Tidak Ada Air, Tidak Ada Batu. Tidak Ada Tisu Bagaimana Tata Caranya Beristinja’ dengan Barang Lainnya?

Ilustrasi Air dan Batu sebagai Alat Istinja. Sumber: Islami.co

Istinja’ dengan barang yang dimuliakan

Istinja hendaknya dilakukan oleh setiap orang muslim yang mukalaf ketika sudah selesai buang air. Istinja ini hukumnya wajib baginya, karena jikalau tidak istinja setelah buang air maka orang tersebut masih dikategorikan orang yang masih membawa najis. Sehingga apabila demikan masih berlangsung orang tersebut tidak sah untuk melaksanakan sholat. Istinja ini dapat dilakukan dengan menggunakan air ataupun batu yang memang bersifat padat, suci, kasar, dan tidak dimuliakan.

Jika menengok baru baru ini, banyak orang-orang melakukan perjalanan jarak jauh yang kurang memperhatikan perihal istinja ini. Beberapa dari mereka tidak menyiapkan media-media untuk beristinja sehingga cenderung menggunakan benda seadanya saja. Padahal dalam istinja ada larangan-larangan untuk menggunakan benda benda yang dimuliakan (muhtarom). Padahal bisa saja di tempat ia melakukan perjalanan mereka menggunakan benda untuk istinja’ yang mana benda itu dimuliakan oleh orang-orang di daerah setempat. Sehingga jika mustanji menggunakan benda yang seadanya saja, akan terdapat kemungkinan penggunaan benda yang dimuliakan ini untuk beristinja’. Tidak jarang pula sebagian dari mreka mengguankan benda yang bisa dibilang perhiasan seperti emas, perak atau bahkan alat transaksi seperti uang.

Lantas apa saja benda yang tergolong muhtarom (dimuliakan) itu? Bagaimana jika benda yang dianggap mulia didaerah tertentu dan tidak dianggap mulia di daerah lain? Dan bagaimanakah hukumnya bersitinja’ dengannya?

Barang yang dimuliakan oleh syariat

Barang ini dimuliakan sehingga tidak diperbolehkan digunakan untuk beristinja’. Termasuk dalam kategori ini adalah buku atau kitab syariat, sampulnya jika masih bersambung dengan nama yang diagungkan (asma al-a’dzam) sampul mushaf baik bersambung atau tidak. Termasuk juga kedalam barang yang dimuliakan adalah bagian dari masjid namun belum hilang persifatannya sebagai bagian dari masjid, bagian tubuh manusia meskipun tergolong kafir al-harbi (orang kafir yang wajib diperangi), serta bagian tubuh hewan yang masih tersambung. Dalam Kitab Hasyiyah al-Bajuri ala Syarhi al-Allamah Ibn al-Qasim al-Ghazi dikatakan :  

ومن المحترم كتب العلم الشرعي وما ينتفع به فيه كالحديث والفقه والنحو والحساب والطب والعروض لا كفلسفة ومنطق مشتمل عليها, وكتب التورة والإنجيل غير المبدلين وما كتب عليه اسم معظم مالم يقصد به غير المعظم, ويلحق بذلك جلده المتصل به دون المنفصل عنه نعم جلد المصحف يمتنع الإستنجاء به مطلقا. ومن المحترم أيضا جزء المسجد ولو منفصلا إلا إذا انقطعت نسبته عنه بأن بيع وحكم بصحة بيعه كما مر. وجزء الأدمي ولو مهدرا كالحربي لأنه محترم من حيث الخلقة وإن كان غير محترم من حيث الإهداء

Termasuk benda-benda yang dimuliakan adalah buku-buku yang bertuliskan ilmu syariat dan yang dapat bermanfaat didalamnya seperti hadis, fiqih, nahwu, hisab, pengobatan, dan arudl. Dikecualikan buku yang bertuliskan tentang filsafat,mantiq dan sesamanya. Termasuk yang dimuliakan pula yakni kitab taurat dan injil yang masih terjaga keasliannya (tidak ada yang diubah). Juga sesuatu yang didalamnya terdapat asma yang diagungkan walaupun tidak bermaksud menulis asma yang diagungkan tersebut. Dan diilhaqkan pula atau termasuk kedalam benda yang dimuliakan yaitu sampul yang masih bersambung dengan buku buku yang dimuliakan diatas, tidak dengan sampul yang sudah terpisah dengannya. Karena sampul mushaf tidak boleh digunakan untuk istija’ secara mutlak.  Dan termasuk kedalam barang yang dimuliakan juga adalah bagian dari masjid walaupun sudah terpisah dari masjid namun masih mengandung persifatan dari masjid itu sendiri seperti halnya ketika bagian tersebut dijual dan dihukumi sah untuk dijual seperti penjelasan sebelumnya. Dan termasuk pula kedalam benda yang dimuliakan adalah bagian tubuh dari anak adam walaupun termasuk dalam kafir harby. Hal ini disebabkan karena kafir harby tersebut masih dimuliakan sebagai manusia, walau tidak dimuliakan dari segi mendapatkan hidayah”.

Bersuci dengan menggunakan alat yang dimuliakan di daerah tertentu dan tidak dimuliakan ditempat lain.

Tidak diperbolehkannya istinja dengan menggunakan benda yang dimuliakan menimbulkan pertanyaan yaitu apakah daerah yang sedah ditempati itu memuliakan atau tidak barang yang tersebut? Adapun benda yang dimuliakan disini adalah benda yang dimuliakan secara syariat, bukan benda yang dimuliakan oleh penduduk tertentu. Sedangkan benda yang dimuliakan berupa emas, perak, dan alat tukar masih boleh digunakan untuk istinja ketika memang tidak dicetak untuk tujuan istinja. Dalam kitab Asna al-Matholib fii Syarhi Roudli at-Tholib karya Syeikh Zakaria Al-Anshari mengatakan :

(ويجوز) ‌الاستنجاء (بذهب، وفضة، وجوهر) ، وبقطعة ديباج نعم حجارة الحرم، والمطبوع من الذهب، والفضة

“Dan diperbolehkan beristinja dengan menggunakan emas, perak, dan permata dan dengan potongan batu hiasan, yaitu batu mulia dan sesuatu yang dicetak dari emas dan perak”. Asna al-Matholib fii Syarhi Roudli at-Tholib Juz :1, hal : 50

Sehingga dapat disimpulkan bahwa istinja yang mana musatnja’ bih-nya menggunakan benda berupa emas dan perak masih diperbolehkan.

Keabsahan beristinja dengan menggunakan emas dan perak ataupun alat tukar berupa uang.

