Kesehatan Gigi mempengaruhi Kesunahan Bersiwak? lalu Bagaimana jika Media Bersiwak bukan seperti media umumnya?

Ilustrasi amalan bersiwak. Sumber: Sehatq.com

Dinamika Kesunahan Siwak

Selain menggunakan sikat dan pasta gigi, pada umumnya masyarakat juga menggunakan siwak untuk membersihkan gigi dan menghilangkan bau mulut dalam kehidupan sehari-hari. Siwak, menurut para ahli kesehatan, memiliki beragam manfaat dalam membersihkan dan menjaga kesehatan gigi dan mulut, seperti mencegah gigi berlubang, menyegarkan nafas, maupun menghilangkan bau mulut. Dengan itu, bersiwak sendiri dapat dikatakan sebagai upaya untuk membersihkan dan menjaga kesehatan diri.

Bahkan Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan untuk bersiwak dan merupakan salah satu kegiatan yang disukai oleh beliau. Sebagaimana sabda beliau, yang artinya: “Seandainya tidak memberatkan kepada umatku, niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak bersamaan dengan setiap kali shalat.”

Berdasarkan sabda beliau tersebut banyak diantara umat muslim membiasakan diri dengan bersiwak dengan berbagai motif. Ada beberapa yang mengikuti kesunahan bersiwak karena semata-mata cinta pada Baginda Nabi Muhammad saw. Ada pula yang bersiwak karena alasan kesehatan maupun agar bau mulutnya tidak mengganggu orang-orang disekitarnya.

Bagi beberapa orang, meskipun merutinkan diri untuk bersiwak mereka juga masih diberi ujian dengan sakit gigi yang mungkin disebabkan oleh hal lain di luar kebiasaan bersiwak. Selain itu, bertambahnya usia gigi juga menyebabkan lama-kelamaan gigi akan tanggal satu-persatu. Juga ada yang mengambil hakikat dari bersiwak yaitu membersihkan gigi sehingga menganggap membersihkan gigi dengan sesuatu seperti tusuk gigi adalah hal yang sama dengan bersiwak.

Dari penggambaran tersebut muncul beberapa pertanyaan, yaitu: apakah orang yang sedang sakit gigi tetap disunahkan untuk bersiwak? apakah orang yang ompong tetap disunahkan untuk bersiwak dan bagaimana caranya? dan apakah tusuk gigi bisa dikategorikan bersiwak?

Bersiwak Bagi Orang yang Sedang Sakit Gigi

Berdasarkan tinjauan fikih, orang yang sedang sakit gigi tetap disunahkann bersiwak, karena hukum dari bersiwak disunahkan dalam setiap keadaan selama orang tersebut tidak menggunakan siwak milik orang lain tanpa izin. Bahkan diwajibkan ketika dalam keadaan sakit gigi tersebut menyebabkan bau mulut. Hal ini sebagaimana yang disebutkan Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab I’anah Ath-Thalibin:

وتعتريه أحكام أربعة: الوجوب فيما إذا توقف عليه زوال النجاسة، أو ريح كريه في نحو جمعة، والحرمة فيما إذا استعمل سواك غيره بغير إذنه ولم يعلم رضاه، والكراهة للصائم بعد الزوال، وفيما إذا استعمله طولا في غير اللسان، والندب في كل حال.

Bersiwak terbagi menjadi empat hukum (yaitu): Wajib apabila terdapat kewajiban baginya untuk menghilangkan najis atau bau yang tidak disukai ketika melaksanakan ibadah Jumat dan sebagainya. Haram apabila menggunakan siwak orang lain dengan tanpa seizinnya dan tidak diketahui kerelaannya. Makruh bagi orang yang puasa ketika setelah tergelincirnya matahari dan ketika (alat siwak) sudah lama digunakan untuk selain mulut. Dan hukum Sunah dalam setiap keadaan [Syekh Abu Bakr Syatha, Ianah at-Thalibin, Dar al-Fikr, 1/56]

Lebih lanjut, orang yang sakit gigi juga tetap dianjurkan dan disunahkan bersiwak, selama dalam penggunaan siwak untuk membersihkan gigi atau bagian-bagian dalam mulut tidak menyebabkan dharar (bahaya). Sehingga, jika seseorang sedang sakit gigi dan pada kebiasaannya jika digunakan untuk bersiwak akan menyebabkan pendarahan, maka tindakan tersebut tidak diperbolehkan. dalam kitab Hasyiyata al-Qalyubi wa ‘umairoh disebutkan:

قوله: (السواك) أي الاستياك لأنه يطلق لغة على آلة الدلك ولو بغير سواك، وعلى استعمال الآلة ولو في غير الفم. والمراد هنا استعمالها في الفم، ولذلك عرفوه بأنه استعمال آلة مخصوصة في أجزاء الفم، وأصله الندب، ولا يخرج عنه مطلقا من حيث ذاته، وقد يخرج عنه لعارض من حيث وصفه فيحرم لنحو ضرر أو عدم إذن في سواك غيره، ويكره كما يأتي، ويجب لنحو إزالة نجاسة توقفت عليه

