaran Kudus, KH. Kholil Bangkalan dan masih banyak lagi. Setelah menyelesaikan pengembaraan studi agamanya, Kyai Maksum menikah dengan Nyai Muslihatun binti KH. Musthofa, namun sampai istri beliau meninggal dunia belum di karuniai keturunan. Untul kedua kalinya KH. Maksum menikah dg Nyai Nuriyati binti KH. Zainuddin dlm pernikahan ini Kyai Maksum dan ibunyai Nuriyati dikaruniai beberapa putra dan putri: 1) Muhammad Ali (KH. Ali Maksum). 2) Nyai Fatimah. 3) Ahmad Syakir. 10) Nyai Azizah. Jumlah putra putri KH. Maksum ialah 13.

Kelahiran & Perjalanan Intelektual

Nama lengkap KH. Ali Maksum di masa kecilnya ialah Muhammad Ali, sedang nama Maksum pada nama belakang beliau dinisbatkan kepada ayahnya, KH. Maksum Ahmad. Terkait tanggal persis kelahiran KH. Ali Maksum terdapat beberapa perbedaan, diantaranya ada yang menyebutkan bahwa Kyai Ali lahir pada tanggal 2 Maret 1915. Keterangan lain menyebutkan 15 Maret 1915, dan ada juga yang mengatakan bahwa Kyai Ali lahir pada tahun 1916. Adapun lokasi tempat kelahirannya terletak di Dusun Sumurkepel, Desa Sumbergirang, Lasem Jawa Tengah di rumah ibunya, Ibunyai Nuriyati Maksum. Perkembangan kepribadian Kyai Ali tidak lepas dari bagaimana pendidikan agama yang beliau peroleh sejak kecil melalui didikan dan pengaruh keluarganya dalam lingkungan pesantren.

Keterangan Foto: KH Ali Maksum di kediaman

Pendidikan pertama kali yang diperoleh Kyai Ali ialah dari ayahnya sendiri. Meskipun Kyai Maksum sosok kyai yang memiliki banyak santri, tidak lantas meninggalkan kewajibannya sebagai ayah untuk memberikan pelajaran-pelajaran dasar tentang keagamaan kepada Kyai Ali yang saat itu masih berumur 10 tahun. Pelajaran agama seperti mengenalkan huruf-huruf Alquran, pelajaran dasar ilmu fikih, dan ilmu-ilmu lainnya. Pendidikan selanjutnya Kyai Ali masuk pesantren dan belajar agama kepada KH. Amir Idris di Pekalongan yang masih ada ikatan keluarga. Kepada KH. Amir, Kyai Ali mendalami dasar-dasar ilmu balaghah.

Pada tahun 1927 atau bertepatan dengan Kyai Ali yang berusia 12 tahun, sehabis pulang dari Pekalongan, Kyai Ali melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke Pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur. Pesantren Tremas saat itu merupakan salah satu pusat kajian ilmu agama berbasis kitab kuning di tanah Jawa. Pertama kali di pesantren, Kyai Ali menerapkan apa yang menjadi tradisi di pesantren tersebut istilahnya naun, yaitu santri tidak pulang kampung sampai tiga tahun lamanya. Dan banyak yang mempercayai apabila santri yang selama tiga tahun pertama sejak kedatangannya di Tremas tidak pernah pulang kampung, bisa dipastikan yang bersangkutan akan sukses menyerap ilmu dan kelak akan menjadi seorang yang alim. Diantara guru-guru Kyai Ali saat di Tremas yang paling mempengaruhi dan berkesan ialah KH. Dimyathi, KH. Masyhud, dan Sayid Hasan Ba’abud.

Kyai Ali dikenal sebagai santri yang tekun dalam belajar, diantara banyaknya fan ilmu, yang paling diminati beliau adalah ilmu tafsir Alquran dan ilmu bahasa Arab, oleh karena kegemarannya dengan bahasa Arab, kelak mengantarkan beliau sebagai salah satu pakar tafsir dan bahasa Arab terkemuka di Indonesia sehingga banyak yang menjuluki beliau sebagai munjid berjalan. Oleh krena banyaknya bacaan Kyai Ali diberbagai fan ilmu, sehingga ada beberapa kitab yang menurut Kyai Dimyathi dilarang untuk dikonsumsi oleh santri pada umumnya selain Kyai Ali, seperti kitab Al-Manar karya Rasyid Ridha, Tafsir Maraghi, Fatawa Ibnu Taimiyah, dalam hal ini Kyai Ali dianggap sudah paham betul dasar-dasar agama yang luas dibanding santri lainnya. Dari beberapa bacaan karya “kaum pembaharu” tersebutlah yang kelak mempengaruhi cara berfikir Kyai Ali yang maju dan moderat.