Dalam keadaan ini hendaknya mustanji melihat terlebih dahulu apakah pada emas, perak, atau uang tersebut terdapat asma mu’adzom atau tidak kalau tidak maka sah Namun, kalau ada maka diharamkan menggunakkannya untuk beristinja’. Beristinja pada keadaan ini dikatakan sah ketika memenuhi syarat benda sebagai mustanja bih padat, suci, dapat melepas najis dan tidak terdapat asma mu’adzomnya. Dalam kitab Hasyiyah Bujairomi ala al-Khatib dikatakan :

وشمل غير المهيأ الدراهم والدنانير المضروبة، فإنها لم تطبع للاستنجاء بل للتعامل بها، فيجوز ‌الاستنجاء بها على ما اقتضاه كلامه

Dan termasuk (benda yang diperbolehkan digunakan untuk istinja,) adalah dirham dan dinar yang dicetak tidak untuk dipersiapkan untuk istinja’. Karena pada umumnya dirham dan dinar tidak dicetak untuk untuk istinja’, akan tetapi (dicetak) untuk bertransaksi. Maka diperbolehkan istinja’ jika memang sesuai dengan pernyataan memang uang tersebut dicetak untuk tujuan istinja’.”Hasyiyah Bujairomi ala al-Khatib Juz : 1,Hal : 182.

Maka dapat disimpulkan sah sah saja beristinja’ dengan menggunakan uang jika uang tersebut dicertak atau dibuat tidak dengan tujuan untuk beristinja’, namun untuk bertransaksi. Juga dikatakan sah beristinja’ dengan menggunakan emas dan perak dengan dasar ibaroh yang telah disebutkan sebelumnya.

Wallahu’alam

Kesunahan Wudhu seperti Tastlist dapat berubah menjadi Keharaman. Begini Penjelasannya

Ilustrasi pelaksanaan Tastlits pada basuhan wajah dalam wudhu. Sumber: NyantriYuk.id

Pengaruh Ketersediaan Air untuk Pelaksanaan Tastlits

Tidak bisa dipungkiri bahwa air merupakan sumber utama bagi kehidupan, baik bagi manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan bagi makhluk hidup yang lainnya. Tidak jarang pada kehidupan sehari-hari, kita menemukan dimana disuatu tempat ataupun pada musim-musim tertentu persediaan air sangat terbatas.

Seperti ketika musim kemarau yang menyebabkan persediaan air berkurang, debit sungai menurun, sumur-sumur kering sehingga masyarakat mengalami kekurangan air. Dengan kondisi seperti itu, masyarakat akan berupaya mencari persediaan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan tak jarang bagi masyarakat untuk membeli air dan berusaha menghemat penggunaan air. Dengan itu, kebutuhan akan persediaan air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hal ini setiap muslim memiliki kewajiban sholat, yang mensyaratkan berwudhu. Dan salah satu syarat dalam berwudhu adalah dengan menggunakan air suci mensucikan. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana jika seseorang ingin mendapatkan kesunnahan-kesunnahan dalam berwudhu, seperti tastlist, sementara persediaan air terbatas? Atau bagaimana jika ingin mendapatkan kesunnahan-kesunnahan dalam berwudhu, sementara waktu menunjukkan mendekati batas berakhirnya waktu sholat? Berikut penjelasannya.

Keharaman Tatslits. Apakah mungkin?

Imam Syarbini dalam kitab Al-Iqna’ Fi Halli Alfadz Abi Syuja’ meperingatkatkan untuk meninggalkan kesunnahan tastlist dalam berwudhu jika dikhawatirkan berakhirnya batas waktu sholat, bahkan diharamkam ketika mengerjakan kesunnahan tastlist sedangkan waktu sudah menunjukkan batas berakhirnya sholat. Juga diharamkan mengerjakan kesunnahan tastlist dalam kondisi persediaan air terbatas atau kekurangan air dan hanya cukup digunakan untuk mengerjakan fardhu wudhu saja. Selain itu, Imam Syarbini dengan mengutip Imam Al-Jilli dalam kitab Al-I’jaz menejelaskan bahwa batasan air yang terbatas adalah ketika air tersebut cukup untuk melaksanakan fardhu wudhu masing-masing satu kali basuhan dan masih tersisa untuk minum dan kebutuhan lain. Atau air yang jika digunakan untuk taslist menyebabkan air tidak cukup digunakan untuk menyelesaikan fardhu wudhu. Berikut penjelasan dari Imam Syarbini,

(القول في طلب ترك التثليث) تنبيه قد يطلب ترك التثليث كأن ضاق الوقت بحيث لو اشتغل به لخرج الوقت فإنه يحرم عليه التثليث أو قل الماء بحيث لا يكفيه إلا للفرض فتحرم الزيادة لأنها تحوجه إلى التيمم مع القدرة على الماء كما ذكره البغوي في فتاويه وجرى عليه النووي في التحفة أو احتاج إلى الفاضل عنه لعطش بأن كان معه من الماء ما يكفيه للشرب لو توضأ به مرة مرة ولو ثلث لم يفضل للشرب شيء فإنه يحرم عليه التثليث كما قاله الجيلي في الإعجاز

(Pendapat dalam perintah untuk meninggalkan taslist) sebagai pengingat bahwa terkadang diperintahkan untuk meninggalkan taslist seperti ketika sedikitnya waktu sekiranya jika seseorang menyibukkan diri dengannya maka waktu (salat) akan berakhir maka diharamkan baginya untuk menunaikan taslist. Atau ketika sedikitnya persediaan air sekiranya tidak mencukupi baginya kecuali untuk menunaikan kefardhuan maka diharamkan untuk menambahkan (dari yang difardhukan) karena tambahan tersebut memaksa seseorang untuk bertayamum disertai cukupnya air sebagaimana Imam al-Baghawi menyebutkannya dalam kitab fatwanya dan Imam Nawawi sepakat kepadanya sebagaimana dalam kitab Tuhfah. Atau ketika seseorang membutuhkan sisa air dari wudhu karena haus seperti ketika dia memiliki air yang cukup untuk minum jika seseorang berwudu dengan air tersebut satu anggota satu kali basuhan dan jika dia melakukan taslis maka tidak tersisa air sama sekali untuk minum maka haram baginya menunaikan taslist sebagaimana Imam al-Jilli menyebutkannya dalam kitab al-I’jaz. [Imam as-Syirbiny, al-Iqna’ Fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’, Dar al-Fikr, 1/51]

Demikian juga Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj menjelaskan tentang tastlist, bahwa diharamkan mengerjakan kesunnahan tastlist ketika waktu sholat terbatas, atau ketika mengerjakan kesunnahan tastlist dapat menyebabkan tidak dapat melakukan sholat secara sempurna. Meninggalkan kesunnahan tastlist dalam kondisi seperti itu merupakan kesunnahan tersendiri bahkan wajib bagi orang tersebut. Atau meninggalkannya sekiranya membutuhkan persediaan air untuk menghilangkan rasa haus, maupun sekiranya air cukup untuk untuk menjaga kesucian dirinya. Jadi, dalam hal ini, itu juga dilarang untuk menggunakan air tersebut untuk segala macam ibadah sunnah. Selain itu, bisa dianjurkan untuk meninggalkannya jika seseorang takut kehilangan waktu yang cukup untuk menyelesaikan shalat berjamaah dan tidak ada alternatif lain. Berikut penjelasan Ibnu Hajar Al-Haitami,

وقد يحرم بأن ضاق الوقت بحيث لو ثلث لم يدرك الصلاة كاملة فيه وقول الشارح أن تركه حينئذ سنة صوابه واجب أو احتاج لمائه لعطش محترم أو لتتمة طهره ولو ثلث لم يتم بل لو كان معه ماء لا يكفيه حرم استعماله في شيء من السنن أيضا وقد يندب تركه بأن خاف فوت نحو جماعة لم يرج غيرها

