Kesehatan Gigi mempengaruhi Kesunahan Bersiwak? lalu Bagaimana jika Media Bersiwak bukan seperti media umumnya?

Ilustrasi amalan bersiwak. Sumber: Sehatq.com

Dinamika Kesunahan Siwak

Selain menggunakan sikat dan pasta gigi, pada umumnya masyarakat juga menggunakan siwak untuk membersihkan gigi dan menghilangkan bau mulut dalam kehidupan sehari-hari. Siwak, menurut para ahli kesehatan, memiliki beragam manfaat dalam membersihkan dan menjaga kesehatan gigi dan mulut, seperti mencegah gigi berlubang, menyegarkan nafas, maupun menghilangkan bau mulut. Dengan itu, bersiwak sendiri dapat dikatakan sebagai upaya untuk membersihkan dan menjaga kesehatan diri.

Bahkan Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan untuk bersiwak dan merupakan salah satu kegiatan yang disukai oleh beliau. Sebagaimana sabda beliau, yang artinya: “Seandainya tidak memberatkan kepada umatku, niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak bersamaan dengan setiap kali shalat.”

Berdasarkan sabda beliau tersebut banyak diantara umat muslim membiasakan diri dengan bersiwak dengan berbagai motif. Ada beberapa yang mengikuti kesunahan bersiwak karena semata-mata cinta pada Baginda Nabi Muhammad saw. Ada pula yang bersiwak karena alasan kesehatan maupun agar bau mulutnya tidak mengganggu orang-orang disekitarnya.

Bagi beberapa orang, meskipun merutinkan diri untuk bersiwak mereka juga masih diberi ujian dengan sakit gigi yang mungkin disebabkan oleh hal lain di luar kebiasaan bersiwak. Selain itu, bertambahnya usia gigi juga menyebabkan lama-kelamaan gigi akan tanggal satu-persatu. Juga ada yang mengambil hakikat dari bersiwak yaitu membersihkan gigi sehingga menganggap membersihkan gigi dengan sesuatu seperti tusuk gigi adalah hal yang sama dengan bersiwak.

Dari penggambaran tersebut muncul beberapa pertanyaan, yaitu: apakah orang yang sedang sakit gigi tetap disunahkan untuk bersiwak? apakah orang yang ompong tetap disunahkan untuk bersiwak dan bagaimana caranya? dan apakah tusuk gigi bisa dikategorikan bersiwak?

Bersiwak Bagi Orang yang Sedang Sakit Gigi

Berdasarkan tinjauan fikih, orang yang sedang sakit gigi tetap disunahkann bersiwak, karena hukum dari bersiwak disunahkan dalam setiap keadaan selama orang tersebut tidak menggunakan siwak milik orang lain tanpa izin. Bahkan diwajibkan ketika dalam keadaan sakit gigi tersebut menyebabkan bau mulut. Hal ini sebagaimana yang disebutkan Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab I’anah Ath-Thalibin:

وتعتريه أحكام أربعة: الوجوب فيما إذا توقف عليه زوال النجاسة، أو ريح كريه في نحو جمعة، والحرمة فيما إذا استعمل سواك غيره بغير إذنه ولم يعلم رضاه، والكراهة للصائم بعد الزوال، وفيما إذا استعمله طولا في غير اللسان، والندب في كل حال.

Bersiwak terbagi menjadi empat hukum (yaitu): Wajib apabila terdapat kewajiban baginya untuk menghilangkan najis atau bau yang tidak disukai ketika melaksanakan ibadah Jumat dan sebagainya. Haram apabila menggunakan siwak orang lain dengan tanpa seizinnya dan tidak diketahui kerelaannya. Makruh bagi orang yang puasa ketika setelah tergelincirnya matahari dan ketika (alat siwak) sudah lama digunakan untuk selain mulut. Dan hukum Sunah dalam setiap keadaan [Syekh Abu Bakr Syatha, Ianah at-Thalibin, Dar al-Fikr, 1/56]

Lebih lanjut, orang yang sakit gigi juga tetap dianjurkan dan disunahkan bersiwak, selama dalam penggunaan siwak untuk membersihkan gigi atau bagian-bagian dalam mulut tidak menyebabkan dharar (bahaya). Sehingga, jika seseorang sedang sakit gigi dan pada kebiasaannya jika digunakan untuk bersiwak akan menyebabkan pendarahan, maka tindakan tersebut tidak diperbolehkan. dalam kitab Hasyiyata al-Qalyubi wa ‘umairoh disebutkan:

قوله: (السواك) أي الاستياك لأنه يطلق لغة على آلة الدلك ولو بغير سواك، وعلى استعمال الآلة ولو في غير الفم. والمراد هنا استعمالها في الفم، ولذلك عرفوه بأنه استعمال آلة مخصوصة في أجزاء الفم، وأصله الندب، ولا يخرج عنه مطلقا من حيث ذاته، وقد يخرج عنه لعارض من حيث وصفه فيحرم لنحو ضرر أو عدم إذن في سواك غيره، ويكره كما يأتي، ويجب لنحو إزالة نجاسة توقفت عليه

Perkataannya (Siwak) maksudnya adalah bersiwak, karena istilah siwak dikatakan secara bahasa (adalah penyebutan)  dari alat untuk membersihkan gigi meskipun dengan selain siwak dan mencakup penggunaan semua alat meskipun (penggunaannya) pada selain mulut. Dan yang dimaksud di sini adalah penggunaannya (alat) pada mulut, oleh karena itu para ulama memberikan pengertian siwak bahwa sesungguhnya siwak adalah menggunakan alat khusus pada bagian-bagian mulut. Hukum asal penggunaannya adalah sunnah dan tidak keluar dari hukum tersebut dari sisi dzat-nya secara mutlak. Dan terkadang keluar darinya (sunnah) karena sesuatu yang melenceng (keluar) dari sisi sifatnya. Maka haram apabila terdapat semisal bahaya atau tidak adanya izin (penggunaan) pada siwak orang lain, dimakruhkan seperti yang akan dijelaskan, dan wajib ketika semisal untuk menghilangkan najis yang terdapat di dalam mulut. [Al-Qalyubi dan Umairoh, Hasyiyata al-Qalyubi wa Umairoh, Dar al-Fikr, 1/57]

Sehingga orang yang sedang sakit gigi dapat bersiwak dengan berbagai ketentuan tergantung dari keadaan sakit giginya. Pertama, jika seseorang mengetahui bahwa menggunakan siwak menyebabkan pendarahan di mulut, maka disarankan untuk menggunakan siwak dengan lembut sebagai upaya untuk menghindari pendarahan. Kedua, jika penggunaan siwak dengan lembut tidak mencegah pendarahan, maka lebih baik tidak menggunakan siwak jika seseorang khawatir mulutnya menjadi najis.

Ada perbedaan pendapat di antara ulama mengenai penggunaan siwak jika ada cukup waktu dan seseorang memiliki air untuk membersihkan mulutnya serta mereka tidak khawatir kehilangan keutamaan takbirotul ihram dan sebagainya dari menggunakan siwak. Beberapa ulama mengizinkan penggunaan siwak dalam kondisi ini, sementara yang lain melarangnya. Namun, beberapa ulama secara tegas menyatakan larangan menggunakan siwak jika seseorang mengetahui bahwa pemakaiannya akan menyebabkan pendarahan di mulut, dan mereka tidak memiliki air untuk membilasnya, dan waktu shalatnya terbatas. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Abdul Hamid as-Syarwani:

‌ولو ‌عرف من عادته إدماء السواك لفمه استاك بلطف وإلا تركه

(قوله: وإلا) أي، وإن لم ينفع اللطف في دفع الإدماء عبارته في شرح بافضل، ويظهر أنه لو خشي تنجس فمه لم يندب لها اهـ.

Apabila diketahui pada kebiasaannya penggunaan siwak dapat melukai mulutnya maka dia (disunahkan) bersiwak dengan lembut apabila tidak maka tidak perlu bersiwak
Perkataan mushonnif “apabila tidak” maksudnya adalah apabila bersiwak dengan lembut tidak berguna untuk mencegah pendarahan ungkapan ini lebih utama. Dan jelas bahwa apabila seseorang takut mulutnya najis maka tidak disunahkan (bersiwak) baginya

وكتب عليه الكردي ما نصه وفي الإيعاب نحو ما هنا ثم قال ويحتمل خلافه إن اتسع الوقت وعنده ماء يطهر فمه ولم يخش فوات فضيلة التحرم ونحوه ثم رأيت بعضهم صرح بحرمته إذا علم من عادته أنه إذا استاك دمى فمه وليس عنده ماء يغسله به وضاق وقت الصلاة اهـ اهـ

Imam al-Kurdi menulisnya pada apa yang telah dia nyatakan dan dalam kitab al-I’ab seperti apa yang ada di sini. Kemudian dia berkata dan mungkin saja dia tidak setuju apabila terdapat luangnya waktu dan orang (yang bersiwak) memiliki air untuk membersihkan mulutnya dan dia tidak takut kehilangan waktu keutamaan takbiratul ihram dan sebagainya. [Ibn Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj wa Hawasy as-Syarwani wa al-‘Abadi, Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1/219]

Dari penjabaran ulama tersebut, maka penting bagi individu untuk memahami kondisi kesehatan ketika menggunakan siwak. Jika ada masalah kesehatan, konsultasikan dengan ahli kesehatan atau dokter yang adil.

Tidak Lazim, Begini Hukum Penggunaan Bejana dan Alat Makan Berlapis Emas dan Perak

Ilustrasi alat makan dan minum dari emas dan perak. Sumber: Umma.id

Hukum Penggunaan Bejana Emas dan Perak

Penggunaan emas dan perak sebagai alat makan agaknya dapat ditemui di hotel-hotel highclass. Hal ini terjadi dikarenakan pihak hotel ingin menyajikan makanannya dengan mewah guna menjaga kepuasan pelanggannya. Walapun tidak semua hotel demikan, penggunaan alat makan seperti silverware misalnya, sudah menjadi hal yang umum. Penggunaan silverware pada alat makan hotel ini terbuat dari logam yang berlapis stainless atau perak. Tidak berhenti di situ, adakalanya pihak hotel menggunakan alat-alat makan yang dilapisi emas. Ditambah lagi, tidak hanya alat makan, penggunaan lapisan emas atau perak ini terkadang berlaku juga pada alat-alat kamar mandi. Baik WC, bak mandi, shower, dan lain sebagainya.

Dari gambaran tersebut, pemakaian emas atau perak pada alat makan dan alat mandi terutama bak mandi menjadi suatu masalah tersendiri. Masalah ini muncul karena adanya hukum larangan melapisi emas atau perak pada alat makan, dan bejana air yang digunakan untuk bersuci. Lantas bagaimana hukum orang yang makan dari alat makan yang dilapisi emas atau perak? Dan apa hukum orang yang bersuci menggunakan bejana yang dilapisi emas atau perak tersebut?

Makanan dan Minuman yang Disajikan Menggunakan Alat Makan yang Berlapis Emas

Makanan atau minuman yang disajikan menggunakan alat makan berlapis emas tidak berubah hukumnya, selagi makanan itu halal maka tidak ada masalah. Namun, yang dilarang adalah penggunaannya (isti’mal-nya). Syeikh Syihabuddin Ar-Romli mengatakan dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj :

نعم الطهارة منه صحيحة والمأكول ونحوه حلال؛ لأن التحريم للاستعمال لا لخصوص ما ذكر.

Benar, sah bersuci menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak, dan makanan yang dimakan atau semacamnya tetap dihukumi halal. Karena yang diharamkan adalah penggunaannya, bukan selainnya yang tidak disebutkan” (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Juz 1, Hal :102).

Hukum makan menggunakan alat-alat makan yang dilapisi emas ini adalah makruh tahrim, tergantung seberapa banyak kadar emas yang terkandung dalam alat-alat makan tersebut. Apabila kandungan emasnya sedikit maka diperbolehkan, dan apabila kandungan emasnya banyak maka haram makan menggunakan alat tersebut kecuali adanya darurat. Kandungan emas dapat diukur dengan memanaskan wadah tersebut. Apabila ada setelah dipanaskan ada bagian yang terpisah maka kadar emas tersebut banyak, apabila tidak maka sebaliknya. Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj :

فيحل استعمال مموه من ذلك بذهب لا يحصل منه شيء بالعرض على النار سم عبارة البجيرمي وحاصل مسألة التمويه أن فعله حرام مطلقا حتى في حلي النساء، وأما استعمال ‌المموه فإن كان لا يتحلل منه شيء بالعرض على النار حل مطلقا

Diperbolehkan menggunakan bejana yang dilapisi emas yang ketika emas itu dipanaskan tidak ada bagian yang terpisah menurut Imam Bujarami. Adapun kesimpulannya adalah perbuatan melapisi emas dihukumi haram secara mutlak bahkan pada perhiasan wanita. Adapun menggunakan wadah yang berlapis emas dihukumi halal secara mutlak selagi tidak ada sesuatu yang terpisah dari wadah tersebut ketika dipanaskan menggunakan api”. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, juz 1, hal :122)

Penggunaan alat makan yang dilapisi emas diperbolehkan karena memang tidak adanya peralatan lain yang tidak dilapisi emas. Jika ada, maka haram menggunakan alat-alat makan berlapis emas untuk makan dan minum.