Sumber:

1) 99 Kiai Kharismatik Indonesia Riwayat, Perjuangan, Doa dan Hizib: KH. Aziz Masyhuri (2017).

2) KH. Ali Maksum Ulama Pesantren dan NU: Ahmad Athoillah (2019).

Antara Ilmu Dan Ibadah, Mana Yang Lebih Utama?

Ilmu dan ibadah sebagai pokok karena dengan keduanya kita bisa membaca dan mendengar baik berupa tulisan, pengajaran oleh para guru, nasihat-nasihat maupun penelitian oleh peneliti. Bahkan karena ilmu dan ibadah tersebut kitab-kitab suci telah diturunkan kepada para Rasul dan diciptakannya langit serta bumi berikut segala apa yang ada diantara keduanya. Jadi, diagungkannya kedua perkara tersebut (ilmu dan ibadah) adalah karena keduanya merupakan tujuan diciptakannya dunia dan akhirat. Maka, seorang hamba hendaknya tidak menyibukkan diri kecuali dengan kedua hal tersebut dan ketahuilah bahwa perkara-perkara selain keduanya adalah menipu dan tidak ada kebaikan di dalamnya hanya senda gurau yang tidak ada hasilnya.

Perlu diketahui bahwa ilmu itu pada intinya lebih mulia dari sekedar ibadah tanpa ilmu, akan tetapi disamping mempelajari dan mengetahui ilmu seorang hamba harus pula melakukan ibadah. Sebab ilmu itu bagaikan sebuah batang pohon, sedangkan ibadah bagai buahnya, sebuah pohon tanpa buah tidak bermanfaat. Kemuliaan memang milik pohonnya karena ia yang menjadi asal dari buahnya, akan tetapi kita mendapat manfaat dari pohon itu dengan merasakan buahnya. Oleh karena itu seorang hamba harusnya memiliki keduanya yakni ilmu dan ibadah.

Imam Hasan al-Bashi pernah berkata:

“Tuntutlah ilmu tanpa melalaikan ibadah dan taatlah beribadah tanpa lupa menuntut ilmu.”

Ada dua alasan mengapa ilmu harus didahulukan daripada ibadah. Yang pertama ialah supaya ibadah itu dapat dipraktekkan secara benar, untuk itu seorang hamba atau ahli ibadah wajib memiliki pengetahuan yang cukup tentang Dzat yang harus mereka sembah baru kemudian menyembah-Nya. Apa jadinya bila menyembah sesuatu yang tidak diketahui nama dan sifat-sifat Dzat-Nya? Jika itu terjadi maka ibadahmu hanya akan menjadi sia-sia dan tidak berguna. Sebab, mungkin saja seorang hamba melakukan sesuatu dalam ibadah selama bertahun-tahun yang merusak wudhu dan akibatnya juga bisa merusak shalat atau mungkin juga melakukan wudhu dan shalat yang tidak sesuai dengan sunnah dan semua itu terjadi tanpa disadari.

Demikian pula ketika kita mengadukan kesedihan, derita, ketidaksabaran dan ketidaksenangan yang kita alami kepada Allah, dimana kita mengira hal itu merupakan sebagai bagian dari usaha untuk merendahkan diri dan memohon belas kasihan kepada Allah. Padahal kita melakukannya dengan riya’, kita mungkin menyerukan manusia pada kebaikan supaya berbuat benar tapi kita tetap melakukan dosa dan yakin dosanya itu akan dihapuskan oleh Allah karena kita telah menyerukan orang-orang untuk berbuat baik. Ini merupakan salah satu tipu muslihat syetan dan telah salah memahami dan bersikap sembrono. Konsekuensi buruk itu harus diterima oleh orang-orang yang beramal tanpa disadari ilmu tentang amalnya.