Perkataannya (Siwak) maksudnya adalah bersiwak, karena istilah siwak dikatakan secara bahasa (adalah penyebutan)  dari alat untuk membersihkan gigi meskipun dengan selain siwak dan mencakup penggunaan semua alat meskipun (penggunaannya) pada selain mulut. Dan yang dimaksud di sini adalah penggunaannya (alat) pada mulut, oleh karena itu para ulama memberikan pengertian siwak bahwa sesungguhnya siwak adalah menggunakan alat khusus pada bagian-bagian mulut. Hukum asal penggunaannya adalah sunnah dan tidak keluar dari hukum tersebut dari sisi dzat-nya secara mutlak. Dan terkadang keluar darinya (sunnah) karena sesuatu yang melenceng (keluar) dari sisi sifatnya. Maka haram apabila terdapat semisal bahaya atau tidak adanya izin (penggunaan) pada siwak orang lain, dimakruhkan seperti yang akan dijelaskan, dan wajib ketika semisal untuk menghilangkan najis yang terdapat di dalam mulut. [Al-Qalyubi dan Umairoh, Hasyiyata al-Qalyubi wa Umairoh, Dar al-Fikr, 1/57]

Sehingga orang yang sedang sakit gigi dapat bersiwak dengan berbagai ketentuan tergantung dari keadaan sakit giginya. Pertama, jika seseorang mengetahui bahwa menggunakan siwak menyebabkan pendarahan di mulut, maka disarankan untuk menggunakan siwak dengan lembut sebagai upaya untuk menghindari pendarahan. Kedua, jika penggunaan siwak dengan lembut tidak mencegah pendarahan, maka lebih baik tidak menggunakan siwak jika seseorang khawatir mulutnya menjadi najis.

Ada perbedaan pendapat di antara ulama mengenai penggunaan siwak jika ada cukup waktu dan seseorang memiliki air untuk membersihkan mulutnya serta mereka tidak khawatir kehilangan keutamaan takbirotul ihram dan sebagainya dari menggunakan siwak. Beberapa ulama mengizinkan penggunaan siwak dalam kondisi ini, sementara yang lain melarangnya. Namun, beberapa ulama secara tegas menyatakan larangan menggunakan siwak jika seseorang mengetahui bahwa pemakaiannya akan menyebabkan pendarahan di mulut, dan mereka tidak memiliki air untuk membilasnya, dan waktu shalatnya terbatas. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Abdul Hamid as-Syarwani:

‌ولو ‌عرف من عادته إدماء السواك لفمه استاك بلطف وإلا تركه

(قوله: وإلا) أي، وإن لم ينفع اللطف في دفع الإدماء عبارته في شرح بافضل، ويظهر أنه لو خشي تنجس فمه لم يندب لها اهـ.

Apabila diketahui pada kebiasaannya penggunaan siwak dapat melukai mulutnya maka dia (disunahkan) bersiwak dengan lembut apabila tidak maka tidak perlu bersiwak
Perkataan mushonnif “apabila tidak” maksudnya adalah apabila bersiwak dengan lembut tidak berguna untuk mencegah pendarahan ungkapan ini lebih utama. Dan jelas bahwa apabila seseorang takut mulutnya najis maka tidak disunahkan (bersiwak) baginya

وكتب عليه الكردي ما نصه وفي الإيعاب نحو ما هنا ثم قال ويحتمل خلافه إن اتسع الوقت وعنده ماء يطهر فمه ولم يخش فوات فضيلة التحرم ونحوه ثم رأيت بعضهم صرح بحرمته إذا علم من عادته أنه إذا استاك دمى فمه وليس عنده ماء يغسله به وضاق وقت الصلاة اهـ اهـ

Imam al-Kurdi menulisnya pada apa yang telah dia nyatakan dan dalam kitab al-I’ab seperti apa yang ada di sini. Kemudian dia berkata dan mungkin saja dia tidak setuju apabila terdapat luangnya waktu dan orang (yang bersiwak) memiliki air untuk membersihkan mulutnya dan dia tidak takut kehilangan waktu keutamaan takbiratul ihram dan sebagainya. [Ibn Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj wa Hawasy as-Syarwani wa al-‘Abadi, Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1/219]

Dari penjabaran ulama tersebut, maka penting bagi individu untuk memahami kondisi kesehatan ketika menggunakan siwak. Jika ada masalah kesehatan, konsultasikan dengan ahli kesehatan atau dokter yang adil.

Tidak Lazim, Begini Hukum Penggunaan Bejana dan Alat Makan Berlapis Emas dan Perak

Ilustrasi alat makan dan minum dari emas dan perak. Sumber: Umma.id

Hukum Penggunaan Bejana Emas dan Perak

Penggunaan emas dan perak sebagai alat makan agaknya dapat ditemui di hotel-hotel highclass. Hal ini terjadi dikarenakan pihak hotel ingin menyajikan makanannya dengan mewah guna menjaga kepuasan pelanggannya. Walapun tidak semua hotel demikan, penggunaan alat makan seperti silverware misalnya, sudah menjadi hal yang umum. Penggunaan silverware pada alat makan hotel ini terbuat dari logam yang berlapis stainless atau perak. Tidak berhenti di situ, adakalanya pihak hotel menggunakan alat-alat makan yang dilapisi emas. Ditambah lagi, tidak hanya alat makan, penggunaan lapisan emas atau perak ini terkadang berlaku juga pada alat-alat kamar mandi. Baik WC, bak mandi, shower, dan lain sebagainya.

