Krapyak masih diselimuti duka mendalam atas berpulangnya salah satu permata terbaiknya, seorang ulama ahli Al-Qur’an perempuan yang sangat masyhur dan menjadi teladan bagi ribuan santri: Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali Maksum. Beliau adalah putri Hadratussyaikh KH. Ali Maksum, sosok yang namanya senantiasa harum di hati umat.
Ibu Nafis, demikian beliau akrab disapa, tak hanya dikenal sebagai ahli Al-Qur’an dengan keilmuan mendalam. Jiwa Qur’ani beliau tak sekadar terucap dalam lisan, melainkan terpatri kuat dalam setiap laku, tindakan, dan sendi kehidupan sehari-hari. Beliau adalah representasi sejati dari “Living Quran”; Al-Qur’an yang berjalan, berbicara, dan memberi teladan nyata bagi siapa pun yang bersua.
Keteladanan dalam Setiap Detik Kehidupan
Banyak cerita inspiratif mengalir dari keluarga, santri, hingga masyarakat tentang bagaimana Ibu Nafis mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an. Di kalangan santri, dawuh beliau yang sangat melekat adalah: “Di manapun berada, jangan lupa menderas Al-Qur’an, karena di manapun itu adalah bumi Allah.” Ini bukan sekadar wejangan, melainkan sebuah teladan nyata yang sempurna, dicontohkan langsung dalam keseharian beliau.
Bahkan saat berwisata bersama santri, Ibu Nafis tak pernah lepas dari Al-Qur’an. Beliau menunjukkan bagaimana di tengah aktivitas menyetir, berbelanja, atau bahkan rihlah sekalipun, ayat-ayat suci senantiasa dilantunkan dari lisannya. Kecintaan beliau terhadap Kalamullah begitu mendalam, tak lekang oleh waktu, tempat, apalagi kondisi. Menjelang wafatnya pun, di tengah perawatan intensif dan rasa sakit yang menderanya, Ibu Nafis tak sedikit pun kehilangan waktu untuk menderas Al-Qur’an. Dengan suara yang menahan sakit, beliau terus melantunkan ayat-ayat suci sembari terbaring lemah, seolah Al-Qur’an adalah nafas dan jiwa yang tak terpisahkan dari dirinya.
Al-Qur’an yang Termaktub dalam Tindakan
Kecintaan beliau terhadap Al-Qur’an juga termanifestasi dalam tindakan-tindakan nyata yang menggetarkan hati. Salah satu kisah indah yang dikenang adalah ketika suatu hari, saat seluruh santriwati fokus mengikuti pengajian rutin Ramadan di mushola, Ibu Nafis diam-diam menuju dapur santri. Tanpa suara bising, dalam keheningan, beliau membersihkan dapur itu hingga rapi, bersih, dan wangi. Santriwati baru menyadarinya setelah pengajian usai, terheran-heran mendapati dapur yang semula berantakan kini bersih dan tertata. Ibu Nafis melakukannya seorang diri, tanpa ingin diketahui, menunjukkan keikhlasan serta pengamalan nilai kebersihan, keindahan, dan tanggung jawab yang diajarkan Al-Qur’an.
Beliau memang sangat memperhatikan keindahan. Caranya menata barang dan lingkungan sekitar selalu memancarkan estetika, menjadikannya pribadi yang menyenangkan tak hanya di mata, namun juga di hati siapa pun yang berinteraksi dengan beliau.
Ibu Nafis juga dikenal sebagai sosok yang senantiasa mendorong para santrinya untuk menikmati masa muda tanpa sedikit pun meninggalkan Al-Qur’an. Hal ini selaras dengan dawuh yang disampaikan oleh KH. Mutashim Billah, Pengasuh PP. Sunan Pandanaran, dalam tahlil dan doa untuk Ibu Nyai Nafis, tentang pentingnya menyeimbangkan dunia dan akhirat.
Dalam banyak kesempatan, Ibu Nafis juga mengingatkan kepada santrinya: “Jadilah perempuan yang cerdas, ‘wedok’ (feminin), dan ‘kutho’ (modern).” Pesan ini merangkum harapan agar santriwati memiliki pola pikir yang maju, cara bersosial yang santun, adab yang mulia, dan gaya hidup yang relevan dengan perkembangan zaman, tanpa melupakan akar keislaman mereka. Ini adalah manifestasi nyata dari pemahaman beliau akan peran perempuan muslimah di era modern.
Sikap Toleransi
Di balik keilmuan dan kelembutan hatinya, Ibu Nafis juga merupakan sosok yang sangat menjunjung tinggi toleransi terhadap perbedaan, baik agama maupun etnis. Kedalaman jiwanya terpancar dari hubungannya yang hangat dengan teman-teman beliau yang beretnis Tionghoa. Beliau tidak pernah menunjukkan sikap antipati terhadap keragaman, sebuah nilai luhur yang tentunya diwarisi dari sang ayah, Kiai Ali Maksum, yang terkenal dengan kepribadiannya yang mudah bergaul dan merangkul siapa saja tanpa memandang latar belakang. Toleransi ini bukan hanya sekadar teori, melainkan praktik nyata yang membentuk lingkaran persahabatan tanpa batas.
Kehadiran beliau adalah anugerah, kepergiannya adalah duka, namun keteladanannya akan senantiasa menyala sebagai obor penerang jalan bagi kita semua.
Selamat jalan, Ibu Nafis. Engkau adalah teladan sempurna dari Al-Qur’an yang hidup. Semoga kami senantiasa dianggap sebagai santrimu, menyertai para masyayikh, dan dapat meneruskan perjuangan serta keteladananmu yang abadi. Al-Fatihah.