Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #2

Dalam mengarungi bahtera rumah, Kyai Mundzir maupun Bu Nyai Zuhri senantiasa saling menjaga dan menghormati keistiqomahan masing-masing pihak. Seringkali tatkala Kyai Mundzir selesai shalat dan dzikir beliau ingin bercengkrama dengan Bu Nyai Zuhri, namun begitu melihat Bu Nyai Zuhri sedang nderes niat beliau diurungkan dan kembali shalat dan dzikir lagi. Begitu juga sebaliknya ketika Bu Nyai Zuhri ada waktu senggang dan ingin bercengkrama dengan Kyai Mundzir ternyata beliau masih khusu’ menjalankan shalat dan dzikir sehingga Bu Nyai Zuhri pun mengurungkan niat tersebut.

Baca: Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #1

Selama 13 tahun menjalin rumah tangga dengan Kyai Mundzir Bu Nyai Zuhri tidak dikarunia anak, karena memang sejak awal Kyai Mundzir sudah dawuh kepada Bu Nyai Zuhri; “Nyai, tidak usah punya anak ya, hidupnya dihabiskan untuk deres quran saja”. Hidup beliau dihabiskan untuk bermakrifat kepada-Nya. Selain menjadi ibu rumah tangga Bu Nyai Zuhri juga membantu mengajar di Pondok Pesantren Ma’unah Sari Kediri. Pondok Pesantren Ma’unah Sari lebih fokus di bidang Tashawwuf terutama mengistiqomahkan shalat berjamaah dan dzikir. Pesantren ini pun awalnya hanya menerima santri putra, akan tetapi dengan kehadiran Bu Nyai Zuhri berpengaruh sekali dalam perjalanan panjang Pesantren Ma’unah Sari Kediri ini. Kemudian Pondok Pesantren Ma’unah Sari pun mulai menerima santri putri yang langsung dibimbing oleh Bu Nyai Zuhri, program pengajian al-Qur’an bil ghoib maupun bin nadzri juga dibuka. Pada akhirnya Pondok Pesantren Ma’unah sari menjadi pesantren al-Qur’an yang terkenal hingga sekarang.

Bu Nyai Zuhri terkenal dengan kedermawanannya, uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit tidak serta merta beliau gunakan untuk kebutuhan pribadi. Dari uang yang terkumpul itu beliau pernah gunakan untuk menghajikan sekitar sepuluh orang. Kedermawanan beliau yang sudah di luar nalar manusia biasa pada umumnya. “Sabar, syukur, nerimo (tawakkal), ngalah, dan loman (dermawan). Beliau mengamalkan lima hal tersebut, kalua kita belum tentu bisa mengamalkan salah satu diantaranya. Beliau mengamalkan semuanya dan saya percaya seratus persen bahwa beliau itu wali, ungkap Kyai Hafidz Tanwir (cucu dan santri ndalem Bu Nyai Zuhri).

Baca: Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

Berdasarkan sifat dan sikap yang ada pada Bu Nyai Zuhri banyak yang beranggapan bahwa beliau adalah seorang wali. Tidak semua orang bisa berkumpul dengan Kyai Mundzir yang juga sudah terkenal masyhur akan kewaliannya. “Tentunya perempuan yang bisa mendampingi Kyai Mundzir sebagai istrinya adalah perempuan yang sederajat dengan beliau” terang KH. Nurul Jazuli Ploso. Terlepas dari pernyataan apakah beliau wali atau bukan, yang jelas beliau adalah sosok yang harus kita teladani. Seorang guru al-Qur’an yang menghabiskan hidupnya hanya untuk mencintai al-Qur’an. Hamba Allah yang tidak sekedar penghafal al-Qur’an tetapi juga Hamilul qur’an.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by jaringansantri.com

Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #1

Ndreso ben lanyah Qurane” (Dereslah supaya lancar hafalan qur’an nya). Kalimat yang populer dari Ibu Nyai Zuhriyyah di kalangan santri Pondok Pesantren Ma’unah sari Kediri. Nok Huri panggilan kecilnya Bu Nyai Zuhri ini merupakan salah satu putri KH. M. Munawwir Bin Abdullah Rosyad pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, dari hasil pernikahan dengan istri ke-lima yakni dengan Ibu Nyai Khodijah. Nok Huri merupakan saudara kandung dengan KH. Ahmad Munawwir dan Nyai Hj. Walidah Nawawi Ngerukem An Nur Bantul. Bu Nyai Zuhri lahir pada hari Rabu tanggal 2 Jumadi Tsani 1358 H atau 19 Juli 1939 M.

Nok Huri mengaji quran di bawah bimbingan kakaknya yakni KH. Abdul Qodir Munawwir, ketika beliau berusia 3 tahun sejak sang ayah wafat. Kemudian setelah beranjak dewasa beliau melanjutkan nyantri di Pondok Pesantren Yanbu’ul Quran di Kudus di bawah bimbingan KH. Arwani Amin sampai hafalan al-Qur’annya khatam. Setelah boyong dari Kudus beliau membantu ibunya mengurus  Rubatut Tahfidz (sekarang bernama Komplek L) bersama KH. Ahmad Munawwir.