Dan terkadang (taslist) diharamkan ketika sedikitnya waktu sekiranya jika seseorang menunaikan taslist maka dia tidak dapat menunaikan salat secara sempurna dalam waktu tersebut. Pendapat pensyarah bahwa sesungguhnya meninggalkan (taslist) pada saat itu merupakan hal sunnah adapun yang benar adalah wajib. Atau ketika seseorang membutuhkan airnya karena rasa haus atau karena (untuk) menyempurnakan (ibadah) bersucinya dan jika dia menunaikan taslist maka bersucinya tidak sempurna. Bahkan jika seseorang memiliki air yang tidak mencukupi maka juga diharamkan penggunaannya untuk menunaikan sesuatu dari kesunahan. Dan terkadang disunahkan untuk meninggalkan taslist seperti ketika seseorang khawatir berakhirnya semisal salat jamaah yang tidak bisa diharapkan selain (jamaah) tersebut. [Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, al-Maktabah at-Tijariyyah Kubro, 1/230]

Ketetapan Sunah-Sunah Wudhu pada Seseorang yang Kehilangan Anggota Wudhunya

Ilustrasi pelaksanaan sunah mengusap kedua telinga pada wudhu. Sumber: PesonaPengantin.my

Kesunahan Mengusap Telinga pada Wudhu

Terdapat banyak sekali ibadah yang mensyariatkan wudhu, seperti shalat, tawaf, memegang mushaf, dan lain sebagainya. Berwudhu di samping memiliki syarat dan rukun juga memiliki banyak hal yang sunnah dilakukan untuk menyempurnakannya. Demikian juga termasuk mengusap kedua telinga, yang merupakan salah satu kesunnahan dalam wudhu.

Lalu bagaimana jika seseorang tidak lagi memiliki daun telinga dikarenakan kecelakaan, yang kemudian telinga tersebut diharuskan untuk diperban? Apakah orang tersebut masih dapat melakukan kesunnahan dalam berwudhu? Hal ini sebagaimana dijelaskon oleh Syaikh Ibrahim Al-Baijuri dalam kitab Hasyiyah Al-Baijuri, yang mengatakan bahwa:

وظاهر تقييد الشارح بالجميع أن استيعاب الأذنين بالمسح شرط لأصل السنة, ولكن الأقرب أنه شرط لكمالها حتى لو مسح البعض فقط حصل أصل السنة

Adapun dhahir batasan (dari) pensyarah dengan keseluruhan adalah sesungguhnya meratakan kedua telinga dengan usapan adalah syarat terpenuhinya pokok kesunahan, tetapi yang paling dekat adalah sesungguhnya (meratakan usapan) merupakan syarat untuk kesempurnaan (mengusap telinga) sehingga jika seseorang mengusap sebagian saja maka dia berhasil (menunaikan) pokok kesunahannya. [Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1/106]

Dalam kesunahan mengusap telinga terdapat ashlu sunnah-nya atau pokok kesunahannya tersendiri yaitu dengan mengusap sebagian dari kedua telinga saja. Jika masih tersisa sebagian dari telinga maka masih tetap disunahkan untuk mengusapnya. Sehingga dengan mengusap sebagian telinga saja sudah mendapatkan kesunnahan mengusap telinga dalam wudhu. Bahkan untuk bagian dalam lubang telinga juga terdapat kesunahannya tersendiri.

Bagaimana dengan telinga yang diperban?

Adapun cara mengusap telinga yang masih diperban yaitu cukup dengan mengusap sebagian telinga yang memungkinkan untuk diusap. Sehingga orang tersebut masih dapat melaksanakan ashlu sunnah dari mengusap telinga. Jika sudah tidak memungkinkan untuk diusap, maka disunahkan untuk bertayamum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj, yang mengutip pendapat dari Imam Al-Isnawi dalam Syarah Al-‘Ubab, yang mengatakan bahwa:

ويسن إذا تعذر مسح الأذنين أن يتيمم عنهما لأنه ‌يسن تطهيرهما

Disunnahkan jika sulit untuk mengusap kedua telinga, maka dapat melakukan tayammum sebagai gantinya karena disunnahkan bersuci dengan kedua telinga tersebut. [Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, al-Maktabah at-Tijariyyah Kubro, 1/347]

Dengan demikian kesimpulan dari penjelasan diatas bahwa jika seseorang tidak memiliki daun telinga atau kedua telinganya dalam keadaan diperban, maka masih dapat melakukan kesunnahan dalam berwudhu dengan mengusap sebagaian dari telinga dan jika kedua telinganya diperban, maka disunnahkan untuk maka dapat melakukan tayammum sebagai gantinya. Wallahua’lam.

Pengaruh Pentingnya Kebersihan Kuku terhadap Kegiatan Bersuci Sehari-hari

Ilustrasi kotor pada kuku. Sumber: Dream.co.id

Memotong kuku merupakan kegiatan yang disunahkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. Syariat kesunahan tersebut dapat diketahui secara seksama dalam banyak hadis yang diriwayatkan oleh para ulama. Seperti yang dikutip oleh Imam As-Syairozy dalam kitab al-Muhadzdzab dari kitab Shahih Muslim

ويستحب أن يقلم الأظافر ويقص الشارب ويغسل البراجم وينتف الإبط ويحلق العانة لما روى عمار بن ياسر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : { الفطرة عشرة : المضمضة ، والاستنشاق ، والسواك ، وقص الشارب ، وتقليم الأظافر ، وغسل البراجم ، ونتف الإبط ، والانتضاح بالماء ، والختان ، والاستحداد{

Disunahkan untuk memotong kuku dan memendekkan kumis, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, dan mencukur rambut kemaluan karena sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Ammar bin Yasir ra. sesungguhnya Nabi saw. bersabda {kesucian itu ada 10: berkumur, menghisap air ke dalam hidung, bersiwak, memendekkan kumis, memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, bersuci dengan air, khitan, dan mencukur rambut kemaluan} [As-Syairozy, Al-Muhadzdzab, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1/34]

Dalam hal melaksanakan kesunahan-kesunahan di atas seperti memotong kuku dan lain-lain terdapat batasan jarak waktu maksimal. Jarak waktu tersebut disepakati oleh jumhur ulama baik dari ulama ahli hadis maupun ulama ushul fiqh yaitu 40 hari lamanya. Sedangkan anjuran dari ketetapan yang diberikan oleh Imam Syafii dan para ulama Syafiiyyah adalah setiap jumat.