Dari gambaran tersebut, pemakaian emas atau perak pada alat makan dan alat mandi terutama bak mandi menjadi suatu masalah tersendiri. Masalah ini muncul karena adanya hukum larangan melapisi emas atau perak pada alat makan, dan bejana air yang digunakan untuk bersuci. Lantas bagaimana hukum orang yang makan dari alat makan yang dilapisi emas atau perak? Dan apa hukum orang yang bersuci menggunakan bejana yang dilapisi emas atau perak tersebut?

Makanan dan Minuman yang Disajikan Menggunakan Alat Makan yang Berlapis Emas

Makanan atau minuman yang disajikan menggunakan alat makan berlapis emas tidak berubah hukumnya, selagi makanan itu halal maka tidak ada masalah. Namun, yang dilarang adalah penggunaannya (isti’mal-nya). Syeikh Syihabuddin Ar-Romli mengatakan dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj :

نعم الطهارة منه صحيحة والمأكول ونحوه حلال؛ لأن التحريم للاستعمال لا لخصوص ما ذكر.

Benar, sah bersuci menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak, dan makanan yang dimakan atau semacamnya tetap dihukumi halal. Karena yang diharamkan adalah penggunaannya, bukan selainnya yang tidak disebutkan” (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Juz 1, Hal :102).

Hukum makan menggunakan alat-alat makan yang dilapisi emas ini adalah makruh tahrim, tergantung seberapa banyak kadar emas yang terkandung dalam alat-alat makan tersebut. Apabila kandungan emasnya sedikit maka diperbolehkan, dan apabila kandungan emasnya banyak maka haram makan menggunakan alat tersebut kecuali adanya darurat. Kandungan emas dapat diukur dengan memanaskan wadah tersebut. Apabila ada setelah dipanaskan ada bagian yang terpisah maka kadar emas tersebut banyak, apabila tidak maka sebaliknya. Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj :

فيحل استعمال مموه من ذلك بذهب لا يحصل منه شيء بالعرض على النار سم عبارة البجيرمي وحاصل مسألة التمويه أن فعله حرام مطلقا حتى في حلي النساء، وأما استعمال ‌المموه فإن كان لا يتحلل منه شيء بالعرض على النار حل مطلقا

Diperbolehkan menggunakan bejana yang dilapisi emas yang ketika emas itu dipanaskan tidak ada bagian yang terpisah menurut Imam Bujarami. Adapun kesimpulannya adalah perbuatan melapisi emas dihukumi haram secara mutlak bahkan pada perhiasan wanita. Adapun menggunakan wadah yang berlapis emas dihukumi halal secara mutlak selagi tidak ada sesuatu yang terpisah dari wadah tersebut ketika dipanaskan menggunakan api”. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, juz 1, hal :122)

Penggunaan alat makan yang dilapisi emas diperbolehkan karena memang tidak adanya peralatan lain yang tidak dilapisi emas. Jika ada, maka haram menggunakan alat-alat makan berlapis emas untuk makan dan minum.

Mengungkap Kontroversi dalam Thrifting Online dengan Kerancuan Komposisi Barang

Ilustrasi kegiatan Thrifting Sepatu. Sumber: Harianhaluan.com

Bagaimana Hukum Menggunakan Pakaian yang Terbuat dari Bahan yang Najis?

Maraknya thrifting atau jual beli barang bekas dengan tujuan untuk dipakai kembali nampaknya menjadi kegiatan yang cukup diminati oleh masyarakat Indonesia saat ini. Kegiatan thrifting ini selain membuka jalan usaha bagi pelaku bisnis juga memberikan alternatif bagi konsumen untuk mendapatkan barang bekas yang branded yang terbilang masih bagus. Kendati demikian, maraknya thrifting ini banyak barang bekas seperti pakaian yang terbuat dari bahan yang beragam. Ada pakaian yang memang terbuat dari kulit hewan yang suci dan ada yang terbuat dari kulit hewan yang najis.

Dari gambaran tersebut, kesucian pakaian yang dibeli kemudian digunakan kian dipertanyakan. Karena kesucian dari pakaian ini tentu akan berpengaruh kepada orang yang beribadah. Sholat misalnya, dalam syarat sah shalat. Di antara pertanyaan yang muncul dan akan dibahas adalah bagaimana hukum kesucian pakaian tersebut jika tidak diketahui asalnya? dan apa hukum penggunaan pakaian yang di dalamnya terkandung bahan yang najis?

Kesucian Pakaian yang Tidak Diketahui Bahannya.

Ulama Syafi’iyah perihal kesucian pakaian bagi orang yang tidak tahu asal-usul dari bahan apa pakaian yang ia gunakan, apakah berasal dari kulit hewan yang suci atau berasal dari kulit hewan yang najis, memiliki perbedaan pendapat (khilafiyyah). Perbedaan ini didasarkan dengan apa kulit hewan yang belum diketahui asal-usulnya itu di-qiyas-kan.

Pertama, jika kulit hewan disamakan dengan daging, maka kulit hewan tersebut dihukumi najis. Kulit hewan dihukumi najis karena adanya keraguan terhadap asal-usul dari hewan apa kulit tersebut. Jika tidak diragukan asal-usulnya, maka kulit dan daging dihukumi suci tergantung bagaimana cara penyembelihannya. Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj mengatakan :

والشعر المشكوك في انتتافه من مأكول بأن الأصل في الشعر الطهارة وفي اللحم عدم التذكية اهـ. ومن المعلوم أن الجلد كاللحم؛ لأن طهارة كل منهما وحل تناوله متوقف على التذكية فعند الشك فيها الأصل عدمه فتبين ما في كلام الشارح.