Mengungkap Kontroversi dalam Thrifting Online dengan Kerancuan Komposisi Barang

Ilustrasi kegiatan Thrifting Sepatu. Sumber: Harianhaluan.com

Bagaimana Hukum Menggunakan Pakaian yang Terbuat dari Bahan yang Najis?

Maraknya thrifting atau jual beli barang bekas dengan tujuan untuk dipakai kembali nampaknya menjadi kegiatan yang cukup diminati oleh masyarakat Indonesia saat ini. Kegiatan thrifting ini selain membuka jalan usaha bagi pelaku bisnis juga memberikan alternatif bagi konsumen untuk mendapatkan barang bekas yang branded yang terbilang masih bagus. Kendati demikian, maraknya thrifting ini banyak barang bekas seperti pakaian yang terbuat dari bahan yang beragam. Ada pakaian yang memang terbuat dari kulit hewan yang suci dan ada yang terbuat dari kulit hewan yang najis.

Dari gambaran tersebut, kesucian pakaian yang dibeli kemudian digunakan kian dipertanyakan. Karena kesucian dari pakaian ini tentu akan berpengaruh kepada orang yang beribadah. Sholat misalnya, dalam syarat sah shalat. Di antara pertanyaan yang muncul dan akan dibahas adalah bagaimana hukum kesucian pakaian tersebut jika tidak diketahui asalnya? dan apa hukum penggunaan pakaian yang di dalamnya terkandung bahan yang najis?

Kesucian Pakaian yang Tidak Diketahui Bahannya.

Ulama Syafi’iyah perihal kesucian pakaian bagi orang yang tidak tahu asal-usul dari bahan apa pakaian yang ia gunakan, apakah berasal dari kulit hewan yang suci atau berasal dari kulit hewan yang najis, memiliki perbedaan pendapat (khilafiyyah). Perbedaan ini didasarkan dengan apa kulit hewan yang belum diketahui asal-usulnya itu di-qiyas-kan.

Pertama, jika kulit hewan disamakan dengan daging, maka kulit hewan tersebut dihukumi najis. Kulit hewan dihukumi najis karena adanya keraguan terhadap asal-usul dari hewan apa kulit tersebut. Jika tidak diragukan asal-usulnya, maka kulit dan daging dihukumi suci tergantung bagaimana cara penyembelihannya. Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj mengatakan :

والشعر المشكوك في انتتافه من مأكول بأن الأصل في الشعر الطهارة وفي اللحم عدم التذكية اهـ. ومن المعلوم أن الجلد كاللحم؛ لأن طهارة كل منهما وحل تناوله متوقف على التذكية فعند الشك فيها الأصل عدمه فتبين ما في كلام الشارح.

Bulu hewan yang boleh dimakan yang diragukan pencabutan bulunya hukum asalnya adalah suci. Sedangkan daging hukumnya seperti daging dari hewan yang tidak disembelih. Dan dapat diketahui bahwa kulit dihukumi seperti daging. Karena keduanya dapat menjadi suci dan halal dimakan tergantung pada penyembelihannya. Apabila diragukan penyembelihannya maka hukumnya sesuai asalnya yaitu tidak adanya penyembelihan. Sehingga perkataaan pen-syarah telah menjadi jelas”. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz 1, Hal : 308).

Kemudian yang kedua, jika kulit hewan belum diketahui asal-usulnya maka terdapat dua pendapat yakni dilarang dan dibolehkan. Adapun jika kulit hewan disamakan dengan bulu maka salah satu dari khilafiyah mengatakan dibolehkan, sehingga dapat dihukumi suci. Imam Mawardi dalam kitab al-Hawi al Kabir mengatakan :

وَإِنْ شَكَّ فَلَمْ يَعْلَمْ أَمِنْ شَعْرِ مَأْكُولٍ أَوْ غَيْرِ مَأْكُولٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي أُصُولِ الْأَشْيَاءِ هَلْ هِيَ عَلَى الْحَظْرِ أَوْ عَلَى الْإِبَاحَةِ : إِنَّ الْأَشْيَاءَ فِي أُصُولِهَا عَلَى الْحَظْرِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ نَجِسًا ، وَإِنْ قِيلَ . إِنَّهَا عَلَى الْإِبَاحَةِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ طَاهِرًا

Apabila ragu dan tidak diketahui apakah bulu hewan itu berasal dari hewan yang boleh dimakan atau tidak maka terdapat dua pendapat menurut golongan kita (Syafiiyyah) dalam asalnya segala sesuatu, apakah termasuk dalam sesuatu yang dilarang atau diperbolehkan. Jika hukum asal dari sesuatu itu larangan maka bulu tersebut dihukumi najis, dan jika dikatakan hukum asal dari segala sesuatu itu boleh maka bulu tersebut dihukumi suci”. (Kitab al-Hawi al-Kabir, Juz 1, Hal :102)

Ternyata Ada Makmum Masbuq Hakiki dan Masbuq Hukmi

Qiroatul al-fatihah (membaca al-fatihah) adalah salah satu rukun salat yang wajib dikerjakan oleh setiap musholli. Qiroatul al-fatihah hanya bisa gugur pada rakaat makmum masbuq. Adapun makmum masbuq, maka seluruh qiroatul al-fatihah atau sebagiannya kemungkinan bisa gugur dan ditanggung imam. Sedangkan al-fatihah bagi makmum muwafiq (kebalikan makmum masbuq) harus dibaca secara keseluruhan setiap raka’atnya. Untuk mengetahui status makmum dalam suatu raka’at salat, apakah masbuq atau muwafiq maka perlu dijelaskan definisi dari makmum masbuq dan muwafiq. Berikut ini penjelasan dari keduanya:

Makmum masbuq adalah makmum yang ketika bersama imam tidak menjumpai durasi waktu yang mencukupi bacaan al-fatihah dengan kecepatan bacaan sedang (al-wastil al-mu’tadil). Sedangkan Makmum mufwafiq adalah kebalikan dari makmum masbuq, yaitu makmum yang ketika bersama imam menjumpai durasi waktu yang mencukupi bacaan al-fatihah dengan kecepatan sedang (al-wastil al-mu’tadil). Fokus dari kedua definisi di atas adalah batasan durasi waktu. Yang dimaksud dari durasi waktu tersebut adalah durasi waktu yang dihitung mulai awal ketika makmum sudah berdiri tegak bersama berdirinya imam sampai imam akan ruku’, bukan waktu ketika imam membaca al-fatihah ataupun waktu ketika makum membaca al-fatihah.

Adapun makmum masbuq adakalanya masbuq haqiqi seperti makmum mendapati imam telah ruku’ dan adakalnya masbuq hukmiy, seperti makmum yang terlambat berdiri menuju raka’at berikutnya karena kesulitan untuk berdiri dari sujud ketika terdesak oleh banyaknya jama’ah.[1] Maka dalam keadaan tersebut, bacaan al-fatihah bagi makmum bisa gugur keseluruhan atau sebagian dan bacaannya ditanggung oleh imam, dengan syarat si imam merupakan ahlun li at-tahammul.[2] Berdasarkan definisi di atas maka makmum masbuq tidak hanya terjadi pada raka’at pertama saja, akan tetapi makmum masbuq juga bisa terjadi pada setiap raka’at.

Referensi:

[نووي الجاوي، نهاية الزين، صفحة ٥٩]

(و) رَابِعهَا (قِرَاءَة فَاتِحَة كل رَكْعَة) فِي قِيَامهَا أَو بدله (إِلَّا رَكْعَة مَسْبُوق) بهَا حَقِيقَة كَأَن وجد الإِمَام رَاكِعا أَو حكما كَأَن زحم عَن السُّجُود فَتسقط الْفَاتِحَة أَو بَعْضهَا عَن الْقَادِر عَلَيْهَا فِي رَكْعَة مَسْبُوق وَهُوَ من لم يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة بِالنِّسْبَةِ للوسط المعتدل لَا بِالنِّسْبَةِ لقرَاءَته وَلَا لقِرَاءَة إِمَامه فَإِنَّهُ إِذا جَاءَ وَوجد الإِمَام رَاكِعا أحرم وَركع خَلفه ويتحمل عَنهُ إِمَامه الْفَاتِحَة كلهَا بِشَرْط أَن يكون أَهلا للتحمل بِأَن لَا يكون مُحدثا وَلَا فِي رَكْعَة زَائِدَة وَلَا فِي الرُّكُوع الثَّانِي من صَلَاة الْكُسُوف ,نعم إِن اطْمَأَن يَقِينا قبل رفع الإِمَام عَن أقل الرُّكُوع أدْرك الرُّكُوع وَإِن لم يطمئن أَو شكّ فِي ذَلِك فَاتَتْهُ الرَّكْعَة فيتداركها بعد سَلام إِمَامه وَإِذا جَاءَ قبل رُكُوع الإِمَام وَأحرم خَلفه وَلم يشْتَغل بِسنة كدعاء افْتِتَاح قَرَأَ مَا أمكنه من الْفَاتِحَة وَإِذا ركع إِمَامه ركع مَعَه ويتحمل عَنهُ الإِمَام بَاقِي الْفَاتِحَة إِن كَانَ أَهلا للتحمل كَمَا مر فَإِن لم يرْكَع مَعَ إِمَامه فَاتَتْهُ الرَّكْعَة فيوافق الإِمَام فِيمَا هُوَ فِيهِ وَلَا يجْرِي على نظم صَلَاة نَفسه وَلَا تبطل صلَاته إِلَّا إِذا تخلف عَن الإِمَام بركنين فعليين بِلَا عذر هَذَا إِن لم ينْو الْمُفَارقَة وَإِلَّا صَار مُنْفَردا فَيجْرِي على نظم صَلَاة نَفسه فَإِن اشْتغل بِسنة فَإِن كَانَ يظنّ أَنه يدْرك الإِمَام فِي الرُّكُوع وَأَن الِاشْتِغَال بِالسنةِ لَا يُؤَخِّرهُ عَن ذَلِك فَتبين خلاف ظَنّه وَجب عَلَيْهِ أَن يتَخَلَّف حَتَّى يَأْتِي من الْفَاتِحَة بِقدر مَا أَتَى بِهِ من السّنة فَإِذا فرغ من ذَلِك وَأدْركَ الإِمَام فِي الرُّكُوع وَاطْمَأَنَّ مَعَه يَقِينا أدْرك الرَّكْعَة وَإِلَّا فَاتَتْهُ ويتدراكها بعد سَلام إِمَامه وَإِذا رفع الإِمَام من الرُّكُوع قبل أَن يكمل الْمَأْمُوم مَا عَلَيْهِ فَاتَتْهُ الرَّكْعَة أَيْضا فَلَا يجْرِي على نظم صَلَاة نَفسه بل يُوَافق الإِمَام فِيمَا هُوَ فِيهِ بعد تَكْمِيل مَا عَلَيْهِ مَا لم يسْبق بركنين فعليين فَلَو أَرَادَ الإِمَام الْهَوِي للسُّجُود قبل أَن يكمل الْمَأْمُوم مَا عَلَيْهِ وَجب عَلَيْهِ نِيَّة الْمُفَارقَة وَإِلَّا بطلت صلَاته وَإِن كَانَ الْمَسْبُوق يظنّ أَنه لَا يدْرك الإِمَام فِي الرُّكُوع لَو اشْتغل بِالسنةِ وَمَعَ ذَلِك اشْتغل بهَا كدعاء الِافْتِتَاح فَإِنَّهُ يجب عَلَيْهِ التَّخَلُّف كَمَا مر لَكِن تجب عَلَيْهِ نِيَّة الْمُفَارقَة قبل رفع الإِمَام من الرُّكُوع وَإِلَّا حرم عَلَيْهِ وَلَا تبطل صلَاته إِلَّا إِذا تخلف بركنين فعليين بِلَا نِيَّة مُفَارقَة وَلَو اقْتدى بِإِمَام رَاكِع فَرَكَعَ وَاطْمَأَنَّ مَعَه فِي رُكُوعه وَلما أتم الرَّكْعَة وَقَامَ وجد إِمَامًا غَيره رَاكِعا فَنوى مُفَارقَة هَذَا واقتدى بِالْآخرِ وَركع وَاطْمَأَنَّ مَعَه وَهَكَذَا إِلَى آخر صلَاته جَازَ وعَلى هَذَا فَيمكن سُقُوط الْفَاتِحَة عَنهُ فِي جَمِيع الرَّكْعَات وَلَو اقْتدى بِإِمَام سريع الْقِرَاءَة على خلاف الْعَادة وَالْمَأْمُوم معتدلها وَكَانَ فِي قيام كل رَكْعَة لَا يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة من الْوسط المعتدل فَهُوَ مَسْبُوق فِي كل رَكْعَة 