Baca: Kisah Kiai Zainal Dengan Santri Baru

Bu Nyai Zuhri senaniasa selalu istiqomah menjaga hafalan al-Qur’annya dengan nderes, bahkan ketika ada tamu pun yang berkunjung hanya untuk berbincang dengannya, beliau hanya menemui sebentar guna menunaikan kewajiban menerima tamu. Kemudian beliau meminta izin untuk ke belakang dan berlama-lama, sehingga sang tamu segera pulang dengan sendirinya. Kemudian setelah itu beliau melanjutkan deresannya.

Bu Nyai Zuhri mengalami penyakit yang misterius, yakni ketika melafadzkan lafadz Allah dalam al-Qur’an beliau mengalami kejang bahkan sampai pingsan. Kejadian ini terjadi tidak hanya satu atau dua kali saja, melainkan bisa berkali-kali karena memang terdapat banyak sekali lafadz Allah di dalam al-Qur’an. Menurut KH. Munawwar Ahmad (pengasuh Komplek L) Bu Nyai Zuhri merupakan hamba-Nya yang telah sampai pada tingkatan Iman. Hal ini sesuai dalam al-Qur’an surah al-Anfal ayat 2:

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka dan bila dibacakan ayat-ayat Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal”.

Bu Nyai Zuhri sangat menjaga sikapnya ketika berhadapan dengan lawan jenis, ketika berpapasan di jalan dengan lawan jenis Bu Nyai Zuhri akan berpura-pura cacat atau seperti pura-pura juling. Hal itu beliau lakukan supaya tidak menimbulkan syahwat diantara lawan jenis. Menginjak usia 35 tahun Bu Nyai Zuhri belum juga menikah bahkan banyak yang hendak mengkhitbah beliau tetapi selalu beliau tolak.

Di lain pihak KH. M. Mubasyir Mundzir yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Ma’unah Sari Kediri yang terkenal dengan kewaliannya sejak masih muda juga belum kunjung menikah, padahal usia beliau pada saat itu sudah 55 tahun, usia yang sudah tidak muda lagi. Kyai Mundzir disarankan oleh seseorang untuk melamar Bu Nyai Zuhri, padahal saat itu beliau belum mengenali Bu Nyai Zuhri sama sekali. Akhirnya KH. Mundzir meminta Gus Thoha (KH. Thoha Yasin) yang notabene merupakan salah satu murid juga keponakan beliau untuk melihat dari mata kebatinan Gus Thoha, Gus Thoha mengisyaratkan Bu Nyai Zuhri sebagai seekor burung merpati putih yang berparuhkan emas. Burung merpati yang senantiasa menyanyikan ayat-ayat al-Qur’an.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Kyai Mundzir dan Bu Nyai Zuhri belum pernah bertemu sebelumnya, akan tetapi bila sudah jodoh tidak akan pergi kemana dan pula tidak akan tertukar. Akhirnya pada hari Jum’at (akhir bulan Juni 1973) berlangsunglah pernikahan KH. M. Mubasyir Mundzir dengan Ibu Nyai Zuhriyyah binti KH. Munawwir dengan suasana sederhana. Uang sebesar Rp. 10.000 sebagai mahar dilaksanaknlah pernikahan antara keduanya di Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L. Dimana yang bertindak selaku wali adalah KH. Ahmad Munawwir, adapun yang mengakadkan adalah KH. Ali Maksum, sedangkan sebagai saksinya adalah Bapak Syal’an dan Gus Thoha. Gus Thoha pun yang bertindak sebagai pembaca doa.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by jaringansantri.com

Kiai Umar Mangkuyudan Wafat, Kiai Ali Maksum Nangis di Atas Podium

Siapapun tahu Mbah Umar di Mangkuyudan menghuni sebuah rumah sederhana. Apa yang disebut nDalem Mbah Umar hanyalah sebuah bangunan kecil berdinding anyaman bambu alias gedek dengan sedikit tembok diatas pondasi. Ketika ndalem tersebut diperlukan untuk perluasan pondok putri, Mbah Umar mengalah dan rela pindah kamar di pondok putra yang sebelumnya dihuni para santri. Di sebuah kamar yang sederhana itulah Mbah Umar wafat dalam usia 63 tahun di waktu sahur.

Mbah Umar semasa hidupnya memang tidak suka ngematke atau nggondeli hal-hal yang bersifat duniawi. Beliau tidak kersa mirsani TV ataupun mendengarkan musik-musik yang hanya akan mengganggu dzikir beliau kepada Allah SWT. Beliau seorang sufi dan hafidz Quran yang senantiasa menjaga hafalannya. Beliau tidak meninggalkan rumah dan tanah yang beliau miliki semasa hidupnya kecuali telah diwakafkan untuk pondok.