Bulu hewan yang boleh dimakan yang diragukan pencabutan bulunya hukum asalnya adalah suci. Sedangkan daging hukumnya seperti daging dari hewan yang tidak disembelih. Dan dapat diketahui bahwa kulit dihukumi seperti daging. Karena keduanya dapat menjadi suci dan halal dimakan tergantung pada penyembelihannya. Apabila diragukan penyembelihannya maka hukumnya sesuai asalnya yaitu tidak adanya penyembelihan. Sehingga perkataaan pen-syarah telah menjadi jelas”. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz 1, Hal : 308).

Kemudian yang kedua, jika kulit hewan belum diketahui asal-usulnya maka terdapat dua pendapat yakni dilarang dan dibolehkan. Adapun jika kulit hewan disamakan dengan bulu maka salah satu dari khilafiyah mengatakan dibolehkan, sehingga dapat dihukumi suci. Imam Mawardi dalam kitab al-Hawi al Kabir mengatakan :

وَإِنْ شَكَّ فَلَمْ يَعْلَمْ أَمِنْ شَعْرِ مَأْكُولٍ أَوْ غَيْرِ مَأْكُولٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي أُصُولِ الْأَشْيَاءِ هَلْ هِيَ عَلَى الْحَظْرِ أَوْ عَلَى الْإِبَاحَةِ : إِنَّ الْأَشْيَاءَ فِي أُصُولِهَا عَلَى الْحَظْرِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ نَجِسًا ، وَإِنْ قِيلَ . إِنَّهَا عَلَى الْإِبَاحَةِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ طَاهِرًا

Apabila ragu dan tidak diketahui apakah bulu hewan itu berasal dari hewan yang boleh dimakan atau tidak maka terdapat dua pendapat menurut golongan kita (Syafiiyyah) dalam asalnya segala sesuatu, apakah termasuk dalam sesuatu yang dilarang atau diperbolehkan. Jika hukum asal dari sesuatu itu larangan maka bulu tersebut dihukumi najis, dan jika dikatakan hukum asal dari segala sesuatu itu boleh maka bulu tersebut dihukumi suci”. (Kitab al-Hawi al-Kabir, Juz 1, Hal :102)

Metode Shorof KH. Ali Maksum

اعلم، أن الصرف أم العلوم والنحو أبوها. فعليك أن تقدم الأم على الأب، فإن الجنة تحت أقدام الأمهات

“Ketahuilah, bahwa shorof adalah ibu (induk) dari segala ilmu dan nahwu adalah ayahnya. Hendaklah kamu mendahulukan ibu atas ayah, karena surga dibawah telapak kaki ibu”.

Ungkapan di atas merupakan salah satu ungkapan untuk memotivasi seseorang untuk mempelajari kaidah bahasa arab. Ilmu shorof dilambangkan sebagai induk atau ibu dari segala ilmu, oleh karenanya seorang santri atau pembelajar hendaknya mempelajari ilmu shorof terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya. Ilmu shorof merupakan ilmu yang mempelajari akar kata dalam bahasa arab, Abdullah Abdul Hamid dalam bukunya yang berjudul Durus Fi Syarh ‘Ilm As Shorf Li Al Mubtadien mengungkapkan bahwa shorof merupakan kaidah-kaidah untuk mengetahui struktur kata secara lafadz maupun makna.

Ilmu shorof sendiri lebih fokus membahas berbagai kata dari segi tashrif, i’lal, idgham dan pergantian huruf. KH. Ahmad Warson Munawwir juga menyampaikan bahwa shorof dan tashrif sebagai cabang utama ilmu bahasa arab, mula-mula disusun-kembangkan oleh orang ‘ajam (non arab). Pengembangan ini dimaksudkan untuk memberi bekal bagi orang ‘ajam bukan penutur asli (ghoiru nathiqin) agar dapat mempelajari dan akhirnya menguasai bahasa arab.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

KH. Ali Maksum pernah mengatakan bahwasanya bahasa arab merupakan kunci pembuka yang paling utama, sebab al-Quran, sunnah nabi dan kitab-kitab tafsir beserta syarahnya semuanya menggunakan teks berbahasa arab. Tanpa menguasai ilmu bahasa arab seorang santri mustahil bisa menguasai kitab kuning secara baik. KH. Ali Maksum mengakui bahwasanya metode belajar konvensional yang biasa diterapkan di pesantren terlalu memakan waktu yang lama, sehingga menghabiskan umur yang sangat lama. Akibat dari anggapan ini maka minat belajar bahasa arab di kalangan kaum muslimin terutama di kalangan generasi muda semakin menurun dari waktu ke waktunya.

Oleh karena itu, KH. Ali Maksum memiliki pandangan bahwasanya mereka kesulitan untuk mempelajari bahasa arab bukan karena dari segi ilmu ataupun kosa katanya yang rumit melainkan lebih karena ketidaksesuaian metode yang diterapkan. Maka kemudian KH. Ali Maksum menawarkan metode belajar bahasa arab dengan pendekatan tashrif, dengan adanya pendekatan ini semua kesulitan dan kerumitan kosakata bisa diatasi juga bisa mempersingkat masa tempuh belajar oleh santri.