[نووي الجاوي، نهاية الزين، ص ١٢٦]

(و) أما الْمَسْبُوق وَهُوَ ضد الْمُوَافق فَإِذا ركع الإِمَام قطع الْفَاتِحَة ليركع مَعَه وَسقط عَنهُ بقيتها فَإِن قَرَأَ الْفَاتِحَة ففاته الرُّكُوع مَعَ الإِمَام بِأَن لم يطمئن قبل ارْتِفَاع الإِمَام عَن أَقَله لغت ركعته إِذْ لم يدْرك مَعَ الإِمَام ركوعها فيوافقه فِيمَا هُوَ فِيهِ بعد فَلَو ركع عَامِدًا عَالما بِالتَّحْرِيمِ بطلت صلَاته وَحِينَئِذٍ كَانَ تخلفه بعد قِرَاءَة مَا أدْركهُ من الْفَاتِحَة لإتمامها بِلَا عذر وَكَانَ تخلفه بِلَا عذر بِأَن كَانَ عَامِدًا عَالما فَيكون مَكْرُوها بل تبطل صلَاته على وَجه ضَعِيف وَتبطل على الْمَذْهَب إِن سبقه الإِمَام بِتمَام ركنين فعليين هَذَا كُله إِن لم يشْتَغل الْمَسْبُوق بِسنة فَأَما (لَو اشْتغل مَسْبُوق بِسنة) كالتعوذ والافتتاح أَو سكت أَو اسْتمع قِرَاءَة الإِمَام أَو غَيره (قَرَأَ) وجوبا من الْفَاتِحَة بعد رُكُوع الإِمَام (قدرهَا) أَي قدر حُرُوف السّنة فِي ظَنّه فَيجب أَن يعد أَو يحْتَاط وَيصرف قدر الزَّمن الَّذِي سكته إِلَى قِرَاءَة مَا يَسعهُ من الْفَاتِحَة لتَقْصِيره بعدوله عَن فرض إِلَى غَيره (وَعذر) أَي من تخلف لسنة فَمَتَى ركع قبل وَفَاء مَا لزمَه عَامِدًا عَالما بطلت صلَاته وَإِلَّا لم يعْتد بِمَا فعله فَيَأْتِي بِرَكْعَة بعد سَلام إِمَامه وَمَتى ركع إِمَامه وَهُوَ متخلف لما لزمَه وَقَامَ من رُكُوعه فَاتَتْهُ الرَّكْعَة وَوَجَب مُوَافقَة الإِمَام فِي هويه للسُّجُود فَلَا يرْكَع وَإِلَّا بطلت صلَاته إِن علم وتعمد وَالْمرَاد بِكَوْنِهِ مَعْذُورًا أَنه لَا كَرَاهَة وَلَا بطلَان بتخلفه قطعا وَأَنه مُلْزم بِالْقِرَاءَةِ فَيكون مَحل بطلَان صلَاته بهوي الإِمَام للسُّجُود إِذا لم يُفَارِقهُ فِي غير هَذِه الصُّورَة لَكِن تفوته الرَّكْعَة وَلَيْسَ معنى كَونه مُتَخَلِّفًا بِعُذْر أَنه يعْطى حكم الْمَعْذُور من كل وَجه أما من تخلف لغير سنة كمن أَتَى بتسبيح بعد تحرم فَهُوَ مقصر فَإِذا فَاتَهُ الرُّكُوع فَاتَتْهُ الرَّكْعَة اتِّفَاقًا


[1] Lihat penjelasannya dalam Kitab Nihayatuz Zain, hlm. 59. Kutipan referensinya sebagai berikut:

(و) رَابِعهَا (قِرَاءَة فَاتِحَة كل رَكْعَة) فِي قِيَامهَا أَو بدله (إِلَّا رَكْعَة مَسْبُوق) بهَا حَقِيقَة كَأَن وجد الإِمَام رَاكِعا أَو حكما كَأَن زحم عَن السُّجُود فَتسقط الْفَاتِحَة أَو بَعْضهَا عَن الْقَادِر عَلَيْهَا فِي رَكْعَة مَسْبُوق وَهُوَ من لم يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة بِالنِّسْبَةِ للوسط المعتدل لَا بِالنِّسْبَةِ لقرَاءَته وَلَا لقِرَاءَة إِمَامه

[2]  Bukan merupakan imam yang berhadats, bukan pada raka’at tambahan, atau bukan pada ruku’ kedua dari salat gerhana.

Gambar dari: PDM JOGJA – Mentari Broadcasting, Oct 4, 2015

Batasan-Batasan Penghalang Ketika Shalat Berjamaah Di Masjid Dan Di Luar Masjid

Pembahasan penghalang (حائل) dalam aturan salat berjama’ah tidak terlepas dari salah satu syarat sah salat jama’ah, yaitu berkumpulnya antara makmum dan imam dalam satu tempat. Secara umum antara imam dan makmum dikatakan berada dalam satu tempat apabila antara keduanya tidak ada penghalang (حائل). Namun ada perbedaan batasan-batasan penghalang (حائل) yang berhubungan dengan tempat berja’maah antara di masjid dan di luar masjid. Berikut ini penjabarannya:

  1. Imam dan makmum di dalam masjid

Apabila imam dan makmum keduanya berjama’ah di dalam masjid, maka untuk dapat berjama’ah dengan imam disyaratkan bagi makmum adanya jalan tembus (manfadz) di dalam masjid yang memungkinkan bagi si makmum untuk berjalan menuju posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah (bukan loncat), walaupun dilakukan dengan cara berbalik badan dan berjalan mundur (ولو بازورار و انعطاف). Oleh sebab itu, apabila antara imam dan makmum yang berjama’ah dalam satu masjid, tetapi terdapat penghalang (حائل) yang dapat mencegah sampainya makmum berjalan ke posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah, walaupun penghalang tersebut tidak menghalangi si makmum untuk bisa melihat imam atau melihat makmum lain, maka dalam kondisi demikian salat jama’ahnya tidak sah.

Termasuk dalam kategori penghalang, dalam hal ini adalah kaca dan jendela. Oleh sebab itu, apabila imam dan makmum keduanya berada di dalam masjid, akan tetapi posisi makmum berada di suatu ruangan tertutup rapat oleh kaca, sedangkan imam berada di luar ruangan tersebut, maka tidak diperbolehkan bagi makmum berjama’ah di dalam ruangan tersebut dengan imam yang berada di luar ruangan, walaupun makmum bisa melihat imam dari dalam ruangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi penghalang (حائل) yang dapat menghalangi antara imam dan makmum ketika keduanya berjama’ah di dalam masjid adalah penghalang yang dapat mencegah sampainya makmum berjalan ke posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah, bukan penghalang yang mencegah si makmum untuk melihat si imam atau makmum lain yang melihat imam.

            Sebaliknya, apabila keduanya di dalam masjid dan makmum terhalang dari melihat imam, tetapi dia tidak terhalang untuk berjalan menuju posisi imam, maka salatnya jama’ahnya tetap sah. Sebab ketika imam dan makmum di dalam masjid, melihat imam bukan termasuk syarat dari salat berjama’ah. Adapun mengenai syarat ” makmum harus mengetahui gerakan imam” tidak harus dilakukan dengan cara melihat secara langsung, tetapi bisa dengan cara mendengar suara imam, atau muballigh jama’ah.[1]

  • Imam atau makmum di luar masjid

Apabila salah satu antara imam dan makmum berada di luar masjid atau keduanya berada di luar masjid, maka disyaratakan “tidak adanya penghalang (حائل) antara keduanya” sebagaimana keterangan dalam redaksi maqro’ di atas (وإن صلى الإمام في المسجد  إلخ). Adapun definisi penghalang (حائل) dalam redaksi di atas dikatagorikan menjadi dua, yaitu:

Katagori pertama        : Penghalang yang dapat mencegah makmum untuk berjalan menuju posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah tanpa berbalik badan (izwirar) atau berjalan mundur (in’ithaf). Yang termasuk dalam katagori ini adalah jendela dan kaca.

Katagori kedua           : Penghalang yang dapat mencegah makmum untuk melihat imam atau makmum lain yang melihat imam.

Oleh sebab itu, apabila salah satu dari imam atau makmum berada di tempat selain masjid, atau keduanya berada di tempat selain masjid, untuk memenuhi syarat “tidak adanya penghalang (حائل)”, maka disyaratkan harus ada jalan menerus (manfadz) menuju posisi imam yang memungkinkan bagi makmum untuk berjalan lurus tanpa berbalik badan atau tanpa berjalan mundur  (بدون ازورار و انعطاف ) dengan cara berjalan yang lumrah (misalnya, bukan loncat) dan disyaratkan juga harus bisa melihat imam atau makmum lain yang melihat imam.

Catatan : Dalam kondisi berjama’ah di luar masjid, misalnya antara makmum A dan imam terdapat jalan menerus yang memungkinkan bagi makmum A untuk menuju ke posisi imam (berjalan lurus tanpa berbalik badan atau tanpa berjalan mundur untuk menuju posisi imam dengan cara berjalan yang lumrah), tetapi makmum tidak bisa melihat imam atau makmum yang melihat imam, maka agar jama’ah makmum A bisa sah disyaratkan adanya makmum penghubung (الواقف/ الرابط) yang sekiranya si makmum pengubung tersebut bisa melihat imam atau makmum lain yang melihat imam dan juga terlihat oleh makmum A.[2]

Referensi :

[نووي الجاوي، نهاية الزين، ص ١٢٢]

(فَإِن كَانَا بِمَسْجِد) فالمدار على الْعلم بالانتقالات بطرِيق من الطّرق الْمُتَقَدّمَة وَحِينَئِذٍ (صَحَّ الِاقْتِدَاء) وَإِن بَعدت الْمسَافَة بَينهمَا وزادت على ثَلَاثمِائَة ذِرَاع وَلَا بُد من إِمْكَان الْوُصُول إِلَى الإِمَام وَلَو بازورار وانعطاف نعم لَا يضر الْبَاب المغلق وَلَا الْمَرْدُود من غير إغلاق بِالْأولَى وَالْبَاب المسمر يضر فِي الِابْتِدَاء دون الدَّوَام وَمثله مَا لَو كَانَ بسطح أَو دكة لَا مرقى لَهَا فَيضر ابْتِدَاء لَا دواما لِأَنَّهُ يغْتَفر فِي الدَّوَام مَا لَا يغْتَفر فِي الِابْتِدَاء فَلَو حَال بَينهمَا جِدَار لَا بَاب فِيهِ أَو شباك ضرّ لعدم إِمْكَان الْوُصُول وَلَو كَانَ أَحدهمَا بعلو كسطح الْمَسْجِد أَو منارته وَالْآخر بسفل كسردابه أَو بِئْر فِيهِ لَا يضر وَلَو حَال بَينهمَا نهر أَو طَرِيق قديم بِأَن سبقا وجود الْمَسْجِد بل أَو قارناه كَانَ كَمَا لَو كَانَ أَحدهمَا فِي مَسْجِد وَالْآخر فِي غَيره وَسَيَأْتِي حكمه بِخِلَاف مَا لَو كَانَ النَّهر طارئا بعد المسجدية فَلَا عِبْرَة بِهِ والمساجد المتلاصقة الَّتِي تفتح أَبْوَاب بَعْضهَا إِلَى بعض كمسجد وَاحِد

[الشربيني، محمد و الباجوري، الأقناع وبأسفله تقريرالأوحاد – ١/ص ١٥٧]

(قوله ولا حائل) المراد به ما يمنع مرورا وإن لم يمنع الرؤية كالشباك أو ما يمنع الرؤية وإن لم يمنع المرور كالباب المردود بخلاف الحائل الذي يشترط نفيه في المسجد فالمراد به ما يمنع الوصول إلى الإمام وإن لم يمنع الرؤية فيضر الشباك فإن لم يمنع الوصول لم يضر وإن منع الرؤية كالباب المردود أو المغلق ولذلك قال فيما تقدم سواء أغلقت أبوابها أم لا ولا يضر إلا التسمير في الابتداء أما في الدوام فلا يضر خلافا لما في الحاشية ومثل ذلك زوال سلم الدكة وأما غلق الباب في غير المسجد فيضر مطلقا وأما رده فيضر في الابتداء دون الأثناء فيكون قول الشارح نعم لو كان الباب مفتوحا وقت الإحرام فانغلق لم يضر ضعيفا على هذا ولذلك قال بعضهم المراد بالغلق الرد

[الكاف، التقريرات السديدة في المسائل المفيد = دار العلوم الإسلامية، 20٠/١]

وإذا كانا في المسجد فيزاد شرط وهو :

– أن لا يكون هناك حائل يمنع وصول المأموم إلى الإمام، أي: أن يمكن للمأموم الوصول إلى الإمام ولو بازورار و انعطاف، بأن يولي ظهره اللقبلة أثناءالمعتاد، فلا يضر ذلك . مروره بالمشي

وإذا كانا خارج المسجد، أو أحدهما بالمسجد والآخر خارج المسجد ،

فيزاد ثلاثه شروط :

الأول: أن لا يكون هناك حائل يمنع الرؤية ، أي : أن يرى المأموم الإمام أو يرى مأموما آخر يرى الإمام .