Ketika jam bandul di masjid telah menunjukkan pukul 12.03 Waktu Istiwak, dikumandangkanlah adzan Dzuhur. Para pelayat pun kemudian melakukan shalat Dzuhur berjamaah yang juga bergelombang. Saat itu keadaan di masjid dan sekitarnya sudah semakin padat dan berjejal dengan tamu-tamu yang hendak memberikan penghormatan terakhir pada Mbah Umar. Hampir semuanya ingin mendekat pada jenazah Mbah Umar secara fisik dengan harapan dapat menyentuh atau setidaknya mendekat peti jenazah yang sedang disemayamkan di masjid. Tua dan muda berebut kesempatan mendekat pada peti jenazah Mbah Umar.

Ketika jamaah shalat Dzuhur sudah dirasa cukup, dan upacara pemakaman yang ditandai dengan beberapa pidato sambutan dari berbagai pihak telah usai, maka dilaksanakan shalat jenazah terakhir. Pidato sambutan paling singkat adalah yang disampaikan Mbah Kiai Ali Ma’shum. Beliau tak mampu berkata apa-apa selain uluk salam di awal dan akhir, Selebihnya beliau hanya menangis dan menangis sesunggukan di atas podium.

Ketika waktu telah menjelang pukul 13.30 WIB, tibalah saatnya mengusung peti jenazah Mbah Umar untuk kemudian diturunkan dari masjid. Selanjutnya peti akan dibawa ke tempat pemakaman yang jaraknya dari mihrab masjid tak lebih dari 3 meter. Dengan diiringi bacaan La ilaha illallah Muhammadur rasulullah yang terus menerus diulang oleh ribuan pelayat sambil menderaikan air mata, baik putra maupun putri, peti jenazah Mbah Umar diangkat oleh sanak saudara, handai tolan dan para santri senior.

Suasana duka semakin terasa ketika peti jenazah Mbah Umar mulai diusung. Tak ada wajah ceria. Semuanya murung dalam kesedihan yang mendalam. Tak ada canda dan tawa. Tak ada kata terucap dari bibir para pelayat kecuali lantunan dzikir dan tahlil dalam linangan air mata. Semua merasa kehilangan Mbah Umar, seorang kiai hafidz Quran sejak usia belasan tahun. Seorang kiai yang dikenal saleh sejak masa kecil. Beliau tak pernah menyakiti orang lain. Beliau rendah hati, suka bermusyawarah dan berlaku adil. Mbah Umar sangat halus dalam sikap dan tutur kata. Namun kelembutan hati Mbah Umar mampu menghentikan kenakalan dan kekerasan hati santri-santri yang dicintainya.

Pada saat peti jenazah Mbah Umar mulai bergerak, saat itulah awal krisis terjadi karena para pelayat yang jumlahnya ribuan itu tiba-tiba ingin mengungkapkan rasa hormat dan baktinya kepada Mbah Umar dengan cara masing-masing. Ada yang ingin melihat peti jenazah Mbah Umar dari jarak dekat. Ada yang ingin menyentuh peti jenazah atau kain yang menutupinya meski hanya sekejap. Tetapi kebanyakan ingin ikut mengusung peti jenazah beliau hingga makam yang telah dipersiapkan. Padahal mereka yang telah berhasil memegang peti jenazah enggan melepaskannya. Mereka bersikukuh untuk tetap mengusungnya hingga tempat pemakaman.

Sementara itu mereka yang belum berhasil memegang peti jenazah, terus bergerak dari semua arah. Mereka berdesak-desakan dan berebut kesempatan. Tentu saja ini menghambat perjalalan peti jenazah Mbah Umar terutama mereka yang bergerak dari arah depan. Peti jenazah itu terhenti dan tak mampu dimajukan kedepan barang selangkahpun. Saat itu posisi peti jenazah sudah berada di sebelah utara masjid yang memang ruangnya tidak cukup luas.

Meskipun jarak tempuh menuju makam tinggal beberapa meter saja, perjalanan untuk sampai ke sana tidak semudah yang dibayangkan. Banyak pelayat yang mencintai Mbah Umar ingin menunjukkan cintanya kepada beliau dalam waktu yang sama. Mereka juga bermaksud tabarruk. Apalagi hari itu di bulan Puasa yang penuh berkah. Mereka berharap dicatat malaikat sebagai santri Mbah Umar ila yaumil qiyamah.

Dalam keadaan seperti itu, tampillah seorang tentara Angkatan Darat berpangkat mayor. Beliau adalah Mayor Mashadi, seorang wali santri yang tinggalnya di kampung Sampangan Pasar Kliwon. Dengan suaranya yang lantang, Mayor Mashadi menghimbau agar para pelayat tidak berebut mengusung peti jenazah. Mereka diminta kesadarannya demi memperlancar jalannya peti jenazah. Himbauan Mayor Mashadi tak segera diindahkan. Mayor Mashadi menaikkan nada suaranya dengan berbicara lebih lantang. Mayor Mashadi terpaksa berteriak untuk mencegah mereka yang bermaksud mendekat peti jenazah Mbah Umar. Mayor Mashadi mulai kehabisan suaranya.