Metode shorof yang ditawarkan oleh KH. Ali Maksum ini pada dasarnya tidak berbeda dengan metode shorof pada umumnya, perbedaannya hanya pada metode dan sistematika pengajaran yang menekankan pada fungsionalitas dan efektivitas muatan pelajaran shorof. Salah satu ciri yang menonjol dari metode ini adalah pentashrifan antara fi’il dan isim yang dipisahkan, begitu pula ada beberapa bentuk kata yang tidak dicantumkan dalam pentashrifan seperti: isim alat, masdar mim, fi’il nahi dan dhomir فَهَوَ dan وَذَاكَ. Hal ini diupayakan untuk membuat pola pentashrifan menjadi lebih sederhana, praktis dan sistematis sehingga lebih mempermudah para santri dalam mempelajari ilmu shorof dan bahasa arab pada umumnya.

Baca: Kiai Umar Mangkuyudan Wafat, Kiai Ali Maksum Nangis di Atas Podium

Shorof metode Krapyak ini merupakan salah satu alternatif metode belajar bahasa arab dengan pendekatan tasrif yang menjamin sistem saling menguntungkan baik guru maupun murid karena keduanya sama-sama bisa aktif. Metode ini merupakan sebuah temuan yang diciptakan oleh KH. Ali Maksum ketika masih menjadi santri di Tremas Pacitan Jawa Timur sekitar tahun 1927-1935, dan terbukti shorof temuan KH. Ali Maksum ini masih digunakan dan dihafalkan dengan baik oleh sebagian alumni Pondok Tremas bahkan keluarga pondok.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Shorof Praktis “Metode Krapyak”

Picture by santrijagad.org

Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #2

Dalam mengarungi bahtera rumah, Kyai Mundzir maupun Bu Nyai Zuhri senantiasa saling menjaga dan menghormati keistiqomahan masing-masing pihak. Seringkali tatkala Kyai Mundzir selesai shalat dan dzikir beliau ingin bercengkrama dengan Bu Nyai Zuhri, namun begitu melihat Bu Nyai Zuhri sedang nderes niat beliau diurungkan dan kembali shalat dan dzikir lagi. Begitu juga sebaliknya ketika Bu Nyai Zuhri ada waktu senggang dan ingin bercengkrama dengan Kyai Mundzir ternyata beliau masih khusu’ menjalankan shalat dan dzikir sehingga Bu Nyai Zuhri pun mengurungkan niat tersebut.

Baca: Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #1

Selama 13 tahun menjalin rumah tangga dengan Kyai Mundzir Bu Nyai Zuhri tidak dikarunia anak, karena memang sejak awal Kyai Mundzir sudah dawuh kepada Bu Nyai Zuhri; “Nyai, tidak usah punya anak ya, hidupnya dihabiskan untuk deres quran saja”. Hidup beliau dihabiskan untuk bermakrifat kepada-Nya. Selain menjadi ibu rumah tangga Bu Nyai Zuhri juga membantu mengajar di Pondok Pesantren Ma’unah Sari Kediri. Pondok Pesantren Ma’unah Sari lebih fokus di bidang Tashawwuf terutama mengistiqomahkan shalat berjamaah dan dzikir. Pesantren ini pun awalnya hanya menerima santri putra, akan tetapi dengan kehadiran Bu Nyai Zuhri berpengaruh sekali dalam perjalanan panjang Pesantren Ma’unah Sari Kediri ini. Kemudian Pondok Pesantren Ma’unah Sari pun mulai menerima santri putri yang langsung dibimbing oleh Bu Nyai Zuhri, program pengajian al-Qur’an bil ghoib maupun bin nadzri juga dibuka. Pada akhirnya Pondok Pesantren Ma’unah sari menjadi pesantren al-Qur’an yang terkenal hingga sekarang.

Bu Nyai Zuhri terkenal dengan kedermawanannya, uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit tidak serta merta beliau gunakan untuk kebutuhan pribadi. Dari uang yang terkumpul itu beliau pernah gunakan untuk menghajikan sekitar sepuluh orang. Kedermawanan beliau yang sudah di luar nalar manusia biasa pada umumnya. “Sabar, syukur, nerimo (tawakkal), ngalah, dan loman (dermawan). Beliau mengamalkan lima hal tersebut, kalua kita belum tentu bisa mengamalkan salah satu diantaranya. Beliau mengamalkan semuanya dan saya percaya seratus persen bahwa beliau itu wali, ungkap Kyai Hafidz Tanwir (cucu dan santri ndalem Bu Nyai Zuhri).

Baca: Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

Berdasarkan sifat dan sikap yang ada pada Bu Nyai Zuhri banyak yang beranggapan bahwa beliau adalah seorang wali. Tidak semua orang bisa berkumpul dengan Kyai Mundzir yang juga sudah terkenal masyhur akan kewaliannya. “Tentunya perempuan yang bisa mendampingi Kyai Mundzir sebagai istrinya adalah perempuan yang sederajat dengan beliau” terang KH. Nurul Jazuli Ploso. Terlepas dari pernyataan apakah beliau wali atau bukan, yang jelas beliau adalah sosok yang harus kita teladani. Seorang guru al-Qur’an yang menghabiskan hidupnya hanya untuk mencintai al-Qur’an. Hamba Allah yang tidak sekedar penghafal al-Qur’an tetapi juga Hamilul qur’an.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by jaringansantri.com