Pengambilan ketetapan tersebut bukan tanpa alasan, melainkan disebabkan oleh perintah Rasulullah saw. untuk memotong kuku dan beliau juga tidak menyukai adanya kotoran di bawah kuku dikarenakan menghalangi sampainya air wudhu ke sela-sela antara kuku dan kulit. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus mungkin saja ada beberapa orang yang membutuhkan kuku yang panjang untuk memudahkan urusan mereka. Dampak dari memelihara kuku agar panjang tersebut adalah bertumpuknya kotoran di bawah kuku tersebut. Berikut perbedaan pendapat antara ulama mengenai kotoran di bawah kuku

ولو كان تحت الأظفار وسخ فإن لم يمنع وصول الماء إلى ما تحته لقلته صح الوضوء وإن منع فقطع المتولي بأنه لا يجزيه ولا يرتفع حدثه: كما لو كان الوسخ في موضع آخر من البدن وقطع الغزالي في الإحياء بالإجزاء وصحة الوضوء والغسل وانه يعفى عنه للحاجة

Apabila dibawah kuku terdapat kotoran maka jika tidak menghalangi sampainya air ke bawahnya karena sedikitnya kotoran tersebut maka (tetap) sah wudhunya. Dan jika menghalangi maka Imam al-Mutawally menetapkan bahwa hal tersebut tidak mencukupi bagi orang yang berwudu dan tidak hilang hadasnya. Sebagaimana jika terdapat kotoran di tempat lain pada anggota bahan. Imam al-Ghazali menetapkan dalam kitab Ihya’ dengan memperbolehkannya dan sahnya wudhu dan mandi. Dan sesungguhnya (kotoran) tersebut ditolerir karena adanya kebutuhan [An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, al-Muniriyyah, 1/286]

Sehingga menurut para ulama jika kotoran dibawah kuku tergolong sedikit dengan batasan tidak mencegah sampainya air ke kulit. Namun ketika kotoran tersebut tergolong banyak maka Imam al-Mutawalli menetapkan tidak sahnya wudhu bagi orang yang memiliki banyak kotoran dibawah kukunya. Sedangkan menurut Imam al-Ghazali menetapkan tetap sah wudhunya dikarenakan adanya kebutuhan dan kotoran tersebut ditolerir. Dikuatkan oleh pendapat dari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari nya

قال القرطبي في المفهم ذكر الأربعين تحديد لأكثر المدة ولا يمنع تفقد ذلك من الجمعة إلى الجمعة والضابط في ذلك الاحتياج وكذا قال النووي المختار أن ذلك كله يضبط بالحاجة وقال في شرح المهذب ينبغي أن يختلف ذلك باختلاف الأحوال والأشخاص والضابط الحاجة في هذا وفي جميع الخصال المذكورة قلت لكن لا يمنع من التفقد يوم الجمعة فإن المبالغة في التنظف فيه مشروع والله أعلم

Imam al-Qurtubi berkata dalam pemahaman penyebutan 40 hari adalah membatasi banyaknya waktu dan tidak dilarang tidak sesuainya dengan bilangan tersebut (jika melakukan kesunahan di atas) dari Jumat ke Jumat (yang akan datang). Batasan dari hal itu adalah kebutuhan begitu pula Imam an-Nawawi berkata bahwa pendapat yang terpilih adalah kesunahan di atas dibatasi dengan kebutuhan. Beliau berkata dalam kitab Syarh al-Muhadzdzab seyogyanya perbedaan waktu tersebut sesuai dengan perbedaan keadaan dan (karakter) manusia dan adapun batasannya adalah kebutuhan dalam perkara ini (memotong kuku) dan semua perkara-perkara yang telah disebutkan. Aku berkata tetapi tidak dilarang pula tidak sesuai dengan hari Jumat karena sesungguhnya berlebihan dalam bersuci pada perkara tersebut merupakan sesuatu yang disyariatkan. Adapun Allah lebih mengetahui [Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifat, 10/346]

Dari penjelasan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa memotong kuku merupakan salah satu kegiatan yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. Anjuran tersebut dapat diketahui melalui hadis yang diriwayatkan para ulama. Dalam pembahasan lain, waktu maksimal memotong kuku adalah 40 hari atau bisa dilaksanakan setiap hari Jumat. Ketika dilaksanakan lebih sering dari itu maka juga diperbolehkan karena bersungguh-sungguh dalam membersihkan diri merupakan sesuatu yang disyariatkan.

Meskipun demikian, terdapat beberapa orang yang membutuhkan kuku yang panjang untuk memudahkan urusan mereka. Sehingga mereka memelihara kuku mereka dan tidak memotongnya. Oleh sebab kuku yang panjang memungkinkan untuk bertumpuknya kotoran dibawahnya sehingga memungkinkan juga air tidak sampai ke kulit yang wajib terkena air ketika berwudhu. Beberapa ulama membolehkannya dengan berpegangan pada batasan memotong kuku adalah sesuai kebutuhan masing-masing. Sehingga memanjangkan kuku dikarenakan ada kebutuhan merupakan sesuatu yang diperbolehkan namun menyelisihi sunah Nabi saw. yang merupakan pembimbing kita di dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam bisshowab.

Teknologi Merambah Tubuh dengan Prostesis, Lalu Bagaimana Hukum Bersucinya?

Ilustrasi Penggunaan Prostesis pada tubuh manusia. Sumber: Sehatq.com

Apa itu Prostesis? dan Bagaimana Islam menanggapinya?

Perkembangan teknologi di era sekarang sudah memasuki berbagai aspek kehidupan dalam rangka memudahkan kehidupan manusia seperti aspek komunikasi, industri, olahraga, juga aspek kesehatan atau medis. Contoh yang dapat kita ambil dari perkembangan teknologi pada aspek medis adalah munculnya prostesis. Prostesis merupakan suatu alat bantu yang menyerupai bentuk bagian tubuh untuk menggantikan bagian tubuh yang terputus atau rusak akibat trauma, penyakit, atau kondisi kelahiran.

Prostesis sangat membantu manusia terlebih jika penggunaannya adalah untuk menggantikan anggota motorik tubuh seperti tangan dan kaki. Prostesis digunakan untuk membantu pasien mendapatkan kembali fungsi tertentu setelah bagian tubuhnya cedera berat karena kecelakaan atau terkena penyakit. Bahkan sekarang sudah mulai dikembangkan organ bionic/robotic di mana kerjanya sudah terintegrasikan dengan sistem syaraf ditubuh. Selain itu prostetis ini juga tahan air sehingga tidak mudah rusak. Sebagai alat bantu manusia, alat ini ada yang dibuat melekat permanen dan ada yang bisa dilepas dengan mudah.