Dan alasan yang kedua yang menyebabkan ilmu lebih didahulukan karena ilmu yang bermanfaat itu membuahkan perasaan takut kepada Allah dan segan terhadap-Nya. Orang yang tidak mengenal Allah secara benar, tidak akan segan, hormat dan takut kepada-Nya. Maka dengan ilmu itu seorang hamba mengetahui dan mengenal-Nya, mengagungkan-Nya dan segan terhadap-Nya. Ilmu itu membuahkan ketaatan secara keseluruhan dan membendung kemaksiatan seluruhnya, oleh karena itu hendaknya kita semua mencari ilmu tersebut. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita semua bimbingan sebelum segala sesuatunya menyibukan kita semua.

Oleh: Taufik ilham

Sumber : Kitab Minhajul Abidin

Pictur by googleusercontent.com

Diantara Khauf Dan Raja’

Pada saat pengajian kitab Minhajul Abidin (5/12) karya Imam Ghozali yang diampu oleh KH. M. Munawwar Ahmad selaku pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L, beliau menjelaskan tentang “Rasa Takut dan Harapan: Jalan Tengah yang Menyelamatkan” hendaknya berhati-hati dan waspada ketika menempuh tahapan perjalanan ini yakni rasa takut dan harapan, karena perjalanan ini menuntut ketelitian ekstra karena jalannya sangat berbahanya yang berada diantara dua lembah yang sulit dilalui. Yang pertama yaitu jalan merasa aman dan bebas dari rasa takut (berani), yang kedua jalan keputus-asaan. Sebagai pelaku jalan ibadah harus menjaga keseimbangan antara rasa takut dan harapan jangan hanya bersandar pada salah satu jalan saja dan mengabaikan jalan lainnya, sebab jika harapan itu menjadi dominan kita bisa tersasar ke jalan rasa aman yang membuat merasa aman melakukan apa saja dan terbebas dari rasa takut.

Sebaliknya jika rasa takut yang lebih dominan kita bisa tersesat ke jalan keputus-asaan dimana kita akan kehilangan harapan. Disisi lain jika seorang hamba berjalan diantara rasa takut dan harapan serta berpegang keduanya secara bersamaan maka itu adalah jalan yang adil dan lurus, yang mana jalan tersebut merupakan jalan para wali Allah dan orang-orang pilihan-Nya. Dari penjelasan diatas kita tahu bahwa dalam tahapan perjalanan ini terdapat tiga jalan utama, yaitu :

1. Jalan merasa aman dan bebas dari rasa takut

2. Jalan keputus-asaan

3. Jalan rasa takut dan harapan (Khauf dan Raja’) yang terbentang diantara jalan pertama dan kedua

            Jika kita berada di jalan pertama (jalan rasa aman dan bebas dari rasa takut) maka kita hanya akan melihat kemurahan hati dan ampunan Allah yang tak terbatas, kedermawanan-Nya, terbebas dari rasa takut dan khwatir terhadap apapun, maka dengan bergantung pada ampunan-Nya ataupun berada pada jalan pertama ini kita akan menjadi hamba yang tak kenal rasa takut dan tak perlu menjaga diri.

            Sebaliknya jika kita mengambil jalan yang kedua yaitu jalan keputus-asaan kita hanya akan melihat kerasnya hukuman Allah kepada siapa saja yang bersalah termasuk kesalahan-kesalahan kecil, pengawasannya yang begitu ketat, sehingga hampir-hampir tidak ada kesempatan untuk “Berharap” pada-Nya dan akhirnya kita hanya merasa putus asa dan menyerah. Seperti yang telah diungkapkan oleh banyak orang shaleh dan ahli ibadah bila “Harapan” lebih dominan maka kita bisa masuk kedalam sekte murji’ah yang menyimpang, sedangkan bilamana “Rasa takut” nya yang lebih dominan maka kita bisa terjerumus menjadi seorang khuramiyah atau khawarij.

            Oleh karena itu hendaknya kita jangan hanya melihat pada rahmat dan ampunan Allah yang maha luas saja lalu merasa aman dengan semua itu. Jangan pula hanya melihat pada beratnya hukuman Allah dan kewaspadaannya terhadap kesalahan seorang hamba sekecil apapun sehingga menyerah dan putus asa. Akan tetapi hendaknya kita mengambil jalan tengah atau melihat keduanya secara bersamaan diantara kedua jalan tersebut. Dengan menempuh jalan tengan diantara kedua jalan tersebut Allah menjamin hambanya akan meraih kesuksesan di dunia maupun di akhirat, jalan tersebut memang sulit untuk dilalui namun jalan tersebut merupakan jalan yang lurus dan aman dibandingkan hanya memilih salah satu diantara keduanya.