Do’a Tolak Sihir Atau Jin

Membaca adzan 1 kali di telinga orang yang sakit sambil memegang benjolan yang ada pada pangkal lengan atau persendian, diteruskan dengan membaca ayat:

وَ قُلْ جَاءَالْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا, وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُالظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا

Do’a ini diriwayatkan oleh KH. R. Abdullah Afandi Munawwir

Sumber: Almunawwiriyyah; Wirid Dan Do’a Sesepuh Krapyak

Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh

Diantara tanda-tanda orang yang shaleh dan baik menurut Allah (bila tidak demikian berarti orang yang celaka) adalah;

Pertama, apabila mendengar kata “neraka” disebut, maka hatinya bergetar ketakutan dan berdoa jangan sampai dirinya terkena api neraka. Jangan sampai jadi orang yang hanya gara-gara mendengar “macan” saja tidak berani berbohong, tapi sebaliknya, apabila yang disebut adalah nama Allah malah berani berbohong. Jangan sampai tidak takut dengan neraka. Orang yang terkena api neraka apabila sudah gosong maka badannya akan diperbaharui dan kembali seperti semula. Badan yang terkena api neraka, ya badan yang sekarang dipakai ini.

Api neraka itu tidak seperti api dunia, sebab apinya selalu bertambah derajat dan tingkat kepanasannya. Demikian juga yang namanya neraka itu tempatnya kecil, tidak luas. Keadaan di sana orang bertumpuk-tumpuk, berdesak-desakan, susah untuk bernafas dan tidak leluasa untuk sekedar berpindah tempat. Api neraka membakar atas perintah Allah. Jadi tidak ada peluang untuk meminta tolong kepada siapapun, sebab yang menyuruh adalah Allah. Beda dengan api dunia, orang masih berkemungkinan meminta tolong kepada orang lain atau boleh jadi api yang membakar tidak bermuatan panas, sebab yang memerintahkan bukan Allah, sebagaimana apa yang terjadi kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Karena yang memerintahkan api untuk membakar bukan Allah, maka apinya malah jadi dingin.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Yang kedua, tanda orang shaleh adalah sebagaimana dipertegas oleh sabda Nabi Muhammad SAW:

إذا أرادالله بعبد خيرا فقهه في الدين

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seseorang, maka Dia akan menjadikannya mengerti agama.”

Hadits ini mengharuskan seseorang untuk mengerti betul ajaran agama islam. Kalau belum tahu ya harus belajar berbagai hal mengenai islam, baik itu yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah, maupun berhubungan dengan sesama manusia. Maka bagi karyawan yang bekerja dia harus tahu perkara-perkara muamalah dan tata cara islam yang terkait dengan pekerjaannya. Bagi orang yang berkecimpungan di bidang pemerintahan maka dia harus tahu bagaimana mengatur tata cara pemerintahan yang baik menurut ajaran Allah. Kalau orang hanya kerja sekedar kerja dan tidak tahu hal-hal yang dilarang oleh Allah terkait pekerjaannya, maka itu bukan orang yang shaleh.

Yang ketiga adalah sebagaimana disebut dalam surah al-A’raf (7) ayat 201:

إنّ الّذين اتّقواإذامسّهم طائف من الشّيطان تذكّروافإذاهم مبصرون

“Sesungguhnya orang-orang bertaqwa apabila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”

Baca: Bernostalgia Bersama KH. Ahsin Sakho’

Jadi tanda orang yang shaleh adalah apabila melakukan maksiat, kemudian sadar dan ingat kepada Allah, maka ia akan langsung bertaubat. Kalau tidak langsung bertaubat, berarti itu tandanya orang jelek dan tidak shaleh. Apalagi bila orang yang melakukan maksiat malah bangga atau gembira, seperti penjual barang-barang perniagaan yang haram atau pedagang wiski yang kaya, lalu dia merasa bahagia dengan usaha dan kekayaannya, maka kalau sudah seperti itu ya celaka.

Sumber: Majalah Al Munawwir, Khutbah Jum’ah Almarhum KH. Zainal Abidin Munawwir (20 Syawal 1433 H./7 September 2012 M.)

Krapyak Kembali Berduka

Krapyak kembali berduka, sebelumnya sekitar awal bulan Januari 2021 tepatnya pada hari Senin, 4 Januari 2021 sore, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, KH. Muhammad Najib Abdul Qadir wafat.
Kemarin sore Indonesia kembali kehilangan seorang ulama kharismatik yakni KH. Atabik Ali, beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. KH. Atabik Ali meninggal dunia pada Sabtu (6/2/2021) sekitar pukul 13.00 WIB di usia 77 tahun. Beliau merupakan putra sulung Kiai besar Nahdatul Ulama KH.  Ali Maksum dengan Ibu Nyai Hasyimah yang mana Ibu Nyai Hasyimah merupakan putri dari KH. M. Munawwir dari sitri yang ke 2 yakni Ibu Nyai Hj. Suistiyah.

Waqiila… Suatu hari KH. Ali Maksum pernah dawuh kepada KH. Atabik Ali ketika masih muda.