الثاني : أن يمكن الوصول للإمام بدون ازورار و انعطاف، فلو كان هناك حائل يمنع الوصول مطلقا، أو يمكن الوصول ولك  بازورار و انعطاف، فلا تصح الجماعة .

الثالث : أن لا يزيد ما بينهما على ثلاث مئة ذراع .

– وإذا كانا داخل المسجد: فلا تضر الزيادة على ٣٠٠ ذراع (مئة وخمسين مترا) تقريبا .

– وإذا كانا خارج المسجد: فتضر الزيادة على ۳۰۰ ذراع

 -وإذا كان أحدهما داخل المسجد والآخر خارجه، فتضر أيضا الزيادة على ۳۰۰ ذراع، وتحسب المسافه هنا من آخر المسجد، لا من آخر صف في المسجد

و مسائل من شروط الجماعة :

ا- الباب المغلق في المسجد لا يضر، وأما المستمر فیضر

۲ – إذا كان بينهما حائل يمنع المرور – کزجاج في المسجد فیضر وإن علم المأموم انتقالات إمامه .

٣- لا تشترط الرؤية داخل المسجد .

٤ – لا يضر تخلل الشارع بين الإمام والمأموم، وكذلك النهر الكبير ، ولا البحر بين سفينتين .

ه- وإذا كان المأموم في العلو والإمام في الأسفل أو العكس اشترطت الشروط الماضية لصحة الجماعة على المعتمد، وفي قول : يشترط محاذاة أحدهما للآخر بحيث إذا مشى الأسفل إلى جهة الأعلى مع فرض اعتدال قامته لأصاب برأسه قدمي الأعلى، هذا في غير المسجد، وأما في المسجد فلا يشترط ذلك على القولين

[البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين- ٢ /ص٣٢-٣٣]

(وقوله: اجتماعهما) حاصل الكلام على ما يتعلق بهذا الشرط، أن لاجتماعهما أربع حالات.

الحالة الأولى: أن يجتمعا في مسجد.

الحالة الثانية: أن يجتمعا في غيره، وهذه تحتها أربع صور، وذلك لأنهما إما أن يجتمعا في فضاء، أو في بناء، أو يكون الإمام في بناء والمأموم في فضاء، أو بالعكس.

الحالة الثالثة: أن يكون الإمام في المسجد، والمأموم خارجه.

الحالة الرابعة: بعكس هذه.

ففي الأولى يصح الاقتداء مطلقا وإن بعدت المسافة بينهما، وحالت أبنية واختلفت، كأن كان الإمام في سطح أو بئر، والمأموم في غير ذلك. لكن يشترط فيها أن تكون نافذة إلى المسجد نفوذا لا يمنع الاستطراق عادة، كأن كان في البئر مرقى يتوصل به إلى الإمام من غير مشقة. ولا يشترط هنا عدم الازورار والانعطاف، ولا يكفي الاستطراق من فرجة في أعلى البناء، لأن المدار على الاستطراق العادي. ولا يضر غلق أبوابها، ولو ضاع مفتاح الغلق، بخلاف التسمير، فيضر. وعلم أنه يضر الشباك الكائن في جدار المسجد، فلا تصح الصلاة من خلفه، لأنه يمنع الاستطراق عادة. وخالف الأسنوي فقال: لا يضر، لأن جدار المسجد منه. وهو ضعيف، لكن محل الضرر في الشباك، إذا لم يكن الجدار الذي هو فيه متصلا بباب المسجد، ويمكن الوصول منه إلى الإمام من غير ازورار وانعطاف. فإن كان كذلك فلا يضر. وقال ح ل: متى كان متصلا بما ذكر لا يضر، سواء وجد ازورار وانعطاف أو لا.

وفي الصورة الأولى من الحالة الثانية يشترط لصحة القدوة قرب المسافة بأن لا يزيد ما بينهما على ثلاثمائة ذراع.

وفي الصور الثلاث منها يشترط – زيادة على ذلك – عدم حائل يمنع مرورا أو رؤية أو وقوف واحد حذاء منفذ في الحائل إن وجد. ويشترط – في الواقف – أن يرى الإمام أو بعض من يقتدي به. وحكم هذا الوقف حكم الإمام بالنسبة لمن خلفه، فلا يحرمون قبله، ولا يسلمون قبله. وعند م ر: يشترط أن يكون ممن يصح الاقتداء به، فإن حال ما يمنع ذلك أو لم يقف واحد حذاء منفذ فيه بطلت القدوة.

وفي الحالة الثالثة والرابعة يشترط فيهما أيضا ما ذكر، من قرب المسافة، وعدم الحائل، أو وقوف واحد حذاء المنفذ.


[1] Penjelasan ini dapat dilihat dalam kitab Al-Iqna’ Fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’. Kutipan tentang definisi hail dalam masjid adalah sebagai berikut:

(قوله ولا حائل) المراد به ما يمنع مرورا وإن لم يمنع الرؤية كالشباك أو ما يمنع الرؤية وإن لم يمنع المرور كالباب المردود بخلاف الحائل الذي يشترط نفيه في المسجد فالمراد به ما يمنع الوصول إلى الإمام وإن لم يمنع الرؤية.

Untuk lebih jelasnya, silakan lihat referensi yang dicantumkan di akhir pembahasan ini.

[2] Penjelasan tentang syarat megetahui gerakan shalat imam ini sebagaimana tertera dalam redaksi kitab Fathul Qarib sebagai berikut:

(عالم بصلاته) أي الإمام بمشاهدة المأموم له أو بمشاهدته بعض صف (أجزأه) أي كفاه ذلك في صحة الاقتداء به

Photo by bp.blogspot.com

Imam Berdiri Untuk Raka’at Kelima, Apa Yang Harus Dilakukan Oleh Makmum?

Deskripsi:

Ipung sedang salat Dhuhur berjama’ah. Dia mengikuti imam dari awal mulai takbiratul ihram. Pada raka’at keempat, ternyata tiba-tiba imam bukannya melakukan duduk tahiyyat (tasyahud) akhir, melainkan berdiri kembali. Karena yakin salatnya bersama imam sudah mencapai empat raka’at, Ipung dan juga beberapa jamaah yang lain membaca tasbih untuk mengingatkan imam. Akan tetapi, imam tidak menghiraukan dan tetap berdiri kemudian menambah satu raka’at hingga salam. Demikian juga beberapa jamaah yang lain juga ada yang mengikuti imam.

PERTANYAAN:

  1. Bagaimana yang sebaiknya dilakukan Ipung menyikapi kondisi demikian?
  2. Bagaimana hukum salat si imam dalam kasus tersebut?
  3. Bagaimana hukum salat si makmum yang mengikuti imam dalam kasus tersebut?

Jawaban:

Untuk jawaban pertanyaan dari deskripsi masalah di atas, akan diuraikan sebagai berikut:

  1. Pada dasarnya, makmum tidak diperbolehkan mengikuti imam apabila dia yakin bahwa imam berdiri untuk rakaat kelima walaupun karena imamnya lupa. Dalam kasus Ipung, karena dia meyakini bahwa imam berdiri untuk rakaat kelima, maka ada 2 (dua) hal yang bisa dilakukan Ipung:
  2. Menunggu imam (intidhar) dalam kondisi duduk hingga imam menyelesaikan rakaatnya dan Ipung salam bersama imam.
  3. Berniat keluar dari jamaah shalat (mufaroqoh), sehingga Ipung melanjutkan membaca tasyahud akhir kemudian salam sendiri (tanpa menunggu imam).

Antara intidhar dan mufaraqah, diutamakan melakukan mufaraqah jamaah.[1]

Akan tetapi, bila Ipung meyakini bahwa imam berdiri untuk rakaat kelima sebab disengaja, atau Ipung meyakini bahwa dengan kondisi tersebut, imam batal shalatnya, maka Ipung wajib berniat mufaraqah, sebab salah satu syarat shalat menjadi makmum adalah meyakini sahnya shalat imam.

  • Apabila imam tidak melakukan tasyahud akhir tetapi berdiri lagi menuju rakaat kelima karena lupa, kemudian imam teringat dengan kondisinya, maka yang harus dilakukan oleh imam adalah kembali duduk untuk tasyahud akhir. Di akhir shalat, imam disunnahkan melakukan sujud sahwi karena dia melakuka gerakan salat bukan pada tempatnya karena lupa. Hukum gerakan shalat dan hal-hal yang membatalkan shalat imam sama dengan orang yang shalat sendirian (munfarid). Sehingga, hukum shalat imam yang berdiri untuk rakaat kelima diperinci sebagai berikut:
  • Apabila imam sudah berdiri untuk menambah rakaat tetapi ia ragu tentang bilangan rakaat tersebut, apakah ia berdiri untuk rakaat keempat atau kelima, maka yang harus dipegang oleh imam adalah bilangan yang diyakini, yaitu rakaat ke-empat, sehingga yang harus dilakukan oleh imam adalah tetap berdiri untuk menyelesaikan rakaat tersebut, kemudian disunnahan melakukan sujud sahwi.
  • Apabila imam berdiri untuk rakaat kelima karena disengaja, maka shalatnya batal. Begitu pula apabila imam telah berdiri untuk menambah rakaat kelima karena lupa, kemudian dia teringat (yakin/’ilm) tetapi dia tidak kembali duduk untuk melakukan tasyahud akhir maka salatnya batal.
  • Untuk pembahasan tentang status shalat makmum yang mengikuti gerakan shalat imam tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
  • Apabila makmum tidak mengetahui jumlah bilangan rakaat imam, maka dengan mengikuti imam, shalatnya tetap sah.
  • Apabila makmum mengetahui bahwa imam melakukan gerakan rakaat kelima, kemudian dia mengikuti imam, maka shalatnya batal.
  • Makmum masbuq yang mengetahui bahwa imam berdiri untuk rakaat kelima juga tidak diperbolehkan mengikuti imam. Makmum masbuq ini boleh intidhar atau mufaraqah. Apabila dia memilih intidhar maka dia menunggu imam dalam keadaan duduk tasyahud, kemudian ketika imam sudah salam, dia berdiri untuk menambah rakaatnya yang kurang.  Ketika dia memilih untuk mufaraqah, maka dia berdiri untuk melanjutkan rakaatnya yang kurang tanpa terikat dengan gerakan imam. Yang lebih utama adalah mufaraqah.
  • Makmum masbuq yang tidak mengetahui jumlah bilangan rakaat imam, sehingga dia mengikuti imam untuk rakaat kelima, shalatnya tetap sah, dan baginya rakaat tersebut dihitung satu rakaat, meskipun bagi imam rakaat tersebut tidak dihitung.