Oleh : Taufik Ilham

Sumber : Kitab Minhajul Abidin

Picture by sufipathoflove.files.wordpress.com

Finding A Deliver Order Bride-to-be

Mail order brides’ expertise have become quite common these days. Persons do not always like to wait for all their love to arrive knocking on their doors. In the event you too really want to experience a diverse kind of marriage, you should try this option. The good thing is that you do not need to spend much time or perhaps money on locating a suitable spouse. All you need to understand how to find a snail mail order woman is in the finger ideas.

Firstly, you can subscribe on one of the numerous mail theonlybrides.com order bride-to-be websites. These kinds of websites provide quick service to married people who want to aquire a change of scene. They feature live support by fixing your search and help you receive registered on a single of the many web directories. You can easily register on these websites and begin looking for your perfect life-partners.

The next approach you can choose a mail order bride should be to browse through the publication. The more popular papers tend to write articles regarding mail order brides. It will help people have a much better idea about the presence of these products and services and the different types of people who utilize them. When looking for a star of the event, these articles can be quite helpful.

The additional way of trying to find the perfect bride-to-be is through casual internet dating websites. Casual dating is when people use the internet, forums, and online communities for everyday dating requirements. Most of these sites have a search feature in order to people deal with the background of people who show up interesting. These sites enable birdes-to-be to state certain standards such as years, physical appearance, and education so that they acquire matched up with a particular group of individuals. This is a very effective way of locating a mail-order star of the wedding as most of these casual internet dating sites cater to offshore brides.

These are each of the main ways people will find all mail order brides. If you are certainly not interested in formal internet dating methods, you might opt to go for informal dating sites. While you might not have a whole lot of success with these websites, you will have a number of fun as you try to find anyone who is best for you.

Finding a bride today has become easier due to the internet. Before, you will need to spend a lot of time going through completely different newspapers or mags, browsing users on internet dating sites, and communicating with people who are thinking about the same thing when you are. With the help of the world wide web, you can remove all these problems and find email order wedding brides in no time at all.

Perjumpaan Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir AS

Oleh: Rizaldi Rais Handayani

Musa As dikenal sebagai salah satu jajaran rasul papan atas. Iya benar, rasul ulul azmi. Beliau merupakan anak angkat Fir’aun dan Asiyah, istrinya. Hidup kira-kira 1393 tahun sebelum masehi.

Kisah ini bermula tatkala seorang kaumnya bertanya kepada Musa As : “Wahai Nabiyullah, adakah hamba lain yang lebih alim darimu?”

“Tidak ada” jawab Musa dengan percaya diri.           

Nampaknya suara Musa As ini menggema ke seluruh penjuru langit. Ke-Aku-an Musa As ini membuat Tuhan pun menegurnya, lantas mengutus Jibril untuk memberitahunya.

“Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah meletakkan ilmu-Nya?”

“Sesungguhnya Allah mempunyai seorang hamba di majma’al bahrain (pertemuan dua laut) yang lebih alim darimu”.

Hal ini sontak membuat Musa As tersadar. Ia pun bertekad menemui hamba Allah lain yang lebih alim tadi. Musa As lantas bertanya kepada Jibril. Bagaimana bisa aku menemuinya, wahai Jibril? Kemudian Allah memberikan mandat kepadanya untuk membawa seekor ikan. Ketika ikan itu hidup dan berjalan ke lautan, maka dia akan menemukan hamba lain tersebut.

Musa As ditemani santri muda nya, bergegas pergi dengan membawa ikan seperti yang diperintahkan Allah. Menurut beberapa catatan, santri muda itu bernama Yusya’ bin Nun, yang kelak di suatu hari juga akan menjadi nabi.

Singkat cerita, ikan tadi mulai hidup dan bergerak menuju lautan ketika keduanya sedang beristirahat. Yusya yang melihat kejadian itu lupa untuk memberitahu Musa As. Setelahnya, mereka melanjutkan perjalanan.

Ketika Musa As bertanya kepada Yusya perihal menghilangnya ikan yang mereka bawa, barulah Yusya bercerita. Mereka pun berbalik arah, dan menuju tempat peristirahatan tadi.

Benar saja, disana mereka bisa menemui hamba yang disebutkan oleh Allah. Hamba itu tidak lain adalah Khidir As. Kisah ini diabadikan dengan epic dalam Surah Kahfi ayat 65:

“Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami”

Lantas terjadi dialog diantara Musa As dan Khidir As, antaralain permohonan Musa As untuk menjadi murid dari Khidir As dan ikut menemaninya kemanapun pergi.