Dengan dibantu banyak orang, Mayor Mashadi tidak putus asa. Beliau terus berusaha menertibkan para pelayat agar tidak mendekat apalagi menyentuh peti jenazah yang memang sudah ada orang-orang yang dipersiapkan untuk itu. Usaha keras Mayor Mashadi mulai membuahkan hasil. Perlahan-lahan peti jenazah Mbah Umar mulai bergerak lagi hingga akhirnya sampai di makam. Perjalanan jarak pendek yang hanya sejauh kira-kira 45 meter itu ternyata harus ditempuh dalam waktu cukup lama. Kira-kira 45 menit atau bahkan satu jam. Sulit dipercaya. Namun itulah keadaannya sejauh yang kuingat.

Sesampai di makam, jenazah Mbah Umar kemudian dimasukkan ke liang lahat disertai ritual pemakaman seperti adzan dan iqomah. Aku tidak tahu atau sudah tak ingat lagi siapa kiai yang memimpin ritual pemakaman beliau. Jarak pandangku ke makam Mbah Umar dari tempat aku berdiri di sudut barat laut masjid, yang sekarang dibangun tempat wudhu dan kamar kecil, tidak memungkinkan aku untuk menyaksikan dan mendengar setiap peristiwa yang terjadi di sana. Terlalu banyak orang berjejal di depanku. Mereka berebut kesempatan untuk dapat mengantarkan jenazah Mbah Umar hingga beliau dikebumikan, dibacakan talqin dan doa.

Menjelang Ashar upacara pemakaman Mbah Umar telah usai. Beberapa orang mulai meninggalkan makam. Tapi aku tak segera beranjak dari tempat aku berdiri termangu dan kaku. Air mataku yang sejak dini hari beku, di sore hari itu mulai meleleh dan menitik setetes demi setetes. Aku tak mampu menahan tangis itu. Aku biarkan air mataku jatuh bercucuran membasahi bumi. Hanya tangis itu yang bisa aku lakukan untuk mengungkapkan seluruh kesedihanku. Aku sangat terpukul dengan kepergian Mbak Umar untuk selamanya. Aku sangat bersedih karena belum mampu melaksanakan dhawuh beliau hingga beliau wafat. Padahal beliau sudah berbuat banyak dalam memberikan kesempatan sejak masa kanak-kanakku hingga remaja.

Sejak hari itu aku hanya bisa merindukan Mbah Umar. Beliau tidak saja guruku yang mengajariku mengaji Al-Quran dari alif ba ta, tetapi sekaligus Pakdeku, abang dari ibuku. Ketika ayahku Mbah Dullah dalam kesulitan, Mbah Umar memberi solusi. Beliau yang memberi namaku dan mengkhitankan aku ketika umurku telah cukup. Beliau sering memberiku uang untuk potong rambut. Ketika aku menangis di pagi hari pada tanggal 10 setiap bulan karena belum bisa membayar SPP, Mbah Umar selalu mendengar tangis itu. Diutusnya Mbah Ti ke rumahku untuk memberikan uang SPP. Lalu bergegaslah aku berangkat ke sekolah SD dengan berlari dan rasa bangga pada Mbah Umar.

Kini tinggallah rinduku pada beliau dalam seluruh hidup dan jiwaku. Rinduku abadi. Rindu yang takkan pernah terobati.

Allahummaj’al qabrahu raudhatan min riyadhil jinan. Wala taj’al qabrahu khufratan min khufarin niran. Amin.

(Dimuat di Majalah Serambi Al-Muayyad, Edisi 04/Th. II/Juli 2013/Ramadhan 1434 H, halaman 3 – 5, dengan beberapa editing.)

KH. M. Munawwir Dan Sajadah

Para Kiai pesantren itu khas, juga unik. Para Kiai itu istiqomah dalam ngaji, sangat sabar dalam mendidik santri. Sehari-sehari para kiai tak pernah sepi dari ngaji, sekaligus tidak pernah putus dalam ibadahnya. Ibadah wajib dan sunnah menjadi satu kesatuan, tak pernah dipisahkan.

Termasuk Kiai Munawwir Krapyak. Sehari-sehari, Kiai Munawwir setia dengan sajadahnya. Bukan untuk “gaya”, melainkan wujud istiqomahnya dalam belajar. Dalam sajadah itu pula, Kiai Munawwir begitu khidmat dalam mengajari santri-santrinya terhadap al-Qur’an. Tidak pernah geser dari sajadah, karena itulah khittah perjuangan yang dipilihnya.

Pada suatu saat, ada santri yang diperintah istri Kiai Munawwir untuk meminta uang belanja. Kiai Munawwir sendiri dalam kesehariannya tidak pernah membawa dompet, tidak juga mengantongi uang saku. Keseharian Kiai Munawwir adalah keseharian bersama al-Qur’an. Tetapi ketika santri utusan Ibu Nyai meminta uang belanja, Kiai Munawwir merogoh sajadahnya untuk mengambil uang.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Santri itu heran, bingung, sekaligus penuh tanda tanya. Kenapa bisa begitu? Karena keseharian Kiai Munawwir itu mengajar ngaji, tak pernah surut. Waktunya habis di serambi Masjid bersama para santri. Uang belanja dari sajadah Kiai Munawwir adalah karomah beliau. Itulah kekasih Allah yang selalu mendapatkan kemudahan atas berbagai persoalan yang dijalaninya.