Sedangkan dalam Islam sendiri tangan dan kaki merupakan anggota yang wajib dibasuh ketika seseorang melaksanakan wudhu yang jika tidak dibasuh maka wudhu dianggap tidak sah. Namun, kewajiban membasuh tersebut menjadi gugur ketika seseorang kehilangan tangan atau kakinya. Imam Nawawi menyebutkan dalam kitab Majmu’

وإن كان أقطع اليد ولم يبق من محل الفرض شئ فلا فرض عليه فيه احتراز مما إذا بقى من محل الفرض شئ فإنه يجب غسله بلا خلاف لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال وإذا أمرتكم بشئ فأتوا منه ما استطعتم رواه البخاري ومسلم

Jika seseorang tidak memiliki tangan dan tidak tersisa tempat (anggota) fardhu (wudhu) sama sekali maka ia tidak memiliki kewajiban pada anggota tersebut. Berbeda jika masih tersisa sebagian  tempat (anggota) fardhu (wudhu) maka wajib membasuhnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal tersebut. Karena (sesuai) dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda ketika aku memerintahkan kalian suatu perkara maka lakukanlah semampu kalian HR. Bukhari dan Muslim [An-Nawawi, Majmu’ Syarh Muhadzdzab, al-Muniriyyah, 1/392]

Lantas bagaimana jika seseorang menggunakan prostesis untuk menggantikan anggota tubuhnya dalam hal ini tangan atau kaki kemudian digunakan untuk berwudhu? Apakah mendapat kewajiban untuk membasuh prostesis tersebut? Dalam artikel singkat ini, penulis mencoba menjabarkannya dengan menggunakan kitab turast dan membagi hukum prostesis dengan dua pembagian sebagai berikut

Prostesis Non-Permanen

Dalam berwudhu, seseorang diwajibkan untuk membasuh bagian luar (dhahir) dari anggota tubuh yang diwajibkan dalam wudhu. Dan bagi orang yang terpotong tangan/kakinya wajib pula membasuh bekas bagian potongan jika masih termasuk dalam anggota wajib. Kewajiban membasuh tersebut juga ketika aman untuk dibasuh maksudnya adalah tidak ada kekhawatiran bertambahnya rasa sakit pada bekas potongan tersebut.

Penggunaan prostesis pada bagian tubuh yang terpotong akan menutupi tempat bekas potongan tersebut. Disisi lain, bagian terluar bekas potongan tersebut merupakan sesuatu yang wajib dibasuh ketika wudhu. Imam Ibnu Hajar menjelaskan dalam fatwanya

إن كان ذلك البدل بحيث يمكن بلا خشية مبيح تيمم إزالته وعوده وجبت إزالته وغسل ما تحته

Jika pengganti tersebut sekiranya memungkinkan dengan tanpa kekhawatiran hingga kondisi yang membolehkan tayamum untuk melepasnya dan mengembalikannya maka wajib untuk melepasnya dan membasuh apa yang ada di bawahnya [Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawy al-Fiqhiyyah al-Kubra, al-Maktabah al-Islamiyyah, 1/60]

Kondisi yang membolehkan tayamum maksudnya adalah ketika pelepasan prostesis tidak ada kekhawatiran timbulnya rasa sakit/penyakit, bertambahnya rasa sakit, memperlambat penyembuhan dan lain sebagainya.

Bagian yang wajib dibasuh adalah apa yang tersisa dari anggota tubuh yang terpotong, jika seluruh tangan hingga siku terputus (anggota yang wajib dibasuh dalam wudhu) maka tidak perlu dibasuh dan tidak ada kewajiban melepas prosthetis (tidak dihukumi anggota asli). Jika masih ada pergelangan tangan (sebagian yang wajib dibasuh) maka setiap wudlu prosthesis harus dilepas agar bagian yang ditempeli prostesis (anggota yang wajib) dapat terbasuh.

Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa prostesis non-permanen dengan batasan tidak ada kekhawatiran ketika melepasnya tidak dapat disamakan dengan anggota tubuh asli yang wajib dibasuh ketika berwudhu. Dan wajib dibasuh bagian terluar tubuh yang ditempeli alat prostesis. Sehingga prostesispun wajib dilepas ketika hendak berwudhu.

Tidak Lazim, Begini Hukum Penggunaan Bejana dan Alat Makan Berlapis Emas dan Perak

Ilustrasi alat makan dan minum dari emas dan perak. Sumber: Umma.id

Hukum Penggunaan Bejana Emas dan Perak

Penggunaan emas dan perak sebagai alat makan agaknya dapat ditemui di hotel-hotel highclass. Hal ini terjadi dikarenakan pihak hotel ingin menyajikan makanannya dengan mewah guna menjaga kepuasan pelanggannya. Walapun tidak semua hotel demikan, penggunaan alat makan seperti silverware misalnya, sudah menjadi hal yang umum. Penggunaan silverware pada alat makan hotel ini terbuat dari logam yang berlapis stainless atau perak. Tidak berhenti di situ, adakalanya pihak hotel menggunakan alat-alat makan yang dilapisi emas. Ditambah lagi, tidak hanya alat makan, penggunaan lapisan emas atau perak ini terkadang berlaku juga pada alat-alat kamar mandi. Baik WC, bak mandi, shower, dan lain sebagainya.

Dari gambaran tersebut, pemakaian emas atau perak pada alat makan dan alat mandi terutama bak mandi menjadi suatu masalah tersendiri. Masalah ini muncul karena adanya hukum larangan melapisi emas atau perak pada alat makan, dan bejana air yang digunakan untuk bersuci. Lantas bagaimana hukum orang yang makan dari alat makan yang dilapisi emas atau perak? Dan apa hukum orang yang bersuci menggunakan bejana yang dilapisi emas atau perak tersebut?

Makanan dan Minuman yang Disajikan Menggunakan Alat Makan yang Berlapis Emas

Makanan atau minuman yang disajikan menggunakan alat makan berlapis emas tidak berubah hukumnya, selagi makanan itu halal maka tidak ada masalah. Namun, yang dilarang adalah penggunaannya (isti’mal-nya). Syeikh Syihabuddin Ar-Romli mengatakan dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj :

نعم الطهارة منه صحيحة والمأكول ونحوه حلال؛ لأن التحريم للاستعمال لا لخصوص ما ذكر.

Benar, sah bersuci menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak, dan makanan yang dimakan atau semacamnya tetap dihukumi halal. Karena yang diharamkan adalah penggunaannya, bukan selainnya yang tidak disebutkan” (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Juz 1, Hal :102).

Hukum makan menggunakan alat-alat makan yang dilapisi emas ini adalah makruh tahrim, tergantung seberapa banyak kadar emas yang terkandung dalam alat-alat makan tersebut. Apabila kandungan emasnya sedikit maka diperbolehkan, dan apabila kandungan emasnya banyak maka haram makan menggunakan alat tersebut kecuali adanya darurat. Kandungan emas dapat diukur dengan memanaskan wadah tersebut. Apabila ada setelah dipanaskan ada bagian yang terpisah maka kadar emas tersebut banyak, apabila tidak maka sebaliknya. Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj :

فيحل استعمال مموه من ذلك بذهب لا يحصل منه شيء بالعرض على النار سم عبارة البجيرمي وحاصل مسألة التمويه أن فعله حرام مطلقا حتى في حلي النساء، وأما استعمال ‌المموه فإن كان لا يتحلل منه شيء بالعرض على النار حل مطلقا

Diperbolehkan menggunakan bejana yang dilapisi emas yang ketika emas itu dipanaskan tidak ada bagian yang terpisah menurut Imam Bujarami. Adapun kesimpulannya adalah perbuatan melapisi emas dihukumi haram secara mutlak bahkan pada perhiasan wanita. Adapun menggunakan wadah yang berlapis emas dihukumi halal secara mutlak selagi tidak ada sesuatu yang terpisah dari wadah tersebut ketika dipanaskan menggunakan api”. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, juz 1, hal :122)

Penggunaan alat makan yang dilapisi emas diperbolehkan karena memang tidak adanya peralatan lain yang tidak dilapisi emas. Jika ada, maka haram menggunakan alat-alat makan berlapis emas untuk makan dan minum.