Beliau, Khidir As, sempat menolak dan mengatakan bahwa Musa As tidak akan bersabar dengannya. Namun Musa As kembali memohon kepada khidir As. Permohonan Musa As meluluhkan hati Khidir As, beliaupun menerimanya.

Perjalanan mereka pun dimulai. Kala itu, Khidir As melakukan perbuatan-perbuatan nyeleneh (istilah kerennya Khawariqul Adat), yang menurut Musa As menyalahi syariat.

Mulai dari melubangi kapal yang ditumpanginya bersama Musa As, kemudian membunuh anak kecil, serta menegakkan kembali tembok rumah yang akan runtuh. Memang menjadi tabiat Musa a.s, beliau banyak berkomentar tiap kali Khidir as melakukan Khowariqul Adat.

Perkataan Khidir As ketika pertama kali bertemu dengan Musa As terbukti benar, bahwa Musa tidak akan bersabar dengannya.

Barulah di akhir perjumpaan diterangkan oleh Khidir As, hikmah-hikmah dibalik perbuatannya itu, dan membuat Musa As lagi-lagi tersadar.

Mas Antok Agusta, penulis di alif.id, berkomentar mengenai kisah epic yang dipenuhi hal-hal di luar nalar ini :

“Kisah perjumpaan Musa As dan Khidir As berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.”

“Ilmu Musa yang berlandaskan syariat, sehingga menjadi bingung ketika menghadapi ilmu Khidir yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Alquran telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada “cemburu” dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.”

Walllahu a’lam bi al-shawab

Sumber gambar: Islami.co

Mengeluh Itu Boleh Nggak, Sih?

Oleh: Chanif Ainun Naim

Di dalam hidup, kita sering mengalami hal-hal yang menyedihkan. Terkadang, sesuatu yang kita alami tidak sesuai yang kita harapkan. Lalu, reaksinya, kita mengeluhkan itu entah kepada siapaun. Yang menjadi pertanyaan, sebenarnya, mengeluh itu boleh nggak sih? Kepada siapa kita harus mengeluh? Dalam kitab Minhaj al-‘Abidin, Imam al-Ghazali berkata: “kami meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda dalam hadits qudsi, Allah bersabda: ‘siapa yang tidak ridha dengan qadla -Ku, dan tidak sabar atas ujian dari-Ku, dan tidak bersyukur atas nikmat dari-Ku, maka carilah tuhan selain Aku”.

وروينا أن رسول الله ﷺ قال في حديث قدسي عن رب العالمين: “من لم يرض بقضائي، ولم يصبر على بلائي ولم يشكر نعمائي فليتخذ إلها سوائي”.

Al-Ghazali kemudian menceritakan bahwa ada seorang nabi mengeluh atas apa yang dia alami kepada Allah. Lalu Allah memberikan wahyu kepada nabi itu: “apa kamu kesal kepada-Ku, padahal Aku bukanlah dzat yang pantas dicaci? Seperti iki kelakuanmu? Kenapa kamu membenci keputusan-Ku kepadamu? Apa kamu ingin Aku merubah dunia untuk memenuhi keinginanmu? Atau aku ubah lauh mahfudz karena kamu? Lalu, Aku memutuskan sesuatu atas keinginanmu, bukan keinginan-Ku? Lalu yang terjadi adalah apa yang kamu sukai, bukan yang Aku sukai? Maka, demi keagungan-Ku, Aku bersumpah, kalau sekali lagi hal ini terbesit lagi di hatimu, maka sungguh akan kulepas jubah kenabianmu, kumasukkan kamu ke neraka dan Aku tidak peduli!”.

Dari kutipan di atas, tentang apa yang disampaikan oleh Al-Ghazali, mungkin beberapa teman akan bertanya-tanya, “kok begitu ya? Bukannya hanya kepada Allah tempat mengadu?” Ya, memang demikian. Hanya kepada Allah semata tempat mengadukan segala duka.

Jika kita melihat dhahirul lafdzi dari hadits qudsi tersebut, maka mafhum al-lafdzi-nya adalah: “yang tidak diperbolehkan adalah tentang benci dengan takdirnya. Lalu, seakan-akan berkata “seharusnya saya tidak begini, Ya Allah, seandainya saya begini, niscaya saya akan demikian, Ya Allah”. Kesan yang timbul dari mengeluh yang demikian adalah seperti “mengatur” Allah. Hal semacam inilah yang tidak diperbolehkan.