“Awakmu wani ngumbah mobil kui?” tanya KH. Ali Maksum

“Nggeh…wantun” jawab KH. Atabik Ali

Ketika KH. Ali Maksum memerintahkan KH. Atabik Ali untuk mencucikan mobil tersebut, disamping mobil yang dimaksud terdapat banyak santri putri dan normalnya santri putra akan merasa malu ketika melaksanakan perintah dari KH. Ali Maksum. Namun sosok KH. Atabik Ali muda dengan penuh semangat untuk sendiko dawuh melaksanakan tugas dari ayahandanya, setelah selesai mencucikan mobil kemudian KH. Ali Maksum dawuh:

“Wah wani tenan awakmu, insyaallah sesuk bakale awakmu due pondok gede tur santrine akeh” dawuh KH. Ali Maksum.

Dan terbukti bahwa beliau dan keluarga KH. Ali Maksum mempunyai ribuan santri dengan sekolah formalnya. KH. Ali Maksum dikenal sebagai salah satu pelopor modernisasi Pesantren di Indonesia. Kemudian jejak Kiai Ali Maksum ini diikuti oleh putranya, yakni Kiai Atabik Ali dan para santrinya. Setelah wafatnya Kiai Ali Maksum pada tahun 1989, Kiai Atabik melanjutkan kepemimpinan pesantren dari ayahanda tercinta. Di tangan Kiai Atabik ini pesantren kemudian berkembang pesat dengan berbagai terobosan yang luar biasa. Kiai Atabik Ali juga pernah duduk dalam kepengurusan PBNU di masa Gus Dur, yakni sejak Muktamar Situbondo tahun 1984.

Baca: Ijazah Surah al-Fatihah Dari KH. M. Munawwir Oleh Gus Mus

Lokasi Pemakaman Keluarga Dongkelan, Bantul.

Kelahiran dan kematian datang silih berganti, besok atau lusa atau kapapun saja bisa datang begitu saja tanpa aba-aba. Semua akan kembali ke asal, disini tidak ada yang abadi semua akan kembali kepada Sang Maha Pencipta alam semesta. Suatu saat diantara kita akan pulang sendirian sama saat seperti kita datang pertama kali ke muka bumi.

Jika kita merasa sebagai salah satu santrinya berusahalah meniru akhlaknya, senantiasa patuh dengan dawuh-dawuh beliau, semoga kita semua diakui oleh beliau sebagai santrinya. Semoga guru kita semua, orang tua kita semua KH. Atabik Ali wafat dengan Husnul Khatimah, diterima semua amal ibadahnya dan ditempatkan bersama para kekasih Allah di surga, Amin.

Oleh: Tim Redaksi

Ijazah Surah al-Fatihah Dari KH. M. Munawwir Oleh Gus Mus

Setiap orang tentunya memiliki keinginan atau hajat yang berusaha untuk diraih. Sayangnya, tidak jarang mereka salah jalan dengan mendatangi dukun atau tukang ramal untuk dimintai pertolongan. Padahal, di dalam Islam diajarkan untuk berdoa, memohon kepada Allah, agar hajat atau keinginan tersebut bisa terwujud dengan membawa kebaikan.

Ijazah adalah sesuatu amalan yang diberikan mulai dari Nabi Muhammad kepada Sahabat, sahabat kepada tabi’in, tabi’in kepada tabi’it tabi’in sampai kepada para ulama, Kiai dan para guru kita semua. Ijazah juga merupakan salah satu bentuk perizinan dari para kiai kepada para santri untuk mengamalkan satu amalan yang bermanfaat yang berkenaan dengan masalah-masalah duniawi atau masalah-masalah ukhrowiyah. Dalam mengamalkan wirid yang diijazahkan oleh para Kiai ini akan memberikan atsar, manfaat, dan barokah yang luar biasa manakala dilaksanakan sesuai dengan petunjuk.

Berbagai aneka doa telah diajarkan, baik oleh Kanjeng Nabi Muhammad maupun para ulama. Salah satu diantara doa agar mudah dikabulkan hajatnya oleh Allah adalah bacaan Surah al-Fatihah. Namun bukan sembarang bacaan Suah al-Fatihah tentunya, tapi Surah al-Fatihah yang telah diamalkan oleh para Ulama dan terbukti berhasil. Tentu pembuktian hal tersebut tidak cukup asal pembuktian, melainkan pembuktian dari orang yang terpercaya, baik dari segi keilmuan maupun hal lainnya yang mendukung. Nah oleh karena itulah ijazah ini sangat penting. Ada banyak Ulama yang bisa membuktikan hal tersebut.

Baca: Wejangan Simbah KH. Muhammad Munawwir

Salah satunya adalah ijazah Surah al-Fatihah dari KH. M. Munawwir Krapyak, pendiri Pesantren Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Ijazah ini sering disampaikan oleh KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam beragam kesempatan. Gus Mus mendapatkan Ijazah Surah al-Fatihah tersebut ketika beliau mondok di Krapyak, dan beliau kemudian memberikan ijazah tersebut kepada masyarakat.