Mengungkap Kontroversi dalam Thrifting Online dengan Kerancuan Komposisi Barang

Ilustrasi kegiatan Thrifting Sepatu. Sumber: Harianhaluan.com

Bagaimana Hukum Menggunakan Pakaian yang Terbuat dari Bahan yang Najis?

Maraknya thrifting atau jual beli barang bekas dengan tujuan untuk dipakai kembali nampaknya menjadi kegiatan yang cukup diminati oleh masyarakat Indonesia saat ini. Kegiatan thrifting ini selain membuka jalan usaha bagi pelaku bisnis juga memberikan alternatif bagi konsumen untuk mendapatkan barang bekas yang branded yang terbilang masih bagus. Kendati demikian, maraknya thrifting ini banyak barang bekas seperti pakaian yang terbuat dari bahan yang beragam. Ada pakaian yang memang terbuat dari kulit hewan yang suci dan ada yang terbuat dari kulit hewan yang najis.

Dari gambaran tersebut, kesucian pakaian yang dibeli kemudian digunakan kian dipertanyakan. Karena kesucian dari pakaian ini tentu akan berpengaruh kepada orang yang beribadah. Sholat misalnya, dalam syarat sah shalat. Di antara pertanyaan yang muncul dan akan dibahas adalah bagaimana hukum kesucian pakaian tersebut jika tidak diketahui asalnya? dan apa hukum penggunaan pakaian yang di dalamnya terkandung bahan yang najis?

Kesucian Pakaian yang Tidak Diketahui Bahannya.

Ulama Syafi’iyah perihal kesucian pakaian bagi orang yang tidak tahu asal-usul dari bahan apa pakaian yang ia gunakan, apakah berasal dari kulit hewan yang suci atau berasal dari kulit hewan yang najis, memiliki perbedaan pendapat (khilafiyyah). Perbedaan ini didasarkan dengan apa kulit hewan yang belum diketahui asal-usulnya itu di-qiyas-kan.

Pertama, jika kulit hewan disamakan dengan daging, maka kulit hewan tersebut dihukumi najis. Kulit hewan dihukumi najis karena adanya keraguan terhadap asal-usul dari hewan apa kulit tersebut. Jika tidak diragukan asal-usulnya, maka kulit dan daging dihukumi suci tergantung bagaimana cara penyembelihannya. Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj mengatakan :

والشعر المشكوك في انتتافه من مأكول بأن الأصل في الشعر الطهارة وفي اللحم عدم التذكية اهـ. ومن المعلوم أن الجلد كاللحم؛ لأن طهارة كل منهما وحل تناوله متوقف على التذكية فعند الشك فيها الأصل عدمه فتبين ما في كلام الشارح.

Bulu hewan yang boleh dimakan yang diragukan pencabutan bulunya hukum asalnya adalah suci. Sedangkan daging hukumnya seperti daging dari hewan yang tidak disembelih. Dan dapat diketahui bahwa kulit dihukumi seperti daging. Karena keduanya dapat menjadi suci dan halal dimakan tergantung pada penyembelihannya. Apabila diragukan penyembelihannya maka hukumnya sesuai asalnya yaitu tidak adanya penyembelihan. Sehingga perkataaan pen-syarah telah menjadi jelas”. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz 1, Hal : 308).

Kemudian yang kedua, jika kulit hewan belum diketahui asal-usulnya maka terdapat dua pendapat yakni dilarang dan dibolehkan. Adapun jika kulit hewan disamakan dengan bulu maka salah satu dari khilafiyah mengatakan dibolehkan, sehingga dapat dihukumi suci. Imam Mawardi dalam kitab al-Hawi al Kabir mengatakan :

وَإِنْ شَكَّ فَلَمْ يَعْلَمْ أَمِنْ شَعْرِ مَأْكُولٍ أَوْ غَيْرِ مَأْكُولٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي أُصُولِ الْأَشْيَاءِ هَلْ هِيَ عَلَى الْحَظْرِ أَوْ عَلَى الْإِبَاحَةِ : إِنَّ الْأَشْيَاءَ فِي أُصُولِهَا عَلَى الْحَظْرِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ نَجِسًا ، وَإِنْ قِيلَ . إِنَّهَا عَلَى الْإِبَاحَةِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ طَاهِرًا

Apabila ragu dan tidak diketahui apakah bulu hewan itu berasal dari hewan yang boleh dimakan atau tidak maka terdapat dua pendapat menurut golongan kita (Syafiiyyah) dalam asalnya segala sesuatu, apakah termasuk dalam sesuatu yang dilarang atau diperbolehkan. Jika hukum asal dari sesuatu itu larangan maka bulu tersebut dihukumi najis, dan jika dikatakan hukum asal dari segala sesuatu itu boleh maka bulu tersebut dihukumi suci”. (Kitab al-Hawi al-Kabir, Juz 1, Hal :102)

Jihad Ilmu Imam Nawawi

Imam Nawawi adalah Al-Imam, Al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin, Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam An-Nawawi. Beliau disebut juga sebagai Abu Zakariya, padahal beliau tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya. Sebab, beliau belum sempat menikah. Beliau termasuk salah seorang ulama yang membujang hingga akhir hayatnya. Dan mendapatkan gelar “Muhyiddin” (orang yang menghidupkan agama), padahal ia tidak menyukai gelar ini. Dan ia memang pernah mengemukakan: “Aku tidak perbolehkan orang memberikan gelar “Muhyiddin” kepadaku.” Beliau lahir pada pertengahan bulan Muharram, atau pada sepuluh pertama bulan Muharram pada tahun 631 H. di kota Nawa, sebuah daerah di bumi Hauran, Damaskus.

Baca: Peristiwa Bersejarah Di Bulan Sya’ban

Beliau diasuh dan dididik atau dibina oleh ayahnya dengan gigih, sang ayah menyuruhnya untuk menuntut ilmu sejak kecil. Hingga beliau telah berhasil menghafal al-Qur-an ketika mendekati usia baligh. Beliau menghafalkan Al-Qur’an tersebut di kotanya (Nawa) yang lingkungannya tidak kondusif untuk belajar. Setelah melihat lingkungan di Nawa yang tidak kondusif tersebut, ayahnya membawa ia pergi ke Damaskus pada tahun 649 H. Pada saat itu, usianya telah menginjak sembilan belas tahun. Dan akhirnya beliau tinggal di sebuah Lembaga Pendidikan Rawahiyah. Di sana beliau memulai perjalanannya menuntut ilmu. Beliu tidak pernah berhenti menuntut ilmu. Beliau rajin dan memberikan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu sehingga ilmu-pun memberikan kepadanya sebagian darinya.          