Sajadah Kiai Munawwir dan santri utusan Ibu Nyai hanyalah sekilas dari kisah penuh inspirasi. Kiai Munawwir dikenal sangat ketat dalam ngaji al-Quran. Bahkan untuk mengaji surat al-Fatihah, seorang santri bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan ada yang setahun lebih. Bukan waktu yang menjadi ukuran, karena ngaji itu mengutamakan kualitas ilmu. Jadi, santri itu harus benar-benar menguasai bacaan dalam al-Qur’an. Apalagi surat al-Fatihah yang menjadi rukun dalam sholat.

Sajadah dan al-Qur’an begitu melekat dalam diri Kiai Munawwir. Dari sini pula, Kiai Munawwir melahirkan banyak santri yang menjadi ulama besar pada masanya. Kiai Munawwir belajarnya juga tidak sebentar, karena pernah ngaji di Makkah-Madinah selama 21 tahun. Kiai Munawwir juga mendapatkan ijazah sanad qiroah sab’ah (tuju cara membaca al-Qur’an) yang sanadnya bersambung di urutan ke-35 kepada Nabi Muhammad SAW.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by wallpaperflare.com

Do’a Tolak Sihir Atau Jin

Membaca adzan 1 kali di telinga orang yang sakit sambil memegang benjolan yang ada pada pangkal lengan atau persendian, diteruskan dengan membaca ayat:

وَ قُلْ جَاءَالْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا, وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُالظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا

Do’a ini diriwayatkan oleh KH. R. Abdullah Afandi Munawwir

Sumber: Almunawwiriyyah; Wirid Dan Do’a Sesepuh Krapyak

Syair-Syair Simbah KH. Muhammad Munawwir

KH. Muhammad Munawwir rahimahullah memiliki beberapa syair atau petuah-petuah bijak yang menjadi favorit beliau. Berikut syair-syair tersebut sebagaimana dalam buku manaqib sejarah beliau, antara lain:

– Mengutip Imam Abu Sulayman al-Khaththabi, sebagaimana diriwayatkan oleh KH. Umar (Kempek, Cirebon):

وَلَسْتُ بِسَائِلٍ مَا دُمْتُ حَيًّا #  أَسَارَ الخَيْلُ أَمْ رَكِبَ الأَمِيْرُ

(Selama aku hidup, aku tidak akan bertanya (dan tidak peduli), apakah yang berlari kuda, ataukah Amir yang menaikinya)

Barangkali antara maksudnya: Ketika seseorang sudah menetapkan diri untuk mondok ya harus siap dengan segala konsekuensinya, yaitu beruzlah dan mengasingkan diri dari berbagai hal yang mungkin terjadi di sekitarnya dan mengganggu konsentrasi belajarnya.

Baca: Ijazah Surah al-Fatihah Dari KH. M. Munawwir Oleh Gus Mus

– Riwayat dari KH. Umar (Kempek, Cirebon):

وَلَسْتُ بِمُدْرِكٍ مَا فَاتَ مِنِّي # بِلَهْف وَلاَ بِلَيْتَ وَلاَ لَوْ أَنِّي

(Aku tidak bisa lagi mendapatkan apa yang telah berlalu meninggalkanku, baik dengan cara melamun menyesalinya, melalui ungkapan “layta” (seandainya) atau dengan “law anni” (andaikata saya) )

Antara maknanya barangkali adalah: seseorang tidak dapat mengulang hal-hal yang telah terjadi, meskipun dengan berbagai upaya. Apabila takdir sudah berlaku, ya sudah, berarti dalam peribahasa bahasa Indonesia dikatakan: nasi sudah menjadi bubur.

Syair ini memberi anjuran agar seseorang membiasakan diri bersungguh-sungguh dalam setiap yang dikerjakannya. Penyesalan hanya akan terjadi belakangan. Syair ini juga mengajarkan agar apapun yang sudah terlanjur terjadi agar dicari jalan keluarnya yang terbaik.

– Riwayat dari KH. Umar (Kempek, Cirebon):

اطْلُبْ وَلاَ تَضَّجَّرَنْ مِنْ مَطْلَبٍ # فَأَفَةُ الطَّالِبِ أَنْ يَضَّجَّرَا

أَلَمْ تَرَى المَاءَ بِتِكْرَارِهِ # فِي الصَّحْرَةِ الصَّمَّاءِ قَدْ آَثَرَ

(Cari dan upayakan (semampunya), dan jangan sekali-kali kamu bosan mencari, sebab kelemahan orang yang mencari adalah munculnya rasa bosan.

Tidakkah kamu tahu bahwa air itu bila berkali-kali menetes meskipun di atas batu cadas, maka air itu tetap akan memberi pengaruh yang nyata)

Baca: Wejangan Simbah KH. Muhammad Munawwir

Syair ini menganjurkan siapapun agar memiliki keteguhan dan kegigihan dalam mengupayakan sesuatu, termasuk dalam hal ini adalah pencari ilmu.

Semoga bermanfaat.