Catatan: makmum diperbolehkan megingatkan imam (i’lam) yang lupa dengan mengucapkan tasbih (subhanallah) dengan niat dzikir atau dengan niat dzikir dan niat mengingatkan (i’lam) atau dengan memutlakkan niat.[2] Apabila makmum dalam mengucapkan tasbih hanya dengan niat mengingatkan imam, maka shalat makmum batal, sebab mengeluarkan kalam yang dapat membatalkan shalat.[3]

Bagi imam, pada dasarnya tidak diperbolehkan melakukan gerakan hanya berdasarkan persangkaan kuat (ghalabatudh dhann) atau sebab diingatkan (qaul/ucapan) atau gerakan (fi’l) orang lain, kecuali jika dengan ucapan (i’lam/qaul) atau gerakan (fi’l) tersebut menimbulkan perubahan dzann (persangkaan) menjadi keyakinan (yaqin/’ilm). Perincannya adalah sebagai berikut:

  1. Menurut qaul Imam Al-Mahalli dan diikuti oleh Syaikh Ibn Al-Qasim Al-Ghazi, imam tidak diperbolehkan melakukan gerakan sebab diingatkan (qaul/ucapan) atau gerakan (fi’l) orang lain meskipun diingatkan (i’lam) oleh makmum yang mencapai bilangan banyak (adadud tawaturi, yaitu jumlah orang yang aman dari dari kebohongan), seperti jamaah banyak orang dalam shalat jumat atau 40 orang.
  2. Menurut qaul Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Al-Khathib Asy-Syirbini, imam boleh melakukan gerakan dalam shalat sebab mengikuti ucapan (i’lam/qaul) dan gerakan (fi’l) orang lain atau makmum dengan syarat mereka mencapai bilangan tawatur (‘adadut tawatur). Qaul ini adalah qaul mu’tamad.
  3. Sedangkan menurut Imam Syihabuddin Ar-Ramli, imam hanya boleh mengikuti ucapan (i’lam/qaul) makmum yang telah mencapai bilangan tawatur, tidak boleh mengikuti gerakan mereka.[4]

Referensi:

بِخِلَافِ مَا لَوْ قَامَ الْإِمَامُ إلَى خَامِسَةٍ سَاهِيًا فَإِنَّهُ يَمْتَنِعُ عَلَى الْمَأْمُومِ مُتَابَعَتُهُ وَلَا اعْتِبَارَ بِاحْتِمَالِ كَوْنِهِ قَدْ تَرَكَ رُكْنًا مِنْ رَكْعَةٍ وَلَوْ كَانَ مَسْبُوقًا؛ لِأَنَّ قِيَامَهُ لِخَامِسَةٍ غَيْرُ مَعْهُودٍ، بِخِلَافِ سُجُودِهِ فَإِنَّهُ مَعْهُودٌ لِسَهْوِ إمَامِهِ، وَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ مُفَارَقَتِهِ؛ لِيُسَلِّمَ وَحْدَهُ وَانْتِظَارِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ لِيُسَلِّمَ مَعَهُ، وَمَا وَرَدَ مِنْ مُتَابَعَةِ الصَّحَابَةِ الْمَأْمُومِينَ لَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي قِيَامِهِ لِلْخَامِسَةِ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ مَحْمُولٌ عَلَى عَدَمِ تَحَقُّقِ زِيَادَتِهَا؛ لِأَنَّ الزَّمَنَ كَانَ زَمَنَ وَحْيٍ يَحْتَمِلُ زِيَادَةَ الصَّلَاةِ وَنُقْصَانَهَا، وَلِهَذَا قَالُوا أَزِيدَ فِي الصَّلَاةِ يَا رَسُولَ اللَّهِ.

]الرملي، شمس الدين، نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج، ٨٦/٢[

(وَلَوْ اقْتَدَى مَسْبُوقٌ بِمَنْ سَهَا بَعْدَ اقْتِدَائِهِ، وَكَذَا قَبْلَهُ فِي الْأَصَحِّ) وَسَجَدَ الْإِمَامُ (فَالصَّحِيحُ) فِي الصُّورَتَيْنِ (أَنَّهُ) أَيْ الْمَسْبُوقَ (يَسْجُدُ مَعَهُ) رِعَايَةً لِلْمُتَابَعَةِ (ثُمَّ) يَسْجُدُ أَيْضًا (فِي آخِرِ صَلَاتِهِ) لِأَنَّهُ مَحَلُّ السَّهْوِ الَّذِي لَحِقَهُ، وَمُقَابِلُ الصَّحِيحِ لَا يَسْجُدُ مَعَهُ نَظَرًا إلَى أَنَّ مَوْضِعَ السُّجُودِ آخِرَ الصَّلَاةِ، وَفِي قَوْلٍ فِي الْأُولَى، وَوَجْهٌ فِي الثَّانِيَةِ يَسْجُدُ مَعَهُ مُتَابَعَةً، وَلَا يَسْجُدُ فِي آخِرِ صَلَاةِ نَفْسِهِ وَهُوَ الْمَخْرَجُ السَّابِقُ، وَفِي وَجْهٍ فِي الثَّانِيَةِ هُوَ مُقَابِلُ الْأَصَحِّ أَنَّهُ لَا يَسْجُدُ مَعَهُ وَلَا فِي آخِرِ صَلَاةِ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَحْضُرْ السَّهْوَ، وَلَوْ قَامَ إمَامُهُ لِخَامِسَةٍ نَاسِيًا فَفَارَقَهُ بَعْدَ بُلُوغِ حَدِّ الرَّاكِعِينَ لَا قَبْلَهُ سَجَدَ لِلسَّهْوِ كَالْإِمَامِ، وَلَوْ كَانَ إمَامُهُ حَنَفِيًّا فَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَسْجُدَ لِلسَّهْوِ سَجَدَ الْمَأْمُومُ قَبْلَ سَلَامِهِ اعْتِبَارًا بِعَقِيدَتِهِ، وَلَا يَنْتَظِرُهُ لِيَسْجُدَ مَعَهُ؛ لِأَنَّهُ فَارَقَهُ بِسَلَامِهِ، وَقِيلَ: يَتْبَعُهُ فِي السُّجُودِ بَعْدَ السَّلَامِ، وَقِيلَ: لَا يُسَلِّمُ إذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ بَلْ يَصْبِرُ، فَإِذَا سَجَدَ سَجَدَ مَعَهُ. هَذَا إذَا كَانَ مُوَافِقًا، أَمَّا الْمَسْبُوقُ فَيُخْرِجُ نَفْسَهُ وَيُتِمُّ لِنَفْسِهِ وَيَسْجُدُ آخِرَ صَلَاتِهِ. وَظَاهِرُ هَذَا أَنَّهُ يَنْوِي الْمُفَارَقَةَ إذَا قَامَ لِيَأْتِيَ بِمَا عَلَيْهِ. وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إلَى نِيَّةِ مُفَارَقَةٍ لِقَوْلِهِمْ: وَتَنْقَضِي الْقُدْوَةُ بِسَلَامِ الْإِمَامِ (فَإِنْ لَمْ يَسْجُدْ الْإِمَامُ) فِي الصُّورَتَيْنِ (سَجَدَ) الْمَسْبُوقُ (آخِرَ صَلَاةِ نَفْسِهِ عَلَى النَّصِّ) وَمُقَابِلُهُ الْقَوْلُ الْمُخَرَّجُ السَّابِقُ.

]الخطيب الشربيني، مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ٤٣٨/١[

)فرع) لو قام إمامه لزيادة، كخامسة، ولو سهوا، لم يجز له متابعته، ولو مسبوقا أو شاكا في ركعة، بل يفارقه، ويسلم، أو ينتظره-على المعتمد. (قوله: لو قام إمامه لزيادة) أي على صلاته. (قوله: كخامسة) تمثيل للزيادة. (قوله: ولو سهوا) أي ولو قام حال كونه ساهيا بأن صلاته قد كملت. )قوله: لم يجز له متابعته) أي لم يجز للمأموم أن يتابعه في الركعة الزائدة، فإن تابعه بطلت صلاته لتلاعبه، ومحله إن كان المأموم عالما بالزيادة، فإن كان جاهلا بها وتابعه فيها لم تبطل صلاته، وحسبت له تلك الركعة إذا كان مسبوقا لعذره، وإن لم تحسب للإمام. (قوله: ولو مسبوقا أو شاكا) غاية في عدم جواز المتابعة له، أي ولو كان المأموم مسبوقا أو شاكا في ركعة، فإنه لا تجوز له المتابعة. (قوله: بل يفارقه) أي ينوي المفارقة. (وقوله: ويسلم) أي بعد أن يتشهد. ومحل هذا إذا لم يكن مسبوقا. أو شاكا في الركعة ركعة، فإن كان كذلك: قام بعد نيته المفارقة للإتيان بما عليه، كما هو ظاهر. (قوله: أو ينتظره) أي أو ينتظر الإمام في التشهد. (قوله: على المعتمد) متعلق بينتظر. ومقابله يقول: لا يجوز له الانتظار، كما نص عليه ابن حجر في فتاويه. وعبارتها بعد كلام :قال الزركشي كالأسنوي نقلا عن المجموع في الجنائز: ولا يجوز له انتظاره، بل يسلم، فإنه في انتظاره مقيم على متابعته فيما يعتقده مخطئا فيه. والمعتمد خلاف ما قاله الخ اه.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، 50 – 51/٢[


[1] (قَوْلُهُ: وَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ مُفَارَقَتِهِ لِيُسَلِّمَ وَحْدَهُ) وَهِيَ أَوْلَى قِيَاسًا عَلَى مَا مَرَّ فِيمَا لَوْ عَادَ الْإِمَامُ لِلْقُعُودِ بَعْدَ انْتِصَابِهِ.

[الرملي، شمس الدين ,نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ,2/86]

[2] Menurut qaul mu’tamad, memutlakkan niat dalam mengingatkan imam tetap membatalkan shalat.

[3] Penjelasan mengenai ini diambil dari kitab Tausyikh ‘ala Ibn Qasim Al-Ghazi sebagai berikut:(و) الرابع (إذا نابه أي أصابه شيء في الصلاة سبح) فالذي نابه في الصلاة إما مباح كإذنه لمريد دخول استأذن فيه أو مندوب کتنبيه إمامه إذا سها، أو واجب كإنذاره أعمى خشي وقوعه في محذور (فيقول) حينئذ (سبحان الله يقصد الذكر فقط أو) بقصده (مع الإعلام) أي الإفهام، ولا بد من قرن قصد الذكر بجميع اللفظ لأنه أضيق من کناية الطلاق، فإن خلا حرفه عن القصد بطلت صلاته (أو) يقول ذلك بغیر صد شيء بأن (أطلق) فإنه (لم تبطل صلاته) والمعتمد أن الإطلاق يبطل الصلاة (أو) يقصد (الإعلام فقط بطلت) ما لم يكن عامية وإلا فلا تبطل كما في المبلغ فمحل التفصيل في العالم.

[محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 104/1]

[4] Rincian mengenai hukum ini ada dalam kitab Tausyikh ‘ala Ibn Qasim karya Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani sebagai berikut:

            (ولا ينفعه غلبة الظن أنه صلى أربعا) في المثال الأول (ولا يعمل بقول غيره له أنه صلى أربعا) ولا بفعل غيره إلا إذا بلغوا عدد التواتر, وهو عدد يؤمن تواقفهم على الكذب كالجمع الكثير في يوم الجمعة أو نحوه, فيرجع لقولهم وفعلهم على المعتمد عند ابن حجر والخطيب, فلو صلى معهم عمل بفعلهم ويوافقهم في السلام. وأما عند الرملي فيعمل بالقول دون الفعل. قال ابن قاسم: هذا إن لم يحصل به اليقين, إذ لا معنى للفرق بينهما مع حصول اليقين. وقال المحلي: ولا يرجع في فعل الركعة إلى ظنه, ولا إلى قول غيره وإن كان جمعا كثيرا إه. والشارح تابع ولذا قال: (ولو بلغ ذلك القائل عدد التواتر).

[محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 112/1]

Photo by tanyajawabfikih.com

Lupa Tasyahud Awal Saat Shalat

Apabila mushalli lupa melakukan tasyahud awal, kemudian mushalli ingat pada saat i’tidal/berdiri tegak (qiyam), maka yang harus dilakukannya adalah meneruskan membaca al-fatihah kemudian meneruskan rakaat dan dilarang kembali untuk duduk tasyahud awal. Mushalli disunnahkan melakukan sujud sahwi sebab meninggalkan sunnah ab’adl shalat, yaitu tasyahud awal. Apabila dia kembali untuk melakukan tasyahud awal, jika hal tersebut dilakukan secara sengaja dan dia mengetahui bahwa kembalinya untuk tasyahud adalah haram, maka shalatnya batal. Jika mushalli tidak mengetahui hukum kembali untuk tasyahud awal (jahil bi tahrimihi)[1] atau dia lupa bahwa dia dalam keadaan shalat, maka ketika dia kembali untuk tasyahud, shalatnya tidak batal.

Jika mushalli telah meninggalkan tasyahud awal dan dia sudah berdiri tegak kemudian dia kembali duduk untuk melakukan tasyahud karena lupa atau tidak mengetahui keharamannya, kemudian dia teringat atau ada seseorang yang mengajarinya sehingga ia tahu hukum keharamannya, maka mushalli segera berdiri untuk meneruskan rakaat shalatnya. Dalam kedua kondisi di atas (lupa dalam keadaan shalat atau tidak mengetahui hukum keharamannya), mushalli disunnahkan melakukan sujud sahwi, sebab dia telah melakukan gerakan yang dapat membatalkan shalat jika disengaja.

Referensi:

…أو جهل تحريمه فيها, وقد قرب عهده بالإسلام أو نشأ في موضع بعيد عن العلماء.

]محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 106/1[

(مستويا) أي بعد وصوله إلى محل تجزیء فيه القراءة (لا يعود إليه) أي التشهد الأول کالمصلي قاعدا إذا نسي التشهد الأول، وشرع في القراءة لا يعود إليه إلا إذا سبق لسانه إليها، لأن سبق اللسان غير معتد به (فإن عاد إليه) أي التشهد الأول بعد انتصابه (عامد) مع علمه بأنه في الصلاة (عالما بتحريمه) أي العود (بطلت صلاته) لأنه زاد قعودا عامدا عالما وهو مغير لهيئة الصلاة (او) عاد لمحل التشهد (ناسيا أنه في الصلاة أو) عاد (جاهلا) بتحريم العود ولو غير معذور (فلا تبطل صلاته) لعذره بالنسيان أو الجهل (ويلزمه القيام عند تذكره إن كان ناسيا أو عند علمه إذا كان جاهلا، كأن قال له شخص: إن عودك هذا حرام عليك, فيلزمه القيام فورا (وإن كان) أي المصلي (مأموما عاد) إلى الأبعاض بعد تلبسه بالركن (وجوبا لمتابعة إمامه) لأن المتابعة آكد من التلبس بالركن، فإن لم يعد عامدا عالما، بطلت صلاته إذا لم ينو المفارقة، فإن نواها لم تبطل (لكنه يسجد للسهو عنها في صورة عدم العود) لترك التشهد والجلوس في موضعهما.

[محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 111/1]


[1] Ketidaktahuan seseorang tentang keharaman sesuatu yang dapat membatakan shalat ada kalanya karena udzur dan tidak karena udzur. Contoh ketiaktahuan karena udzur adalah ketika seseorang baru memeluk agama Islam atau dia tumbuh dalam lingkungan yang jauh dari ulama. Seseorang yang kembali duduk tasyahud awal setelah berdiri tegak (i’tidal/qiyaman musawiyan) karena tidak mengetahui hukum keharamannya, baik karena udzur atau tidak, shalatnya tidak batal. Lihat:

…أو جهل تحريمه فيها, وقد قرب عهده بالإسلام أو نشأ في موضع بعيد عن العلماء.

[محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 111/1]

(ناسيا أنه في الصلاة أو) عاد (جاهلا) بتحريم العود ولو غير معذور (فلا تبطل صلاته) لعذره بالنسيان أو الجهل.

[محمد نواوي الجاوي، توشيح على ابن قاسم 111/1]

Photo by dara.co.id

Hukum Menelan Dahak Saat Shalat

Deskripsi:

Bulan Oktober umumnya adalah musim pancaroba yang menandai bergantinya musim; dari musim kemarau menuju musim penghujan. Musim pancaroba biasanya dikaitkan dengan berbagai jenis penyakit, salah satu yang sering terjadi adalah penyakit batuk. Karena sedang batuk, ketika sedang shalat di masjid, Ainun tidak sengaja menelan dahaknya.

Pertanyaan:

Bagaimana hukum tertelannya dahak saat sedang shalat? Apabila harus dimuntahkan, bagaimana caranya?

Jawaban:

Dahak (lendir sebab batuk) dalam bahasa arab disebut dengan nukhamah; yaitu lendir yang keluar dari dada menuju bagian luar dari mulut. Selain itu, dalam bahasa Arab, istilah nukhamah juga digunakan untuk menyebut lendir yang turun dari bagian kepala menuju rongga mulut atau ingus.

Dahak yang keluar dari anggota dalam tubuh menuju bagian dhahir mulut[1], atau ingus yang turun dari bagian kepala mushalli menuju bagian dhahir mulut, apabila keduanya tertelan, maka hal tersebut dapat membatalkan shalat; kecuali jika mushalli lupa bahwa dia dalam keadaan shalat atau tidak tahu bahwa hal tersebut dapat membatalkan shalat dan dahak yang tertelan sedikit. Jika banyak, meskipun mushalli lupa atau tidak tahu keharamannya, hal tersebut dapat membatalkan shalat.

Adapun dahak yang tertahan di dalam tenggorakan yang tidak mungkin dikeluarkan kecuali dengan deham, maka hukum dehamnya mushalli tersebut tidak membatalkan shalat, meskipun hal itu menyebabkan keluarnya dua huruf. Hukum deham untuk mengeluarkan dahak yang menempel pada makhraj kha/kho’ tersebut adalah sunnah sebab dilakukan untuk menjaga kemaslahatan shalat. Namun, makruh hukumnya menahan dahak tersebut di dalam mulut, sebab dikhawatirkan akan tertelan kembali yang menyebabkan batalnya shalat.[2]

Apabila dahak tersebut sudah sampai pada makhraj huruf kha’/kha’, atau sudah masuk pada bagian dhahir mulut, sedangkan mushali tidak mampu mengeluarkannya, jika tertelan, hal tersebut tidak membatalkan shalat. Begitu pula jika dahak tersebut belum tertahan (istiqrar) di batas anggota luar mulut, dengan gambaran bahwa dahak hanya sampai makhraj kha’/kho’ tanpa tertahan (istiqrar) di makhraj tersebut tetapi langsung tertelan kembali, maka hal ini juga tidak membatalkan shalat.

Kemudian, dahak atau ingus yang sudah berada di bagian dhahir mulut harus diludahkan[3] ketika dahak tersebut bercampur dengan najis. Sebab, jika ditahan di mulut, maka hal tersebut sama dengan membawa najis di tubuh. Sedangkan bagian mulut yang terkena dahak bercampur najis yang sudah diludahkan tersebut dihukumi ma’fu.

Ketika mushalli mengeluarkan dahak lalu ingin meludahkannya[4], sedangkan ia berada di dalam masjid, maka cara meludahkannya adalah diludahkan di pakaian sebelah kiri. Jika di sebelah kiri mushalli terdapat orang lain, maka mushalli meludahkannya ke arah kanan atau meludah ke dalam wadah yang mushalli bawa di tangan.[5]

[الرملي، شمس الدين، نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج، ٤١/٢]

وَعِبَارَةُ الْإِمْدَادِ وَالزَّرْكَشِيِّ جَوَازُهُ: أَيْ وَبَحَثَ الزَّرْكَشِيُّ جَوَازَ التَّنَحْنُحِ لِلصَّائِمِ لِإِخْرَاجِ نُخَامَةٍ تُبْطِلُ صَوْمَهُ، وَالْأَقْرَبُ جَوَازُهُ لِغَيْرِ الصَّائِمِ أَيْضًا لِإِخْرَاجِ نُخَامَةٍ تُبْطِلُ صَلَاتَهُ بِأَنْ نَزَلَتْ لِحَدِّ الظَّاهِرِ وَلَمْ يُمْكِنْهُ إخْرَاجُهَا إلَّا بِهِ انْتَهَتْ. وَالْوُجُوبُ فِي كَلَامِ الشَّارِحِ بِالنِّسْبَةِ لِلنَّفْلِ مَعْنَاهُ الْوُجُوبُ لِأَجْلِ الصِّحَّةِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ.

]الرملي، شمس الدين ,نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ,2/41[

وَلَوْ نَزَلَتْ نُخَامَةٌ مِنْ دِمَاغِهِ إلَى ظَاهِرِ الْفَمِ، وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَابْتَلَعَهَا بَطَلَتْ، فَلَوْ تَشَعَّبَتْ فِي حَلْقِهِ وَلَمْ يُمْكِنْهُ إخْرَاجُهَا إلَّا بِالتَّنَحْنُحِ وَظُهُورِ حَرْفَيْنِ وَمَتَى تَرَكَهَا نَزَلَتْ إلَى بَاطِنِهِ، وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَتَنَحْنَحَ وَيُخْرِجَهَا، وَإِنْ ظَهَرَ حَرْفَانِ قَالَهُ فِي رِسَالَةِ النُّورِ.

]الرملي، شمس الدين، نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج، ٥٢/٢[

(وتبطل بقليل الأكل) أي المأكول عرفا ، ولا يتقيد بنحو السمسمة : أي بوصوله إلى جوفه ، وإن كان مكرها عليه لشدة منافاته لها مع ندرته ، ومثله لو وصل مفطر جوفه كباطن أذن ، وإن قل ، أما المضغ نفسه فلا تبطل بقليله كبقية الأفعال ( قلت : إلا أن يكون ناسيا ) للصلاة ( أو جاهلا ) تحريمه وعذر معه فلا تبطل بقليله قطعا ( والله أعلم ) وكذا لو جرى ريقه بباقي طعام بين أسنانه وعجز عن تمييزه ومجه كما في الصوم ، أو نزلت نخامة ولم يمكنه إمساكها ، بخلاف كثيره عرفا ولو ناسيا أو جاهلا ، وإنما لم يفطر به عند المصنف ؛ لأن الصلاة ذات أفعال منظومة ، والكثير يقطع نظمها ، والصوم كف ولتلبس المصلي بهيئة يبعد معها النسيان بخلاف الصوم ،

]نووي الجاوي، نهاية الزين، صفحة ١٨٧[

(لَا بقلع نخامة) وَلَو نزلت من دماغه أَو خرجت من جَوْفه ووصلت إِلَى حد الظَّاهِر وَجب قلعهَا ومجها ويعفى عَمَّا أَصَابَته لَو كَانَت نَجِسَة, فَإِن تَركهَا مَعَ الْقُدْرَة على ذَلِك فَرَجَعت إِلَى حد الْبَاطِن أفطر لتَقْصِيره, وَلَو كَانَ فِي فرض صَلَاة وَلم يقدر على مجها إِلَّا بِظُهُور حرفين فَأكْثر لم تبطل صلَاته بل يتَعَيَّن ذَلِك مُرَاعَاة لمصلحتها كالتنحنح لتعذر الْقِرَاءَة الْوَاجِبَة, وحد الظَّاهِر هُوَ مخرج الْخَاء الْمُعْجَمَة عِنْد الرَّافِعِيّ والحاء الْمُهْملَة عِنْد النَّوَوِيّ وَهُوَ الْمُعْتَمد, فَإِن لم تصل إِلَى حد الظَّاهِر الْمَذْكُور بِأَن كَانَت دَاخِلا عَمَّا ذكر أَو حصلت فِي حد الظَّاهِر وَلم يقدر على قلعهَا ومجها لم يضر.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢٥٧/٢[

)قوله: لا بقلع نخامة) معطوف على استقاءة، أي لا يفطر بقلع نخامة – أي إخراجها. قال البجيرمي، هو مستثنى من الاستقاءة – كما قاله ح ل. والقلع: إخراجها من محلها الأصلي، والمج إخراجها من الفم. والنخامة – بالميم – وتقال بالعين – وهي الفضلة الغليظة تنزل من الدماغ، أو تصعد من الباطن، فلا تضر، ولو نجسة. اه. (قوله: من الباطن) هو مخرج الهمزة والهاء. والظاهر: مخرج الحاء المهملة، أو الخاء المعجمة – كما سيأتي. (قوله: أو الدماغ) عطف على الباطن، – من عطف الخاص على العام – أي ولا بقلعها من الدماغ.

(قوله: فلا يفطر به) أي بقلعها المذكور، وهذا على الأصح، ومقابله يفطر به، كالاستقاءة. (قوله: إن لفظها) أي رماها. فاللفظ مراد به معناه اللغوي، وهو الطرح والرمي. (قوله: لتكرر الحاجة إليه) أي إلى قلع النخامة، وهو علة لعدم فطره بذلك، ومع ذلك يندب له القضاء – مراعاة للخلاف – كما في التحفة. (قوله: أما لو ابتلعها الخ) مفهوم قوله إن لفظها. (وقوله: مع القدرة على لفظها) فإن لم يقدر عليه – بأن نزلت من الدماغ إلى الباطن – فلا يفطر به كما ستعرفه. (قوله: بعد وصولها) أي استقرارها في الظاهر، فإن لم يستقر فيه – بل وصلت إلى الباطن من غير استقرار فيه – فلا يفطر.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢٥٨/٢[

(قوله: وهو) أي حد الظاهر, (قوله: مخرج الحاء المهملة) أي على المعتمد. قال في النهاية: ثم داخل الفم والأنف إلى منتهى الغلصمة والخيشوم، له حكم الظاهر بالنسبة للافطار باستخراج القئ إليه، أو ابتلاع النخامة منه، ولعدم الإفطار بالنسبة لدخول شئ فيه وإن أمسكه وبالنسبة للنجاسة فإذا تنجس وجب غسله، وله حكم الباطن بالنسبة للريق. فإذا ابتلعه لا يفطر، وبالنسبة للجنابة فلا يجب غسله، وفارقت النجاسة – حيث وجب غسلها منه – بأنها أفحش وأندر، فضيق فيها ما لم يضيق في الجنابة.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢٢٣/١[

(قوله: وبصق في صلاته إلخ) أي وكره بصق إلخ، وهو بالصاد والسين والزاي. ومحل الكراهة إذا كان في غير المسجد، أما فيه فيحرم. فإذا كان فيه وأراد أن يبصق فليكن في ثوب، وليكن عن يساره. وعبارة النهاية: ومحل ما تقرر في غير المسجد، فإن كان فيه بصق في ثوبه في الجانب الأيسر وحك بعضه ببعض، ولا يبصق فيه فإنه حرام. كما صرح به في المجموع والتحقيق لخبر: البصاق في المسجد خطيئة، وكفارتها دفنها. ويجب الإنكار على فاعله. ويحصل الغرض ولو بدفنها في ترابه أو رمله، بخلاف المبلط فدلكها فيه ليس بدفن بل زيادة في تقديره. ويسن تطييب محله. وإنما لم تجب إزالته منه – مع كون البصاق محرما فيه – للاختلاف في تحريمه. اه. وقوله: ويحصل الغرض أي وهو كفارتها. اه ع ش.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢٢٤/١[

ولو كان على يساره فقط إنسان بصق عن يمينه إذا لم يمكنه ما ذكر، كما هو ظاهر. سواء من بالمسجد وغيره، لان البصاق إنما يحرم فيه إن بقي جرمه لا إن استهلك في نحو ماء مضمضة وأصاب جزءا من أجزائه دون هوائه، سواء من به وخارجه، إذ الملحظ التقدير وهو منتف فيه.

