Bejana Berlapis Emas
Menggunakan bejana (wadah air) yang berlapis emas hukumnya tidak berbeda dengan menggunakan alat makan di atas yaitu makruh tahrim. Banyak sedikit kandungan emas pada bejana mempengaruhi hukum penggunaannya.
Menggunakan bejana yang berlapis emas dibolehkan jika kandungan emasnya sedikit. Karena kandungan emas yang sedikit ini dihukumi seolah-olah tidak ada kandungan emasnya. Imam Romli dalam Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj mengatakan :
ويحل) الإناء (المموه) أي المطلي بذهب أو فضة: أي يجوز استعماله (في الأصح) لقلة المموه به فكأنه معدوم)
“Diperbolehkan menggunakan bejana yang dilapisi emas atau perak yang sedikit menurut qaul ashah. Hal ini dikarenakan emas atau perak yang melapisi bejana seakan-akan tidak ada”. (Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, juz 1, hal :104)
Namun penggunaan bejana air untuk bersuci dihukumi haram jika tidak adanya keadaan yang darurat. Syeikh Dr. Musthafa al-Bugha dalam kitab Fiqhul Manhaji mengatakan :
يحرم استعمال أواني الذهب والفضة في جميع وجوه الاستعمال: كالوضوء والشرب، إلا لضرورة كأن لم يجد غيرها
“Haram menggunakan bejana-bejana emas dan perak apapun bentuk penggunaannya. Seperti untuk berwudlu dan minum kecuali karena adanya darurat dimana tidak ditemukan bejana selain emas dan perak” (Fiqhul Manhaji, juz 1, hal : 36)
Kesimpulannya adalah penggunaan wadah yang berlapis emas atau perak untuk makan, minum, bersuci, dan lain sebagainya dihukumi makruh tahrim menurut Syafiiyyah. Diperbolehkan menggunakan wadah berlapis emas atau perak jika kandungannya sedikit. Dan diharamkan penggunaannya jika kandungan emas atau peraknya banyak. Sehingga apabila ada orang yang melakukannya, maka orang tersebut termasuk melakukan maksiat kecuali sedang berada dalam keadaan darurat. Salah satu cara untuk menghindari dari status maksiat tersebut adalah dengan mengganti atau memindahkan isinya (makanan, minuman, air) ke dalam wadah selain emas dan perak.
Wallahu A’lam.