Oleh: Tim Redaksi

Kisah Kiai Zainal Dengan Santri Baru

Kiai Zainal Abidin merupakan salah satu putra dari KH. Muhammad Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Nama panggilan beliau sejak kecil yakni ‘Zainal’, namun Mbah Ali Maksum memiliki penulisan unik untuk nama ‘Zainal’ sendiri apabila ditulis menggunakan tulisan arab; زينال menjadi tidak memiliki arti atau menjadi lain artinya.

Kiai Zainal ini memiliki perawakan yang kurus, tidak gemuk sama seperti dengan Kiai Sahal Mahfudz serupa dan sulit untuk dibedakan. Bagi yang belum kenal dengan Kiai Zainal, mungkin akan menyangka bahwa Kiai Zainal itu sebagai santri biasa atau orang biasa yang sedang mondok.

Baca: Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh

Sewaktu Kiai Zainal masih muda kira-kira sekitar tahun 60-an, ketika sore hari beliau berada di depan pondok datang seorang santri baru yang baru saja turun dari becaknya. Santri dulu kalau mondok tentu membawa beras, disamping membawa pakaian secukupnya. Dengan tanpa sungkan santri baru tadi yang turun dari becak meminta tolong kepada orang yang ada di depan pondok.

“Tolong Mas, bawakan kantong beras saya yang satu ini ya” perintah santri baru

“Ayo dibawa ke kantor pondok saja” jawab Kiai Zainal

“Ya iya” sahut santri baru sambil membayar becak

Ketika sampai di kantor pondok, kantong beras 20 Kg itu diletakan di depan pintu. Santri baru pun mengucapkan terima kasih karena sudah mau membawakan kantong beras miliknya itu, kemudian Kiai Zainal pamit meninggalkan santri baru tadi.

Kira-kira 3 hari setelah kejadian tersebut, santri baru pun sudah mulai beraktifitas dengan kegiatannya. Setelah maghrib ketika dia sedang mengaji tiba-tiba pandangan matanya tertuju tajam kedepan. Melihat Sang Guru yang sedang membacakan kitab, sambil angan-angannya melayang membayangkan kejadian 3 hari yang lalu.

Dalam benaknya timbul perasaan tidak enak dan menjadi sebuah pertanyaan besar dalam dirinya.

Baca: Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil Dan Ketawadhuannya

“Apakah orang itu yang kemarin saya mintai tolong? Betulkah Kiai itu yang membawa kantong berasku kemarin?” santri baru bertanya dengan dirinya sendiri.

Muncul perasaan gelisah dan resah, hingga malamnya dia tidak bisa tidur. Akhirnya diputuskan pagi harinya untuk sowan dan meminta maaf dan pamit pulang. Setelah beberapa hari Kiai Zainal bertanya kepada teman-teman satu kamarnya terkait keberadaan santri tersebut, teman-teman satu kamarnya pun menjawab sudah pulang. Kiai Zainal pun paham dan hanya tersenyum. Allahu Yarham.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Majalah Al Munawwir

Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh

Diantara tanda-tanda orang yang shaleh dan baik menurut Allah (bila tidak demikian berarti orang yang celaka) adalah;

Pertama, apabila mendengar kata “neraka” disebut, maka hatinya bergetar ketakutan dan berdoa jangan sampai dirinya terkena api neraka. Jangan sampai jadi orang yang hanya gara-gara mendengar “macan” saja tidak berani berbohong, tapi sebaliknya, apabila yang disebut adalah nama Allah malah berani berbohong. Jangan sampai tidak takut dengan neraka. Orang yang terkena api neraka apabila sudah gosong maka badannya akan diperbaharui dan kembali seperti semula. Badan yang terkena api neraka, ya badan yang sekarang dipakai ini.

Api neraka itu tidak seperti api dunia, sebab apinya selalu bertambah derajat dan tingkat kepanasannya. Demikian juga yang namanya neraka itu tempatnya kecil, tidak luas. Keadaan di sana orang bertumpuk-tumpuk, berdesak-desakan, susah untuk bernafas dan tidak leluasa untuk sekedar berpindah tempat. Api neraka membakar atas perintah Allah. Jadi tidak ada peluang untuk meminta tolong kepada siapapun, sebab yang menyuruh adalah Allah. Beda dengan api dunia, orang masih berkemungkinan meminta tolong kepada orang lain atau boleh jadi api yang membakar tidak bermuatan panas, sebab yang memerintahkan bukan Allah, sebagaimana apa yang terjadi kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Karena yang memerintahkan api untuk membakar bukan Allah, maka apinya malah jadi dingin.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Yang kedua, tanda orang shaleh adalah sebagaimana dipertegas oleh sabda Nabi Muhammad SAW:

إذا أرادالله بعبد خيرا فقهه في الدين

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seseorang, maka Dia akan menjadikannya mengerti agama.”

Hadits ini mengharuskan seseorang untuk mengerti betul ajaran agama islam. Kalau belum tahu ya harus belajar berbagai hal mengenai islam, baik itu yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah, maupun berhubungan dengan sesama manusia. Maka bagi karyawan yang bekerja dia harus tahu perkara-perkara muamalah dan tata cara islam yang terkait dengan pekerjaannya. Bagi orang yang berkecimpungan di bidang pemerintahan maka dia harus tahu bagaimana mengatur tata cara pemerintahan yang baik menurut ajaran Allah. Kalau orang hanya kerja sekedar kerja dan tidak tahu hal-hal yang dilarang oleh Allah terkait pekerjaannya, maka itu bukan orang yang shaleh.