وقوله: ويبصق لا إلى اليمين ولا إلى اليسار أي بل تحت قدمه، أو في منديل بيده.

]القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢١٤/١[

(رَاجِعٌ إلَى التَّنَحْنُحِ) أَيْ لِأَنَّ غَيْرَهُ مِمَّا ذُكِرَ مَعَهُ، لَا تَتَوَقَّفُ الْقِرَاءَةُ عَلَيْهِ، وَلَا يَتَقَيَّدُ الْعُذْرُ فِي هَذَا بِقِلَّةٍ، وَلَا بِكَثْرَةٍ بَلْ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ، وَإِنْ كَثُرَتْ حُرُوفُهُ، وَيُعْذَرُ فِي التَّنَحْنُحِ أَيْضًا لِإِخْرَاجِ نُخَامَةٍ خِيفَ مِنْهَا، بُطْلَانُ صَوْمِهِ أَوْ صَلَاتِهِ كَأَنْ حَصَلَتْ فِي حَدِّ الظَّاهِرِ.

]القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢١٨/١[

(تَنْبِيهٌ ) لَوْ نَزَلَتْ نُخَامَةٌ مِنْ رَأْسِهِ وَتَعَارَضَ بَلْعُهَا مَعَ ظُهُورِ حَرْفَيْنِ فَأَكْثَرَ فِي قَطْعِهَا ، فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ يَقْطَعُهَا وَيُغْتَفَرُ ظُهُورُ مَا ذُكِرَ .

]القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٧٠/٢[

قَوْلُهُ : (نُخَامَةً ) بِالْمِيمِ وَتُقَالُ بِالْعَيْنِ وَهِيَ الْفَضْلَةُ الْغَلِيظَةُ تَنْزِلُ مِنْ الدِّمَاغِ أَوْ تَصْعَدُ مِنْ الْبَاطِنِ, فَلَا تَضُرُّ وَلَوْ نَجِسَةً وَخَرَجَ بِاقْتَطَعَ مَا لَوْ حَصَلَتْ بِنَفْسِهَا أَوْ بِنَحْوِ سُعَالٍ فَلَفَظَهَا فَلَا يُفْطِرُ جَزْمًا وَبِلَفْظِهَا مَا لَوْ ابْتَلَعَهَا بَعْدَ وُصُولِهَا لِلظَّاهِرِ فَيُفْطِرُ جَزْمًا ، وَمِثْلُ لَفْظِهَا مَا لَوْ بَقِيَتْ فِي فَمِهِ . قَوْلُهُ : (حَدِّ الظَّاهِرِ مِنْ الْفَمِ) وَهُوَ مَخْرَجُ الْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ عِنْدَ النَّوَوِيِّ وَاعْتَمَدُوهُ وَهُوَ مُشْكِلٌ لِأَنَّهَا مِنْ وَسَطِ الْحَلْقِ أَوْ الْخَاءِ الْمُعْجَمَةِ عِنْدَ الرَّافِعِيِّ قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ : وَدَاخِلُ الْفَمِ وَالْأَنْفِ إلَى مُنْتَهَى الْخَيْشُومِ لَهُ حُكْمُ الظَّاهِرِ فِي الْإِفْطَارِ بِوُصُولِ الْقَيْءِ إلَيْهِ وَابْتِلَاعُ النُّخَامَةِ مِنْهُ وَعَدَمُ الْإِفْطَارِ بِوُصُولِ عَيْنٍ إلَيْهِ وَإِنْ أَمْسَكَهَا فِيهِ وَوُجُوبُ غَسْلِهِ مِنْ نَجَاسَةٍ وَلَهُ حُكْمُ الْبَاطِنِ فِي عَدَمِ الْإِفْطَارِ بِابْتِلَاعِ الرِّيقِ مِنْهُ، وَعَدَمُ وُجُوبِ غَسْلِهِ لِنَحْوِ جُنُبٍ . وَفَرَّقَ السَّنْبَاطِيُّ بِأَنَّ أَمْرَ النَّجَاسَةِ أَغْلَظُ فَضَيَّقَ فِيهِ بِخِلَافِ الْجَنَابَةِ انْتَهَى فَرَاجِعْهُ وَتَأَمَّلْهُ . قَوْلُهُ : ( وَلْيَمُجَّهَا ) وَلَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُ وَلَوْ فَرْضًا بِالنُّطْقِ بِحُرُوفٍ تَوَقَّفَ إخْرَاجُهَا عَلَيْهَا وَإِنْ كَثُرَتْ كَمَا فِي تَعَذُّرِ الْقِرَاءَةِ الْوَاجِبَةِ.


[1] Menurut Imam Rafi’i, batasan bagian dhahir mulut adalah makhraj huruf kha’ (خ). Sedangkan menurut imam Nawawi, batasan bagian dhahir itu sampai pada makhraj ha’(ح). Sehingga, mulai dari makhraj huruf hamzah atau ha’, rongga dada dan seterusnya dihukumi anggota bathin. Adapun bagian dalam rongga mulut, bagian dalam hidung hingga pangkal sinus dihukumi anggota luar tubuh. Hal tersebut berdasarkan pada bahwa muntahan perut dapat membatalkan shalat jika sampai bagian tersebut. Begitu pula dengan menelan dahak/ingus yang sudah berada di anggota tubuh tersebut, serta tidak batalnya puasa ketika ada benda yang masuk ke dalam bagian tubuh tersebut.

[2] Hukum deham (tanahnuh) untuk mengeluarkan dahak ini adalah boleh (jawaz). Dalam redaksi kitab Nihayah Al-Muhtaj, juz 1 hlm. 41, mushannif menyebutkan kata “wujub” dalam menghukumi deham itu sebenarnya bukan menunjukkan kewajiban yang konsekuensi jika ditinggalkan adalah haram. Tetapi, yang dimaksud adalah jawaz atau sunnah sebab bertujuan untuk kemaslahatan shalat. Dengan demikian, sesuai dengan kaidah fikih, bila deham untuk kemaslahatan shalat dihukumi sunnah, maka meninggalkannya dihukumi makruh, sehingga hukum menahan dahak di rongga mulut juga makruh, atau tidak harus meludahkan dahak yang keluar melewati batas dzahir.

[3] Dalam pembahasan ini, terdapat dua istilah tindakan yang penting untuk diketahui, yaitu mengeluarkan (qal’) dan meludahkan (majj). Qal’ adalah mengeluarkan dahak yang tertahan di makhraj kha’/kho ke rongga mulut, sedangkan majj adalah meludahkan dahak keluar dari mulut.

[4] Hukum meludah ketika shalat adalah makruh ketika tidak di dalam masjid. Sedangkan meludah di dalam masjid hukumnya haram, sebab hal tersebut termasuk mengotori masjid.

[5] Cara meludahkan dahak yang paling baik dilakukan oleh mushalli adalah dengan meniru apa yang dilakukan oleh Almaghfurlah KH. Zainal Abidin Munawwir. Belisu seringkali membawa wadah kecil di saku beliau sebagai jalan keluar jika sewaktu-waktu harus meludah ketika shalat.

Photo by correcto.id

Memberi Isyarat Dengan Gerakan Mata Dalam Shalat

Pertanyaan :

Pada redaksi “al-kalam”, bagaimana jika dalam shalat melakukan isyarah (seperti anggota mata) dengan sengaja, apakah termasuk hal yang membatalkan shalat sebagaimana berbicara dengan sengaja itu membatalkan shalat?

Jawaban:

Salah satu hal yang membatalkan shalat adalah al-kalam (الكلام) disengaja yang patut digunakan bercakap-cakap oleh manusia baik dilakukan sebab tujuan kemaslahatan shalat ataupun tidak. Maksud dari al-kalam dalam redaksi tersebut adalah ucapan/melafalkan (النطق) yang mengandung dua huruf walaupun tidak memberi pemahaman atau satu huruf yang memahamkan walaupun tidak dengan lisan, misalnya dengan tangan atau kaki.

Sedangkan melakukan isyarat misalnya isyarat dengan mata, walaupun memberi pemahaman bukan merupakan kalam selama tidak terucapkan dua huruf atau satu huruf yang memahamkan, sehingga tidak bisa membatalkan shalat dengan syarat tidak dilakukan untuk guyonan. Sebaliknya, apabila isyarat tersebut dilakukan untuk guyonan maka dapat membatalkan shalat walaupun cuma satu gerakan isyarat yang tidak memeberi pemahaman.

[الباجوري ,حاشية الباجوري على ابن قاسم =دار العلم,1/174 ]       

والمراد به : النطق ولو بحرفين وإن لم يفهما، أو حرف مفهم ؛ نحو: (ق) من الوقاية ، و(ع ) من الوعي ، بخلاف حرف غیر مفهم ، ما لم يكن قاصدة الإتيان بكلام مبطل ، وإلا بطلت صلاته ؛ لأنه نوى المبطل وشرع فيه. والحرف الممدود مع مدته حرفان ، فتبطل بهما الصلاة ، سواء كانت مَدّته ألفا أو ياء أو واوا ولو كان الناطق بذلك مكرها ؛ لندرة الإكراه فيها   الخ ………… وخرج بالكلام : الصوت الغفل ؛ أي : الخالي عن الحروف ؛ كأن نهق نهيق الحمير ، أو صهل صهيل الخيل ، أو حاکی شيئا من الطيور ، ولم يظهر من ذالك حرفان ، ولا حرف مفهم ؛ فلا تبطل به صلاته ما لم يقصد به اللعب ، وكذا لو أشار الأخرس بشفتيه ولو إشارة مفهمة للفطن أو غيره .

[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢١٣/١]

قَوْلُهُ: (بِالنُّطْقِ) أَيْ التَّلَفُّظِ. قَالَ شَيْخُنَا: وَلَوْ بِغَيْرِ اللِّسَانِ كَالْيَدِ وَالرِّجْلِ وَالْأَنْفِ، إنْ سَمِعَ نَفْسَهُ، وَلَوْ كَانَ حَدِيدَ السَّمْعِ، أَوْ كَانَ بِحَيْثُ يُسْمَعُ لَوْ كَانَ مُعْتَدِلَهُ. قَوْلُهُ: (مِنْ غَيْرِ الْقُرْآنِ إلَخْ) دَخَلَ فِي الْغَيْرِ مَنْسُوخُ التِّلَاوَةِ وَالتَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ وَالْأَحَادِيثُ، وَلَوْ قُدْسِيَّةً، وَلَوْ قَالَ قَالَ اللَّهُ، أَوْ قَالَ النَّبِيُّ، أَوْ قَافٌ أَوْ صَادٌ، بَطَلَتْ مَا لَمْ يَقْصِدْ أَنَّهُ مِنْ الْقُرْآنِ، وَخَرَجَ بِالنُّطْقِ الْإِشَارَةُ وَلَوْ مِنْ أَخْرَسَ أَوْ بِاللِّسَانِ، وَإِنْ قَصَدَ بِهَا الْإِفْهَامَ كَمَا يَأْتِي، وَيُنْدَبُ لِلْمُصَلِّي رَدُّ السَّلَامِ بِهَا، كَمَا يَجُوزُ رَدُّهُ وَالتَّشْمِيتُ بِغَيْرِ الْخِطَابِ نَحْوُ عَلَيْهِ السَّلَامِ وَرَحْمَةُ اللَّهِ كَمَا سَيَأْتِي.

Photo by pexels.com

Batasan-Batasan Gerakan Yang Membatalkan Shalat

Pertanyaan :

Bagaimana batasan dari “al-‘amal al-katsir” (gerakan banyak) yang membatalkan shalat dan batasan “al-‘amal al-qolil” (gerakan sedikit) yang tidak membatalkan shalat pada redaksi  والعمل الكثير المتوالي الخ… ، أما العمل القليل فلا تبطل الصلاة به?