Lalu, adakah contoh bentuk pengaduan kesedihan kepada Allah yang dapat kita jadikan ‘ibrah? Ada, diambil dari  kisah Nabi Yaqub yang diabadikan dalam Q.S. Yusuf (12:86):

“قالَ إِنَّما أَشْكُوا بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ ما لا تَعْلَمُونَ” [يوسف: 86 ].

Artinya: Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui. (Q.S. Yusuf, 12:86).

Ibnu ‘Ajibah, seorang sufi tarekat al-Darqawiyah dari Maroko, negeri para sufi, yang menulis buku tafsir dengan corak sufistik berjudul “Al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid” menuturkan, bahwa ayat tersebut menunjukkan bahwa sedih dan menagis itu boleh dan sangat manusiawi. Sebab, sangat sedikit orang yang bisa menahan dirinya ketika ditimpa kesedihan. Rasulullah juga pernah menangis. Tangis kesedihan Rasulullah tersebut terekam dalam sebuah riwayat yang menyebut: “Rasulullah bersabda: ‘hati bisa bersedih, mata bisa menangis, tapi aku tidak berucap kecuali apa yang diridhai Tuhanku.”

وفيه دليل على جواز التأسف والبكاء عند التفجع. ولعل أمثال ذلك لا يدخل تحت التكليف، فإنه قلَّ من يملك نفسه عند الشدائد، وقد بكى رسول الله صلى الله عليه وسلّم وقال: «القلْبُ يَحْزَنُ، والعَيْنُ تَدمَعُ، ولا نَقُولُ إلاَّ ما يُرْضِي رَبَّنا، وإنَّا على فِراقِكَ يا إبراهِيمُ لَمَحْزُونون» .

]ابن عجيبة، البحر المديد في تفسير القرآن المجيد، ٦٢٠/٢]

Selanjutnya, dalam menafsirkan kata “innama asyku batstsi wa huzni ilallah”, Ibnu ‘Ajibah menuturkan bahwa Nabi Yaqub hanya mengadukan kesusahan dan kesedihannya yang tidak tertahankan karena kehilangan Nabi Yusuf, hanya kepada Allah, bukan kepada siapapun selain Allah. Menurut Ibnu ‘Ajibah, hal yang demikian bukanlah sebuah celaan kepada apa yang terjadi, tetapi menunjukkan bahwa Nabi Yaqub hanya membutuhkan Allah, serta lemah di hadapan-Nya. Pengaduan diri Nabi Ya’qub kepada Allah yang demikian ini adalah terpuji.

إِنَّما أَشْكُوا بَثِّي، أي: شدة همي حُزْنِي الذي لاصبر عليه، لَى اللَّهِ لا إلى أحد منكم ولا غيركم فَخَلّوني وشِكَايتي، فلست مِمَّن يجزع ويَضْجَر فيستحق التعنيف، وإنما أشكو إلى الله، ولا تعنيف فيه لأن فيه إظهار الفقر، والعجز بين يديه، وهو محمود.

Ayat selanjutnya, Nabi Ya’qub mengatakan bahwa beliau lebih mengetahui sesuatu dari Allah, apa yang tidak diketahui oleh anak-anaknya yang lain. Ibnu ‘Ajibah menafsirkan ayat tersebut bahwa yang dimaksud dengan sesuatu yang diketahui oleh Nabi Yaqub adalah: kelembutan, belas kasih, dan kasih sayang Allah, sehingga Nabi Ya’qub memantapkan persangkaan baik (husnudzhan) kepada Allah, kuatnya pengharapan kepada-Nya dan kesadaran bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pengharapan beliau.

أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ ما لا تَعْلَمُون، أي: أعلم من لطف الله ورأفته ورحمته، ما يوجب حسن ظني وقوة رجائي، وأنه لا يخيب دعائي،

]ابن عجيبة، البحر المديد في تفسير القرآن المجيد، ٦٢١/٢[

Sebagai penutup dalam menafsirkan rangkaian ayat surat Yusuf tersebut, Ibnu ‘Ajibah menggarisbawahi hal yang paling penting untuk diketahui. Ketika seseorang dalam hatinya telah merasa cukup dengan Allah, maka dia tidak akan berduka mendalam, sebab dia telah memperoleh segalanya (dari Allah) dan tidak kehilangan apapun. Perasaan cukup hanya kepada Allah itu nyata adanya, seperti yang dirasakan oleh para ‘arif billah.