Yang ketiga adalah sebagaimana disebut dalam surah al-A’raf (7) ayat 201:

إنّ الّذين اتّقواإذامسّهم طائف من الشّيطان تذكّروافإذاهم مبصرون

“Sesungguhnya orang-orang bertaqwa apabila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”

Baca: Bernostalgia Bersama KH. Ahsin Sakho’

Jadi tanda orang yang shaleh adalah apabila melakukan maksiat, kemudian sadar dan ingat kepada Allah, maka ia akan langsung bertaubat. Kalau tidak langsung bertaubat, berarti itu tandanya orang jelek dan tidak shaleh. Apalagi bila orang yang melakukan maksiat malah bangga atau gembira, seperti penjual barang-barang perniagaan yang haram atau pedagang wiski yang kaya, lalu dia merasa bahagia dengan usaha dan kekayaannya, maka kalau sudah seperti itu ya celaka.

Sumber: Majalah Al Munawwir, Khutbah Jum’ah Almarhum KH. Zainal Abidin Munawwir (20 Syawal 1433 H./7 September 2012 M.)

Krapyak Kembali Berduka

Krapyak kembali berduka, sebelumnya sekitar awal bulan Januari 2021 tepatnya pada hari Senin, 4 Januari 2021 sore, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, KH. Muhammad Najib Abdul Qadir wafat.
Kemarin sore Indonesia kembali kehilangan seorang ulama kharismatik yakni KH. Atabik Ali, beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. KH. Atabik Ali meninggal dunia pada Sabtu (6/2/2021) sekitar pukul 13.00 WIB di usia 77 tahun. Beliau merupakan putra sulung Kiai besar Nahdatul Ulama KH.  Ali Maksum dengan Ibu Nyai Hasyimah yang mana Ibu Nyai Hasyimah merupakan putri dari KH. M. Munawwir dari sitri yang ke 2 yakni Ibu Nyai Hj. Suistiyah.

Waqiila… Suatu hari KH. Ali Maksum pernah dawuh kepada KH. Atabik Ali ketika masih muda.

“Awakmu wani ngumbah mobil kui?” tanya KH. Ali Maksum

“Nggeh…wantun” jawab KH. Atabik Ali

Ketika KH. Ali Maksum memerintahkan KH. Atabik Ali untuk mencucikan mobil tersebut, disamping mobil yang dimaksud terdapat banyak santri putri dan normalnya santri putra akan merasa malu ketika melaksanakan perintah dari KH. Ali Maksum. Namun sosok KH. Atabik Ali muda dengan penuh semangat untuk sendiko dawuh melaksanakan tugas dari ayahandanya, setelah selesai mencucikan mobil kemudian KH. Ali Maksum dawuh:

“Wah wani tenan awakmu, insyaallah sesuk bakale awakmu due pondok gede tur santrine akeh” dawuh KH. Ali Maksum.

Dan terbukti bahwa beliau dan keluarga KH. Ali Maksum mempunyai ribuan santri dengan sekolah formalnya. KH. Ali Maksum dikenal sebagai salah satu pelopor modernisasi Pesantren di Indonesia. Kemudian jejak Kiai Ali Maksum ini diikuti oleh putranya, yakni Kiai Atabik Ali dan para santrinya. Setelah wafatnya Kiai Ali Maksum pada tahun 1989, Kiai Atabik melanjutkan kepemimpinan pesantren dari ayahanda tercinta. Di tangan Kiai Atabik ini pesantren kemudian berkembang pesat dengan berbagai terobosan yang luar biasa. Kiai Atabik Ali juga pernah duduk dalam kepengurusan PBNU di masa Gus Dur, yakni sejak Muktamar Situbondo tahun 1984.

Baca: Ijazah Surah al-Fatihah Dari KH. M. Munawwir Oleh Gus Mus

Lokasi Pemakaman Keluarga Dongkelan, Bantul.

Kelahiran dan kematian datang silih berganti, besok atau lusa atau kapapun saja bisa datang begitu saja tanpa aba-aba. Semua akan kembali ke asal, disini tidak ada yang abadi semua akan kembali kepada Sang Maha Pencipta alam semesta. Suatu saat diantara kita akan pulang sendirian sama saat seperti kita datang pertama kali ke muka bumi.

Jika kita merasa sebagai salah satu santrinya berusahalah meniru akhlaknya, senantiasa patuh dengan dawuh-dawuh beliau, semoga kita semua diakui oleh beliau sebagai santrinya. Semoga guru kita semua, orang tua kita semua KH. Atabik Ali wafat dengan Husnul Khatimah, diterima semua amal ibadahnya dan ditempatkan bersama para kekasih Allah di surga, Amin.