Jawab :

Dalam redaksi tersebut dapat dijelaskan bahwa gerakan di dalam shalat yang berkaitan dengan batal tidaknya shalat terbagi menjadi dua macam, yaitu gerakan banyak (الفعل الكثير) dan gerakan sedikit (الفعل القليل). Berikut ini adalah penjabarannya:

  1. Gerakan banyak (الفعل الكثير)

Gerakan banyak (الفعل الكثير) adalah gerakan sebanyak tiga kali atau lebih. Gerakan banyak dapat membatalkan shalat baik dikerjakan karena sengaja, lupa, atau tidak tahu (hukum keharamannya)[1] apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Gerakan tersebut sebanyak tiga kali atau lebih, baik dilakukan oleh anggota tubuh sejenis ataupun anggota tubuh yang berbeda.
  2. Gerakan tersebut dikerjakan berturut-turut (nuli-nuli).

Gerakan dianggap berturut-turut dihitung dengan kebiasaan pada umumnya (‘urf). Sebagian ulama memperkirakan dua gerakan dianggap berturut-turut apabila antara gerakan pertama dan kedua atau gerakan kedua dan ketiga memiliki jeda kira-kira sepanjang surat Al-Ikhas atau al-baqiyatu as-sholihat, atau satu rakaat yang ringan.

  • Gerakan tersebut dilakukan oleh anggota tubuh utama (ثقيل)

Yang termasuk anggota tubuh utama antara lain adalah kaki, tangan, kepala, telapak tangan, paha, bahu, dan lainnya. Dikecualikan dari anggota tubuh utama adalah anggota tubuh ringan (خفيف) yang meliputi bibir, telinga, lidah, penis, pelupuk mata, jari-jari tangan/kaki, dan hidung. Oleh sebab itu apabila seseorang melakukan gerakan anggota tubuh yang ringan lebih dari tiga gerakan secara berturut-turut maka tidak membatalkan shalat walaupun disengaja selama tidak diniatkan untuk guyonan (main-main).

  • Gerakan tersebut yakin telah dilakukan. Oleh sebab itu apabila seseorang ragu apakah telah melakukan gerakan tiga kali berturut dengan anggota tubuh utama atau tidak, maka shalatnya tidak batal.
  • Gerakan tersebut bukan merupakan gerakan yang sejenis dari gerakan rukun shalat ( (ركن فعلي.

Apabila seseorang melakukan gerakan sejenis rukun shalat bukan pada tempatnya secara sengaja, misalnya melakukan rukuk secara sengaja yang bukan pada waktunya rukuk, maka hal tersebut dapat membatalkan shalat meskipun dilakukan hanya satu kali.

  • Gerakan tersebut bukan gerakan refleks (بغير اختياره), gerakan dalam keadaan perang (شدة الخوف), gerakan karena tidak bisa menahan gatal, gerakan karena kaget, atau gerakan saat shalat sunnah saat perjalanan (نفل السفر). Oleh sebab itu dalam keadaan-keadaan tersebut gerkan banyak tidak membatalkan shalat selama tidak melampaui batas atau tidak untuk guyonan.
  • Gerakan Sedikit (الفعل القليل)

Gerakan yang bisa dikategorikan sebagai gerakan sedikit (الفعل القليل) adalah sebagai berikut:

  1. Gerakan dari anggota tubuh utama yg kurang dari tiga kali walaupun  dilakukan berturut-turut.
  2. Gerakan tubuh utama yang dilakukan tiga kali atau lebih tetapi tidak berturut-turut.

Gerakan sedikit tersebut tidak membatalkan shalat walaupun dikerjakan dengan sengaja apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Bukan diniatkan untuk guyonan (main-main)

Oleh sebab itu apabila melakukan gerakan karena guyonan walaupun dilakukan satu kali maka dapat membatalkan shalat.

  • Bukan gerakan fahisyah (keterlaluan)

Contoh dari gerakan fahisyah adalah melompat, berjoged dan lain-lain. Oleh sebab itu apabila seseorang melakukan gerakan fahisyah meskipun dilakukan satu kali maka dapat membatalkan shalat.

  • Bukan diniatkan untuk melakukan tiga gerakan.

Oleh sebab itu apabila seseorang meniatkan melakukan tiga kali gerakan maka pada saat melakukan gerakan yang pertama sudah bisa dianggap  membatalkan shalat.

Catatan: Dalam hal melangkahkan kaki dalam shalat, satu langkah kaki dihitung satu gerakan, lalu langkah kaki yang lain dihitung gerakan kedua. Sedangkan menggerakkan tangan dengan mengangkat tangan hingga mengembalikan tangan dihitung satu gerakan selama mengangkat dan mengembalikan tangan tersebut masih dapat dianggap berturut-turut (mutawaliyah), meskipun dalam mengembalikan tangan tersebut berada di tempat yang berbeda. Tetapi tidak demikian dengan mengangkat kaki. Apabila mengangkat kaki lalu meletakkannya kembali di tempat yang berbeda, maka hal tersebut dihitung dua gerakan. Jika setelah diangkat lalu diletakkan di tempat yang sama, hal tersebut dihitung satu gerakan.

Referensi:

[السيد احمد بن عمر الشاطرى ,نيل الرجاء بشرح سفينة النجاء،= دار المنهاج/  ٢٠٣-٢٠٤ [

 )وثلاث حركات متواليات ولو سهوا ) المعنى : أن الصلاة تبطل أيضا بالعمل الكثير ولو من الناسي والجاهل المعذور ، وهوثلاثة أفعال فأكثر متابعة عرفا ؛ بحيث لا يعدّ الفعل الثاني منقطعة عن الأول ، ولا الثالث منقطعة عن الثاني ، ولا فرق بين أن يكون بعضو واحد أو بأكثر ، لكن بشرط أن يكون ثقيلا ؛ كاليد و الرجل والرأس واللحيين ، فلا يضر بالخفيف كالأصابع وحدها والأجفان والشفة ولو مرارة متعددة متوالية وخرج بـ ( الكثير ) القليل ، وهو ما قل عن الأفعال الثلاثة وإن تتابع ، أو كان ثلاثة فأكثر ولم يتابع . هذا كله ما لم يقصد اللعب ، ولم يكن ضروريا لا يقدر على تركه ؛ كحكة الجرب ، وإلا ضر في الأولى مطلقا ولو قليلا بعضو خفيف ، ولم يضر في الثانية مطلقا.

[نووي الجاوي، نهاية الزين، صفحة 89-٩٠]

(و) الثَّالِث ب (فعل كثير) عرفا إِذا كانَ كثيرا يَقِينا ثقيلا (وَلَاء) بِغَيْر عذر وَلَا فرق فِي الْفِعْل الْمُبْطل بَين عمده وسهوه فَيبْطل مُطلقًا (وَلَو سَهوا) سَوَاء كَانَ من جنس وَاحِد (كثلاث خطوَات) أَو ضربات مُتَوَالِيَة أَو من أَجنَاس كخطوة وضربة وخلع نعل وَيفهم مِمَّا تقدم أَن ضَابِط الْكَثْرَة الْعرف فَمَا يعده النَّاس كثيرا يضر مثل ثَلَاث خطوَات وَإِن كَانَت بِقدر خطْوَة وَاحِدَة وَالْمُعْتَمد أَن الخطوة نقل الْقدَم إِلَى أَي جِهَة كَانَت فَإِن نقلت الْأُخْرَى عدت ثَانِيَة سَوَاء سَاوَى بهَا الأولى أم قدمهَا عَلَيْهَا أم أَخّرهَا عَنْهَا وَذَهَاب الرجل وعودها يعد مرَّتَيْنِ مُطلقًا بِخِلَاف ذهَاب الْيَد وعودها على الِاتِّصَال فَإِنَّهُ يعد مرّة وَاحِدَة وكَذَا رَفعهَا ثمَّ وَضعهَا وَلَو فِي غير موضعهَا وَأما رفع الرجل فَإِنَّهُ يعد مرّة ووضعها يعد مرّة ثَانِيَة إِن وَضعهَا فِي غير موضعهَا وَالْفرق بَين الْيَد وَالرجل أَن الرجل عَادَتهَا السّكُون بِخِلَاف الْيَد وَلَو نوى الْفِعْل الْكثير وَشرع فِيهِ بطلت صلَاته لِأَنَّهُ قصد الْمُبْطل وَشرع فِيهِ

[البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢٤٨/١]

(قوله: بفعل كثير) أي وتبطل الصلاة بصدور فعل كثير منه. وقوله: يقينا منصوب بإسقاط الخافض، أو على الحال. وهو قيد في الكثرة المقتضية للبطلان. أي أن كثرة الفعل لا بد أن تكون يقينية وإلا فلا بطلان. والحاصل ذكر للفعل المبطل ستة شروط: أن يكون كثيرا، وأن تكون كثرته بيقين، وأن يكون من غير جنس أفعالها، وأن يصدر من العالم بالتحريم، وأن يكون ولاء، وأن لا يكون في شدة الخوف ونفل السفر.

]البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٢48/1[

(قوله: إن صدر) أي ذلك الفعل الكثير. وقوله: ممن علم تحريمه أي من مصل علم تحريم الفعل الكثير في الصلاة. وقوله: أو جهله هو مفهوم العلم. وقوله: ولم يعذر أي في جهله، بأن يكون بين أظهر العلماء وبعيد عهد بالاسلام. وهو قيد في الجهل، وخرج به المعذور فلا يبطل فعله الكثير.

[الكاف، التقريرات السديدة في المسائل المفيد = دار المراث النبوي،1/263-264]

الثاني : الفعل الكثير.

وهو ثلاث حركات ولو سهوا، بشرط أن تكون متوالية.[2] ضابط التوالي: بحيث تنسب الحركة الثانية إلى الحركة الأولى، والحركة الثالثة إلى الثانية ، وتكون غير متوالية بحيث لا تنسب ، ويكون ذلك بالعرف، وقدره بعضهم بأن يفصل بينهم بقدر سورة ( قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ)، أو بقدر : «الباقيات الصالحات» .

و مسائل في الفعل الكثير في الصلاة :

 (1) الخطوة من الرجل تعتبر حركة واحدة، فإن قلت معها الرجل الأخرى فتعتبر حرکتین[3] وذهاب اليد ورجوعها، أو وضعها ورفعها، يعتبر حركة واحدة إذا كان متصلة، أي : بدون توقف.

(۲) الحركة الواحدة أو الحركتان : لا تبطل الصلاة وإن تعمدها، إلا في ثلاث حالات فتبطل الصلاة، وهي :

ا- إذا كانت بقصد اللعب

۲- إذا كانت فاحشة أو ضربة مفرطة .

٣ – إذا نوى أن يتحرك ثلاث حركات، فبمجرد أن يشرع بالحركة الأولى بطلت صلاته؛ لأنه شرع في مبطل

(۳) الحركة الكثيرة المتوالية: تبطل الصلاة إلا في أربع حالات فلا تبطل، وهي:

١ – إذا كانت الحركة بالأعضاء الخفيفة، وهي مجموعة في قول بعضهم

فشفــــة، والأذن، واللســــان         وذكــر، والجفــن، والبنــــان

تحريكهن إن تــوالي وكثـــر        بغیرعذرفي الصلاة – لا يضر

۲- إذا كانت بغير اختياره، کشدة برد.

٣ – إذا كان مبتلئ بجرب ولم يقدر على الصبر عن الحك.

٤ – إذا كانت في صلاة شدة الخوف.


[1] Orang yang tidak tahu hukum  (جاهل بتحريم الحكم) terbagi menjadi dua, yaitu tidak tahu bukan karena udzur dan tidak tahu karena udzur. Untuk  orang yang tidak tahu hukum keharaman bergerak banyak dalam shalat bukan karena ada udzur, maka gerakan tersebut tetap membatalkan shalat. Misalnya tidak tahu bukan karena ada udzur adalah ketidaktahuan seseorang karena tidak mau belajar. Sedangkan dalam redaksi kitab I’anah Ath-Thalibin juz 1 hlm. 248 dijelaskan bahwa orang yang tidak tahu hukum keharaman bergerak banyak dalam shalat selama karena ada udzur atas ketidaktahuannya, maka hal tersebut tidak membatalkan shalat. Misalnya tidak tahu karena ada udzur adalah ketidaktahuan seseorang karena baru masuk islam atau seseorang yang jauh dari ulama.

[2]وبشرط أن تكون من غير جنس الصلاة، وأن تصدر من العالم بالتحريم، وأن لا تكون في صلاة شدة الخوف ولا في نقل السفر.

[3] وهو معتمد ابن حجر في «التحفة، والرملي، وسواء أنقلها إلى محاذاة الأخرى أم أقرب منها أم أبعد.

Photo by konfirmasitimes.com