فإذا حصل للقلب الغنى بالله لم يتأسف على شيء، ولم يحزن على شيء لأنه حاز كل شيء، ولم يفته شيء.

Terakhir, Ibnu ‘Ajibah menyampaikan bahwa ayat “innama asyku batstsi wa huzni ilallah” mengisyaratkan adanya upaya untuk menghilangkan rasa butuh kepada makhluk, mencukupkan diri pada Allah, serta tidak mengeluh kepada makhluk atas apa yang terjadi adalah salah satu rukun tarekat tasawuf, bahkan hal tersebut adalah inti dari tasawuf.

وهذا أمر محقق، مذوق عند العارفين أهل الغنى بالله. وقوله: (إنما أشكو بثي وحزني إلى الله) : فيه رفع الهمة عن الخلق، والاكتفاء بالملك الحق، وعدم الشكوى فيما ينزل إلى الخلق.. وهو ركن من أركان طريق التصوف، بل هو عين التصوف. وبالله التوفيق

]ابن عجيبة، البحر المديد في تفسير القرآن المجيد، ٦٢٢/٢ [

Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq.

Image by Kompasiana.com

Syarat-syarat dan Tata Cara Tayamum

Thoharoh atau bersuci merupakan bagian penting dalam prosesi ibadah umat muslim, terutama karena bersuci menjadi syarat sahnya sebuah ibadah wajib dalam keseharian, yakni salat lima waktu. Sebelum melaksanakan salat seorang muslim diwajibkan suci hadas serta suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Salah satu alat bersuci yang sering digunakan adalah air. Namun dalam kondisi tertentu fiqih Islam memberikan jalan keluar atau pengganti dalam bersuci yakni dengan melakukan Tayamum.

Sumber https://www.youtube.com/watch?v=I7BDUeqcsGE

Kisah Uwais Al-Qarni dan Seorang Rahib yang Bijak

Suatu hari Uwais Al-Qarni dalam sebuah perjalanan melewati sebuah kampung. Di dalamnya ia menemukan seorang rahib tua yang pembawaannya begitu tenang dan bicara teratur. Uwais Al-Qarni tidak melewatkan kesempatan baik tersebut.

Ia bertanya kepada rahib tersebut soal anak tangga pertama yang harus dipijak oleh seorang yang menapaki jalan ibadah. Uwais Al-Qarni benar-benar ingin mengetahui pandangan rahib tua dan bijaksana tersebut. “Apakah derajat pertama yang akan ditempati seorang murid (orang yang ingin bersuluk)?” Rahib itu menjawab, “mengembalikan hak orang yang dizalimi dan meringankan punggung dari hak-hak orang lain karena amal seorang hamba tidak akan naik ke langit selagi ia masih memiliki tanggungan hak orang lain atau hak orang orang yang terzalimi.”

Uwais Al-Qarni adalah pemuda saleh yang tinggal di Yaman. Ia pernah menempuh perjalanan dari Yaman menuju Madinah untuk menemui Rasulullah SAW. Tetapi Rasulullah sedang keluar kota untuk suatu kepentingan yang entah sampai kapan kembali pulang. Uwais Al-Qarni terpaksa meninggalkan Kota Madinah untuk menuju kampong halaman tanpa sempat bertemu dengan Rasulullah SAW. Uwais tidak bisa berlama-lama di Madinah karena ibunya yang sudah tua sedang sakit di Yaman dan berpesan kepada untuk tidak berlama-lama keluar kota. *** Kisah pertemuan Uwais Al-Qarni dan rahib yang bijak dikisahkan oleh Syekh Nawawi Banten dalam Kitab Nashaihul Ibad, (Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun), halaman 4. Kisah ini diangkat terkait hadits keimanan kepada Allah dan keutamaan memberikan manfaat kepada orang lain.

Dari riwayat ini berbagai hadits terkait, Syekh Nawawi Banten menyimpulkan, “Inti semua perintah Allah berpulang pada dua hal, ketakziman kepada Allah dan kasih sayang terhadap makhluk-Nya.” Wallahu a‘lam.

Photo by islam.nu.or.id

Sumber islam.nu.or.id