Berikut ijazah Suah al-Fatihah dari KH. M. Munawwir :

  • Membaca surah al-Fatihah dengan hati yang ikhlas dan yakin
  • Ketika sampai pada ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”, dibaca 11x sambil dalam hati memohon kepada Allah apa yang menjadi keinginan atau hajat
  • Lalu dilanjutkan pada ayat berikutnya sampai bacaan Fatihah selesai

Demikian terkait ijazah surah al-Fatihah dari KH. M. Munawwir, Krapyak.  Cukup mudah untuk diamalkan tentunya. Semoga dapat dipelajari dan diamalkan semoga kita mendapat keutamaan dari Surah al-Fatihah dan dikabulkan setiap apa yang menjadi hajat kita, keluarga dan semua yang mengamalkannya.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com, nu.or.id

Picture by nujateng.com

Pekan Ta’aruf: Modal Sosial Pesantren Dalam Menghadapi Pandemi

Malam kedua (02/02) santri baru Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L melanjutkan kegiatan Pekan Ta’aruf dengan tema ”Modal Sosial Pesantren Dalam Menghdapi Pandemi” dan masih dalam sesi materi ke 2, pada kesempatan ini disampaikan oleh Pak Beni Susanto, M.A, beliau merupakan salah satu alumni Komplek L. Kemudian dilanjut sesi ke-Al Munawwiran yang di isi oleh Ustadz Abdus Salam, M.A, beliau menyampaikan materi seputar sejarah lahirnya Pondok Pesantren Al Munawwir, khususnya mulai dari siapa pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir, Dzurriyahnya dan perkembangan Pondok Pesantren Al Munawwir. Dengan diselingi guyonan yang khas yang membuat tawa geli sehingga peserta tak bosan untuk selalu menyimak. Penyampainya pun sangat komprehensif dengan harapan para santri mengetahui seluk beluk sejarah tempat mereka singggah saat ini sebagai miniatur multikultural masyarakat.

Dilanjutkan pada hari ketiga yakni pada hari Rabu (03/02) diisi dengan perlombaan Cerdas Cermat Pesantren (CCP) yang diikuti oleh setiap kelompok Pekan Ta’aruf dan bertempat di Mushola Al Mubarok, perlombaan ini dimulai pada pukul 13.00 wib hingga pukul 16.30 wib. Pada malam harinya para peserta Pekan Ta’aruf masih diberikan materi tentang Living Qur’an yang disampaikan oleh Kiai Yunan Roni, M.Sc, beliau merupakan salah satu dewan asatidz di Madrasah Diniyyah Salafiyyah 4 Komplek L. Untuk sesi materi yang terakhir disampaikan oleh Bapak dr. Yaltafit Abror Jeem M.Sc, beliau menyampaikan tentang Pesantren dan Adaptasi Kebiasaan Baru.

Pagi hari pun tidak dibiarkan kosong begitu saja. Tentunya para panitia sebelumnya sudah menyusun acara dengan kegiatan yang positif, kegiatan Bakti Sosial menjadi agenda pagi hari oleh seluruh peserta Pekan Ta’aruf, dimana para peserta memberikan bahan pokok kepada warga desa di sekitar Komplek L, tentunya dengan menerapkan Prokol Kesehatan dan di dampingi oleh aparatur desa setempat. Disinilah para peserta diajarkan saling mengasihi sesama, memeberi kepada yang kekurangan, menjunjung  tinggi nilai solidaritas dan menunjukkan jiwa sosial yang tinggi.

Pada hari Kamis malam Jum’at (04/02)  kegiatan demi kegitan telah dilakukan, kini sampailah pada puncak acara yaitu malam penutupan Pekan Ta’aruf. Rangkaian acara dimulai dengan pembacaan Maulid, kemudian dilanjutkan dengan penampilan juara MSQ oleh peserta Pekan Ta’aruf angkatan 2020. Malam penutupan Pekan Ta’aruf diisi dengan mauidzoh hasanah oleh Dr. Abdul Jalil, S.Th.I, M.S.I.  dengan materi bagaimana posisi santri saat ini, beliau mengibaratkan seorang santri itu seperti kedudukan i’rob dalam nahwu, yakni; na’at, bayan dan badal. Sebagai seorang santri ada tiga tingkatan yang harus dilewati, yang pertama santri itu sebagai na’at, yang mana na’at itu membutuhkan man’ut atau yang diikuti, seorang santri harus patuh terhadap pengasuh dan asatidz yang ada di pondok. Yang kedua santri menjadi bayan, sebagai penjelas ataupun beliau mengibaratkan bayan itu menjadi seorang ustadz atau tenaga pengajar. Kemudian yang ketiga seorang santri menjadi sorang badal, yang mana itu sebagai pengganti. Diibaratkan santri kelak ketika sudah boyong dari pondok bisa menjadi pengganti ataupun meneruskan perjuangannya di daerah masing-masing.

Baca: Tak Kenal Maka Ta’aruf

Acara ini tentunya tidak kalah denga acara di kampus, bahkan menurut salah satu santri baru sebagai peserta Pekan Ta’aruf, acara ini lebih mengasyikkan dan banyak hal yang bisa diambil dari setiap kegiatannya. Dia juga menambahkan, bahwa acara seperti ini jarang dilakukan di Pesantren lainya, sehingga dengan adanya acara ini para santri baru mudah berinteraksi dan mengenal kepada sesama santri baru maupun santri lama. Mereka para santri baru sudah tidak lagi canggung dalam bergaul. Harapan penulis Pekan Ta’aruf ini tidak hanya sampai ta’aruf (saling mengenal) antar sesama saja, akan tetapi juga menyampaikan kepada tafahum (saling memahami) meningkat ke ta’awun (saling membantu dalam kebaikan) dilanjutkan ke tasamuh (toleransi) dan diakhiri dengan takaful (saling menjamin rasa aman). Sehingga acara ini tidak hanya sebatas tontonan, tetapi juga tuntunan.

Oleh: Tim Redaksi