Oleh: Tim Redaksi

Pekan Ta’aruf: Modal Sosial Pesantren Dalam Menghadapi Pandemi

Malam kedua (02/02) santri baru Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L melanjutkan kegiatan Pekan Ta’aruf dengan tema ”Modal Sosial Pesantren Dalam Menghdapi Pandemi” dan masih dalam sesi materi ke 2, pada kesempatan ini disampaikan oleh Pak Beni Susanto, M.A, beliau merupakan salah satu alumni Komplek L. Kemudian dilanjut sesi ke-Al Munawwiran yang di isi oleh Ustadz Abdus Salam, M.A, beliau menyampaikan materi seputar sejarah lahirnya Pondok Pesantren Al Munawwir, khususnya mulai dari siapa pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir, Dzurriyahnya dan perkembangan Pondok Pesantren Al Munawwir. Dengan diselingi guyonan yang khas yang membuat tawa geli sehingga peserta tak bosan untuk selalu menyimak. Penyampainya pun sangat komprehensif dengan harapan para santri mengetahui seluk beluk sejarah tempat mereka singggah saat ini sebagai miniatur multikultural masyarakat.

Dilanjutkan pada hari ketiga yakni pada hari Rabu (03/02) diisi dengan perlombaan Cerdas Cermat Pesantren (CCP) yang diikuti oleh setiap kelompok Pekan Ta’aruf dan bertempat di Mushola Al Mubarok, perlombaan ini dimulai pada pukul 13.00 wib hingga pukul 16.30 wib. Pada malam harinya para peserta Pekan Ta’aruf masih diberikan materi tentang Living Qur’an yang disampaikan oleh Kiai Yunan Roni, M.Sc, beliau merupakan salah satu dewan asatidz di Madrasah Diniyyah Salafiyyah 4 Komplek L. Untuk sesi materi yang terakhir disampaikan oleh Bapak dr. Yaltafit Abror Jeem M.Sc, beliau menyampaikan tentang Pesantren dan Adaptasi Kebiasaan Baru.

Pagi hari pun tidak dibiarkan kosong begitu saja. Tentunya para panitia sebelumnya sudah menyusun acara dengan kegiatan yang positif, kegiatan Bakti Sosial menjadi agenda pagi hari oleh seluruh peserta Pekan Ta’aruf, dimana para peserta memberikan bahan pokok kepada warga desa di sekitar Komplek L, tentunya dengan menerapkan Prokol Kesehatan dan di dampingi oleh aparatur desa setempat. Disinilah para peserta diajarkan saling mengasihi sesama, memeberi kepada yang kekurangan, menjunjung  tinggi nilai solidaritas dan menunjukkan jiwa sosial yang tinggi.

Pada hari Kamis malam Jum’at (04/02)  kegiatan demi kegitan telah dilakukan, kini sampailah pada puncak acara yaitu malam penutupan Pekan Ta’aruf. Rangkaian acara dimulai dengan pembacaan Maulid, kemudian dilanjutkan dengan penampilan juara MSQ oleh peserta Pekan Ta’aruf angkatan 2020. Malam penutupan Pekan Ta’aruf diisi dengan mauidzoh hasanah oleh Dr. Abdul Jalil, S.Th.I, M.S.I.  dengan materi bagaimana posisi santri saat ini, beliau mengibaratkan seorang santri itu seperti kedudukan i’rob dalam nahwu, yakni; na’at, bayan dan badal. Sebagai seorang santri ada tiga tingkatan yang harus dilewati, yang pertama santri itu sebagai na’at, yang mana na’at itu membutuhkan man’ut atau yang diikuti, seorang santri harus patuh terhadap pengasuh dan asatidz yang ada di pondok. Yang kedua santri menjadi bayan, sebagai penjelas ataupun beliau mengibaratkan bayan itu menjadi seorang ustadz atau tenaga pengajar. Kemudian yang ketiga seorang santri menjadi sorang badal, yang mana itu sebagai pengganti. Diibaratkan santri kelak ketika sudah boyong dari pondok bisa menjadi pengganti ataupun meneruskan perjuangannya di daerah masing-masing.

Baca: Tak Kenal Maka Ta’aruf

Acara ini tentunya tidak kalah denga acara di kampus, bahkan menurut salah satu santri baru sebagai peserta Pekan Ta’aruf, acara ini lebih mengasyikkan dan banyak hal yang bisa diambil dari setiap kegiatannya. Dia juga menambahkan, bahwa acara seperti ini jarang dilakukan di Pesantren lainya, sehingga dengan adanya acara ini para santri baru mudah berinteraksi dan mengenal kepada sesama santri baru maupun santri lama. Mereka para santri baru sudah tidak lagi canggung dalam bergaul. Harapan penulis Pekan Ta’aruf ini tidak hanya sampai ta’aruf (saling mengenal) antar sesama saja, akan tetapi juga menyampaikan kepada tafahum (saling memahami) meningkat ke ta’awun (saling membantu dalam kebaikan) dilanjutkan ke tasamuh (toleransi) dan diakhiri dengan takaful (saling menjamin rasa aman). Sehingga acara ini tidak hanya sebatas tontonan, tetapi juga tuntunan.

Oleh: Tim Redaksi