Imam Nawawi bercerita tentang dirinya: “Ketika usiaku telah mencapai 19 tahun, ayahku memboyongku pindah ke Damaskus sampai berusia 49 tahun. Di sana aku belajar di Madrasah Rawahiyyah. Selama kurang lebih 2 tahun di sana, aku jarang tidur nyenyak; penyebabnya, tidak lain adalah karena aku sangat ingin mendalami semua pelajaran yang diberikan di Madrasah tersebut. Akupun berhasil menghafal At-Tanbih  kurang lebih selama 4,5 bulan. Selanjutnya, aku berhasil menghafal 114 Ibadat (sekitar seperempat) dari kitab Al-Muhadzdzab, di sisa bulan berikutnya dalam tahun tersebut. Aku juga banyak memberikan komentar dan masukan kepada syaikh kami, Ishaq Al-Maghribi. Aku juga sangat intens dalam bermulazamah dengan beliau. Beliaupun lalu merasa tertarik kepadaku ketika melihatku begitu menyibukkan diri dalam semua aktifitasku dan tidak pernah terpengaruh dengan kebanyakan orang. Beliaupun sangat senang kepadaku dan akhirnya beliau mengangkatku menjadi assisten dalam halaqahnya, mengingat jama’ahnya yang begitu banyak.”

Setiap hari, Imam an-Nawawi membaca dua belas pelajaran dalam bentuk syarah dan komentar. Beliau selalu memberikan komentar terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengannya, baik menerangkan bahasa yang sulit dimengerti, penjelasan terhadap ungkapan yang tidak jelas, memberi harakat maupun penguraian kata-kata yang asing. Dan Allah SWT. telah memberi berkah kepadanya dalam pemanfaatan waktu. Sehingga beliau berhasil menjadikan apa yang telah disimpulkannya sebagai sebuah karya dan menjadikan karyanya sebagai hasil maksimal dari apa yang telah disimpulkannya.

Beliau adalah manusia yang sangat wara dan zuhud. Adz-Dzahabi berkata: “Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Beliau tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpa-kaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak.”   Beliau selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Beliau sering berkirim surat kepada mereka yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya. Abul Abbas bin Faraj berkata: “Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar.”

Baca: Rahasia Dibalik Makna Malam Nisfu Sya’ban 

Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung halaman-nya Nawa, sesudah mengembalikan berbagai kitab yang di-pinjamnya dari sebuah badan waqaf, selesai menziarahi makam para guru beliau, dan sehabis bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya:”Kapan kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?” Beliau menjawab: “Sesudah 200 tahun.” Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari kiamat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber : Mukhtashor Riyadhush Shalihin, Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadhish Shaalihiin

Picture by islam.com

Menolak Lamaran Seorang Perempuan

Abu Nashr as-Sijzi adalah ulama ahli Hadis dan Imam para Muhadis pada zamannya, biografinya ditulis oleh al-Hafidh ad-Dzahabi dalam Tadzkiratul Huffaz.

Abu Nash as-Sijzi ulama yang hafal ribuan Hadis dan seorang imam, alim dalam Hadis. Adalah Ubaidillah bin Said bin Hatim bin Ahmad al-Waili al-Bakri, penduduk Tanah Haram dan Mesir pengarang kitab Ibanatul Kubra fi Masalatil Qur’an, sebuah kitab penuh makna yang menunjukan ketokohannya dan pertemuannya dengan para Ulama besar.

Beliau belajar dari Ahmad bin Firas al-Abqasi, Abu Abdillah al-Hakim, Abu Ahmad al-Fardhi, Hamzah al-Muhallabi, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Bakar al-Hazzani, Abu Umar bin Mahdi, Ali Bin Abdurrahim as-Susi, Abul Husain Ahmad bin Muhammad al-Mujbir, Abu Muhammad bin an-Nahas, Abu Abdirrahman as-Sulami, Abdusshamad bin Zuhair bin Abi Jaradah al-Halabi- Sahabat Ibnu ‘Arabi dan tabaqat.

Perjalanannya dimulai setelah 400 H. Beliau belajar di Khurasan, Hijaz, Syam, Irak dan mesir. Diceritakan muridnya adalah Abu Ishaq al-Habbal, Sahal bin Bisyr al-Isyfirayini, Abu Ma’syar Al-Muqri’ at-Thabrani, Ismail bin al-Hasan al-Balawi, Ahmad bin Abdul Qadir al-Yusfi, Jakfar bin Yahya al-Hakkak, Jakfar bin Ahmad As-Saraj dan lainnya. Beliau adalah perawi Hadis al-musalsal bil awaliyah.

Baca: Berkat Tawasul Hajat Terkabul

Dalam kitab Shafhah min Shabril Ulama karya Abdul Fattah Abu Guddah, dijelaskan bahwasanya suatu hari al-Hafizh Abu Ishaq al-Jabbal sedang bersama Abu Nashr as-Sijzi, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Al-Hafizh Abu Ishaq al-Jabbal kemudian membukakan pintu tersebut, yang ternyata adalah seorang perempuan yang ingin bertamu.

Perempuan tersebut kemudian mengeluarkan kantong yang berisi uang seribu dinar. Dia meletakkannya di depan Abu Nashr as-Sijzi, perempuan tersebut kemudian berkata:

 “Belanjakanlah uang ini sebagaimana yang engkau inginkan.

Abu Nashr as-Sijzi yang melihat tingkah sang perempuan lalu bertanya,

“Apa maksudnya?” tanya Abu Nashr as-Sijzi

Sang perempuan dengan cepat menjawab:

“Engkau nikahi aku. Aku sebenarnya tidak butuh menikah, namun aku ingin melayanimu.”

Mendengar maksud perempuan tersebut, Abu Nashr as-Sijzi menolak dan meminta kepada sang perempuan untuk mengambil hartanya dan segera pergi dari hadapannya.

Dan ketika sang perempuan tersebut sudah pergi, Abu Nashr as-Sijzi berkata:

“Aku pergi dari Sijistan dengan niat mencari ilmu. Jika aku menikah, maka sebutan ini akan lepas dariku. Dan aku tidak akan mendapatkan pahala mencari ilmu sedikitpun.”

Demi belajar dan fokus mencari ilmu, Abu Nashr as-Sijzi rela menolak lamaran seorang perempuan yang ingin menikah dengannya. Padahal biaya untuk pernikahan tersebut disediakan oleh sang perempuan, namun Abu Nashr as-Sijzi lebih memilih untuk menolaknya karena ingin fokus untuk thalabul ilmi.

Apa yang dilakukan oleh Abu Nashr as-Sijzi tentu saja mempunyai alasan, kenapa lebih memilih menolak ajakan menikah dari seorang perempuan yang melamar dirinya. Padahal perempuan itu kaya dan mempunyai tujuan mulia yaitu untuk mengabdi dan melayaninya. Karena seorang pencari ilmu jika ingin benar-benar fokus, memang harus memiliki pilihan dan prioritas serta pengorbanan. Salah satunya adalah mengorbankan perasaan dan cinta dari seseorang  untuk pergi dari kehidupan seorang pencari ilmu.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya al-Jami’ Akhlaqir Rawi wa Adabus Sami’ bahwasanya:

“Dianjurkan bagi seorang penuntut ilmu untuk membujang sebisa mungkin (tidak menikah sementara waktu selama masa belajar), agar dalam mencari ilmu ia tidak disibukkan dengan hak-hak keluarga yang ia penuhi dan disibukkan dengan mencari penghidupan.

Baca: Tak Kenal Maka Ta’ruf

Memang keputusan untuk menikah dan membina rumah tangga dikhawatirkan bisa mengganggu proses mencari ilmu. Akan tetapi, jika bisa saling mendukung satu sama lain untuk fokus mencari ilmu dan saling melengkapi dalam belajar, serta berkontribusi untuk tenangnya hati dan pikiran. Kenapa tidak? Menikahlah!

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku Para Ulama Jomblo: Kisah Cendekiawan Muslim yang Memilih Membujang, alif.id

Picture by googleusercontent.com

Kisah Az-Zuhri dan Khalifah Abdul Malik bin Marwan:Kemuliaan Ilmu bagi Ahlinya

Pangkat bukanlah segalanya. Sebab hakikat sebuah pangkat hanyalah titipan anugerah yang diberikan oleh sang Maha Pangkat (مالك الملك). Kemulian seorang hamba bukan diukur dari sebuah pangkat atau keturunan mulia. Sebab banyak dari mereka yang berketurunan biasa, bahkan dianggap rendah, bisa mengangkat derajat nasabnya dengan kemampuan kapasitas dan kapabilitas ilmu yang dimilikinya.

Ilmu dapat mengangkat derajat kemuliaan seorang hamba di sisi-Nya. Hal itu menggambarkan akan keagungan ilmu bagi ahlinya, yang tidak memandang ras, suku, budaya, dan keturunan. Alquran menyebutkan “maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah: 11).

Ada sebuah kisah menakjubkan antara seorang ulama besar Ilmu Hadis, Ibnu Syihab az-Zuhri dan seorang Khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan. Dimana kisah tersebut menggambarkan pemilik ilmu yang berkompeten bisa mengangkat derajat dirinya menjadi seorang pemimpin meskipun ia tergolong dari keturunan seorang budak (mawali).

Dari kedua tokoh ini terjadilah dialog tanya-jawab untuk kita renungi bersama. Dimulai dengan pertanyaan Amirul Mukminin disaat az-Zuhri menghadap dirinya:

“Dari mana engkau datang, wahai Zuhri?”

“Saya datang dari kota Makkah” jawab az-Zuhri

Lalu Amirul Mukminin bertanya kembali, “Lalu siapa yang engkau jadikan pengganti (pemimpin) di kota Makkah untuk menuntun serta memberikan pendidikan kepada penduduk Makkah”

“Atha’ bin Abi Rabbah”

“Apakah ia keturunan orang Arab asli atau keturunan mawali (keturunan budak yang sudah dibebaskan)?”

Dari keturunan mawali

Dengan kemampuan apa ia memimpin?

بالديانة والرواية (Dengan kemampuan ketakwaan yang ia miliki dan kemampuan mengaktualisasikan ajaran agama serta memanifestasikan jalan kehidupan”

“Memang orang yang memiliki kemampuan demikian layak menjadi pemimpin”

“Lantas siapa yang menjadi pemimpin di Yaman?”

 “Thawus bin Kaisan”

“Apakah ia keturunan orang Arab asli atau keturunan mawali?”

“Dari keturunan mawali”

“Dengan kemampuan apa ia memimpin?”

“Dengan kemampuan seperti yang dimiliki oleh Atha’ bin Abi Rabbah”

Demikian seterusnya Amirul Mukminin memberikan pertanyaan yang serupa kepada az-Zuhri tentang siapakah orang yang menjadi pemimpin di kota Mesir, Syam, Jazirah, Khurasan, Bashrah, dan Kufah serta dari keturunan manakah mereka berasal. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab oleh az-Zuhri, semua pemimpin tersebut ternyata berasal dari keturunan mawali.

Kemudian sang Khalifah geram atas semua jawaban az-Zuhri tersebut, ia berkata:

“Celakalah wahai Zuhri. Demi Allah. Kalau demikian nanti yang menguasai dunia ini adalah mawali-mawali, sedangkan meraka yang keturunan Arab asli hanya sabagai pendengar.” Tegas Khalifah.

Az-Zuhri menjawab dengan lugas: “Wahai Amiral Mukminin, انما هو دين (Itulah agama Allah dan keputusan Allah). من حفظه ساد ومن ضيعه سقط (Barangsiapa yang melestarikan agama (ilmu Allah), maka dialah yang akan memimpin dunia. Dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dialah yang akan tersungkur dalam kehinaan hidup)”

Dalam pembendaharan Arab, kata mawali (موالي) adalah orang yang menjadi budak lalu dibebaskan dan menjadi merdeka, kesetiaanya tetap kepada tuan yang membebaskannya. Tokoh keturunan mawali yang disebutkan dalam dialog di atas ialah: Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus bin Kaisan, Makhul, Maimun bin Mahran, Al-Dhahak bin Muzahim, Hasan al-Bashri, dan Ibrahim an-Nakha’i.

Perlu menjadi catatan, kisah di atas yang dinukil dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala karya Adz-Dzahabi ini memang riwayatnya kurang terpercaya (al-hikayat munkarah). Riwayat kisah yang diceritakan dari al-Muwaqqari ini dianggap lemah oleh kritikus hadis Abu Hatim, Yahya bin Mu’in menganggap riwayatnya dusta, dan an-Nasa’i mengatakan matruk al-hadis (hadis yang ditinggalkan).

Terlepas dari riwayat demikian, setidaknya dengan membaca kisah menakjubkan ini dapat menjadi motivasi kita semua bagaimana pelestarian ilmu dan ilmu pengetahuan dapat mengangkat kedudukan seseorang hingga tingkatannya lebih unggul dari kemulian nasab orang lain.

Semoga dengan mengangkat kisah ini diharapkan lahir generasi-generasi idaman yang hidupnya selalu dilimpahkan dalam dedikasi ilmu sebagai wujud pelestarian ilmu Allah dan Rasul-Nya. Sebab saat ini kita membutuhkan sosok generasi yang menjaga agama dan akidah, ditangannya menjadi sebuah benteng kemusyrikan (politeisme) dan ateisme.

Saat ini kita membutuhkan sosok yang benar bukan yang pintar, sosok yang amanat bukan yang khianat. Di era disrupsi ini, muncullah fenomena dimana kebenaran dianggap sebagai kesalahan dan kesalahan dianggap sebagai kebenaran. Oleh karenanya, dengan ilmu yang didasari hati yang bersih, semoga menjadi sebuah pelita di tengah gelap gulita cakrawala hidup.

 Alhasil bilamana seseorang belajar ilmu agama baik ia dari keturunan terpandang ataupun tidak, yakinlah Allah akan mengangkat derajat di sisi-Nya. Juga, hal itu merupakan sebab kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Oleh: Irfan Fauzi

Picture by islami.co

Sumber:

1. Kitab Siyar A’lam an-Nubala karya Imam Adz-Dzahabi, juz. 5, hal. 85.
2. Sepotong Sambutan KH. Miftachul Akhyar dalam peringatan haul KH. Ali Maksum ke-32 Al-Munawwir Yogyakarta (23/12/20)

Telah di posting di www.kempek-online.com